Lapis 12 (Bag. 2)
minta komentar kalian untuk part ini ya... terima kasih sebelumnya..
---
"Aku hanya ingin tahu, apa hanya aku yang masih...," Damien mengambil jeda, melepaskan tangan Ela dari wajahnya, memandang apa pun di ruangan kecuali wajah Ela, "sakit karena perpisahan mereka." Gelas whisky Damien ada tepat di bawah hidungnya, lelaki itu menikmati aroma kayu dan rempah yang menguar dari cairan kecokelatan.
"Ayahku? Kamu lihat sendiri." Kali ini Damien menyesap alkoholnya sedikit, mengecapnya dengan ujung lidah dan langit-langit mulut. "Dia?" Ela tahu siapa yang disebut 'dia', Annette. "Kupikir dia akan tersiksa cukup lama karena berpisah denganku." Tawa getir Damien untuk dirinya sendiri, kembali menenggak habis minumannya. "Sepertinya hanya aku yang belum bergerak dari perpisahan itu."
Ela menjauhkan botol dari jangkauan Damien. Pria itu sudah mabuk. Ketika dalam kondisi sadar, dia tidak akan memberikan pengakuan seterbuka itu. Dia selalu membangun temboknya tinggi, menyembunyikan semua luka dengan menjadi makhluk paling tidak berperasaan.
"Mama selalu memikirkanmu, kamu tahu itu."
"Tentu saja. Tapi cara dia memikirkanku berbeda dengan caraku memikirkannya. Kupikir, dia juga akan sesakit aku." Damien meletakkan gelas, menyambar tangan Ela yang memegang botol dan mengambilnya. Tidak peduli bahwa wanita itu menatapnya marah.
"Tapi dia bahagia, Eleanor." Damien tersenyum tulus ketika mengucapkan itu, tanpa ada sedikitpun sinisme dalam ucapannya. Untuk sesaat Ela tersesat dalam ekspresi lelaki di hadapannya. Tangan Ela terjulur, menyentuh bibir Damien untuk memastikan senyuman itu bukan hanya khayalannya.
"Selama ini aku khawatir jika karena perpisahan kami, dia akan tersiksa. Ternyata dia tetap bisa bahagia. Semua ini hanya sakitku dan kekhawatiranku saja." Damien menyisihkan tangan Ela dari wajahnya, tidak ingin merasa sedang dikasihi. "Dia menemukan pria yang tepat untuknya. Jacob sepertinya masih tetap tergila-gila padanya, padahal, berapa tahun mereka sudah bersama?"
"Dua puluh tahun," jawab Ela.
"Aku ingat wajah Mama waktu itu, riasannya yang luntur, mata merah, tubuhnya bergetar ketika memelukku. Sangat sedih, terlalu terluka." Damien memutar gelasnya, es batu berdenting ketika bertemu dengan permukaan kaca. "Aku tidak mau melihatmu seperti itu, Eleanor." Lirih pria itu berkata, tapi berhasil mengagetkan Ela. Jantung wanita itu kehilangan ritmenya. Ini adalah kali pertama Damien membahas tentang perasaannya. Ela tidak bisa membalas.
"Sekarang kamu tahu mengapa aku tidak pernah bisa memberikan janji itu. Aku melihat ibuku terluka karena ayahku tidak bisa memenuhi janji setia. Aku tidak ingin melukaimu, ketika aku memberikan janji itu lalu aku tidak bisa menjaganya."
"Kamu pikir, sekarang aku baik-baik saja?" tuntut Ela, berdiri tepat di depan si laki-laki, tubuhnya di antara lutut Damien yang terbuka.
Damien tidak langsung menjawab, mata dua warna itu sendu menatap Ela."It will hurt us more," bisiknya yang langsung memercikkan kesal dan kecewa dalam diri Ela, sehingga wanita itu menyambar gelas Damien dan menenggak habis isinya.
"F*ck!" Ela memaki untuk jawaban Damien sekaligus minuman laknat yang membakar tenggorokan dan sebagian saluran napasnya
"Sstt." Ujung ibu jari kanan Damien menyentuh bibir Ela ketika tangan kirinya mengambil kembali gelas. "Makian dan alkohol tidak cocok untuk mulut wanita baik sepertimu, Eleanor."
Ela melengos, ingin membebaskan dagunya dari tangan Damien, tapi laki-laki itu tidak ingin melepaskan.
"Kamu terlalu baik, Eleanor. " Jantung Ela diperas oleh kalimat itu. Bayangan kejadian sepuluh tahun lalu mulai muncul perlahan.
"Kamu pernah mengatakan itu," kalimat sinis si wanita terdengar tidak meyakinkan, bahkan di telinganya sendiri.
"Aku mencintaimu," ucapan Damien nyaris tidak terdengar, tapi Ela yakin dari gerakan bibirnya. Bayangan masa lalu semakin jelas.
"Kamu juga mengatakan itu." Telapak tangan Ela mengepal di sisi tubuhnya.
"Lalu apa lagi yang kulakukan, Eleanor?" Mata Damien mencari sesuatu di mata keras kepala Ela. Mencari kenangan yang sepertinya tidak pernah diingat olehnya. Dan mungkin, apa yang terjadi malam ini juga tidak akan diingat oleh Damien.
Ela tidak menjawab, tapi Damien melakukan apa yang dilakukan sepuluh tahun lalu setelah mengatakan cinta. Bibir lelaki itu mencari bibir Ela, menciumnya, mengklaim apa yang ingin dimiliki. Cara lelaki itu menguasai bibir Ela menunjukkan bahwa dia tidak akan menerima penolakan apa pun, tapi juga tidak membutuhkan persetujuan. Damien mengambil sebanyak yang dia mau.
Ela tidak tahu, apakah ini karena alkohol yang baru memasuki pembuluh darahnya, atau Damien yang tidak pernah keluar dari dalam kepala dan hatinya. Dia tidak menolak, bahkan mengikuti ketika langit-langit mulutnya mencecap sensasi rempah dan kayu dari whisky yang tersisa di lidah Damien.
Ela terengah ketika Damien membebas bibirnya untuk bernapas lalu menelusuri leher. Tangannya masih kaku di samping tubuh ketika lengan Damien melingkupi, membawa tubuh mereka semakin menyatu.
"Kamu tidak pernah berubah," ujar Ela payah ketika merasakan lidah Damien bermain di salah satu sisi lehernya. Napasnya mulai memendek.
"Tidak pernah," ucap Damien dengan napas yang memburu, membakar kulit Ela yang tepat di bawah bibirnya. "Kamu sendiri," gigi-gigi Damien mulai terasa, "apa kamu berubah, Eleanor?" Sebuah gigitan dan Ela mengerang, seluruh tubuhnya menegang, jantungnya meledak, hatinya tidak lagi aman.
Ela tidak memiliki jawaban. Dia membiarkan bibir Damien menandainya seiring tangan yang menelusuri setiap celah diri. Karena dia sendiri tidak tahu, apakah masih ada gadis yang telah Damien kenal sejak lama di dalam dirinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top