Lapis 11 (Bag. 1)
"Tidak menemukan wanita untuk kamu ajak pulang malam ini?" Eleanor bertanya dingin, mata hitamnya menatap bosan ke depan. Mobil baru berjalan beberapa meter dari tempat parkir, tapi Damien membanting setir, kembali menepi.
"Apa kamu ingin pulang dengan adik Adam setelah apa yang Adam katakan padamu?" Damien balik bertanya. Tangannya mencengkeram roda setir dengan keras, gerahamnya telah bergemelutuk. Berusaha menahan diri agar tidak menyalurkan amarah yang mulai memanas di dalam dirinya ketika mendapati Eleanor menghabiskan waktu dengan pria itu di tempat gelap.
"Sayangnya, dia harus di sini sampai pesta selesai." Wanita itu melipat tangannya di depan dada. "Jadi, meski pun aku ingin, dia tidak bisa memenuhinya." Eleanor menatap balik pada Damien, tidak ada lagi tatapan lembut yang tadi Damien lihat ketika wanita itu memandang Aidan. "Aku bisa mencari laki-laki lain kalau kamu mau mencari teman perempuan untuk menghabiskan malam." Eleanor menantangnya.
"Aku sudah menemukan wanitaku untuk menghabiskan malam," Damien menatap tajam. Matanya menyapu tubuh Eleanor, menegaskan apa maksud ucapannya. Senyum tersimpan di sudut bibirnya ketika mendapati wanitanya menelan ludah.
"In your dream!" Wanita itu memalingkan wajah.
"Aku tidak keberatan kamu masuk ke dalamnya." Mobil kembali berjalan, sementara para penghuninya tetap terdiam.
Biasanya, meski pun mereka datang ke sebuah pesta untuk urusan bisnis secara bersamaan, mereka akan pulang dengan pasangan yang berbeda. Wanita-wanita akan menghampiri Damien, ketika Eleanor memilih pria. Damien dan pasangannya akan meninggalkan pesta lebih dulu, karena lelaki itu tidak ingin tahu dengan siapa Eleanor akan menghabiskan malam.
Namun, malam ini, saat melihat Eleanor berdansa dengan Aidan, Damien tidak ingin membiarkan mereka pergi dari pesta bersamaan. Ketika dia mencari dan menemukan orang kepercayaannya itu menatap lembut pada adik Adam, dia tahu, dia tidak bisa membiarkan mereka berdua.
Ada yang bergemuruh di dada Damien ketika melihat Eleanor menatap Aidan dengan cara berbeda dari lelaki lain. Damien mengenali tatapan itu. Dulu dia selalu mendapatkannya. Sampai sepuluh tahun lalu, saat semuanya kacau, lalu Eleanor menghilangl. Ketika wanita itu kembali, dia telah berubah menjadi sosok baru. Tidak ada lagi tatapan lembut dan lugu, tidak ada lagi senyum malu-malu.
Yang menggantikan adalah seorang wanita percaya diri yang selalu menantang lelaki untuk turut dalam permainannya. Kecuali pada Damien. Karena di hadapan Damien, Eleanor hanya memamerkan permainannya. Sekedar membuktikan, bahwa dia pun bisa menjalin hubungan dengan pria. Seperti Damien dan beberapa teman kencannya.
Selama ini, Damien tidak pernah peduli. Apa pun yang Eleanor lakukan dengan para pria, hanyalah permainan. Namun, dengan Aidan? Damien merasa Eleanor tidak berniat bermain.
Itu lebih meresahkan.
—-
"Kamu memasang children lock," tuduh Ela ketika Damien membukakan pintu mobil untuknya, karena dia tidak bisa membukanya sendiri dari dalam.
"Kebiasaan," Damien menjawab ringan tanpa rasa bersalah, melipatgandakan kekesalan yang sudah Ela pendam sejak Damien mengacuhkan permintaannya untuk diturunkan di lobi. Alih-alih, pria itu masuk ke area parkir penghuni apartemen dan menghentikan mobilnya di tempat Ela biasa memarkir mobilnya.
"Kita sudah membahas ini tadi, Eleanor. Jangan cemberut!" Damien hendak menyentuh bibir Ela, tapi wanita itu menjauhkan dagunya.
