25. Selama Mentari Ada
Mitos kesembilan: Ciri khas mayat yang telah menjadi vampir adalah ketiadaan tanda-tanda pembusukan meski mayat tersebut sudah dimakamkan untuk waktu yang lama. Ada pendapat bahwa keabadian vampir adalah suatu bentuk kutukan, lantaran vampir harus selalu mengambil nyawa orang lain untuk mempertahankan keabadian mereka.
~ 🥀🥀🥀 ~
Keesokan harinya, begitu matahari menyingsing, Inspektur Davenport dan Petugas O'Neill berangkat menuju pemakaman umum East Avenue. Dahulu, pemakaman itu adalah pemakaman umum paling favorit di Ashfield. Tua atau muda, miskin atau kaya, lelaki atau perempuan, semua campur baur di sana. Tak mengherankan bila tempat itu kini menjadi perpaduan aneh antara gundukan-gundukan kubur berjarak rapat dengan batu nisan setengah hancur yang sudah nyaris tak terbaca lagi, dan mausoleum-mausoleum megah milik keluarga-keluarga kaya dari masa lampau. Namun, setelah tempat itu penuh dan semrawut, pemerintah kota akhirnya menyediakan lahan pemakaman umum baru di sebelah barat kota. Nyaris tidak ada orang baru yang dimakamkan di tempat itu selama tiga tahun terakhir, hingga kasus pembunuhan berantai dimulai.
Dan tak seorang pun mengganggap kasus ini serius hingga seorang penting menjadi korban! Sang inspektur menggeleng begitu melihat gundukan-gundukan makam kecil semrawut baru di bagian depan lahan pemakaman. Beberapa memiliki nisan yang layak, tetapi jauh lebih banyak kubur tak bernama. Bunga-bunga, baik segar maupun layu, tergeletak di sana-sini. Seorang gadis berambut pirang mengangkat kepala dengan waktu Davenport melintas. Ia melemparkan ekspresi kaget, lalu cepat-cepat berjalan menghampiri.
"Amy? Tidak kusangka aku akan melihatmu di sini," sapa sang inspektur.
"Oh, selamat pagi, Inspektur. Selamat pagi, Petugas." Amy mengangguk canggung. "Y ... yah, beberapa anak dari St. Peter ikut menjadi korban, dan pagi ini terpikir olehku untuk membawakan mereka beberapa kuntum mawar sehabis berbelanja." Gadis itu mengenakan seragam pelayan serba hitam, dengan celemek putih menutup bagian depan gaunnya. Sebuah keranjang rotan berisi sayuran dan ayam potong tergenggam di tangannya. "Kalian sendiri sedang apa di sini?"
"Urusan penyelidikan," jawab Davenport singkat. Sempat terbersit dalam pikirannya untuk memberitahu Amy bahwa adik Lord Beverley adalah dalang di balik pembakaran rumah keluarga Sullivan, tetapi ia mengurungkan niat. Pikirnya, kalau sampai Amy mengamuk dan menyebarluaskan berita tersebut ke orang banyak, hancur sudah rencananya. Lord Beverley pasti akan menarik dukungan, dan Victor mungkin akan langsung menghilang ke wilayah lain.
Amy mengangguk. Ekspresi kesedihan tersirat di matanya. Kuku jemari gadis itu menggaruk-garuk pelan gagang keranjang. Inspektur Davenport mengira gadis itu akan segera pergi. Namun, selama beberapa saat, gadis berkacamata itu malah berdiri terdiam di sampingnya. Gaun hitam dan rambut pirang si gadis melambai pelan tertiup angin. Sekonyong-konyong, gadis itu mendekat dan mencengkeram lengan jaket Davenport. Petugas O'Neill maju hendak menegur, tetapi Davenport menghentikan pemuda itu. Ia menyaksikan betapa kurus dan kuyu sosok si gadis, bahkan mungkin lebih kurus daripada saat terakhir kali mereka bertemu. Nyata benar bahwa kasus itu sungguh membuat kalut pikiran Amy.
