Lapis 16 (2)
"Kamu pakai rok," ujar Aidan ketika Ela duduk di sampingnya sambil memakai kaos kaki karet yang baru diberikan petugas area permainan pada mereka satu menit lalu.
"Kamu baru sadar?" Wanita itu tersenyum simpul memperhatikan wajah dokter yang kali ini terlihat bingung.
"Tidak apa-apa, kita bermain di sini?" Lelaki itu menunjuk hamparan luas yang tertutup oleh trampolin dengan pembatas jaring di salah satu sudut pusat perbelanjaan yang mereka kunjungi. Tempat itu belum terlalu ramai, beberapa anak hingga remaja sedang memantulkan diri di atas permukaan lentur sambil menderaikan tawa.
Wanita itu tidak menjawab, tetapi memilih tertawa lalu beranjak ke area permainan. Mengerling, menantang Aidan untuk mengikutinya. Kekhawatiran Aidan perlahan surut, dia mengikuti langkah ringan wanita yang rambut bergelombang, berayun. Tersenyum mengikuti lengkung bibir penuh yang menjadi candu baru bagi Aidan.
Logika pria itu memperingatkan. Wanita pemikat seperti Ela tidak seharusnya dikejar. Namun, dengan hangat menyusup dalam dada pria itu ketika wajah tanpa beban dan penuh senyum dengan rambut yang bergerak seiring lompatan jauh lebih menarik dari tungkai yang mengintip bersamaan ayunan ujung gaun, Aidan tahu, dia akan menyisihkan logikanya untuk sesaat.
Meskipun pesona fisik Ela tidak dia tampik, tapi bukan itu yang Aidan kejar. Dokter itu telah tertarik pada anak pasiennya ketika Purnomo bercerita singkat tentang putri penurut, yang cerdas tapi memiliki banyak kekhawatiran. Seorang anak yang susah ditebak apa keinginan sebenarnya, karena takut menyinggung ayahnya. Seseorang yang membuat Aidan penasaran, dan ingin membuatnya membuka tiap lapis yang digunakan. Untuk menemukan siapa dirinya yang sebenarnya.
Wajah itu merona, senyum tak lepas, bahkan terkadang lebih curam ketika melihat polah para anak dan remaja yang sedang berlompatan di atas trampolin. Keringat mulai terbentuk di dahi ketika mereka berdua memutuskan beranjak dari area permainan dan beristirahat di deretan bangku yang biasa digunakan para orang tua yang menunggu.
"Kamu sering main ke sini?" tanya Ela ketika Aidan duduk di sampingnya.
"Ini yang pertama. Belum ada teman yang bisa kuajak ke sini tanpa merasa kekanak-kanakan."
Eleanor tertawa. "Jadi menurutmu, aku bisa?" Wanita itu menerima botol air mineral setelah Aidan membuka segel. Dia tidak menjawab, tidak ingin mengatakan bahwa menurut Purnomo, anaknya kehilangan masa kanak-kanak. Sehingga sekarang Aidan ingin menghadirkan semua itu untuk Ela.
Aidan hanya melihat ketika Ela meminum air yang dia berikan. Ketika wanita itu meneguk, pupil di balik kacamatanya mengikuti aliran keringat yang mengalir dari rahang hingga leher. Untuk sesaat muncul keinginan primitif dalam darah Aidan, keinginan untuk menenggelam wajahnya di dalam ceruk leher jenjang itu. Namun, ketika matanya menangkap semburat merah yang mengintip dari ulasan kosmetika, rasa marah balik menguasai. Lelaki itu membuang muka, meremas botol air mineral hingga kehilangan bentuk aslinya.
"Setelah ini kita ke mana?" tanya wanita di sampingnya lugu.
Eleanor bukan wanita lugu. Logika Aidan kembali mengingatkan.
"Aku ingin bertanya sesuatu," dokter itu berkata setelah berhasil menguasai emosinya, mengabaikan pertanyaan dari si wanita. Alis Ela berkerut, merasakan perubahan suasana. Dari ekor matanya, Aidan tahu wanita itu memandangnya heran. "Kurasa cukup jelas, aku tertarik padamu." Si lelaki memutar tubuhnya sehingga dapat berhadapan secara langsung dengan lawan bicara.
