Lapis 10 (Bag. 2)
Aidan tidak pernah menyukai keramaian sehingga dia memilih mengambil jarak sejenak dari pesta. Menuju sisi lain rumah megah itu untuk mencari sepi, mengembalikan energi. Tangannya menyapu bunga-bunga yang terjajar rapi di tepi taman. Kelopak putih aster yang menguncup di malam hari membuat jarinya bergerak sendiri untuk memetik satu kuntum.
Ada renjana yang selalu muncul tiap kali jarinya bergerak memetik bunga, hanya saja kali ini pembetiknya berbeda. Aidan tersenyum sendiri ketika dia menggoda hidungnya dengan lembut kelopak. Sapuan ringan yang tidak sengaja mengenai bibir mengingatkan pada sapuan ringan yang diterima bibirnya beberapa hari lalu. Ketika dia mengangkat wajah, wanita itu terlihat sedang berdiri sendiri di dalam remang.
Kepalanya lunglai, pundaknya luruh, pinggulnya bersandar pada salah satu tiang penyangga. Siluet tubuh wanita itu? Sebaiknya Aidan tidak melihatnya terlalu lama jika ingin tetap bertahan di pesta hingga selesai.
"Melarikan diri dari keramaian?" Pertanyaan Aidan mengagetkan Ela. Sendu hanya tergantung beberapa saat, ketika Ela menyadari siapa yang menyapanya, semua gundah tersimpan rapat di balik senyuman. Aidan penasaran membuka satu persatu lapis senyum itu untuk mengenal Eleanor yang sebenarnya.
"Seperti kamu?" Tantang Ela, menerbitkan tawa disusul decak Aidan. "Aku hanya menjauh sebelum menjadi pusat perhatian pesta karena membuat keributan." Bibir wanita itu mengerucut sejenak.
"Keributan apa?" Aidan berjalan makin dekat, ikut menyandarkan diri di tiang yang sama. Memasukkan Ela ke dalam gelembungnya, memadamkan dunia luar dari pikiran.
Wanita itu tengadah. "My reputation preceded me." Cara wanita itu menatap membuat Aidan berpikir bahwa ini berkaitan dengan dirinya, tapi dia tidak menjelaskan lebih lanjut. Aidan tidak ingin tahu. Dia tidak peduli dengan reputasi wanita itu, karena Aidan ingin mengenal Ela dengan caranya sendiri. "Lalu, apa yang kamu lakukan di sini?"
"Seperti tebakanmu...," ujar Aidan menggantung, memutar kuntum bunga di antara ibu jari dan telunjuk kanannya, "...melarikan diri dari keramaian."
"Introvert?" tanya Ela penuh minat, seperti menemukan sesuatu yang menarik di wajah Aidan atau dalam diri pria itu? Dia tidak keberatan jika Ela berminat dengan wajahnya, tapi lelaki itu akan lebih bahagia jika wanita di depannya juga berminat dengan jiwanya. Seperti Aidan yang mendamba jiwa wanita itu.
"Kind of." Aidan mengangkat bahu. Biasanya dia tidak nyaman membuka diri seperti ini. Tapi jika dia ingin Ela lebih terbuka, Aidan harus berani membuka kartunya lebih dulu.
"Kamu suka bunga daisy?" Mata Ela mengikuti gerakan kuntum putih di tangan Aidan.
"Ini daisy?" si dokter bertanya dijawab dengan anggukan, "aku tidak suka bunga, tapi aku sering memetik bunga. Kebiasaan dari kecil." Tatapan Ela seperti menginginkan Aidan melanjutkan ceritanya. "Aku dulu sering memetik bunga di perjalanan pulang sekolah, lalu memberikannya pada ibuku. Dia akan menyimpannya di antara lembar buku. Jadi, tiap kali melihat bunga, aku teringat ibuku dan merasa harus memetikkan satu untuknya."
"Jadi, ini bunga untuk ibumu?"
Aidan menggeleng. "Kali ini aku memikirkan orang lain." Aidan tidak yakin jika bunga itu diserahkan secara langsung, apakah akan diterima? Gelungan rambut Ela tampak terlalu polos, sehingga Aidan meletakkan kuntum itu di antara rambut.
Mata hitam Ela membulat ketika Aidan kembali memandangnya. Aidan tidak yakin, apakah matanya yang menipu atau ada rona yang merambat dari pundak wanita itu, ke leher, hingga wajah. Dia berharap mereka berada di tempat benderang sehingga Aidan bisa yakin.
Namun, tidak lama kemudian wanita itu mengalihkan pandangan dan tertawa. Menyandarkan seluruh punggungnya ke tiang. "Kamu pandai merayu wanita."
"Benarkah? Apa aku terlalu gombal?" Aidan menyisir rambutnya, gugup.
"Cerita tentang ibumu, manis sekali. Tapi ini?" Jarinya menunjuk bunga yang menjadi penghias rambutnya. Hanya menunjuk, tidak mengambil lalu membuangnya.
"Kamu tahu?" Kepala mereka hanya berjarak beberapa inci, dalam remang dan jauh dari keramaian, membuat apa pun yang akan perempuan itu katakan adalah sebuah rahasia yang tidak mudah dibagi.
"Apa?" Aidan menangkap helai rambut yang terlepas, menenangkan degup yang mulai berlompatan di dada. Dia harus menahan matanya dari bibir Eleanor.
"Aku tidak pernah sepenasaran ini pada laki-laki lain." Ela terlihat malu-malu, lugu, dan secara tidak langsung, menggoda.
"Apa itu berarti, aku istimewa?" Aidan merasa lancang menanyakan itu. Namun, sungguh, dia perlu alasan untuk mencium wanita yang menghantui dengan lembut bibirnya. Aidan mengurangi jarak, semakin menutupi Ela dari pandangan orang.
"Sangat." Ela memainkan lapel tuksedu Aidan, seperti terlalu malu untuk mengatakannya langsung. "Apa aku istimewa?"
Aidan semakin mendekatkan wajah, napas Ela telah menyapu pipinya. Dia tidak ingin menakuti wanita di hadapannya. Dia tidak ingin membuatnya lari karena mencium seseorang pada pertemuan kedua. Dia tidak ingin membuat Ela pergi karena Aidan tidak memiliki kesabaran dan terburu-buru.
Dia ingin membuat wanita itu yakin, sebelum bibir mereka bertemu, "Dari pandangan pertama."
—-
A/n: siapa bersemu-semu? ☺️☺️☺️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top