17. Monster di Antara Manusia

Mitos Pertama: Vampir hidup di tengah-tengah kita. Mereka hidup dari meminum darah manusia, dan hanya bisa keluar di malam hari, sebab sinar matahari membakar tubuh mereka.

~ 🥀🥀🥀 ~

Dari informasi yang ia kumpulkan, Inspektur Davenport tahu bahwa Dokter Satterthwaite dua kali mengunjungi Rathcliffe Valley sebelum kematian lelaki itu. Orang-orang terdekat Dokter Satterthwaite tak menaruh curiga. Sejak dahulu lelaki itu memang sering ke sana, mengunjungi sang sahabat yang tertutup dan eksentrik. Esok hari, Inspektur Davenport juga akan ke sana. Ia telah menyurati Lord Beverley dua hari lalu, minta waktu untuk bertemu. Tadi pagi, permintaan itu disanggupi. Kini, untuk menghabiskan hari, Inspektur Davenport memutuskan untuk menyurvei pemukiman masa kecilnya dulu.

Banyak yang berubah setelah Inspektur Davenport pindah dari East Avenue lima tahun lalu. Rumah masa kecilnya kini sudah jadi toko kelontong. Sisa-sisa rumah yang terbakar di seberang rumahnya hampir penuh tertutup tanaman merambat, tanpa ada tanda-tanda pembangunan. Seorang nenek memincingkan mata begitu lelaki itu muncul di ujung jalan, lalu mendekat secepat yang ia bisa. Tongkat kayunya berkelotak-kelotak beradu jalan berbatu.

"Polisi, polisi, di mana-mana ada polisi." Nenek itu menggumamkan lagu asal saja. "Jonathan, kaukah itu? Bocah kurus yang suka makan pai apelku?"

"Nona Ryle?" Inspektur Davenport terkejut melihat sosok yang tingginya tak sampai sebahunya itu. Jangankan mengingatnya, ia bahkan tidak menyangka wanita itu masih hidup sampai sekarang! Di matanya, Nona Ryle tak pernah jadi perempuan muda. Rambut Nona Ryle sudah putih semua saat Inspektur Davenport baru berusia tiga tahun. Sekarang pun agaknya badannya yang kecil itu makin bungkuk saja. Namun, matanya, yang tertutup kacamata besar belensa bulat, senantiasa dipenuhi semangat hidup. Kalung batu-batu akik tergantung melingkari lehernya, sedang jemarinya berhias cincin-cincin dari emas palsu.

"Ah! Jadi kau benar Jonathan. Ada apa kau kemari? Urusan pribadi, atau kau datang sebagai polisi?" Tanya nenek itu, mendekat selangkah. "Banyak hal buruk terjadi. Kalau kau tak beniat mengurus masalah ini, kusarankan kau pergi dari sini."

"Ahem, aku ke sini untuk menyelidiki kasus pembunuhan seorang dokter." Inspektur Davenport berdeham. "Kami curiga pelakunya sama dengan pelaku pembunuhan berantai di daerah ini. Apakah ada warga yang pernah melihat sosok penjahat itu?"

"Tentu saja ada, tetapi sedikit yang hidup untuk menceritakannya. Aku salah satunya, meski omonganku sering tidak dipercaya. Kau beruntung aku menyukaimu. Biar kuberitahu sesuatu yang tidak diketahui orang-orang tolol itu. Mereka menyalah-nyalahkan orang-orang seenak hati mereka, tetapi melupakan sesuatu yang kentara. Selama matahari masih bersinar, si pembunuh tak pernah keluar. Kala malam tiba, baru ia merajalela. Tidak percaya? Tanyakan sendiri pada yang lain!"

