Lapis 10 (bag. 1)


"Kamu terlihat sangat akrab dengan Nala Kecil." Adam meletakkan serbet makannya, bertanya pada Eleanor yang duduk di sebelah kanan Loretta. Pelayan mulai bergerak mengangkat piring makan.

"Terlihat jelas?" Wanita yang duduk di samping Damien masih memainkan garpunya. Salmon yang ada di piringnya hanya tersentuh setengah.

"Habiskan makananmu," Damien mendekatkan kepala ke telinga Eleanor, berbisik, mengalihkan pembicaraan.

Tadi, pria itu butuh pengendalian diri yang sangat besar agar tidak masuk ke lantai dansa dan menarik Eleanor keluar ketika wanita itu nyaman bersandar pada adik Adam. Saat lagu berakhir, Damien punya alasan untuk membuat Eleanor tetap di sisinya. Tangan Damien tidak pernah lepas dari pinggul wanitanya ketika mereka bertemu dengan beberapa pengusaha yang pernah bekerja sama dengan Lit Advertising.

Bahkan, ketika makan malam dimulai dan Eleanor duduk di sampingnya, sesekali tangan Damien akan kembali ke punggung bawah Eleanor. Menggoda tulang pinggang. Membuat si wanita akan melirik tajam. Damien sama sekali tidak keberatan mendapat tatapan mematikan itu.

"Aku tidak pernah menyukai salmon," ujar Eleanor, mengambil tangan Damien dari punggungnya. Ketika Damien hendak melepaskan genggaman Ela, wanita itu menahannya.

"Bukankah dia terlalu serius untukmu?" Adam masih membahas tentang adiknya.

"Aidan mudah diajak bicara." Eleanor memandang telapak tangan mereka yang bertemu di pangkuannya. "Tapi aku setuju, dia terlalu serius. Pertama kali bertemu dengannya, aku sama sekali tidak berpikir dia adalah Aswin. Kalian berdua membawa aura yang berbeda."

"Akhirnya ada yang setuju denganku," timpal Loretta, "kalian berdua seperti kutub utara dan selatan," ujarnya pada sang suami.

"Kalian sudah pernah bertemu sebelumnya?" Damien bertanya lebih dulu. Dia jarang mencampuri urusan Eleanor ketika dia berhubungan dengan pria. Kecuali dia merasa, bahwa wanitanya mulai berubah. Kali ini, melihat bagaimana Eleanor menatap Aidan, khawatir terselip, Eleanor akan berubah.

"Dia dokter yang bertugas di panti...," Eleanor berujar tidak nyaman. Keberadaan Purnomo di sana sering kali menimbulkan kesalahpahaman.

"Panti apa?" Adam bertanya dengan penasaran.

"Panti Jompo," Damien mewakili Eleanor yang enggan menjawab.

"Setelah Puskesmas sekarang Panti Jompo?" Adam bertanya pada dirinya sendiri dengan kesal, "bagaimana dia bisa hidup layak jika selalu begitu?" Pria itu mengedarkan pandangan, mencari objek kekesalannya di antara kerumunan.

"Sudahlah," Loretta menenangkan suaminya.

"Kamu lihat, Ela." Adam kembali fokus. "Nala Kecil tidak seperti pria lain yang sering kamu ajak bermain."

"Adam!" Loretta memekik bersamaan dengan Damien yang menggeram. Tangan Eleanor semakin erat menggenggam Damien. Namun, mata wanita itu tetap tajam.

"Biarkan Aidan sendiri yang memutuskan." Eleanor berdiri, tetap menjaga gestur anggun dan angkuh. "Saya permisi." Genggaman tangan mereka terlepas sebelum si wanita melangkah.

"Kita akan membicarakan ini," Loretta berbisik pada suaminya sebelum beranjak, menyusul Eleanor. Meninggalkan para pria di meja makan. Adam menyapukan telapak tangan di wajahnya. Menyadari bahwa dia salah bicara.

"Aku tidak peduli, seberapa care kamu kepada adik kecilmu itu." Damien berkata dengan nada rendah, memberikan ancaman. Matanya serius menatap Adam yang masih kesal. "Tapi jaga bicaramu pada wanitaku."

"Aku respek Ela untuk urusan pekerjaan. Dia profesional. Aku juga tidak peduli bagaimana hubungan dia denganmu atau laki-laki lain. Tapi jika menyangkut adikku?" Adam tidak terdengar gentar. "Kalau kamu menyebut dia wanitamu, kamu tidak akan membiarkan dia sebebas itu dengan laki-laki lain. Jaga dia baik-baik, atau dia bisa pergi darimu." Lelaki yang lebih tua itu memberikan nasihat yang tidak diperlukan.

"Dia akan selalu kembali," Damien berujar percaya diri. Meskipun hubungannya dengan Eleanor jauh dari kata baik, tapi wanita itu tidak pernah pergi lama. Dia selalu datang dan kembali ketika Damien meminta.

"Jangan terlalu percaya diri. Aku dulu sepertimu. Yang sekarang terjadi antara aku dan Loretta adalah kesempatan kedua, yang tidak akan kusiakan." Adam memang orang yang suka banyak bicara.

"Aku tidak butuh nasihatmu." Damien menyuarakan kejenuhannya, membuat Adam tertawa rendah.

"Ini bukan nasihat untuk kebahagiaanmu. Ini nasihat agar kamu segera mengikat wanitamu sehingga adikku segera mundur. Karena jika dia sudah menginginkan sesuatu...," Adam menyandarkan punggung di kursinya, ujung jarinya mengetuk meja, "dia bisa sangat persisten dan merepotkan."

—-
A/n: mohon sabat ketika saya membangun karakter Aidan jadi lebih kuat. Karena saya ingin memberi 'lawan' sepadan buat Damien.😬

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top