Lapis 13 (bag. 2)

  Although sex with minimal emotion can offer a pleasurable distraction and a welcome release of tension—while keeping the participants shielded from vulnerabilities—such experiences are limited in the amount of satisfaction they can bring.

-Jack Morin-

--

Kaki Ela berada di samping sepatu hak tingginya, tapi masih belum juga dipakai meski dia telah duduk di posisi itu lebih dari tiga menit. Pakaian telah kembali dikenakan. Pandangannya tidak lepas dari bahu Damien yang naik turun secara teratur. Tinta yang tersemat di belikat kanan lelaki itu menyesakkan dada Ela.

'Light', kata yang diukir di kulit Damien ketika mereka merayakan ulang tahun keduapuluh. Damien tidak mengatakan apa pun tentang tatonya. Namun, hati gadis lugu dua belas tahun lalu itu berkembang. Karena Eleanor juga berarti cahaya, light.

Namun, Eleanor bukan lagi gadis lugu. Damien yang memaksanya berubah. Karena pada akhirnya, perempuan lugulah yang akan terluka sendiri karena kenaifannya. Dulu, Damien memintanya untuk tinggal, dan yang terjadi kemudian terlalu menyesakkan. Sekarang, Ela tidak akan membiarkannya terulang.

Kaki jenjang itu memakai sepatu, melangkah meninggalkan Damien.

Apakah dia berubah? Apakah gadis lugu itu masih ada? Ela sendiri tidak yakin. Dia ingin selalu mencintai pria yang kini tengah nyenyak.

Ingin....

Sebuah kesadaran menyentak, seluruh tubuhnya waspada, pikirannya terbuka. Ela berhenti melangkah, memandang punggung yang teratur naik-turun.

"Light."

Hatinya kembali sakit, kali ini untuk alasan yang berbeda. Ela telah menemukan jawabannya.

***

Sepuluh tahun lalu

Ela membuka matanya, butuh beberapa detik untuk memproses keberadaan dirinya. Sprei warna biru yang bukan miliknya, juga tubuhnya yang tanpa pakaian dan hanya tertutup selimut flanel hingga pundaknya. Gadis itu mencoba bangun. Namun, nyeri di antara kaki yang menusuk hingga perut bawahnya membuatnya menyeringit dan kembali jatuh ke bantal.

Ela mulai menggerakkan kakinya untuk kembali meringkuk, tapi sebuah suara menghentikan apa yang hendak dia lakukan.

"Eleanor," panggilan lembut itu terdengar lebih berat dari biasa. Saat itu, Ela sadar di mana dia berada dan seluruh kejadian semalam. Tangannya refleks memegang selimutnya di depan dada. Meskipun, tadi malam dia menanggalkan pakaiannya dengan sukarela.

Sekarang dia kikuk, tidak tahu harus berbuat apa.

"Maaf," suara Damien serak, membuat Ela panik dan langsung duduk melawan nyeri. Pria itu duduk di tepi ranjang, sudah mengenakan celana. Namun, dari punggungnya yang telanjang, Ela melihat sisa perbuatannya semalam. Beberapa garis merah melintang di bawah belikat, di bawah ukiran tattoo. Wajah gadis itu memanas.

"Maaf, ini tidak seharusnya terjadi." Damien sama sekali tidak melihat ke arahnya. Kepalanya tetap tegak memandang jendela yang memamerkan langit pagi yang kelabu.

Pikiran Ela buntu, terlalu terkejut dan bingung. Apa Damien tidak menyukai apa yang mereka lakukan semalam? Semua pikiran buruk mulai memasuki kepala Ela. Tangannya makin rapat menutupi tubuh, matanya mulai memanas. Sebelum isak terbentuk, kalimat Damien menghancurkannya.

"Sebaiknya kamu segera kembali. Pakai lagi bajumu," lelaki itu mengatakannya dengan lembut, Damien tidak pernah kasar padanya. Tapi, sakit yang Ela rasakan lebih menusuk. Sehingga gadis itu mulai bergerak, tidak ingin lebih sakit lagi.

Satu persatu pakaian kembali dia kenakan, dalam diam, menahan nyeri sekaligus air mata. Damien tetap duduk di sana, tidak bergerak bahkan satu inci. Pagi ini, tidak ada mata tajam tetapi selalu lembut yang menatapnya. Tidak ada lagi mata yang menatapnya penuh puja, seperti semalam. Ketika Ela merasa menjadi gadis yang paling dicinta.

Langkah Ela bokoh ketika berjalan ke pintu. Untuk terakhir kalinya gadis itu menoleh, berharap Damien akan berdiri dan melihatnya. Dia menyerahkan segalanya semalam. Bukan ini yang Ela harapkan.

Nyeri di seluruh tubuhnya tidak lagi dia rasakan. Sakit di hati membuatnya kebas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top