20. Peringatan

Mitos keempat: Vampir tidak bisa masuk ke dalam kediaman-kediaman pribadi tanpa diundang oleh penghuni sah tempat tersebut. Oleh karena itu, jalanan dan tempat-tempat umum menjadi lahan perburuan lazim mereka.

~ 🥀🥀🥀 ~

Bekerjasamalah denganku.

Inspektur Jonathan Davenport terus memikirkan kata-kata Lord Beverley, bahkan ketika kakinya menaiki anak-anak tangga menuju kamar flat yang ia sewa untuk sementara. Sulit sekali mencari kamar sewaan di daerah yang begitu padat oleh perantau. Hanya flat berukuran studio di gedung tua berlapis tanaman ivy ini yang bisa langsung ia tempati dalam waktu sehari. Dalam mengusut kasus ini, lelaki itu tak mau buang waktu dengan perjalanan bolak-balik dari East Avenue ke rumahnya di Southbank. Jadilah ia harus puas dengan kamar berbau apak dan ranjang besi yang berderit-derit seakan siap rubuh setiap kali ia bergeser.

Kembali lagi ke urusan Lord Beverley. Inspektur Davenport ragu ia bisa mempercayai pria itu. Buktinya, selama ini Lord Beverley selalu bertindak semaunya sendiri. Saat ini pun, lelaki itu sungguh-sungguh menekankan bahwa ia tak ingin polisi terlibat dalam penyelidikan. Inspektur Davenport harus membantunya secara pribadi, bak detektif swasta yang disewa privat, tanpa boleh sedikit pun membocorkan detail kasus pada polisi dan media. Namun, bila Inspektur Davenport menolak, siapa lagi yang akan mempercayainya? Inspektur Grange pasti akan tertawa terbahak-bahak, lalu mendeklarasikan bahwa Davenport yang Hebat itu akhirnya sudah gila. Sementara itu, sang vampir masih akan berkeliaran di mana-mana, menghabisi anak-anak sesuka hati.

"Lagipula, aku masih belum tahu mengapa wajah vampir itu mengingatkanku pada Lord Beverley." Davenport geleng-geleng kepala. "Mungkinkah mereka bersaudara? Itukah sebabnya Lord Beverley kesulitan bersikap tegas? Ah, besok aku harus menyelidiki keluarga Earl Joseph Beverley. Kalau aku tidak salah ingat, di antara kelima anaknya, hanya Nathaniel Beverley yang reputasinya paling bersih. Lalu, gadis di Emerald Hall itu, di mana aku pernah melihatnya? Apakah ia orang sekitar sini juga? Kalau benar, ia pasti masih bocah waktu aku pindah dari East Avenue. Ugh, tetapi itu bukan sesuatu yang penting untuk dipikirkan sekarang!"

Polisi itu melirik kopernya yang berantakan. Sejak sampai di East Avenue, ia belum sempat membereskan barang-barangnya. Diambilnya satu-persatu baju, dilipatnya baik-baik di atas kasur. Setelah semua pakaian keluar, ia mencari-cari kertas surat dan alat tulisnya, berniat hendak menyurati kepala polisi di area tempat keluarga besar Beverley tinggal. Namun, benda-benda itu tidak ditemukan. Baru ia ingat bahwa tas berisi benda-benda itu ia tinggalkan di atas meja rumahnya di Southbank.

"Sialan!" maki Inspektur Davenport. Frustrasi, pria berusia dua puluh sembilan tahun itu mengacak-acak rambut hitamnya, lalu mondar-mandir di dalam kamar. Ruangan itu berukuran empat kali lima meter, dengan kamar mandi di luar. Selain ranjang, ada pula sebuah lemari dua pintu dan meja tulis kayu yang sama bututnya. Dindingnya, yang berlapis kertas dinding, dulu berwarna krem dengan motif mawar putih, tetapi sekarang warnanya sudah menguning dan bernoda bekas bocor di sana-sini. Aroma lembap menyusup dalam indra penciuman Inspektur Davenport. Ah, pengapnya! Pikir Davenport, kalau ia harus tidur dalam udara selembap dan sedingin ini, bisa-bisa dalam beberapa hari saja ia sudah kena radang paru-paru!

Hati-hati Inspektur Davenport menyibak tirai marun berbau apak yang menutupi jendela. Dari jendela itu, ia dapat melihat jalan utama. Malam itu, bulan purnama menyembul dari sela-sela awan mendung. Hanya kelelawar yang masih riang beterbangan. Dinginnya selot jendela menyambut ujung jemari sang inspektur. Musim gugur hampir berakhir. Kala tengah malam tiba, tak jarang suhu turun drastis hingga di bawah nol. Tak heran orang-orang yang lewat membungkus tubuh rapat-rapat dengan jaket dan syal.

"Hm, selotnya macet? Oh, ayolah!" Inspektur Davenport mengutak-atik selot besi yang berkarat itu. Karat membuat jemarinya jadi berbau anyir, tetapi ia tidak peduli. Entah kapan terakhir kali minyak menyentuh selot dan engsel jendela itu. Remang cahaya lampu minyak di atas meja tulis sungguh kurang menerangi ruangan. Terpaksa Inspektur Davenport agak meraba-raba. Hampir lima menit lamanya lelaki itu mendorong-dorong daun jendela, yang terbuka sedikit-sedikit dengan derit berisik.

