Lapis 14 (bag. 1)
—-
Cahaya pagi jatuh di wajah Damie melalui jendela ruangannya yang terbuka. Lelaki itu perlahan membuka mata, menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Pengar menjalar di kepalanya, tenggorokannya kering hingga sakit. Perlahan bangkit, dia melihat sekitar. Semalam dia tidur di sofa ruangannya, itu yang pertama kali dia sadari. Bukan sesuatu yang baru karena dia sering memilih tidur di kantor ketika pekerjaannya baru selesai dini hari dan terlalu mengantuk untuk menyetir kembali ke rumah.
Ada sesuatu yang mengganjal. Damien merasa dia seharusnya melakukan sesuatu sekarang. Saksofon, botol whisky, dan sebuah gelas di meja rapat memberinya alasan mengapa dia linglung. Otaknya yang baru bangkit dari alkohol tumpul.
Rasa kering di mulut memaksanya bangkit dari tempat tidur yang nyaman. Dia menyeret kakinya, menuju dispenser air minum di satu sisi ruangan. Tenggorokannya yang mengerut protes ketika dia terburu-buru melewatkan air. Pikiran Damien masih juga tidak tenang. Mata kembali menyapu ruangan, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Berkas presentasi di mejanya mengingatkan Damien bahwa Eleanor masuk ke ruangannya. Namun, apa yang mereka bicarakan dan bagaimana wanita itu pergi, otaknya terlalu tumpul untuk menggali.
Tangannya refleks terangkat untuk menggaruk rasa gatal berpadu nyeri di pundak kiri. Bekas merah yang serupa bekas gigitan, membuatnya makin bertanya, dari mana dia mendapatkannya?
Bayangan aroma mawar yang tersimpan di rambut, juga kulit lembut, yang hangat dan basah, mulai tergambar di kepalanya. Eleanor yang mencium dan menggigit pundak kiri ketika tangan Damien memuja lekuk tubuh wanita itu, membuatnya panik, rasa dingin mulai menjalar seluruh tubuhnya. Mata dua warna itu menyapu seluruh ruangan, mencari bukti, bahwa apa yang di kepalanya adalah nyata, bukan mimpi.
Saat dia melihat hiasan rambut kristal warna hijau tergeletak di lantai, milik Eleanor, hal terakhir yang dipikirkan Damien hanyalah menyambar kunci mobil dan berlari. Semua panik yang mengisi tubuh membuatnya bergerak. Mengabaikan kenyataan bahwa dia tidak memakai alas kaki ataupun baju.
Dia tidak ingin kehilangan Eleanor lagi.
Seperti sepuluh tahun lalu.
***
Sepuluh Tahun Lalu
Tubuh Damien membeku, meski dia bergelung dan mendapatkan hangat dari selimut ditambah panas yang menguar dari tubuh telanjang di sampingnya. Harum mawar yang berpadu dengan aroma khas rambut yang sangat ia kenal mengganggu kewarasannya, menambah aliran darah ke tengah tubuh. Denyut jantungnya sangat keras hingga membuat dadanya sakit.
Ini bukan pertama kali dia membuka mata di pagi hari dan menemukan wanita tanpa busana di sampingnya. Dia sudah sering melakukannya, bangun dengan perasaan kosong meskipun beberapa jam sebelumnya dia begitu hidup bergulat dengan teman tidurnya. Kosong, karena ketika dia membuka mata, wanita telanjang di sampingnya bukan seseorang yang dia pikirkan.
Namun kini, ketika sosok yang selalu dia pikirkan ketika sedang menghabiskan waktu dengan wanita lain muncul secara nyata ada di sampingnya, bukan bahagia yang dia dapat. Perasaan bersalah menyerbu, mulai menggerogoti.
Damien beringsut menjauh, bersama nyeri yang makin nyata di dada dan mulai mencekiknya. Tidak ingin semakin mengotori sosok yang selalu murni baginya. Namun, kaki tidak mampu melangkah sehingga hanya duduk di tepi ranjang.
"Kalau kamu menyentuh, mempermainkan, dan sampai menyakiti dia, kamu menyakiti semua orang. Dan percayalah padaku, di antara semua gadis yang kamu tahu, kamu tidak akan pernah ingin menyakitinya."
Kepalanya nyeri, pengar. Jarinya menelusuri rambut, menjambak diri sendiri. Selama ini dia selalu berhasil mengendalikan diri ketika berada di dekat Eleanor. Dia mengutuk kebodohannya karena kehilangan kendali.
