9. Tamu Tak Diundang

Peraturan kedelapan: Layani tamu-tamu rumah dengan baik. Berbicaralah seperlunya. Betsikaplah sopan senantiasa, dan jangan berkeliaran bila kau tidak punya keperluan khusus. Ingatlah, meski kau hadir di tengah pertemuan, kau bukanlah bagian dari acara.

~ 🥀🥀🥀 ~

Selama Amy bekerja di Emerald Hall, belum pernah sekali pun ia melihat Lord Beverley menerima tamu. Beberapa kali pria itu pergi ke universitas untuk berdiskusi dengan rekan-rekan sesama penelitinya, atau ikut ayahnya ke pesta-pesta dan acara-acara sosial, tetapi ia begitu tertutup tentang kehidupan pribadinya. Ia sulap Emerald Hall jadi istana kecilnya, tempat ia mencipta dan mengerami ide-ide yang, barangkali, kelak akan sangat menolong umat manusia. Atau mungkin juga ide-ide itu akan berakhir di tempat sampah, tergantung hasil eksperimennya. Manusia bisa berencana, tetapi seringkali kenyataan tidak seindah teori.

Namun, hari ini berbeda. Kala jam menunjukkan pukul lima sore, seorang pria muncul di pintu depan. Tanpa pengumuman, tanpa aba-aba. Itu pun hal yang baru bagi Amy. Begitu ia memperkenalkan diri, segera Amy mengenali sosoknya. Ia adalah seorang dokter muda di Royal Ashfield Hospital, yang dikenal karena pemikiran-pemikirannya yang modern dan kontroversial. Sering ia pergi berlayar untuk mempelajari ilmu pengobatan tradisional suku-suku dari belahan dunia lain, berharap ilmu yang ia peroleh dapat meningkatkan kualitas dunia medis Barat. Beberapa kali Amy membaca namanya di koran, tetapi baru kali itu ia melihat wajahnya.

"Apakah Lord Beverley ada di rumah?" tanyanya. "Bilang padanya bahwa aku datang berkunjung."

"Maaf, Tuan, Lord Beverley sedang sibuk di laboratoriumnya. Aku khawatir Tuan harus membuat perjanjian dan kembali lain hari," jawab Amy ragu-ragu. Di satu sisi, ia tak mau menyinggung perasaan tamunya. Namun, bagaimana cara yang sopan untuk mengatakan bahwa sang tuan rumah betul-betul tak suka menerima tamu di rumahnya? Tak bisa ia meminta saran dari Joanne, yang baru saja pulang. Benar-benar dilematis!

"Ah, ia belum berubah rupanya! Tidak apa-apa, beritahu Beverley kalau Dokter Desmond Sattertwhaite datang. Ia pasti mau menemuiku." Lelaki itu terkekeh. Ia lebih tua dari Lord Beverley. Rambutnya pirang gelap, beberapa helainya mulai memutih. Walau demikian, ia masih tegap dan lincah. Kulitnya kecokelatan, tanda ia sering bepergian di alam terbuka. Kacamata berlensa oval menaungi matanya yang biru cerah bak lautan di musim panas. Jas dokternya tersampir di lengan kanan, sedang tangan kirinya membawa koper kerja berwarna hitam.

Amy mengangguk. Belum sempat gadis itu berbalik masuk, Lord Beverley sudah muncul di lorong menuju pintu depan. Lensa kacamatanya berminyak, jas laboratorium penuh noda kecokelatan membalut tubuhnya. Sempat lelaki itu tercengang, tetapi ia segera menguasai diri.

"Satterthwaite! Kau sudah kembali dari Hong Kong rupanya." Lord Beverley melangkah cepat. "Seharusnya kau mengabariku dulu. Ada apa kau tiba-tiba muncul?"

"Ada apa? Tidak bolehkah aku menemui sahabatku setelah berbulan-bulan tidak melihat tanah Inggris? Wah, wah, untung pelayan kecilmu ini menyambutku dengan ramah! Kau benar-benar harus menghirup udara segar sekali-sekali, Beverley. Lihat wajahmu itu, begitu pucat. Bau apa itu dari jasmu? Formaldehida? Sungguh, Beverley, kau akan merusak paru-parumu kalau kau terus mengurung diri di ruangan kecil itu bersama botol-botol zat kimiamu."

