Lapis 12 (Bag. 1)


****


"Mbak, maaf sebelumnya, saya ada janji malam ini, boleh...," ucap Aga ragu di penghujung rapat mereka.

"Boleh, tentu saja," potong Ela tanpa mengangkat pandangan dari layar laptop, "tapi selesaikan semua ini lebih dulu." Aga tersenyum masam, dan Risa menahan tawanya. "Kamu bisa pilih, menyelesaikannya malam ini sebelum pergi, atau mengerjakan sendiri hari Sabtu-Minggu, tapi aku tidak akan memeriksanya. Sabtu-Minggu, aku tidak akan mengurusi pekerjaan yang bisa diselesaikan di hari kerja" Akhirnya Ela menatap anak buahnya. "Damien sudah menegaskan, Senin pagi semua bahan sudah harus siap di mejanya. Kalau kamu yakin pekerjaanmu tidak butuh koreksi dariku, it's OK. Yang penting kamu siap dengan koreksi dari Damien."

"Iya, Mbak." Aga terdengar pasrah. Semua orang tahu, lebih baik bolak-balik dikoreksi para Senior daripada langsung berhadapan dengan Damien. Apakah para Senior bebas dari koreksi? Tidak juga. Di antara semua orang, Ela adalah orang yang memiliki cacatan koreksi paling sedikit.

Layar ponsel di samping Ela berkedip.

"Rapat selesai." Ela berdiri dari kursinya, meluruskan kaki setelah duduk tanpa jeda selama empat jam. Mengambil mug yang berisi kopi dingin sebelum memungut ponselnya, dia berjalan menuju dapur kering. Meninggalkan Aga dan Risa yang membereskan meja dari sisa makanan yang mereka konsumsi selama rapat.

***

Cairan hitam pekat menetes perlahan ke dalam teko kaca yang terpasang di mesin pembuat kopi. Ela menyambar tisu dapur, mengeringkan mug yang baru dia cuci. Tadi siang, sebelum memulai rapat, dia sudah menyesap kopinya. Namun, mengingat pekerjaan yang harus dia selesaikan hari ini, gelas kedua sebaiknya segera disiapkan. Hari Jumat selalu menjadi hari yang paling sibuk, karena dia tidak ingin ada pekerjaan yang tertunda di akhir pekan.

Ponselnya kembali berkedip, kali ini panggilan masuk, setelah tadi si penelepon menanyakan apakah Ela punya waktu untuk bicara.

"Ma cherie," suara lembut wanita di seberang menerbitkan senyum di bibir Ela. 'Sayangku', panggilan yang hanya dikhususkan untuk dirinya.

"Ma, apa kabar?" Sudah lama dia tidak menyapa wanita yang dia panggil dengan sebutan 'Mama'.

"Baik, tapi akan lebih baik kalau kamu mau minum kopi denganku."

"Mama di Jakarta?" tanya Ela bersemangat.

"Sekarang sudah dalam perjalanan ke bandara, aku harus kembali ke Paris." Jawaban Annette menghasilkan dengkus kecewa dari Ela. "Bagaimana kabar ayahmu?"

"Masih keras kepala." Wanita itu menyandarkan tubuhnya di dekat wastafel, dengan tangan yang bebas, dia menuangkan gula ke dalam mug. "Bapak masih memilih tinggal di panti. Tiap kali saya meminta untuk tinggal bersama, Bapak pasti marah," rajuk Ela.

"Kamu sendiri bagaimana? Semua baik?" tanya Annette dengan kekhawatiran yang tulus.

"Sedang bersiap menghabiskan malam Sabtu di kantor."

"Apa aku mengganggu pekerjaanmu? Kita bisa bicara lagi besok kalau kamu sibuk," ibu Damien menggegas.

"Tidak mengganggu sama sekali. I'm waiting for my coffee, I need a little break," ujar Ela menenangkan.

"Apa Damien akan marah kalau kamu tidak bekerja malam ini?" Tawa Ela menjadi jawaban untuk Annette. "Apa kamu pernah minta cuti ke dia?"

