Lapis 17 (bag. 3)
Dokter Wawan, menjelaskan hasil tes darah juga melakukan pemeriksaan. Diagnosis awal Aidan ditegaskan kembali olehnya. Namun, ketika dokter tersebut menyarankan tes lebih lanjut, Ela terpaksa mengambil alih pembicaraan karena Purnomo menunjukkan gelagat tidak suka. Meskipun demikian, lelaki tua itu tidak menolak ketika disarankan untuk rawat inap.
"Kalau Bapak tidak mau tes lagi, paling tidak, minum obatnya." Kedua tangan wanita itu terjulur di depan wajah Purnomo. Tangan kanan memegang cawan kecil berisi beberapa butir obat dan gelas air minum ada di tangan kiri. Wanita itu sudah lelah bertanya mengapa Purnomo tidak mengatakan apa pun soal kesehatannya selama ini. Tapi, diamnya Ela sekarang bukan menyerah. Dia hanya tidak ingin membuat ayahnya makin lelah.
Aidan telah minta maaf tadi, meminta maaf karena tidak bisa memberikan pengobatan terbaik untuk ayahnya. Namun, Ela tidak bisa menyalahkan Aidan. Karena tidak peduli seberapa keras dokter berusaha, jika pasiennya sendiri tidak ingin sembuh, semuanya akan percuma. Yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa Purnomo menyembunyikan keadaannya dari Ela. Bukan hanya Aidan yang diminta tidak menceritakan apa pun, tapi Mera pun diminta bungkam.
"Kamu istirahat saja di rumah," ujar Purnomo ketika Ela mulai memijat lehernya sendiri. "Kamu sudah makan atau belum?"
Sang anak belum menjawab ketika terdengar ketukan dan pintu terbuka. Aidan muncul dengan sebuah kantong plastik berlogo sebuah rumah makan.
"Sekarang aku menyesal menyuruh Ela untuk menemanimu tadi siang," ucap Purnomo datar ketika Aidan mendekat. "Kamu ingin memeriksaku lagi?"
Dokter itu tersenyum. "Tidak. Saya tidak bisa melakukannya di sini, lagipula Dokter Wawan sudah menangani Pak Purnomo. Beliau salah satu dosen saya dulu," Aidan berkata ringan.
"Seperti kamu lega aku tidak lagi jadi pasienmu," canda Purnomo membuat Aidan tersenyum lalu memandang Ela yang sejak kedatangannya terabaikan.
"Dokter Wawan salah satu spesialis hepatologi terbaik di Jakarta," si dokter bukan hanya membalas perkataan Purnomo, tetapi juga meyakinkan Ela.
"Meski dokter terbaik, kalau pasiennya sendiri tidak ingin sembuh...." Wanita itu menatap tajam ayahnya, sesuatu yang sangat jarang dilakukan. Dia selalu berusaha bersikap lembut pada ayahnya, tapi sekarang?
Purnomo memandang anaknya dengan terkejut, tapi kemudian tersenyum. "Meski dokter terbaik, tapi semua ada di tangan Tuhan."
"Makan dulu." Aidan menepuk pundak Ela, dan untuk sejenak Ela merasa lebih kuat. "Pak Purnomo juga sepertinya butuh istirahat." Dia berusaha menengahi ketegangan antara ayah dan anak.
***
"Aku akan ke apartemenmu, mengambil mobil. Ingin kuambilkan sesuatu?" Aidan duduk di samping Ela di sofa yang tersedia di ruang perawatan. Ranjang tempat Purnomo berbaring telah tertutupi tirai, membagi ruangan itu dan memberi sedikit privasi.
"Entahlah, aku tidak bisa berpikir." Wanita itu hanya menusuk makanannya dengan garpu berkali-kali. Aidan mengambil alat makan dari tangan Ela, mengambil potongan semur tahu dan mengarahkannya di bibir penuh yang mulai pucat.
"Makanlah, kamu butuh tenaga." Sekarang sudah hampir jam sepuluh malam, tetapi wanita itu belum menyentuh makanan apa pun sejak makan siang mereka berdua. "Pak Purnomo butuh kamu sehat," bujukan terakhir berhasil membuat Ela membuka mulutnya. Namun, mengunyah seperti pekerjaan berat.
Wanita itu menyadarkan tubuh, kepalanya tengadah di punggung sofa dengan mata terpejam. Aidan hanya diam, terlalu takut jika dia merengkuh wanita itu, dia akan melanggar batasan. Meskipun, sekarang yang ingin dia lakukan adalah mengambil beban yang bergelayut di wajah Ela. Sang dokter mengikuti apa yang Ela lakukan, menyandarkan tubuh, menengadahkan kepala dan mengambil tangan Ela dalam genggamannya. Dia tahu, dia tidak bisa mengambil beban itu, tetapi dia ingin Ela tahu, ada dirinya di sini untuk menanggung bersama.
Tangan kecil Ela membalas genggaman Aidan. Ada getar dalam remasan jemari mereka. Saat itulah, dia sadari, Ela kembali menahan air mata. Tangannya yang bebas terangkat, menangkup wajah yang kini memerah. Ketika ujung jarinya menyentuh sudut mata, sang wanita bergegas bangkit, melangkah keluar kamar dengan tergesa.
Eleanor Wijaya masih belum bisa mempercayakan air mata padanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top