Lapis 15 (2)
"Kesehatan Pak Pur sepertinya tidak terlalu baik...."
"Akan kutanyakan ke Dokter Aidan kalau kami bertemu," potong Eleanor, tangan wanita itu terlipat di depan dada, wajahnya masih semurung tadi pagi ketika Damien memutuskan akan mengantar.
"Aidan?" tanya Damien pada dirinya sendiri, sebelum mengingat lelaki berkacamata yang Eleanor temui di pesta pertengahan minggu. "Dia hanya dokter umum. Apa kamu sendiri tidak berniat mengajak Pak Pur ke spesialis?" Tangan Damien yang meraih kenop pintu mobilnya terhenti. Dari obrolan singkat mereka tadi, Damien tahu, Purnomo tidak terlalu suka jika membicarakan tentang kesehatannya, bahkan terkesan menghindar.
"Menurutmu aku tidak mencoba? Kurasa bujukanmu atau Pak Haryanto lebih Bapak dengar daripada aku," timpal Eleanor sinis, menghindari tatapan Damien, memilih melihat mobil kodok hijau yang terpakir di sisi lain halaman.
Damien berdecak, menarik kembali tangannya lalu mulai melangkah menjauh dari mobil, sebelum Eleanor mencekal lengannya. "Kamu mau ke mana?"
"Kembali ke Bapakmu dan membawanya ke dokter spesialis."
"Tidak!" Eleanor berkata tegas. Rahang Damien tegang, dia tidak ingin membuka mulut karena sepertinya apa pun yang dikatakan akan dianggap salah.
Lelaki itu menyandarkan tubuh di mobil, merasa tiba-tiba lelah dengan sikap Eleanor. Sedari tadi dia bertahan, mengikuti apa pun yang Eleanor lakukan, sembari mencari waktu yang tepat untuk membicarakan apa yang terjadi semalam.
"Yang terjadi semalam...."
"Kalau kamu...." potong Eleanor lagi, nadanya meninggi.
"Bisa aku menyelesaikan apa yang ingin kukatakan?" Damien berusaha berkata selembut mungkin. Sepuluh tahun lalu, dia tahu dia membuat kesalahan, dia tidak ingin mengulanginya lagi. "Aku yakin, semalam kita melakukannya tanpa pengaman." Eleanor terlihat jengah, membuang pandangan, ketika lelaki itu mulai bicara. "Jika karena itu, kamu mengandung anakku, aku akan bertanggungjawab."
"Jika kamu lupa, beberapa hari lalu kamu bilang kamu tidak ingin punya anak." Mata hitam Eleanor kembali menatapnya tajam, tidak mempercayai lawan bicara.
"Aku memang tidak merencanakan untuk memiliki anak. Tapi bukan berarti aku akan membiarkan darah dagingku tumbuh tanpa ayah. Aku tahu betul bagaimana rasanya, Eleanor." Meskipun ingin menggeram, Damien menahan diri. Alih-alih dia menggenggam telapak tangannya erat. "Tumbuh tanpa kedua orang tua."
"Aku yang akan bertanggungjawab. Semalam, akulah yang sadar sepenuhnya. Kamu bahkan tidak bisa mengingat apa yang terjadi, kan?" Kalimat yang terasa bagai cemooh di telinga Damien.
***
Ela menatap Damien yang hanya terdiam. Wanita itu tahu, bahwa kalimatnya menyinggung lawan bicara. Namun, dia tidak ingin menariknya. Pria itu memujanya semalam, dan semuanya lenyap ketika kembali bertemu pagi ini. Menyisakan rasa bersalah dan beban. Ela tidak pernah ingin menjadi beban bagi Damien.
"Sampai jumpa hari Senin," wanita itu mengucapkan perpisahan, berharap kembali ke tempat nyamannya. Berharap, bahwa waktu yang dia habiskan dengan Damien semalam seperti waktu-waktu lain yang dia habiskan bersama pria-pria lain. Bersenang-senang tanpa beban.
Badannya telah sempurna berbalik dan sebuah langkah, ketika sosok yang sedari tadi memasang poker face itu kembali berujar, "Apa janji setiaku sangat penting untukmu, Eleanor? Jauh lebih penting dari pernyataan tanggung jawabku?"
Si wanita berusaha tetap menahan kepala tegak, tidak ingin berbalik, dan mungkin melihat mata dua warna itu sendu bersama kalimat tanya lembut yang berhasil mencekiknya.
"Kalau begitu, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."
Ela segera berbalik, panik menguar, apakah Damien akan menyerah?
Tapi terlambat, pria itu telah membuka pintu mobil, sama sekali tidak melihat ke arahnya. Debam pintu membekukan langkah Ela. Deru mesin yang menjauh menyisakan perih di dada.
Mengapa? Bukankah semalam dia telah menyadari perasaannya? Mengapa masih ada sakit ketika dia juga menyakiti Damien?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top