Spontan Amy jadi kesal. Kecil? Enak saja! Biarpun badannya pendek, ia bukan anak kecil, tahu! Tanpa permisi, langsung saja dokter itu berjalan mendahului gadis itu dan menjabat tangan Lord Beverley. Waktu pria itu melepaskan genggaman, sebuah hiasan gantung berbentuk aneh sudah ada dalam tangan Lord Beverley. Amy belum pernah melihat benda semacam itu sebelumnya. Ia terbuat dari batu yang dipoles sampai tipis mengkilat, warnanya hijau translusen. Bentuknya bulat seperti koin, dengan lubang berbentuk persegi di tengahnya. Pada lubang itu terikat tali-tali merah membentuk juntaian rumbai yang terkepang rumit.

"Apa ini? Semacam jimat?" Lord Beverley mengangkat benda itu dan mengamat-amatinya di bawah sinar mentari. "Ini asli?"

"Kata kawan-kawanku, batu giok itu asli. Bayangkan, aku memperolehnya di pasar! Bisakah kau percaya itu? Orang-orang Hong Kong menggunakan ornamen itu sebagai jimat keberuntungan. Kau suka mempelajari kepercayaan-kepercayaan dari dunia Timur, kan? Kurasa kau pasti menyukainya." Sekali lagi Dokter Satterthwaite terkekeh. Ia lingkarkan lengan di bahu sahabatnya. "Ayo, kita berbincang. Akan kuceritakan hal-hal ajaib yang kulihat sepanjang perjalananku. Bagaimana kalau kita mengobrol di laboratoriummu?"

"Tidak, tidak, tempat itu terlalu berantakan. Mari kita bicara di ruang kerjaku saja. Amy, tolong antar Satterthwaite ke sana. Aku akan menyusul setelah membereskan laboratorium. Kau masih penggemar kopi, kan? Seharusnya aku masih punya kopi Toraja di dapur. Tenang saja, Amy sudah pandai menyeduh kopi." Lord Beverley mengedikkan kepala pada Amy, lalu bergegas kembali ke laboratorium. Amy, yang sejak tadi hanya terbengong-bengong menyaksikan interaksi kedua pria itu, tersentak dan buru-buru mengangguk.

"Mari, ikut aku," ajak Amy. Ia suka melihat keceriaan sang tamu. Dokter Satterthwaite bersiul-siul riang sembari mengamati ornamen-ornamen Emerald Hall. Gadis itu memimpinnya ke ruang duduk. Lord Beverley mendekorasi ruangan itu sesuai selera masyarakat kelas atas Era Victoria pada umumnya. Kertas dinding merah tua bermotif bunga dan sulur, karpet Turki berpola geometris, sofa-sofa besar berlengan, awetan kepala hewan tergantung di dinding. Hanya seekor rusa dan dua ekor babi hutan, karena Lord Beverley tidak terlalu senang berburu. Pada dinding di seberang pintu, lukisan-lukisan bergaya naturalis terpajang mengelilingi sebuah cermin besar berbingkai kayu eboni.

Dokter Satterthwaite mengempaskan diri ke salah satu sofa, lalu mengeluarkan rokoknya. Waktu Amy hendak pergi, pria itu menyuruhnya tinggal. Gadis itu mengerjap, bingung. Lebih-lebih ketika Dokter Satterthwaite menyuruhnya duduk, lalu menutup pintu. Ia duduk tegak dengan punggung kaku seperti patung, tangannya mencengkeram celemek di atas pangkuan. Kepalanya menunduk, tak berani menatap pria itu. Sejak hari pertama Amy tiba di St. Peter, pengasuh-pengasuh di panti selalu mewanti-wanti agar ia mewaspadai semua lelaki, kaya atau miskin. Sampai sekarang pun, Amy masih sering memalingkan muka dan mempercepat langkah manakala berpapasan dengan pria asing di tempat yang sepi.

"Bila perhitunganku benar, kita punya waktu lima menit untuk berbincang sebelum Beverley datang," ucap sang dokter. "Jangan takut, aku hanya ingin menanyakan beberapa hal padamu."

"Silakan, Tuan." Amy menelan ludah. "Apa yang bisa kubantu?"

"Kau tentu telah mendengar soal kematian anak-anak di daerah East Avenue, bukan? Apa yang sebenarnya terjadi di sana? Pernahkah kau melihat jasad korbannya secara langsung?"

