23. Identitas Sang Pembunuh

Mitos ketujuh: Konon, sebagian besar vampir dulunya adalah manusia biasa. Informasi tentang cara perubahan manusia menjadi vampir masih simpang siur. Salah satu teori mengatakan bahwa manusia dapat menjadi vampir dengan cara meminum darah vampir.

~ 🥀🥀🥀 ~

Keesokan harinya, ketika para pekerja kantoran keluar mencari sarapan, Inspektur Davenport mengunjungi kompleks universitas kerajaan. Sepanjang jalan, ia merenungkan hal-hal yang telah ia temukan dengan dahi berkerut. Kemarin sore, setelah kepergian Amy dan Oliver, kembali ia mendatangi Emerald Hall untuk berbicara dengan Lord Beverley tentang penawaran lelaki itu. Alih-alih menyetujui, lelaki itu malah memintanya pergi dan datang esok pagi ke perpustakaan universitas.

Begitu ia sampai dan mengutarakan maksud kedatangannya, pustakawan langsung mengarahkannya ke sebuah ruangan privat di lantai dua. Di lantai pertama, sepanjang mata memandang, Inspektur Davenport melihat para mahasiswa sibuk belajar. Rak-rak buku menjulang tinggi. Para mahasiswa bahkan harus menaiki tangga untuk mencapai buku di bagian atas rak. Namun, di lantai dua, suasananya jauh lebih sepi. Berjajar lima ruangan privat yang bisa digunakan para mahasiswa atau dosen untuk diskusi kelompok. Ruang terbesar mampu menampung dua puluh orang, sedang yang terkecil hanya muat maksimal lima orang. Ke dalam ruang kecil ini sang inspektur melangkah masuk.

"Kita bertemu lagi, Inspektur." Lord Beverley tersenyum dari balik meja. Walau hari itu cukup panas, lelaki itu mengenakan mantel hitam tebal di atas setelan jasnya. Beberapa album tebal tergeletak di atas meja kayu oval itu. Ada pula dua cangkir teh dan sebuah poci dari porselen Belanda. Tehnya masih berasap, tanda baru diseduh.

Tanpa suara, Davenport menutup pintu. Dalam lindungan dinding tebal ruangan itu, tak ada orang dari luar yang dapat mendengar pembicaraan mereka. Karpet di bawah kaki mereka pun tak kalah tebalnya. Sepatu sang inspektur bagai tenggelam dalam karpet bulu berwarna cokelat gelap itu. Lelaki itu menarik kursi, lalu duduk di hadapan lawan bicaranya.

"Tuan sudah tampak lebih baik daripada kemarin," sapa sang inspektur kaku. "Aku sudah mempertimbangkan tawaran kemarin, dan aku memutuskan untuk menyetujuinya. Ingat, ini bukan berarti Tuan bebas dari prasangka. Bila Tuan ternyata terbukti terlibat dalam pembunuhan ini, meski hanya sebagai pembantu, terpaksa kami harus menetapkan Tuan sebagai tersangka."

"Aku mengerti." Lord Beverley terkekeh pelan, lalu mengambil sebuah album foto tebal bersampul beludru merah dan membalik-balik halamannya. Ketika ia menyodorkan buku itu ke hadapan Inspektur Davenport, si polisi melihat foto enam orang pemuda yang berpose dalam sebuah gazebo di tepi danau. Tidak perlu mata terlatih untuk mengetahui bahwa keenamnya mengenakan pakaian buatan penjahit berkualitas tinggi.

Namun, bukan hal itu yang paling menarik perhatian Davenport, melainkan ekspresi wajah mereka. Keenamnya memancarkan aura superioritas yang mencolok. Jelas bahwa mereka menganggap diri mereka lebih tinggi daripada orang lain, bahkan dari mahasiswa-mahasiswa lain di universitas kerajaan. Seorang sosok familier berdiri tepat di tengah. Semula Inspektur Davenport mengira orang itu Nathaniel Beverley sendiri, hingga ia menyadari sedikit perbedaan samar pada bentuk alis dan bibir sosok itu. Sadarlah ia bahwa ia sedang melihat potret lama sosok pembunuh berantai yang ia cari.

"Kalian bersaudara?" tanyanya.
"Benar. Dia adikku, Victor. Usia kami hanya terpaut setahun. Dahulu kami berkuliah bersama-sama di sini," jawab sang bangsawan tenang. "Memang, banyak orang menyangka kami kembar, tetapi sifat kami jauh berbeda. Sejak remaja, Victor tidak menyukai para imigran dan kalangan bawah. Menurutnya, orang-orang itu tidak ada gunanya selain mengacaukan keamanan dan membuat lingkungan menjadi kumuh. Tentu kenyataan bahwa ia berkawan dengan orang-orang yang sepemikiran sama sekali tidak membantu. Barangkali kau pernah mendengar tentang kelompok Northern Lights?"

"Kurasa pernah." Jari-jari Inspektur Davenport mengetuk-ngetuk meja. "Ya, ya, memang pernah. Kalau tidak salah, bukankah itu kelompok anak-anak muda kaya yang terjun dalam politik? Aku ingat beberapa dari mereka pernah ditangkap karena menyebabkan huru-hara dalam demonstrasi. Apa kalian berdua pernah jadi bagian mereka?"

