Lapis 12 (Bag. 3)
Haruskah aku centang mature content?
Minta pendapatnya setelah selesai baca part ini ya....
***
sepuluh tahun lalu.
"Hi sexy, join us?" Sebuah tangan meraih pinggang Ela, tapi belum sempat dia tahu siapa pemiliknya, Damien telah muncul dengan geraman berbahaya, mencekik leher pria tidak tahu sopan santun yang telah menyentuhnya.
"Don't you dare." Cengkeraman tangan Damien semakin rapat, beberapa teman si pria mulai mendekat.
"Damien, sudah! Kita pulang!" perintah Ela sambil menarik lengan Damien. Lelaki itu menurut, lalu melempar calon mangsanya ke lantai. Sebelum gerombolan itu bertindak, Ela langsung menarik Damien, melewati tubuh-tubuh yang sedang menari di bawah lampu yang selalu berkedip, keluar dari diskotik.
"Kamu seharusnya membiarkanku."
"Iya, seharusnya aku membiarkanmu, termasuk jika kamu dibawa ke kantor polisi karena membuat keributan," balas Ela kesal, "Lain kali, jangan meneleponku ketika kamu mabuk. Pulang sendiri dengan taksi. Apa kamu tidak tahu, aku baru tidur satu jam? Aku berharap bisa tidur awal untuk pertama kalinya minggu ini!" Tangan Ela mulai menepuk tubuh Damien dari luar jaketnya.
"Memang apa yang membuatmu begadang?" Damien menyandarkan tubuhnya di tembok, tadi ketika berjalan pria itu sudah terlihat limbung.
"Aku bukan jenius sepertimu yang hanya membutuhkan waktu beberapa jam untuk mengerjakan paper ekonomi mikro." Tangan Ela memeriksa saku jaket kulit Damien.
"Mengapa tidak minta bantuanku? Aku dengan senang hati akan membantu," ujar si lelaki sambil mengerling, kerlingan yang akan membuat para wanita meleleh di kakinya. Namun, Ela akan selalu cemberut ketika Damien melakukannya. Tangan wanita itu masih mencari di saku jaket Damien. "Apa yang kamu cari?" putra Sastranegara itu melihat dengan penasaran sekaligus pasrah dengan kelakukan Ela.
"Kunci mobil," jawab Ela, kebiasaan pria itu selalu menyimpan kunci mobil di saku jaket.
"Di sini!" Damien mengambil tangan Ela dan meletakkannya di saku depan celana jinnya.
Gadis itu mematung, kaget, menyadari bahwa tangannya terlalu dekat dengan pangkal paha pria. Dengan takut dia mengangkat wajah, matanya mencari wajah Damien yang sedang tersenyum usil. Ela merasakan rahangnya memanas, merambat ke atas hingga ubun-ubun.
"Kamu selalu manis jika sedang merona, Eleanor." Damien mendekat wajah mereka, membuat Ela panik dan mendorong tubuh limbung itu menjauh. Berbalik dan segera berjalan ke arah parkiran, menghindari ejekan pria itu. "Hai, jangan cemberut." Pria itu berlari kecil, mengejar Ela dan langsung merangkul pundak Ela.
"Menyebalkan!" Ela kembali mendorong, kali ini tidak ada tembok yang menahan tubuh Damien. Pria itu nyaris terjengkang jika Ela tidak segera menangkap Damien dengan melingkarkan kedua tangan di tubuhnya. Hidung Ela diserbu aroma pria itu, meskipun telah bercampur dengan alkohol dan asap rokok, Ela masih bisa menghidu musk hangat yang menguar lembut. Jantungnya kembali salah tingkah, tapi dia suka kedekatan ini.
"Sepertinya kamu sangat menyukaiku, karena meskipun kamu bilang aku menyebalkan, kamu tetap memelukku," ujar Damien diiringi tawa kecil. Tawa itu hilang, ketika tangan Ela mulai menyapu tubuh kerasnya lalu berhenti tepat di paha depan. "Eleanor," bisik Damien menegakkan kuduk Ela.