Setelah Eleanor meminta sebuah janji ketika Damien hendak mengambil ciuman kedua mereka, lelaki itu tidak pernah bersikap lebih jauh. Dia menghargai pilihan gadisnya. Dia tidak pernah ingin menyentuh seorang gadis yang menurutnya terlalu baik untuk dirinya. Tidak peduli betapa dia ingin melakukannya, dia bertahan, dan menyalurkan dengan gadis lain yang menawarkan diri.
Tapi sekarang? Hanya karena alkohol yang dia minum tanpa kendali....
Dia tidak bisa mengingat bagaimana mereka bisa berakhir tanpa pakaian.
"Eleanor," panggil Damien pelan, tidak yakin apakah gadis itu sudah terbangun, tapi dia mendengar ada pergerakan di belakang punggungnya. Namun, dia tidak punya keberanian untuk melihat. Karena Damien tahu, jika dia melihat tubuh gadis itu lagi, dia akan kehilangan kendali diri.
"Maaf." Meski dia tidak yakin apa yang mereka lakukan semalam, dia tetap melakukannya. "Maaf, ini tidak seharusnya terjadi." Damien memaku tatapan ke jendela kamar yang memamerkan langit kelabu. Meminta maaf, bagi Damien, jauh lebih logis daripada menanyakan pada Eleanor apa yang terjadi semalam.
"Sebaiknya kamu segera kembali. Pakai lagi bajumu." Damien meminta dengan lembut, dia tidak pernah ingin menyakiti Eleanor.
Gadis itu tidak mengatakan apa pun. Namun, dari gerakan yang Damien dengar, dia tahu Eleanor sedang berpakaian. Lelaki itu menutup matanya rapat, tidak ingin tergoda untuk berbalik dan melihat. Ketika akhirnya pintu masuk unit apartemennya terbuka dan tertutup, Damien menjatuhkan diri di kasur. Berusaha mengatur napas, tapi perasaan lega tidak juga datang. Dia tetap merasa bersalah.
Damien tidak tahu berapa lama dia menatap langit-langit kamarnya. Namun, dia memutuskan untuk bangun. Saat aroma mawar yang samar masih tercium dari sarung bantal, dia memutuskan untuk menggantinya. Tidak ingin aroma itu menjadikannya pesakitan yang meminta candu. Candu untuk membawa gadisnya lagi dan menghirup langsung dari kulitnya.
Gerakan mekanik Damien yang bagai robot menjalankan program pembersih rumah terhenti. Noda merah kecokelatan di tengah kasur membuatnya bergidik, bersama kesadaran apa yang sebenarnya telah terjadi.
Kaki bergerak sendiri tanpa diperintah, berlari, keluar dari unit apartemen dengan segera. Ketika angka di atas lift menunjukkan tabung itu berada di lobi, Damien hanya melewatinya, mendorong pintu tangga darurat hingga berdebam. Melewati tiga anak tangga sekaligus, lelaki itu berlari sebanyak lima lantai, tempat unit apartemen Eleanor berada.
Tubuhnya yang hanya tertutupi celana baru terhenti ketika menabrak pintu apartemen.
"Eleanor!" Panggilan panik disertai gedoran, sementara tangannya yang lain berusa memutar knop. Damien memanggil berulang, hingga berisik menggundang tetangga untuk keluar.
"Dia baru saja keluar!" Teriak seorang wanita tua dari pintu sebelah, melawan bising yang Damien ciptakan.
Kaki lelaki itu kembali bergerak, lagi-lagi melewati lift yang menurutnya terlalu lambat. Bergerak secepat yang kakinya mampu menuruni tangga. Ketika kakinya tidak menapak sempurna dan membuatnya jatuh tergulung beberapa anak tangga, dia tidak merasakan sakit. Ada yang akan lebih sakit jika dia tidak segera menemukan gadisnya.
Butiran hujan yang menghujam di kulit punggung dan dadanya tidak dia sadari. Dia tetap berlari, dengan bertelanjang kaki di paving block kasar jalanan. Matanya tetap mencari, berharap menemukan sosok yang dia cari diantara pemandangan kabur hujan. Sampai dia sadari, yang sedang dia lakukan adalah kebodohan ketika paru-parunya seperti ingin meledak karena terus berlari, dan keringat, juga air mata telah bergabung dengan air hujan.
Damien tidak menemukan Eleanor hari itu, juga keesokkan harinya. Pada hari keempat, dia hendak melapor ke polisi karena gadis itu juga belum menampakkan diri. Dia dibuat terkejut ketika melihat Eleanor sedang tersenyum di pelukan pria lain.
Wanita itu melihat ke arahnya dengan senyum culas dan menggoda yang belum Damien lihat sebelumnya, lalu kembali mencium pria yang sedang melingkarkan tangan di pinggang. Saat itu Damien tahu, dia telah kehilangan gadis lugunya.