"Hanya Victor. Aku tidak tertarik dengan hal-hal semacam itu. Terlalu ekstrem, menurut pandanganku. Aku sudah melarangnya bergaul dengan mereka, tetapi Victor selalu keras kepala. Entah diajak oleh siapa, dari situ ia mulai bergabung dengan organisasi-organisasi sayap kanan yang lebih radikal. Ia terang-terangan menginginkan perbudakan diadakan kembali, ikut dalam kampanye-kampanye yang diadakan para politikus sayap kanan, mengeluarkan berbagai pernyataan bernada rasial, bahkan terlibat dalam aksi vandalisme toko-toko para imigran. Ia baru setahun berkuliah waktu akhirnya ia dikeluarkan dari universitas. Bahkan ayahku sudah angkat tangan menanganinya."

Inspektur Davenport mengangguk. Ia pun setuju bahwa Nathaniel Beverley tidak terlihat seperti seseorang yang tertarik pada politik ataupun isu-isu sosial. Di sisi lain, adik pria itu memang tampak seperti berandalan. Sorot mata Victor, yang tadi ia sangka sebagai kesombongan biasa, kini mengandung kekejaman terselubung. Seketika ia teringat pada pengejarannya di East Avenue. Tanpa sadar ia berdecak kesal. Sudah lama sekali ia tidak pernah begitu ingin menghajar seseorang, tetapi saat itu ia sungguh ingin meninju muka orang itu.

Jangan pikirkan itu sekarang. Masih ada hal yang lebih penting untuk diurus.

"Ngomong-ngomong, Lord Beverley, ada sesuatu yang ingin kuketahui." Cepat-cepat Davenport menguasai diri. "Enam tahun lalu, rumah seorang editor surat kabar terbakar habis tepat ketika ia mulai vokal menentang pembangunan Rathcliffe Valley. Hanya anak perempuannya yang selamat dari kejadian itu. Sempat ada dugaan bahwa pembakaran itu disengaja, tetapi anehnya kasus cepat-cepat ditutup sebagai kecelakaan tanpa ada penyelidikan mendalam. Apakah adikmu dan teman-temannya terlibat dalam kejadian ini?"

"Ya, dan aku mengetahuinya." Sesuai dugaan sang inspektur, Lord Beverley mengangguk. "Saat itu Victor masih berusia delapan belas tahun. Ia dan kawan-kawannya pergi menonton pertunjukan, lalu minum-minum di pub. Aku tidak ikut. Setelah menyelesaikan pekerjaanku di laboratorium, aku langsung kembali ke kamar pondokan mahasiswa yang kami tinggali berdua. Tiba-tiba, pada tengah malam, Victor menyerbu masuk ke kamar dengan panik. Pakaiannya berbau hangus, dan ada jelaga di wajahnya. Setelah kudesak, barulah ia mengaku bahwa ia baru saja membakar rumah Keluarga Sullivan. Ia dan teman-temannya sedang melakukan vandalisme pada rumah itu, kemudian seseorang mencetuskan ide untuk melakukan pembakaran. Hanya kecil-kecilan saja untuk menakut-nakuti penghuni rumah, tetapi lalu angin bertiup dan menyebarkan api hingga tak terkendali lagi."

"Jadi kau mengenal Keluarga Sullivan sebelumnya?" Inspektur Davenport mencondongkan badan ke depan penuh perhatian.

"Tidak, tetapi aku mengetahui tentang mereka. Siapa orang di Ashfield yang tidak mengetahui sosok editor surat kabar yang begitu berani mengkritik para pengembang perumahan? Tentu saja kebakaran itu langsung jadi berita besar. Singkat cerita, aku melakukan hal-hal yang perlu untuk memastikan adikku bebas dari kecurigaan. Ayah kami tidak mengetahui kejadian ini. Dulu, kukira kejadian itu akan membuat Victor menyadari ketololannya. Ia tampak sangat terpukul begitu mengetahui bahwa ia telah menyebabkan tewasnya dua orang dalam kejadian itu. Seperti yang kaulihat sekarang, ternyata harapanku tidak terwujud."

Lord Beverley menghela napas panjang. Perlahan, ia meraih cangkir teh lalu menyesap isinya. Inspektur Davenport pun melakukan hal yang sama. Walau diam-diam Davenport berusaha memahami keputusan lawan bicaranya, ia tak mampu melakukan hal tersebut. Davenport adalah anak tunggal. Orang tuanya mendidiknya dengan keras untuk memastikan bahwa ia takkan memiliki kompas moral yang bengkok. Andai ia punya saudara yang melakukan kejahatan, ia yakin ia akan langsung menjebloskan saudaranya itu dalam penjara.

"Keputusan yang sangat buruk, Lord Beverley." Sang inspektur menggeleng. "Lalu, apakah Tuan mengetahui di mana Victor berada sekarang?"

"Tidak, tetapi aku tahu kapan dan di mana ia akan muncul." Lord Beverley meletakkan cangkir yang kosong ke meja, lalu menggeser benda itu ke samping. Dari tumpukan buku, ia menarik keluar sebuah buku lain yang tak kalah tebal. "Aku juga tahu bagaimana cara menghentikannya."

Hai, ketemu lagi dengan aku di sini! Jujur, aku kaget naskah yang enggak pernah kupromosiin ini tahu-tahu bisa sampai 600+ readers. Jadi, demi teman-teman yang mungkin udah nungguin cerita ini tamat, masukin library, atau diam-diam stalking, kuputuskan untuk memberi kalian update (⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)⁠♡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top