"Beberapa kali," Ela menjawab hati-hari.

"Selalu dikabulkan?" tanya Annette retoris, sehingga Ela kembali menjawab dengan tawa. Damien hanya akan mengabulkan cuti Ela, di luar alasan sakit, sekali dalam setahun. Itu pun setelah Ela berhasil menyelesaikan proyek besar. Jika tidak ada prestasi yang luar biasa, Ela sama sekali tidak berharap akan mendapatkan 'hadiah' liburan.

"Damien yang seharusnya mengambil cuti, Ma." Ela menarik napas, "Sulit untuk membujuknya." 

'Membujuk' adalah kata yang lebih halus, karena yang sebenarnya Ela lakukan adalah mengancam. Beberapa bulan lalu, Ela sampai membelikan Damien tiket ke Italia bertepatan dengan final liga Serie A, setelah pria itu memarahi hampir semua pegawainya selama seminggu. Ela mengancam, jika Damien tidak mengambil tiket itu, Ela akan melepas proyek yang ditanganinya. Ancamannya berhasil, dan seminggu kemudian, ketika pria itu kembali, suasana kantor jadi lebih menyenangkan.

Ela bisa mendengar dari ujung telepon bahwa Annette menghela napas. "Dia baik-baik saja, Ma." Biasanya ketika Annette meminta bertemu atau menelepon, ibu Damien itu selalu menanyakan kabar anaknya.

"Iya, aku tahu. Tadi kami bertemu," ucapan wanita itu menghentikan apa pun yang akan Ela katakan tentang kondisi Damien. "Tadi pagi aku hanya mengirimkan pesan, bahwa aku ada di Jakarta. Aku tidak berharap terlalu banyak." Damien selalu menolak bertemu dengan Annette, bahkan telepon pun tidak pernah dijawab. "Lalu dia meneleponku, mengatakan kalau kami sebaiknya bertemu."

"Lalu?" Jantung Ela berdebar, terkejut bahwa ada perkembangan baru di hubungan ibu-anak itu.

"Aku hampir tidak memercayainya, Ma Cherie," Annette terdengar bahagia. "Kami bicara. Lebih tepatnya, aku bicara dan Damien mendengarkan. Dia juga menanyakan tentang Jacob." Jacob, suami Annette saat ini. "Tapi, aku sama sekali tidak tahu apa yang dia pikirkan."

***

Ela menangkupkan telapak tangannya di depan wajah, menekan keinginannya untuk menguap hingga air matanya berkumpul di ujung mata. Sudah lewat pukul sebelas malam, semua karyawan telah pulang. Sebagian besar lampu di kantor Lit Advertising padam. Selain lampu ruangan Ela, hanya bagian lobi dan dapur kering yang terlihat terang. Ela berpikir Damien tidak ada di ruangannya, karena ruangan itu tetap gelap dari senja.

Lembar terakhir bahan presentasi Aga yang telah dikoreksi Ela baru keluar dari mesin cetak, ketika alunan suara dari saksofon terdengar. Over the Rainbow, lagu yang dulu sering dibawakan oleh Annettte dengan grand piano di ruang tengah kediaman Sastranegara. Damien mulai berlatih membawakan lagu ini setelah menguasai semua nada di alat musik tiupnya. Namun, setelah kepergian Annette dari rumah Haryanto, Ela tidak pernah lagi mendengar Damien memainkannya.

Sambil menyambar tumpukan kertas yang masih hangat di atas mesin cetak, Ela berjalan ke ruangan Damien. Annette tidak menceritakan detail pertemuannya dengan Damien, karena setelah kopi Ela siap, Annette menepi di bandara.