***
KINI
Bising suara pengering rambut memenuhi kamar mandi. Tangan Ela bergerak untuk mengeringkan rambut, tapi matanya tidak lepas dari pantulan dirinya di cermin. Pandangannya terkunci di bawah tulang selangka yang baru beberapa menit lalu dia oles dengan concealer berdaya tutup tinggi untuk menyamarkan bekas yang Damien tinggalkan semalam.
Denting suara mesin kunci pintu digital di unit apartemen membuatnya mematikan mesin pengering rambut dan bersegera keluar. Belum sempat dia bertanya pada diri sendiri apa yang terjadi, sosok yang baru saja dipikirkan muncul bersama pintu yang terbuka dengan kasar. Mata dua warna itu nyalang, memaku kaki Ela di tempat. Lelaki tanpa baju atasan itu bergerak cepat ke arahnya, seperti ingin menerjang, atau memeluk. Namun, tersisa empat langkah, Damien berhenti.
Semua panik yang tadi muncul di matanya berangsur menghilang bersamaan embusan napas yang masih kasar. Tangan kanan menyeka keringat di wajah yang sebelumnya diabaikan. Dadanya masih naik turun ketika Damien meletakkan telapak tangannya di pinggiran meja yang berada di dekat pintu masuk, menyandarkan tubuhnya sejenak.
"Damien?" hanya itu yang mampu Ela katakan. Lelaki hanya mengenakan celana yang sama dengan semalam. Tidak ada kemeja ataupun kaos untuk menutupi tubuh kerasnya. Kakinya yang telanjang terlihat hitam, dan ada semburat merah samar yang membuat Ela khawatir. "Apa...."
"Kamu tidak pergi," ujar Damien sambil kembali menegakkan tubuhnya meski masih terengah.
"Tidak pergi?" Ela menatap pria di depannya bingung. "Sebentar lagi aku akan pergi." Itu alasan dia mengeringkan rambut dan menutup kiss mark yang Damien berikan.
"Bukan itu," Damien menarik napasnya.
Jika melihat keringat yang membasahi tubuh atletis pria itu ditambah napas yang masih juga berkejaran, orang-orang akan berpikir bahwa dia naik menggunakan tangga darurat untuk mencapai unit apartemen Ela yang berada di lantai lima belas.
"Kamu lewat tangga darurat?" Panik Ela berlipat ganda.
"Kupikir kamu pergi dan menghilang, seperti sepuluh tahun lalu," ujar Damien mengabaikan pertanyaan Ela.
"Sepuluh...," Ela tidak meneruskan ucapannya, mulai mengerti arah pembicaraan tamunya. Sepuluh tahun dia memang pergi dan menghilang, mematikan ponsel. Ketika dia kembali menyalakan ponselnya di hari keempat, rentatan pesan dari Damien langsung ia hapus tanpa keinginan untuk dibuka. Tidak ingin lebih sakit jika isinya hanya penolakan dan penyangkalan dari lelaki yang mengambil keluguannya.
Damien kembali bergerak, tergesa, dua langkah dengan tangan kiri terangkat. Namun lagi-lagi berhenti mendadak. Seperti sedang melawan dirinya sendiri dari keinginan menyentuh Ela.
"Maaf." Seharusnya permintaan maaf akan melegakan untuk penerimanya, tapi jika itu dari Damien, Ela tidak bisa menerimanya.
""Kalau kamu ingin mengatakan yang semalam seharusnya tidak terjadi, silakan keluar!" Ela mengeratkan genggaman, mengendalikan diri dari berteriak. "Aku melakukannya dengan kesadaran pen...."
"Bukan itu," potong Damien lirih, rahang pria itu rapat.
Ela ingin kembali bicara karena pria di hadapannya tidak juga menjelaskan lebih jauh. Tapi wanita itu menghentikan lidahnya sebelum kata pertama keluar saat Damien melangkah dengan gelengan kepala seperti seseorang yang membebaskan diri dari kekangan.
Panas tubuh pria itu melingkupi tubuh Ela secara perlahan seiring lengan kekar melingkar di pundaknya. Telapak tangan yang semalam memuja tubuhnya kini menangkup kepalanya dengan kelembutan luar biasa, membuat Ela merasa dirinya adalah benda berharga yang disentuh hati-hati karena Damien takut akan merusaknya. Bibir Damien mendarat di sisi kepala Ela, tapi yang Ela rasakan sangat berbeda dari ciuman menggoda yang semalam Damien daratkan.
"Maaf," suara lelaki itu serak, "jangan pergi, jangan menghilang lagi."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top