"Inspektur, Lord Beverley bukan pembunuhnya, kan? Kudengar kemarin Tuan bertemu dengannya. Lord Beverley memang cukup eksentrik, dan ia beberapa kali melakukan hal-hal yang aneh, tetapi dalam hati, aku merasa ia tidak sejahat itu," ucap Amy lirih.
"Bukan, jadi pulanglah dan jangan takut, Nona." Dengan lembut, Inspektur Davenport melepaskan genggaman tangan Amy dari pergelangan jaketnya. "Aku sudah tahu siapa pelaku sebenarnya, dan aku akan segera menangkapnya. Kau sudah cukup banyak membantu, jadi kuminta kau tenang dan bersabar sedikit lagi. Percayalah padaku, Amy."
Meski terlihat enggan, gadis itu akhirnya melangkah mundur, lalu berpamitan pada kedua polisi. Ucapnya, "Semoga Tuhan memberkatimu, Tuan-tuan. Kapan pun dibutuhkan, aku siap membantu."
"Sama-sama, Amy." Inspektur Davenport mengangguk sopan. Amy balas mengangguk, lalu melangkah cepat keluar pemakaman. Sang inspektur geleng-geleng kepala melihat kepergiannya. Ia mengakui bahwa Amy memanglah gadis yang pemberani, tetapi dalam hal-hal tertentu, keberanian tanpa disertai kemampuan mumpuni justru akan membahayakan. Sebisa mungkin, ia ingin mencegah gadis itu terlibat terlalu jauh.
"Ia memang tidak cantik, tetapi sangat menarik, bukan? Andai ia tidak keburu bersama si pemuda juru tulis itu, mungkin aku akan mendekatinya," celetuk Petugas O'Neill malu-malu. "Sayang sekali."
"Kau masih muda. Masih banyak kesempatanmu untuk berkencan," tukas Inspektur Davenport pedas. "Sekarang, ayo jalan! Mari kita temukan orang yang membunuh sepupumu dan anak-anak lainnya."
Sepeninggal Amy, Davenport mengajak Petugas O'Neill menyusuri kompleks mausoleum. Mayoritas mausoleum di pemakaman berbentuk mirip kapel. Bagian depannya dihiasi patung-patung malaikat, Yesus, dan orang-orang kudus. Iseng-iseng Inspektur Davenport mencari nama Beverley di antara plakat-plakat itu. Tidak ada. Selain kaya raya, keluarga Beverley juga cukup tertutup untuk membeli dan membangun lahan pemakaman privat jauh dari daerah padat penduduk. Lagipula, sebagian besar mausoleum adalah milik keluarga-keluarga Katolik Roma, sedangkan keluarga Beverley adalah penganut Protestan. Bila Davenport tidak salah ingat, Lord Beverley menyumbang dana ratusan pound untuk pembangunan gereja metodis di Southbank.
"Maaf, Sir, sekarang kita harus ke mana?" Di belakangnya, Petugas O'Neill bertanya. Inspektur Davenport tersentak kaget. Nyaris saja ia lupa bahwa ia mengajak pemuda itu bersamanya! Sesaat, terlintas dalam benaknya untuk menyuruh si pemuda mencari ke arah berlawanan. Namun, ia teringat bahwa pemuda itu kemungkinan besar tidak tahu apa yang harus dicarinya. Biar bagaimanapun juga, warga sekitar hanya mengetahui wujud monster dari si vampir.
"Ikuti aku. Mari mulai dengan memeriksa tempat-tempat tertutup. Makhluk yang membunuh sepupumu itu seharusnya tidak tahan sinar matahari, dan tidur di siang hari," sahutnya. Refleks, ia melirik ke arah langit yang mendung. Semenjak industrialisasi merebak, langit Ashfield tak pernah cerah sekalipun di musim panas. Kabut asap senantiasa menggantung rendah di udara, dan noda jelaga menempel di permukaan bangunan.
Kedua lelaki itu pun mulai memeriksa. Aroma lembap dan apak membuat Davenport terbatuk-batuk. Namun, hasilnya nihil. Liang-liang lahat di dalam mausoleum tertutup rapat. Tidak ada satu pun yang menunjukkan tanda-tanda baru dibuka. Sarang laba-laba dan sulur tanaman liar bergelantungan di sana-sini.