"Kamu hanya mengantarku pulang, tidak lebih." Ela kembali menegaskan. Bukan untuk Damien, tapi untuk dirinya sendiri.
"Kamu sudah mengatakannya tadi, kamu tidak perlu mengulangnya berkali-kali. Atau kamu takut, Eleanor?" Damien melingkarkan tangannya di pinggang Ela, menarik wanita itu hingga mereka berhadapan dan ujung sepatu Ela menyentuh lantai parkir. "Aku akan mengantarmu sampai pintu, setelah itu, terserah padamu."
Hidung mereka nyaris bersentuhan. Jika itu dibiarkan lebih lama, Ela tidak akan percaya pada pertahanan dirinya sendiri. Sentuhan pria itu selalu membentuk riak di dalam darah Ela. Hanya dengan sedikit usaha tambahan, riak itu bisa berubah menjadi ombak yang siap menenggelamkan Ela.
"Setelah itu, ke mana kamu akan pergi?" Ela butuh mengalihkan pembicaraan, dan melepaskan tubuhnya dari Damien. Dia menyelinap di antara tubuh pria itu dan mobil, menuju pintu belakang mobil.
"Kalau kamu mengkhawatirkanku, aku tidak keberatan berada dalam pengawasanmu semalaman," Damien membisikkan kalimat itu tepat di telinga Ela, mengikuti gerakan wanita itu.
"In your dream!" tegas Ela, membuka pintu mobil dan mengambil tas belanja yang berisi pakaian kerjanya.
"Kamu sudah menggunakan kalimat itu tadi, Eleanor. Sudah kehabisan argumen?" tanya lelaki itu sambil menampilkan senyum di salah satu sudut bibirnya.
Ela menatap tajam pada Damien, "Ada apa denganmu?". Atasannya tidak pernah membahas hubungan laten mereka sejelas ini. Ela tahu, Damien tahu, mereka memiliki tempat khusus di kepala (dan hati) masing-masing. Namun, selama ini mereka bisa menghindarinya dengan baik. Tidak bermain-main.
"Tidak ada." Putra Sastranegara menghindari tatapan Ela. Mengambil tas belanja Ela dari tangan kanan wanita itu dan menggantinya dengan jari kokohnya sendiri. Pintu mobil tertutup, alarm dipasang, dan Damien menggandeng Ela berjalan menuju lift. Tidak mengatakan apa pun, membiarkan gelang mereka saling beradu.
Namun, sunyi bersama Damien selalu membuat Ela gelisah. Seluruh tubuhnya mengantisipasi, degupan jantungnya mulai bertambah.
Genggaman mereka terlepas ketika memasuki lift. Damien menekan tombol. Ela memilih berdiri di bagian belakang dan sama sekali tidak mengeluarkan suara.
"Dindingnya terlalu dingin untuk kulitmu," ujar Damien datar ketika Ela ingin memprotes tindakan pria itu yang tiba-tiba meletakkan tangan di punggungnya yang polos saat dia mulai menyandarkan bagian belakang tubuhnya di dinding logam lift. Ela menoleh, tapi pria itu tetap menatap ke depan. Dari rahang Damien yang tegang, Ela tahu, ada yang sedang dipikirkan.
Ingin rasanya Ela menyentuh rahang tegang itu. Menanyakan apa yang ada di kepala Damien. Tapi, bersikap lembut pada Damien sama saja dengan menunjukkan kelemahannya sendiri, sekaligus memberi izin pada lelaki itu untuk masuk lebih dalam ke dalam dirinya.
"Jadi itu alasanmu, meletakkan tangan di sana sepanjang pesta?" Melempar sinisme adalah bentuk pertahanan. Saat ini Ela ingin bertahan. Tapi, Damien tidak memberikan balasan, memilih diam. Itu lebih menyusahkan.
***
"Seharusnya, aku tidak membayar gaun ini," ucap Damien ketika mereka telah sampai di depan pintu apartemen Ela. Tadi siang, setelah pengasuh dan supir Juna menjemput adik Damien, lelaki itu membawa Ela ke sebuah butik. Meminta Ela memilih salah satu gaun pesta karena mereka akan menghadiri pesta Soraya Adhyaksa. Tidak memberi pilihan untuk Ela menolak. Sebagai balasannya, Ela memilih gaun yang akan membuat seluruh pria menaruh perhatian padanya, membuat Damien kesal.
