4. Musibah Masa Lalu

Peraturan ketiga: pintu dan jendela harus dikunci kala matahari terbenam, dan dibiarkan tetap terkunci sampai fajar menyingsing. Jangan menjawab ketukan atau panggilan, meski sosok itu mengaku sebagai tamu. Lord Beverley tidak pernah menerima tamu setelah matahari terbenam.

***

"Amy, tenang! Ini aku!"

Lelaki misterius itu melepaskan Amy. Ia memadamkan lilin dan meletakkannya di lantai, lalu membuka topi. Sinar dari laboratorium segera menerangi wajah tirus Nathaniel Beverley. Rambut pria itu berantakan. Sebagian helainya jatuh ke dahi membentuk poni. Jaket hitamnya—Amy bisa melihat bahwa benda itu dulunya bagus—tampak kumal dan kusam. Sungguh berbeda dengan penampilan lelaki itu sehari-hari. Ia tidak membawa apa-apa, kecuali segerendel kunci rumah. Atau, setidak-tidaknya, hanya itu yang bisa Amy lihat sebelum nyala api lilin sirna dari matanya.

"M ... maaf, Lord Beverley!" seru Amy terbata-bata. Wajahnya merah padam. Ia menundukkan kepala, tak berani menatap lelaki itu. Ketakutan berkecamuk dalam benaknya. Apakah ia telah membuat kesalahan fatal? Apakah ia akan dipecat, lalu disuruh berkemas malam ini juga? Ia tidak mungkin kembali ke panti. Tempat itu sudah terlalu penuh bahkan sebelum ia pergi. Tinggal di losmen? Lebih mustahil lagi, kecuali Amy mau merelakan gajinya yang belum seberapa itu hanya untuk tidur nyaman semalam.

"Sedang apa kau di luar? Bukankah sudah kularang kau keluar sebelun pukul enam pagi?" Sambil menggantung jaket dan topi di balik pintu laboratorium, Lord Beverley bertanya. Suaranya tajam menusuk, tetapi tidak ada nada penghakiman di dalamnya. Ia lebih mirip seorang ilmuwan yang sedang menanyai seorang penulis jurnal, ingin tahu mengapa penjabaran di dasar teori berlawan arah dengan isi bab pembahasan.

"Maaf, Tuan, aku mendengar suara-suara aneh di luar. Kukira ada maling, atau, um, yah—" Mendadak, lidah Amy seolah lupa cara bergerak. "Ah, lagipula, laboratorium terbuka, dan di dalam sana sangat berantakan, jadi, um, aku takut kalau terjadi apa-apa pada Tuan di dalam. Kata orang, ada penjahat berkeliaran di daerah ini."

"Ah, suara-suara aneh itu? Aku juga mendengarnya. Itulah mengapa aku keluar. Tidak ada siapa-siapa," tutur Lord Beverley singkat. "Kau pasti telah mendengar desas-desus di pasar, kan? Amy, aku menghargai kekhawatiranmu, tetapi aku tidak ingin kejadian ini terulang. Kembalilah ke kamar. Lupakan kejadian malam ini."

Amy menangguk, buru-buru minta diri sebelum Lord Beverley berubah pikiran. Ia sambar lilin di lantai, ia nyalakan dengan korek dari saku. Seperti tikus gadis itu berjalan cepat kembali ke kamar. Jemarinya yang terbakar berdenyut-denyut oleh rasa sakit yang baru sekarang ia sadari. Ia meringis waktu mengucurkan air keran ke luka-lukanya. Besok, kulit yang melepuh itu akan menggelembung terisi cairan, dan sangat perih bila sampai pecah tergores. Alhasil, berbekal penerangan seadanya, susah payah gadis itu memerban tangannya sendiri.

"Sadarlah, Amy, kau cuma terlalu berlebihan. Tadi mungkin cuma suara binatang." Gadis itu menggeleng. Ada tetangga kompleks yang gemar mengumpulkan hewan-hewan eksotis dari Amerika Selatan. Konon binatang-binatang itu hidup bebas dalam kandang raksasa di halaman belakangnya, campur baur seperti di dalam rimba. Kadang-kadang satu terlepas dan menggemparkan seisi Rathcliffe Valley. Barang kali besok pagi kegemparan itu akan terulang. Maka, setelah sekali lagi memasang telinga dan memastikan tiada suara janggal lagi terdengar, gadis itu menyelipkan diri ke bawah naungan selimut, lalu mengejar mimpi di sisa-sisa waktu tidurnya.

Sesuai ucapan Lord Beverley, paginya tak ada apa-apa. Tak ada hewan yang lepas, tak ada pengacau yang tertangkap. Lord Beverley dijemput pagi-pagi sekali oleh kereta kuda, berjas rapi dan bersepatu hitam mengkilat. Amy tidak tahu ke mana ia pergi, atau jam berapa ia akan pulang. Sambil terkantuk-kantuk kurang tidur, gadis itu mengambil tangga lipat, ember, dan kain untuk mengelap jendela.

Ketiga lantai Emerald Hall memiliki jendela-jendela yang memanjang setengah meter dari langit-langit sampai tujuh puluh lima sentimeter dari lantai. Bagian bawahnya persegi panjang, sedang bagian atasnya dari kaca patri berbentuk setengah lingkaran. Amy harus berjinjit untuk mencapai bagian atas, bahkan ketika ia berada di tingkat teratas tangga. Jendela-jendela itu dilap setiap hari dan dicuci seminggu sekali. Hari ini, Amy kebagian mencuci jendela lantai atas, sedang Joanne di lantai bawah. Terhuyung-huyung gadis itu membawa ember berisi air sabun. Pengangan ember menekan luka di jarinya tanpa ampun.

