Lapis 17 (Bag. 2)
Mereka berdua memasuki UGD setelah berkendara selama tiga puluh menit tanpa suara. Ela bersegera menuju bilik yang ditunjuk oleh perawat, sementara Aidan menemui Mera yang sedang duduk gelisah di depan dokter jaga.
Lelaki itu memperkenalkan diri sebatas nama panggilan, tidak ingin mendapat pandangan penuh tanya jika dia menyebut nama belakangnya. Dia juga menyampaikan hasil pemeriksaannya beberapa jam lalu. Dokter jaga, yang seusia denganya itu, bertanya kepada Mera kondisi Purnomo pada tenggat waktu dari kepergian Aidan hingga kejadian. Dia hanya mendengarkan, tidak ingin mengganggu koleganya dalam bekerja.
Ketika dokter jaga menelepon dokter spesialis hepatologi, dan menyapa dengan dokter Wawan, untuk penanganan khusus, Aidan meminta kesempatan untuk berbicara. Aidan hanya memberi penegasan bahwa pasien yang mereka bertiga bicarakan adalah pasien yang sama yang telah Aidan bahas dengan dokter Wawan selama siminggu terakhir. Beberapa instruksi disampaikan melalui telepon kepada dokter jaga, sementara Aidan mulai melangkah menuju bilik.
Eleanor berdiri bagai patung ketika Aidan menyingkap tirai. Di hadapannya, Purnomo tidur tenang dengan infus yang terpasang. Bercak darah, meskipun jumlahnya yang menempel sedikit, tapi sangat jelas di atas kemeja kuningnya. Di telepon, Mera menjelaskan bahwa Purnomo muntah darah. Namun, Aidan tidak menjelaskan pada Ela, tidak ingin menambah panik pada wanita yang sudah pasi ketika mendengar kabar pertama.
Ela terkinjat ketika Aidan menyelipkan jari-jari tangan kirinya di antara jari wanita itu. Ketika akhir menoleh, mata hitamnya telah tertutupi air mata. Bibirnya memerah, seperti berulang kali digigit agar tangis tak pecah.
"Mengapa tidak pernah bilang padaku kalau sakit Bapak parah?" Pertanyaan itu terdengar seperti tuduhan, tetapi Aidan tidak membela diri. Karena dokter itu tahu, Ela membutuhkan menyalurkan emosinya. "Mengapa?" Suara itu mulai serak, tangis yang sedari tadi ditahan mulai retak. Genggaman mereka berdua makin rapat.
Tangan Aidan yang bebas merengkuh kepala Ela, menyandarkannya di pundak, mengecup ubun-ubun, berharap memberi ketenangan.
"Sebentar lagi perawat akan meminta persetujuan tindakan. Sebaiknya kamu yang menandatangani," ujar Aidan di sela isak tertahan Ela. Aidan tahu, jika persetujuan tindakan diserahkan langsung pada Purnomo, dia tidak akan menyetujuinya. Aidan menarik lengan Ela meski wanita itu enggan. Sebelum tirai pemisah ranjang di UGD kembali tertutup, mata si anak masih terus memandang ayahnya.
Aidan kini tidak berperan sebagai dokter, tetapi sebagai bagian dari keluarga, menemani Ela duduk di depan meja dokter jaga. Mereka berdua mendengar penjelasan tentang kondisi sang ayah beserta rangkaian tes yang akan dijalankan. Penjelasan yang sama yang sudah Aidan berikan pada Purnomo sejak sebulan lalu, tapi selalu diabaikan. Aidan berharap, ketika Ela yang memberikan persetujuan tindakan, kondisi sang pasien dapat membaik.
***
Lelaki berambut keperakan yang sedari tadi tertidur kini mulai bergerak. Duduk Ela semakin tegak dan tangannya makin rapat menggenggam tangan Purnomo yang tidak tertancap jarum infus.
Dokter jaga tadi menjelaskan, bahwa ketika datang Purnomo sudah dalam kondisi sadar. Namun, pria itu sangat kesakitan sehingga pihak rumah sakit memberi penghilang rasa sakit, sebelum dia tertidur. Kini setelah sadar, meski tampak lelah, tapi pandangan mata tua itu tetap tajam.
"Bagaimana kamu bisa di sini?" suara parau lelaki itu membuka percakapan. Ela berusaha menekan sakit hatinya, tetap tersenyum, sembari menawarkan air minum.
"Waktu perawat panti telepon, saya masih bersama Aidan." Wanita itu menggenggam botol minuman rapat. Mencari pegangan. Dia rindu genggaman tangan Aidan yang menguatkannya ketika mendengar penjelasan dari dokter tadi.
"Mera terlalu panik, aku tidak apa-apa."
"Bapak muntah darah," Ela masih mampu mengucapkannya dengan lembut.
"Mera terlalu panik." Purnomo melepaskan genggaman Ela, menyokong tubuhnya sendiri untuk duduk. Seringin kesakitan tampak ketika tubuh tua itu memaksakan diri. Sang anak segera berdiri, membantu menyamankan duduk ayahnya. "Aku tidak apa-apa, sudah b...." Lelaki itu tidak menyelesaikan ucapannya.
"Apanya yang sudah?" tanya Ela waspada. "Pak," lanjutnya dengan suara yang lebih tegas. Purnomo membuang muka. "Ini bukan pertama kali Bapak muntah darah?" hati-hati Ela menyampaikan kesimpulannya. "Bapak tidak bilang ke siapa pun?" Kali ini suaranya mulai parau. Diamnya Purnomo menjadi penegasan.
"Sebentar lagi ada perawat yang akan ambil darah Bapak. Saya sudah menyetujui. Bapak tidak boleh menolak." Ela berdiri tergesa, langkahnya cepat meninggalkan bilik, keluar dari UGD. Tidak ingin meledak di depan Purnomo.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top