Pintu ruangan Damien tidak tertutup sempurna, cahaya di ruangan itu tidak banyak. Hanya cahaya dari gedung di sebelah yang masuk melalui jendela yang terbuka. Damien memunggungi pintu, bermain di depan jendela, duduk di salah satu sisi meja rapat yang ada di dalam ruangan. Di antara banyak lagu yang dikuasai Damien, lagu ini adalah favorit Ela. Lagu yang menerbitkan kekaguman kanak-kanak pada anak 'majikan' ayahnya.

Ketika nada terakhir telah selesai dimainkan, Ela masih berdiri di tempatnya. Terpesona oleh siluet si pria, sisa-sisa nada yang tertinggal di pikirannya, juga sendu yang menguar.

"Menikmati konser pribadimu?" Suara lembut Damien mengisi sunyi, membuat bibir Ela mau tidak mau tersenyum. Dulu, dia selalu memberikan tepukan paling meriah setelah lelaki itu selesai bermain. Sebelum Ela mengetahui, bahwa ada beberapa rasa yang harus disimpan sendiri.

Mengumpulkan semua sinisme yang sempat tercecer, Ela mulai melangkah sambil memberikan tepukan tangan berritme lambat.

"Sayangnya, ada beberapa nada yang sumbang." Wanita itu meletakkan bahan persentasi di meja kerja Damien lalu melanjutkan langkah sampai dia duduk di samping kanan atasannya. "Sudah berapa tahun kamu tidak memainkan lagu itu?" tanya Ela setelah mereka diam beberapa saat, memandang langit kelabu Jakarta.

"Aku tidak ingin menghitung." Damien meletakkan saksofon di sebelah kirinya, masih belum melihat ke arah Ela.

"Masih menyakitkan?" tanya Ela hati-hati.

"Selalu menyakitkan," jawab si lelaki sembari menuang cairan bening kecokelatan dari botol ke dalam gelas berisi es batu. Whisky. Penyebab beberapa nada sumbang tadi. Damien tidak mencecap minumannya, langsung menuang ke tenggorakan, sedikit menyeringit ketika cairan dingin itu membakar tenggorokannya. "Aku bertemu dengannya tadi."

"Aku tahu, Mama memberitahu," ucapan Ela menerbitkan tawa sinis dari lawan bicara.

Damien berdecak, "Tentu saja, ma cherie akan selalu diberitahu. Apa yang dia katakan?" Dia meletakkan gelas, mulai mengisinya lagi.

"Mama belum sempat memberitahu apa pun." Ela menahan tangan Damien, whisky di gelas bergoyang, sedikit membasahi tangan mereka berdua. "Berapa banyak yang sudah kamu minum?" Lelaki itu tidak menjawab, memaksa tangan mereka berdua lepas agar dapat kembali menuang alkohol ke dalam tubuhnya.

Dulu waktu kuliah, Ela selalu bersiaga untuk mengantar dia pulang ketika Damien dan teman-temannya memutuskan berpesta. Sampai malam itu, ketika alasan Damien minum bukan untuk kesenangan. Ketika bait-bait Over The Rainbow yang mengalun di radio dinyanyikan.

"Mau menceritakan padaku? Mama bilang kalau kamu yang meminta bertemu." Ela bisa menafikan banyak hal pribadi Damien, kecuali soal pekerjaan dan keluarga Sastranegara. Ada tanggung jawab Ela yang belum tuntas, dan mungkin tidak akan pernah tuntas, di sana.

"Apa yang ingin kamu dengar, Eleanor?" Mata dua warna Damien hanya menyisakan dua lingkaran hitam ketika memandang Ela.

Ela memutar duduknya. Menghadapkan seluruh tubuhnya pada Damien. Ingin menunjukkan pada lelaki itu, yang malam ini terlihat seperti anak sepuluh tahun yang baru ditinggalkan ibunya, bahwa dia tetap hadir di sisinya. "Apa yang ingin kamu ceritakan, Damien?" Tangan Ela terangkat, menangkup rahang kasar Damien yang kini menutup mata; menutup tangan kecil Ela dengan tangan besarnya; memberikan kecupan ringan di cekung telapak yang menghidupkan tiap inci tubuh Ela.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top