"Kala malam tiba?" ulang Inspektur Davenport. Keningnya berkerut. Nona Ryle memang perawan tua yang nyentrik. Tinggal sendirian dalam pondok mungil yang berantakan, hidup dari hasil membaca tarot dan garis tangan di pasar malam, dan hanya berinteraksi dengan segelintir orang yang ia suka. Gara-gara wanita itu, Davenport remaja sempat tertarik mempelajari sihir dan aliran-aliran spiritual kuno, sebelum ayahnya tahu dan memaksanya membakar seluruh buku yang ia pelajari. Walau demikian, bukan berarti ketertarikan Inspektur Davenport berhenti di situ. Namun, fokusnya berubah. Dari yang dahulu percaya penuh, menjadi serupa akademisi. Ia pelajari ritual-ritual dan mitos layaknya seorang arkeolog menafsirkan kitab-kitab Mesir dan Babilonia kuno. Kini, meski ia mencitrakan diri sebagai seorang pria yang berpegang teguh pada logika, pikirannya tak pernah menutup kemungkinan akan adanya hal-hal di luar nalar manusia.

Saat ini, ia teringat akan sesuatu, dan ucapan Nyonya Ryle makin menambah kecurigaannya.

"Kalau kau masih seperti dulu, Nak, kau pasti akan tahu." Nona Ryle tersenyum. Gigi taring kanannya, yang bersalut emas, menyembul dari balik bibir. "Nah, sampai jumpa kapan-kapan. Kau sendiri, Nak, jangan lupa berhati-hati. Ia suka darah muda, tetapi mungkin kau masih lezat baginya."

Inspektur Davenport kehilangan kata-kata. Sementara itu, sang nenek terus berjalan sambil bersenandung, seolah percakapan tadi tak pernah terjadi. Tangan pria itu mengepal. Tekadnya sudah bulat.

Malam nanti, aku harus melihat sosok itu dengan mataku sendiri!

~ 🥀🥀🥀 ~

Tatkala malam tiba, Inspektur Davenport sudah bersiap. Tak ia kenakan baju seragamnya. Dengan sepatu kulit butut, celana panjang, kemeja putih kusam, rompi kelabu, dan jaket kelabu kedodoran, penampilannya persis para pekerja yang bersliweran pulang dari pabrik. Orang-orang menanyakan asalnya waktu ia makan malam di kedai. Dijawabnya bahwa ia pegawai baru, lalu ia sebutkan nama pabrik kertas yang agak jauh dari kedai itu. Mujur baginya, para penanya percaya. Usai makan, pria itu duduk-duduk di tepi sungai, mengisap pipa tembakau sembari memperhatikan insan-insan yang lewat.

"Malam yang dingin, Bung." Seseorang datang dan mencoba mengobrol.

"Benar, malam yang dingin, dan aku masih di sini." Inspektur Davenport merapatkan jaket, pura-pura memasang wajah muram. "Sayang sekali, padahal nyaris aku bisa pergi ke Australia, bergabung dengan penambang-penambang emas di Ballarat, dan hidup bergelimang harta. Sial, sial sekali!"

"Ah, sepertinya harimu buruk. Turut prihatin, Bung." Orang itu menjawab canggung, lalu berlalu dengan langkah-langkah cepat. Inspektur Davenport menghela napas lega. Bisa gagal rencananya kalau direcoki orang melulu! Pria itu kembali merenung, ditemani debur arus sungai yang deras, sementara jalanan makin lama makin bertambah sepi.

Pukul setengah sebelas malam, hampir tidak ada orang di luar. Rumah-rumah tertutup rapat. Para pekerja sif malam berjalan cepat-cepat sambil membungkus diri rapat-rapat dengan mantel dan syal. Orang-orang dewasa berjalan lebih santai, sedang para remaja lewat berkelompok-kelompok. Inspektur Davenport melihat kelap-kelip nyala api unggun dari jendela sebuah gudang tak terpakai.

Pasti di situ tempat anak-anak jalanan bermukim, ucapnya dalam hati. Angin berembus makin kencang, dan pria itu mulai menggigil. Ia berjalan-jalan untuk menghangatkan tubuh. Jalanan sudah nyaris kosong melompong, tetapi tidak ada tanda-tanda sosok yang mencurigakan. Inspektur Davenport beralih ke daerah pasar. Tikus-tikus berlarian mendengar kecipak langkahnya di tanah becek. Kelelawar berkelebat di langit, sesekali bercericit dengan suara melengking. Para tunawisma tidur berjajar dalam sisa-sisa toko kosong di sekitar pasar, bergantian bangun menjaga api unggun. Inspektur Davenport agak ngeri melihat betapa tua dan rusaknya bangunan-bangunan itu, seakan atapnya bisa ambruk sewaktu-waktu.