"F*ck off," maki Ela sambil mengambil kunci mobil dengan cepat lalu mendorong kembali tubuh Damien. Merasa menyesal karena sudah kasihan dengan pria itu, sekaligus kesal karena merasa dipermainkan.
Damien terjatuh terduduk, tertawa lebar melihat ekspresi kesal temannya. "F*ck off?" entah kepada siapa pria mabuk itu bertanya, "kamu tidak cocok memaki, Eleanor." Dia masih duduk nyaman, tidak ada tanda bahwa akan berdiri segera.
Ela menekan kunci alarm, dan lampu sebuah mobil sport yang berjarak beberapa mobil darinya berkedip. "Berapa lama kamu mau duduk di sini?" Gadis itu kembali di depan Damien dengan berkacak pinggang. "Aku sudah ingin istirahat, ayolah," kali ini Ela mulai menggunakan rengekannya untuk membujuk Damien, dan selalu berhasil. Pria itu berdiri, merangkul pundak Ela lalu berjalan ke mobil.
"Aku tidak melihat yang lain tadi," ucap Ela ketika mereka berdua sudah duduk di dalam mobil. Damien di kursi penumpang, sedangkan Ela di belakang kemudi. Setengah jam sebelumnya, pria itu menelepon Ela yang baru tertidur. Damien memintanya untuk datang menjemput karena tidak sanggup untuk menyetir pulang sendiri. Biasanya Damien akan berpesta dengan beberapa temannya, yang Ela sudah cukup kenal. Namun, tadi ketika Ela datang, Damien sedang menikmati minumannya sendirian di bar. Sebenarnya tidak benar-benar sendirian, ada dua orang gadis mengajak lelaki itu mengobrol yang langsung mendengkus tidak suka ketika Ela muncul.
"It wasn't a party." Damien menyandarkan kepalanya.
"Ada apa?" Ela yakin terjadi sesuatu. Damien hanya akan ke pub dan minum ketika sedang berpesta dengan teman-temannya, selain itu, lelaki itu selalu berusaha memiliki kesadaran penuh.
"Bukan apa-apa." Lelaki itu memilih menutup mata. Meski penasaran, Ela tidak memaksa. Damien baru akan bercerita jika sudah menginginkannya. Ela menyalakan radio, untuk menghilangkan sunyi ketika dia menyusuri jalanan Singapura jelang dini hari, ketika teman seperjalanannya memilih tidur.
Ocehan penyiar radio dengan dialek Singlish terganti oleh denting piano yang cukup familiar di telinga Ela. Dia membiarkannya, tapi ketika baris pertama dinyanyikan, tenggorokannya tercekat.
"Somewhere over the rainbow...."
Damien mulai bergerak, Ela bergegas menggapai radio, tapi tangannya ditahan oleh Damien. "Biarkan saja." Tatapan Damien kosong.
"Kamu yakin?"
Dari ekor matanya, Ela melihat Damien mengangguk. Pria itu membawa tangan mereka yang saling menggenggam di atas pahanya, sebelum kembali menutup mata.
"Aku baik-baik saja, Eleanor." Damien melepaskan tangan Ela yang melingkar di lengannya. Dari parkir mobil sampai pintu apartemen, gadis itu tidak membiarkan Damien berjalan sendiri.
"Kuambilkan minuman, kamu ke kamar," perintah Ela yang tidak menghiraukan protes Damien, tetap mengandeng tangan pria itu sampai depan pintu kamarnya sebelum melangkah ke dapur kering.
"Aku tidak haus, aku sudah cukup minum tadi." Pria itu kembali protes ketika Ela masuk kamar dengan sebotol minuman isotonik.