"Argh!" Amy mengerang kala ember akhirnya ia letakkan. Matanya mengerjap-ngerjap, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. Di sela-sela perban ia melihat kulitnya, merah meradang. Gadis itu menghela napas panjang. Mau tidak mau, ia harus bekerja hanya dengan satu tangan.

Dari jendela lantai tiga, ia bisa melihat jalan di belakang Emerald Hall. Berbeda dengan bagian depan yang ramai, sebagian besar masih berupa petak-petak kosong penuh tanaman liar. Di malam hari, suasananya gelap gulita. Bila kemarin ada perkelahian, tentu Amy bisa melihat bekas-bekasnya pagi ini. Namun, gadis itu tak melihat apa-apa, selain ilalang yang bergoyang. Tak ada tumbuhan terinjak-injak, bekas-bekas misterius di tanah, apalagi ceceran darah.

"Sudahlah, jangan memikirkan hal itu lagi!" Amy menggosok kaca kuat-kuat. Buih sabun mengalir menuruni kusen. Di sudut kusen jendela, dilihatnya noda-noda cokelat yang memudar. Letaknya agak tersembunyi. Andai ia tidak melongok ke luar, pasti ia tidak menyadarinya. Berkali-kali ia gosok bercak itu, tetapi tidak hilang-hilang.

"Ugh, ayolah!" Amy mulai tak sabaran. Ia bergeser maju, menumpukan diri pada jari-jari kakinya. Tangga kayu yang dipijaknya bergoyang-goyang. Di satu titik, kakinya tergelincir. Sia-sia gadis itu menggerapai-gerapai. Tangga terguling, menjatuhkan Amy dengan posisi kepala lebih dulu.

"Aaaaa!" jerit Amy. Sesaat, ia merasa terbang. Gadis itu memejamkan mata, bersiap untuk rasa sakit yang akan menderanya. Namun, hantaman itu tak pernah datang. Alih-alih, sepasang tangan kokoh dengan sigap menangkapnya. Sosok itu membantunya berdiri, lalu mengguncang-guncangnya penuh kemarahan.

"Hati-hati, Gadis Bodoh! Kau mau mati, ya?"

"Joanne!" pekik Amy lega. "Untung kau datang!"

"Tentu saja aku harus datang! Tak sadarkah kau betapa waswasnya aku melihatmu berjinjit di tepi jendela seperti itu? Untung kau tidak jatuh ke luar!" Joanne mengetuk jidat Amy dengan punggung telunjuknya. "Lain kali, jangan lakukan itu lagi!"

"Maaf, Joanne," sahut Amy lirih. Ia betul-betul merasa bersalah sekarang, terutama setelah melihat kekhawatiran di wajah wanita paruh baya itu. Tidak, bukan hanya kekhawatiran, malah. Joanne ketakutan. Wajahnya pucat pasi. Bolak-balik ia memutar Amy untuk memastikan bahwa gadis itu tidak cedera.

"Tahukah kau, untuk sesaat kukira aku akan menyaksikan kejadian itu terulang lagi." Suara Joanne gemetar. "Syukurlah kau tidak apa-apa, Amy. Sungguh."

"Kejadian apa, Joanne?" Mata Amy melebar. Ia makin heran waktu Joanne mengajaknya duduk. Wanita itu meremas-remas celemeknya. Sesekali ia menghela napas panjang.

"Dahulu, aku tinggal di sini. Puluhan tahun aku bekerja untuk Earl Beverley, ayah Tuan Muda. Aku mengenal Tuan Muda sejak ia masih kanak-kanak, dan menyayanginya seperti anak sendiri. Saat Tuan Muda pindah ke sini, aku pun ikut menjadi pelayannya. Suatu hari, datang seorang pelayan baru. Gadis itu masih sangat muda, bahkan mungkin lebih muda dari engkau. Ia anak yang pemalu, tetapi rajin dan menyenangkan. Suatu malam, entah karena apa, ia keluar dari kamarnya. Keesokan harinya, aku menemukan jendela di lantai tiga—ya, yang kaubersihkan itu—terbuka lebar. Gadis itu ada di bawah, terbaring seperti seonggok cucian kotor."

"Apakah ia ... tewas?" cicit Amy ragu-ragu.

"Ya, ia sudah tewas ketika aku menghampirinya." Joanne menatapnya tanpa berkedip. "Tidak ada yang tahu bagaimana ia bisa terjun dari lantai tiga. Lord Beverley tidak ingin kejadian itu tersebar luas, jadi kuturuti maunya. Sejak saat itu, tidak bisa lagi aku tinggal di sini. Gadis itu, matanya yang terbuka dan kosong, serta kepalanya yang hancur bersimbah darah, selalu menghantuiku."

Kalau kalian tahu tempat tinggal atau tempat kerja kalian ternyata bekas tempat orang meninggal enggak wajar, kira-kira kalian bakal takut apa enggak nih?

Atau jangan-jangan malah senang, soalnya jadi ada bahan cerita buat konten di medsos? 🤔

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top