Lapis 17 (Bag. 1)




"Mau makanan penutup?" tanya Aidan ketika Ela telah meletakkan sendoknya. Kafe yang mereka pilih mulai sepi, jam makan siang telah berlalu. "Choco lava di sini...," lelaki itu menatap bagaimana teman kencannya menyeka sisa lipstick dengan tisu hingga bibir lembut itu terlihat penuh dan merah alami, "...enak." Dia berharap, Ela mengasosiasikan 'enak' dengan kue cokelat, bukan pada apa yang kini sedang Aidan pandang.

"Kamu harus mencicipi Lava Cake buatanku, untuk tahu Lava Cake yang enak seperti apa." Wanita itu tersenyum menantang.

"Kamu bisa membuatnya?"

Pertanyaan itu dijawab dengan gedikan bahu. "Aku pernah ingin masuk jurusan tata boga. Waktu Bapak mempunyai rencana lain, aku tetap belajar masak, otodidak."

Lagi-lagi sebuah jawaban yang memberi kejutan. Purnomo pernah bercerita bahwa anaknya pandai memasak, tapi tidak pernah menjelaskan tentang cita-cita yang sebenarnya. "Apa kamu pernah berpikir menjadi chef?"

Wanita itu hanya tersenyum, bahkan tidak memberi anggukan. Seperti terlalu takut menyampaikan sebuah rahasia. Alih-alih dia menjawab, "Aku masih bisa memasak juga membantu beberapa orang untuk menyiapkan acara, di waktu luangku."

"Apa itu cukup?" Kembali, hanya sebuah senyum yang tidak mencapai mata menjadi jawaban pertanyaan Aidan. "Boleh aku mencicipi Lava Cake buatanmu?"

"Kupikir, kamu tidak pernah meminta." Kali ini wajah Ela berbinar, benar-benar bercahaya."Kapan ada waktu?"

"Sekarang?"

***

Di antara banyak sifat, Aidan bukan seseorang yang impulsif. Dia selalu memikirkan secara matang apa yang akan dia lakukan. Namun, segala hal tentang Ela membuatnya selalu ingin bersegera. Tidak ingin kehilangan kesempatan jika dia berhenti sejenak untuk berpikir. Dan untuk pertama kalinya, dia merasa terbebaskan untuk mengikuti insting.

Meskipun sekarang, logika Aidan mengingatkan diri untuk selalu memegang kendali, terutama jika insting primitifnya ingin menampakkan diri. Saat pintu apartemen itu terbuka, dia tahu, dia berharap, dapat terus mendengarkan logikanya.

"Masuk?" Tuan Rumah mempersilakan. Sebuah apartemen sederhana, tetapi terasa nyaman. Pertama kali melangkah, Aidan disambut dengan dapur yang memakan sepertiga ruang di apartemen. Aidan tidak pernah tahu urusan dapur, tapi dia cukup tahu, dapur Ela terlihat cukup lengkap untuk menciptakan berbagai jenis masakan. Ruang tengah dengan televisi LED 32 inci, mungkin menonton TV bukan kesenangan Ela di waktu luang. Sofa motif bunga dengan bantal yang nyaman, rak buku berada di sampingnya berisi koleksi buku resep juga beberapa novel. Ketika pengamatan Aidan sampai pada kerai rotan yang menjadi pembatas ruang tengah dan kamar, lelaki itu mengeratkan kekang dalam pikirannya. Tidak ingin memikirkan terlalu jauh apa yang bisa mereka berdua lakukan dalam beberapa langkah.

Jangan gila!

"Kopi, teh, atau jus?" tanya Ela mengembalikan fokus Aidan padanya. Wanita itu telah membuka salah satu pintu kitchen set yang menyimpan berbagai gelas.

"Air putih dingin." Lelaki itu perlu mendinginkan darahnya.

"Tidak keberatan menunggu 30 sampai 45 menit?" ujar wanita itu setelah menyerahkan gelas berisi air dingin pada Aidan yang duduk di bangku meja makan.

"Take your time."

Segera setelah itu, Ela segera ke dapur, bergerak luwes mempersiapkan bahan. Semuanya dilakukan dengan teratur dan yakin, seperti penari yang sudah sering melakukan latihan sehingga semua terlihat sangat mudah. Senandung kecil lolos dari bibir, wanita itu benar-benar menikmati waktunya.