Ayolah! Di mana kau berada? Vampir sepertimu harus bersembunyi dari cahaya matahari, kan? Kesabaran Inspektur Davenport makin menipis. Hari sudah bertambah siang. Ia tidak bisa memikirkan tempat lain yang cukup gelap dan sepi untuk dijadikan lokasi persembunyian, sekaligus cukup dekat dengan pasar dan pemukiman penduduk.
Pergilah ke pasar saat malam hari. Kemungkinan besar, kau akan menemukan Victor. Sejauh pengetahuanku, vampir adalah makhluk yang tamak. Selama merasa ada kesempatan, mereka akan selalu keluar mencari mangsa. Penjelasan Lord Beverley kemarin terngiang dalam benak sang inspektur. Atau, carilah tempat persembunyiannya di siang hari, dan bunuh ia ketika sedang tidur. Aku tidak pernah berhasil menemukan di mana ia berdiam, tetapi barangkali keberuntunganmu lebih besar dariku. Satu hal yang pasti, ia tidak mungkin terlalu jauh dari East Avenue.
"Benar juga, Victor bukan orang tolol. Kalau ia bahkan tak memberitahu kakaknya sendiri tentang tempat persembunyiannya, kemungkinan ia takkan memilih tempat yang terlalu mencolok seperti pemakaman," gumam Inspektur Davenport seraya mengebaskan tanah dan debu dari tangannya. "Namun, tempat macam apa yang memungkinkannya pulang-pergi tanpa dicurigai orang? Apalagi sekarang semua orang sedang siaga. Bagaimana caranya menghindari perhatian warga yang berjaga di pemukiman?"
"Um, Inspektur Davenport?" Panggilan Petugas O'Neill memutuskan lamunan sang inspektur. Diiringi helaan napas kasar, ia berbalik dan melangkah ke jalan yang memisahkan blok-blok makam. Polisi muda itu berlari-lari kecil mendekatinya.
"Sir, aku sudah selesai memeriksa di sebelah sana. Tidak ada tanda-tanda makam yang baru-baru ini dibongkar. Apakah kau yakin pembunuh itu bersembunyi di sini, Sir?" tanya Petugas O'Neill bingung. Agak kasihan Davenport melihat pemuda itu tersandung-sandung akar pohon di pemakaman tua yang terbengkalai itu. Diam-diam, ia tersenyum kecil. Meski keheranan, si petugas tetap mengikutinya seperti anjing yang setia, dan ia menghargai hal tersebut.
"Tidak, kurasa ada yang kulewatkan." Inspektur Davenport menggeleng kecewa. "Ah, persetan. Maaf merepotkan. Mari pergi dari sini. Kita cari makan siang sambil memikirkan langkah selanjutnya. Kau tahu mana tempat makan yang enak? Aku yang traktir."
Petugas O'Neill mengangguk. Sambil mengacak-acak rambutnya dengan canggung, ia berjalan menjajari langkah-langkah cepat sang inspektur. Keduanya kembali ke jalan utama. Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat. Kedai-kedai makan dipenuhi para pekerja pabrik. Petugas O'Neill mengajak Inspektur Davenport ke sebuah kedai sandwich yang ramai. Keduanya pun turut mengantre.
"Nah, kau mau yang mana?" Sambil bersedekap, Inspektur Davenport mengamati rak-rak etalase berisi sandwich. "Aku pilih bacon dan selada, serta pasta tuna dan keju."
"Fillet ayam dan telur," jawab si pemuda berambut merah. "Ngomong-ngomong, maafkan kalau aku terdengar lancang, Sir, tetapi kurasa aku tahu suatu tempat di mana orang dapat bersembunyi dari mata masyarakat umum tanpa ketahuan. Setelah ini, mari kita pergi ke sana!"
Guys, maafkan karena aku baru bisa update sekarang 😭
Akhir-akhir ini kehidupanku cukup hectic, dan ada beberapa hal yang akhirnya membuatku kesusahan menemukan waktu dan mood menulis. Mungkin part ini agak berantakan, but hopefully you still enjoyed this part!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top