"Kita sudah membicarakannya di pesta Adhyaksa," Ela berbicara serius, tetapi mau tidak mau, Aidan teringat kembali dengan ciuman mereka di salah satu sudut gelap itu. Juga kejadian setelahnya yang membuatnya perlu bicara.
"Iya, aku ingin melanjutkan perkenalan ini menuju sesuatu yang lebih serius." Aidan memberi jeda, tetapi sebelum bibir wanita itu bisa mengucapkan apa pun, dia kembali melanjutkan, "Aku ingin memastikan, bahwa aku tidak mengganggu milik orang lain."
Kali ini Aidan menunggu. Wanita itu mengamati botol minum yang ada di tangannya, seolah bisa memberi jawaban. "Aku bukan milik siapa pun, kecuali diriku sendiri." Wanita yang empat tahun lebih tua darinya itu kemudian tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri. "Andaikan itu adalah kenyataan." Mata hitam terangkat, dan menatap Aidan tepat di matanya. Sendu. " Aku masih milik ayahku." Pundaknya terangkat, sembari menarik napas panjang, seperti menahan beban. "Dan aku tidak ingin dimiliki orang lain lagi setelah itu."
Jawaban yang tidak Aidan duga, hingga membuatnya kehilangan kata untuk sesaat. Dia harus berhati-hati, tidak ingin membuat Ela menjauh setelah apa yang dikatakannya. "Aku peduli padamu, dan aku tidak pernah ingin menaklukkanmu. Aku ingin mengenalmu, sangat mengenalmu. Sampai aku tahu, apa yang orang lain tidak pernah tahu."
Ela memandangnya lama, sambil tersenyum. Sebuah senyum hangat yang membuat Aidan merasa sebagai sesuatu yang berharga.
"Kapan terakhir kali menjalin hubungan serius?" wanita itu bertanya tiba-tiba. "Karena pria sepertimu seharusnya tidak terlalu susah mendapatkan pasangan, dan mempertahankannya."
"Waktu aku internship di Palopo." Kali ini Aidan yang tertawa kecil, menertawakan nasibnya.
"Palopo?" Nada tanya wanita itu sama seperti nada bertanya mantan kekasih Aidan ketika dia memberi tahu di mana akan mengabdi selama setahun.
"Salah satu kota di Sulawesi Selatan," jelasnya singkat, dulu dia membuka aplikasi peta untuk menunjukkan letak kota itu. Memberi penjelasan bahwa ada bandara di kota yang namanya masih begitu asing di sebagian besar orang Indonesia. Menjelaskan, bahwa jarak bukan masalah untuk hubungan mereka. Namun, sia-sia. "Dia menyerah dengan jarak." Aidan berusaha menyederhanakan masalah.
"Aku tidak tahu harus prihatin untukmu atau untuknya. You are a keeper."
Mau tidak mau, Aidan tersenyum atas pujian Ela. "Kamu belum menjawab pertanyaanku. Apa akan ada seseorang yang berkeberatan jika kita melanjutkan hubungan ini?" Dia menginginkan jawaban. Ela tersenyum sendu sesaat, tangan kirinya menyusuri gelang emas di pergelangan kanan.
"Banyak, fans-ku di kantor dan fans-mu di puskesmas," ledek wanita itu.
"Ela?" Aidan tidak ingin bercanda, tapi senyum tidak tercegah.
"Hubunganku berakhir tiga minggu lalu." Ela mengalihkan pandangan, kembali mengamati anak-anak yang berlompatan. "Dia kembali ke Jerman. Aku menyerah dengan jarak. And he is a keeper," jelasnya meski enggan.
"Aku tidak prihatin untuknya dan aku berterimakasih untukmu," balas Aidan dengan kalimat Ela sendiri, dia tidak ingin berbasa-basi.
"Agresif?"
"Persisten," lelaki itu mengoreksi.
"Satu angka untuk itu." Kerling mata hitam menghangatkan hati.
Ada satu hal yang masih mengganjal, tentang Pria Jeep. Namun, persetan. Ela bahkan tidak menyebutnya sama sekali.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top