"Apa kamu tidak pernah melihat orang lain masak sebelumnya?" tanya Ela sembari mencacah batang cokelat, membuat Aidan merasa tertangkap basah karena mengagumi gerakannya.

"Di TV, beberapa kali." Aidan melipat tangan di atas meja.

"Secara langsung?" Pertanyaan itu membuat Aidan berpikir sejenak.

"Beberapa kali aku menunggui ibuku menggoreng telur ketika aku sangat kelaparan dan tidak sabar menunggu katering." Lelaki itu tersenyum kecil. Masakan andalan ibunya hanyalah telur mata sapi setengah matang atau telur mata sapi terlalu matang dengan pinggiran kecokelatan. Aidan tidak pernah mengeluh. Ibunya lebih mengutamakan mengobrol dengannya di sela kesibukan mengurus pasien daripada harus memasak, dan dia menyukainya. "Sejak kapan belajar masak?" Lelaki itu bertanya balik.

"Sejak aku mulai bisa mengingat." Koki itu memindahkan cokelat yang kini berupa serpihan ke mangkuk kaca dan meletakkannya di atas panci yang ada di atas kompor. Meski Aidan heran, mengapa tidak langsung menuang ke dalam panci, dia tidak menyuarakannya. Dia tidak bisa masak, hidupnya berpindah dari katering ke katering, dari warung ke warung. Sehingga ketika ada yang mau bersusah payah memasak untuknya, dia tidak ingin mengganggu. "Waktu kecil aku sering ke rumah tempat Bapak kerja. Selalu ganggu Nenek Nyonya yang sedang memasak. Beliau tidak mencegah sampai akhirnya aku benar-benar bisa membantu." Cokelat di mangkuk mulai meleleh. "Waktu semua orang bilang masakan pertamaku, yang benar-benar kusiapkan dari awal sampai akhir, enak...." Ela tersenyum atas kenangan manis yang ada di kepalanya. "Aku suka ekspresi mereka."

"Pernah terpikir membuka usaha sendiri?" Atas pertanyaan itu gerakan Ela terhenti.

"Bapak ingin aku fokus ke pekerjaanku sekarang." Ceria yang sebelumnya hadir kini berganti kepura-puraan.

"Ela...."

"Please, jangan lanjutkan," pinta wanita itu seperti tahu apa yang akan Aidan katakan.

Mulut Aidan masih ingin melanjutkan, mengatakan bahwa mengucapkan mimpi dan cita-cita bukanlah sebuah larangan. Namun, ponselnya bergetar. Ingin dia abaikan, nomor telepon panti jompo yang muncul di layar.

"Dokter Aidan!" seru panik Mera, perawat yang bertugas di panti jompo, sebelum Aidan sempat memberi salam. Adrenalin menyerbu aliran darah, jantungnya mulai berdebar, ketika mendengar kalimat berikutnya. Aidan berdiri tergesa, menimbulkan derit keras dari kursinya.

"Sekarang bagaimana?" Dia memandang Ela yang menghentikan kegiatan dan mematikan kompor, seperti merasakan ada yang tidak beres."Ada supir yang bisa mengantar ke UGD? Bawa ke UGD. Aswin Hospital." Langkah lebar mengantarkannya tepat di hadapan Ela. Dengkus tak teratur masih terdengar dari pelantang suara di ponselnya. "Mera," Aidan berujar lembut, "Tarik napas. Jangan panik." Dokter itu menunggu sejenak, memastikan panik mereda di ujung sambungan. "Aku akan menyusul ke sana." Dia mematikan sambungan begitu mendapatkan jawaban.

"Ada apa?" Terbetik khawatir di sepasang mata hitam.

"Aku pinjam kunci mobilmu," Aidan berusaha menyampaikan berita dengan perlahan.

"Ada di sana." Ela menunjuk tempat menggantunh kunci di dekat pintu masuk. Aidan menarik tangan wanita itu, berjalan menuju pintu. "Ada apa?" tanyanya lagi setelah Aidan mendapatkan kunci mobil dan mereka keluar unit apartemen. Aidan masih belum menjawab, wanita itu masih mengikuti. "Aidan!" Suara Ela bergetar saat mereka menyusuri lorong.

Tubuh wanita itu seketika membeku, rona hilang dari wajah, pucat, ketika Aidan menyampaikan berita.

"Pak Purnomo Pingsan."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top