Brak! Sekonyong-konyong, seekor kelelawar kecil menabrak jendela kamar. Inspektur Davenport terperanjat. Seketika, kaca yang tadinya bening sekarang kotor terciprat darah. Bangkai kelelawar merosot, membentur tepi jendela dengan suara plak pelan, lalu jatuh ke pekarangan di bawah. Tangan sang inspektur berhenti bergerak. Baru sekitar tiga sentimeter jendela itu terbuka, dan Davenport urung melanjutkan. Tanpa suara ia mengintip ke luar.

Aneh, tidak biasanya kelelawar terbang setinggi ini. Apa karena lampunya? pikir lelaki itu sambil menoleh ke arah lampu minyak di meja. Walau bukan ahli zoologi, ia tahu kelelawar-kelelawar sering beterbangan di sekitar lampu jalan untuk memangsa ngengat yang tertarik pada cahaya. Duga Davenport, barangkali bayangan lampu kamarnya telah menarik makluk kecil yang apes itu.

Namun, malam yang panjang baru saja dimulai. Kala Inspektur Davenport kembali berpaling ke jendela, seseorang telah menunggu lelaki itu. Ia berdiri di seberang jalan, menatap lurus ke arah jendela kamar Davenport. Pakaiannya serba hitam, topi berpinggiran lebar menutupi sebagian besar wajahnya. Kedua tangannya dimasukkan ke saku jaket. Perlahan, sosok itu menyeringai. Makin lama makin lebar, hingga wajahnya seakan mau robek jadinya. Kelelawar-kelelawar beterbangan dengan gelisah. Dari segala penjuru East Avenue, kelelawar berkumpul. Jalanan jadi gelap karenanya, bak diselimuti awan mendung.

"Sial, ini buruk!" Cepat-cepat Davenport menarik selot jendela hingga tertutup. Bagai peluru, hewan-hewan mungil itu melesat menabraki kaca jendela. Pria itu bergegas menutup tirai, tetapi suara hantaman masih terus terdengar. Kaca mulai berderak-derak. Tidak kurang akal, Davenport beralih ke meja tulis. Sekuat tenaga ia dorong meja berpunggung tinggi itu hingga menutupi jendela. Dari luar, giliran pintu digedor-gedor. Gagang pintu berkelotak-kelotak, rantai selot bergetar. Inspektur Davenport menyambar pistol, lalu menodongkannya ke pintu.

Satu peraturan, vampir tidak bisa memasuki suatu rumah bila tidak dipersilakan masuk oleh penghuninya, dan aku takkan sudi mengundang bajingan itu kemari, batin Inspektur Davenport. Keringat dingin mulai membasahi tangannya. Ia sudah pernah menghadapi para preman dan penjahat paling keji di Ashfield, tetapi belum pernah ada yang membuatnya merasa begini dekat dengan kematian. Ia sudah melihat wajah vampir itu. Berita mengenai keterlibatannya dalam penyelidikan pun mungkin sudah jadi rahasia umum sekarang.

Ia tahu makhluk itu pasti menginginkan kematiannya.

"Diamlah, iblis!" seru Inspektur Davenport. "Kau tidak punya kekuasaan di sini. Aku tahu siapa kau. Aku tahu kelemahanmu. Begitu fajar menyingsing, kau takkan lebih dari seonggok abu!"

Sama mendadak seperti mulainya, tiba-tiba suara-suara bising itu berhenti. Hening menyergap, lebih menyesakkan daripada keributan sebelumnya. Inspektur Davenport menahan napas. Jantung pria itu masih berdentam begitu keras, hingga untuk sesaat ia yakin bunyinya bisa memantul ke dinding-dinding kamar. Pistol masih dipegang dalam posisi siaga, sementara ia berjingkat-jingkat menyeberangi ruangan.

Tahan. Jangan mengintip. Jangan buka pintu dan jendela. Ia mungkin menunggu di luar sana.

Inspektur Davenport mengambil kursi meja tulis. Ragu-ragu ia mendekati pintu depan, waswas kalau-kalau pintu itu akan mulai bergetar lagi. Setelah yakin keadaan sepi, buru-buru ia ganjal gagang pintu dengan sandaran kursi. Kemudian, ia mengecek jam saku. Masih pukul setengah tiga dini hari. Pria itu menghela napas panjang. Ia habiskan sisa malam itu dengan duduk tegak di atas tempat tidur, dengan pistol siap di samping tangan kanannya.

Baru ketika fajar menyingsing dan ia yakin penuh apa yang ia alami semalam bukan mimpi belaka, pria itu bangkit berdiri untuk mengembalikan meja tulis dan kursi ke tempat semula. Sinar mentari menembus warna merah kecokelatan yang melapisi kaca jendela. Di sana-sini, retakan terlihat. Davenport mendengar seorang wanita menjerit di lantai dasar. Pasti syok melihat entah-berapa-banyak bangkai kelelawar malang yang bertumpukan di halaman. Pria itu mengenakan jaket, lalu berjalan turun.

Ia sama sekali tidak menoleh ke halaman.

Tidur nyenyak? Di cerita ini? Itu adalah hal yang mustahil, Sayang ( ꈍᴗꈍ)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top