Namun, Aidan mengalihkan perhatiannya dari para pria. Setelah itu? Damien selalu menempel padanya, dengan raut mengancam yang membuat pria lain enggan.
"Aku menyukainya, it looks good on me."
"Apa pun terlihat bagus di dirimu, Eleanor." Damien berdiri di depan Ela, mengunci wanita itu di antara tubuhnya dan pintu. Tangannya telah mengangkat dagu si wanita. "Selalu...." Hanya sejenak ketika mata dua warna Damien mengunci Ela, sebelum tatapannya ke bibir dan kepalanya semakin menunduk.
Bibir Ela sudah berdenyut hanya karena udara panas yang keluar dari hidung Damien. Darahnya mulai berdesir di tenggorokan. Tadi pria itu mengatakan hanya akan mengantar sampai pintu, setelah itu keputusan ada di tangan Ela.
Sebuah ciuman tidak akan melukai. Tapi, bersama Damien, Ela tahu, tidak akan pernah cukup dengan sebuah ciuman. Jika bibir mereka diperkenankan bertemu, Ela tidak bisa lagi mempercayai pikirannya.
Sehingga ketika mereka nyaris bersatu, Ela menolehkan kepalanya. Sayangnya, Damien tidak berhenti. Bibirnya menyapu pipi, turun ke rahang, menggoda leher. Jari-jari Ela tergenggam erat, bertahan, agar tidak menenggelamkannya di antara rambut Damien. Bibir tertutup rapat, menahan suara agar tetap di tenggorokan.
"Damien," Ela berusaha agar nada peringatan yang berusaha dia lempar tidak dikhianati oleh lenguhan. Pria itu berhenti, tapi tidak mengangkat kepalanya.
"Berhentilah menemui adik Adam," perintah Damien di leher Ela, menikam wanita itu di dadanya.
Selama ini, Damien tidak pernah melarang Ela berhubungan dengan para pria yang Ela ajak dalam permainannya. Permainan yang bertujuan untuk menarik perhatian Damien, agar putra Sastranegara itu tahu, bagaimana rasanya melihat orang yang dipedulikan menjalin hubungan dengan orang lain. Tapi, semua permainan itu tidak pernah berhasil. Ela tahu, Damien terganggu, tapi dia tidak pernah bergerak untuk menghentikan gangguan itu.
Sekarang? Ketika Damien mulai mengambil tindakan, mengapa rasanya malah menyakitkan?
Aidan.
Bayangan wajah lembut pria itu kembali di pelupuk mata Ela. Rasa nyaman yang tidak pernah muncul sebelumnya, ada. Dada Ela sesak ketika mengingat apa yang terjadi satu jam lalu di sisi remang taman. Ela tidak bermain saat itu. Tidak ada niat untuk membuat Damien cemburu.
Tapi sekarang Damien cemburu!
"Berhenti menemui wanita lain," suara Ela bergetar ketika melontarkan tantangannya. Kepala Damien mulai terangkat, menatap Ela lama. "Berikan aku janji itu."
"Kamu bisa minta apa pun, Eleanor," bisik Damien, tangannya kembali ke dagu, "Apa pun," dahi mereka beradu. "Tap...."
"Aku tidak ingin apa pun, cuma janji itu. Dan aku akan berhenti menemui siapa pun ya...." Ela tidak menyelesaikan ucapannya.
Damien kembali tegak, wajahnya beku. Mereka berdua tidak akan mendapatkan apa yang paling mereka inginkan malam ini. Ela yakin itu, karena Damien mulai meraih papan tombol kunci pintu apartemen. Memasukkan pin hingga lampu hijau kecil berkedip. Damien kembali menutup diri.
"Ganti pin pintumu. Kamu sudah memberitahu ulang tahunmu pada orang lain."
"Aku ingin membencimu," bisik Ela di antara gigi. Hatinya masih saja perih karena pria itu tidak bisa berjanji. Bahkan setelah lima belas tahun berlalu.
"Please don't," pinta Damien sebelum melangkah pergi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top