"Yang kamu minum tadi hanya akan membuatmu semakin haus. Minum dulu sebelum tidur, supaya hangover-mu tidak terlalu parah besok." Ela mengangsurkan botol itu tepat di depan wajah pria yang sudah duduk di pinggir tempat tidur. Setelah Damien menerimanya, gadis yang telah mengabdi pada keluarga Sastranegara itu berlutut, meraih sepatu Damien.
"Apa yang kamu lakukan?" Damien terdengar marah, langsung menarik lengan Ela agar berdiri.
"Membantumu melepas sepatu," balas Ela sabar, "supaya kamu bisa segera tidur."
"Aku bisa sendiri." Pria itu membuktikan ucapannya, melepas sepatu dan kaos kaki, melemparkannya asal, lalu meminum isotoniknya sebanyak yang dia mampu dalam satu napas.
Ela mendengkus, mengurai kesabaran. "Tidurlah, akan kubuatkan sarapan besok pagi." Tangan Ela menangkup kepala Damien, membuat lelaki itu tengadah untuk menatapnya yang masih berdiri. "Ada yang mau kamu ceritakan?" tanya Ela, karena mata dua warna menyimpan semua kisah yang selalu ingin gadis itu tahu.
"Tidak ada."
Meski kecewa, Ela tidak menampakkannya. "Mau makan apa besok?"
Damien meletakkan botolnya asal, kedua tanganya menutupi tangan Ela, sebelum tiba-tiba menjatuhkan diri di atas ranjang dan gadis itu jatuh bersamanya. Ela terkesiap ketika berada di atas tubuh Damien. Irama jantungnya berantakan.
"Damien! Itu bahaya! Bagaimana kalau kepala kita...."
"Berhentilah bersikap terlalu baik padaku, Eleanor. Kamu terlalu baik," ucapan lembut pria itu menghilangkan semua perbendaharaan kata yang Ela miliki. "Kalau kamu selalu baik, bagaimana aku bisa berhenti mencintaimu?"
Dunia serasa berhenti bagi gadis itu. Yang ada di pikirannya hanya Damien yang ternyata juga mencintainya, dan sekarang mungkin sedang terluka. Meski pun tidak tahu apa penyebabnya, Ela ingin menyembuhkannya, karena saat ini, dia pun merasakan luka dari pria di bawahnya. Napasnya tersengal, bibirnya bergetar, dia ingin menangis untuk pria itu.
"Jangan menangis, Eleanor. Aku tidak bisa melihatnya." Damien melepaskan jalinan tangan mereka. Ibu jarinya lembut menyeka bibir Ela. Sebelum ada isak yang keluar dari bibir itu, bibir Damien telah membungkamnya.
Ini adalah ciuman kedua Ela, setelah Damien mencuri yang pertama bertahun lalu ketika masih remaja. Kali ini dia tidak meminta janji setia itu. Jika kali ini, Ela diizinkan untuk menjadi pereda luka Damien, mungkin nanti, pria itu akan memberikan janjinya.
Ela hanya menurut, ketika tangan Damien masuk di antara rambutnya dan menekan kepala Ela hingga tidak ada jarak lagi antara wajah mereka. Dia hanya berharap tidak kehabisan napas ketika Damien membalik posisi mereka dan meneruskan apa yang dimulai dengan bibirnya.
Jika sebelumnya, Ela selalu membiarkan Damien untuk memenuhi hati dan jiwanya. Kali ini Ela mengizinkan Damien untuk memenuhi tubuhnya. Ketika rasa sakit yang pertama kali dia rasakan itu tak tertahankan, Ela mencengkeramkan jari-jarinya di punggung Damien. Kukunya menancap pada kulit si pria, bukan hanya untuk mengalihkan rasa sakit. Namun, juga untuk menandai prianya.
Damien membawanya ke tempat yang tidak pernah Ela tahu, bahwa tempat itu muncul bersama hentakkan yang membuat pikirannya melayang.
Saat napas mereka kembali teratur, lengan kokoh Damien melingkupi tubuhnya. Sebuah kata, dan Ela merasa menjadi gadis paling penting dalam kehidupan Damein.
"Stay."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top