"Eh? T ... tidak. Tidak pernah. Aku tidak berani ...." Bicara Amy tersendat-sendat. "Kudengar, um, seekor hewan misterius menggigit anak-anak itu. Semua anak yang tewas memiliki bekas gigitan aneh, yang tidak pernah dilihat para penduduk sebelumnya. Lalu, mereka ... mereka semua tewas karena kehabisan darah. Konon ada sosok menyerupai manusia yang berkeliaran di malam hari, tetapi sosok itu segera lenyap begitu para penduduk hendak mengepung. Entahlah, Tuan, aku  tidak tahu mana yang benar ...."

"Oh, tidak apa-apa. Aku tidak mengharapkanmu tahu segalanya." Dokter Satterthwaite tersenyum. Ia berhenti sejenak untuk mengisap rokok dalam-dalam. Amy agak pusing menghirup bau asapnya. "Ingatkah kau kapan kira-kira penculikan-penculikan itu mulai terjadi?"

"Maaf, sebenarnya aku baru dua bulan bekerja di sini, Tuan. Sepanjang pengetahuanku, um, kurasa pertengahan September. Anak laki-laki salah satu pedagang di pasar tidak pulang ke rumah suatu malam, dan jasadnya baru ditemukan dua minggu kemudian di sungai. Aku tidak tahu apakah kejadian serupa pernah terjadi sebelumnya."

"Aku mengerti." Sang dokter mencondongkan tubuh, matanya menatap Amy lekat-lekat. Mendadak, gadis itu disergap rasa waswas. Firasatnya memberitahu bahwa ia takkan suka mendengar apa pun yang hendak dokter itu katakan selanjutnya.

"Apakah kau punya dugaan tentang identitas sosok tersebut?"

Seketika, gadis itu gelagapan. Nyaris saja ia tersedak ludah sendiri. Apa maksudnya ini? Ia berpikir. Apa ini pertanyaan jebakan, atau apakah Dokter Satterthwaite benar-benar penasaran? Sambil berusaha menyembunyikan kegugupan, gadis itu melirik ke arah pintu. Mengapa Lord Beverley lama sekali? Cepatlah muncul, supaya aku bisa pergi!

"Ah, a ... aku tidak—" Amy memaksa diri berbicara meski lidahnya mendadak kaku. Untung baginya, saat itulah pintu terbuka. Lord Beverley melangkah masuk, kini telah berpakaian rapi dengan rambut tersisir dan kacamata bersih.

"Amy, mengapa kau masih di sini?" Lord Beverley mengerutkan dahi. "Ada apa ini, Satterthwaite?"

"Ahahah, bukan apa-apa. Pelayan kecilmu ini tampak tertarik pada hiasan yang kuberikan padamu, jadi aku bercerita padanya soal Hong Kong. Oh, ya, kuharap kau tidak keberatan aku merokok lebih dulu, ya? Ah, percakapan kami menyenangkan." Seketika ekspresi wajah Dokter Satterthwaite berubah. Ia terkekeh seolah percakapan tadi tak pernah terjadi, lalu mengeluarkan sepucuk kertas dari sakunya. "Nih, Amy, kau boleh memiliki ini. Aku baru ingat kalau aku membawa beberapa kartu pos kosong dari Hong Kong. Ngomong-ngomong, berbicara terus membuatku haus. Kurasa aku akan menerima tawaran kopimu sekarang."

"Jangan macam-macam dalam rumahku, Sattertwhaite." Lord Beverley menghela napas panjang, lalu tersenyum. "Amy, kau boleh pergi sekarang. Bawakan dua cangkir kopi."

Seperti tikus yang lepas dari perangkap, setengah berlari Amy pergi ke dapur. Kartu pos ia selipkan dalam saku celemek. Ia paham bahwa Dokter Satterthwaite tidak ingin pembicaraan itu diketahui Lord Beverley, tetapi gadis itu sama sekali tak memahami jalan pikiran lelaki itu. Mengapa Dokter Satterthwaite begitu tertarik pada hal yang sebenarnya bukan urusannya? Ia bahkan tidak tinggal di dekat Rathcliffe Valley ataupun East Avenue!

"Yah, setidaknya ia cukup baik hati untuk memberiku hadiah," gumam Amy sambil menjerang air. Sambil menunggu air mendidih, ia putuskan untuk mengamat-amati kartu pos itu. Bagian depannya berhias lukisan cat air seekor naga Cina bersisik merah yang terbang bebas di langit biru. Namun, bagian belakang kartu pos itu sama sekali tidak kosong, dan isinya membuat gadis itu terbelalak.

Amy Sullivan, berhati-hatilah. Kasus ini berkaitan dengan kematian orang tuamu.

1500 kata lebih w(°o°)w

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top