Dari salah satu bangunan kosong, agak jauh di Utara, tiba-tiba menyembul kepala seorang anak laki-laki. Dengan gugup anak itu menoleh ke kiri dan kanan, lalu lari berjingkat-jingkat ke pohon terdekat. Badannya kurus kering, jaket wolnya tampak lima ukuran lebih besar. Lampu gas remang-remang di tepi jalan tak cukup terang untuk membantu Inspektur Davenport melihat wajah anak itu. Sesampainya di belakang pohon, sekali lagi si bocah mengawasi sekelilingnya, lalu buang air kecil di sana.

Tepat di depan mata Inspektur Davenport, tiba-tiba sebentuk bayangan hitam berkelebat. Bocah lelaki itu menjerit. Dalam sekejap mata, si bocah sudah ada dalam pelukan seorang pria tinggi yang berpakaian serba hitam. Kaki anak lelaki itu meronta-ronta dan menendang-nendang udara. Lengannya sendiri sudah tidak dapat digerakkan, terkunci rapat dalam dekapan sosok penculiknya. Buru-buru Inspektur Davenport lari menghampiri. Ia cabut pistol dari ikat pinggang, lalu ia lepaskan tembakan peringatan ke udara.

Dor!

Sosok itu menoleh. Si bocah diempaskan begitu saja di tanah. Pucat dan gemetaran, tetapi masih hidup. Lalu, merayaplah makhluk itu ke arah sang polisi. Laksana anjing, ia bertumpu pada keempat anggota geraknya. Di bawah temaramnya lampu, terlihat wajahnya. Wajah itu wajah seorang laki-laki dewasa. Namun, ada ketidakwajaran dalam wajah itu yang membuat bulu kuduk Inspektur Davenport berdiri. Kulitnya terlalu pucat, iris matanya merah menyala, dan taringnya .... Astaga, apakah itu bahkan mungkin dimiliki manusia? Taring-taring itu panjang dan runcing seperti belati, dengan bagian belakang agak melengkung ke dalam.

"Berhenti di situ. Angkat tangan, atau aku akan menembak. Ini perintah." Inspektur Davenport berusaha bicara setenang mungkin. Tangannya menggenggam gagang pistol erat-erat, walau ia tahu peluru timah di dalam benda itu mungkin tak berguna. Bila memang makhluk itu adalah sosok yang ia takutkan, hanya kayu dan perak yang bisa melukai makhluk itu, dan dua-duanya tidak dimiliki Inspektur Davenport. Ia menembak, dua kali, tetapi luka-luka di tubuh sang monster langsung menutup begitu tertembus peluru. Pria itu tertegun, pasrah. Barangkali ia masih bisa melawan dengan tangan kosong untuk sementara waktu, tetapi ia tak tahu berapa lama ia bisa bertahan menghadapi makhluk itu ....

"Oi! Oi! Dengar itu!" Dari kejauhan, terdengar seruan orang banyak. Bunyi tembakan pistol Davenport telah menarik perhatian warga. Seketika, makhluk itu berhenti bergerak, lalu berdiri tegak. Geraman marah terdengar dari mulutnya. Kini, kembali ia tampak seperti manusia pada umumnya, yang berselubungkan jubah dan topi. Lalu, sekonyong-konyong ia berbalik dan melesat pergi.

"Hei, jangan kabur, sialan!" seru Inspektur Davenport. Secepat kilat ia gendong anak itu di punggungnya, lalu berlari mengejar si pembunuh yang sudah jauh di depan. Sosok misterius itu berbelok ke jalan menuju gerbang depan Rathchliffe Valley. Inspektur Davenport pun keheranan. Bukankah penjaga-penjaga ditempatkan di gerbang Ratchliffe Valley setelah kasus pembunuhan semakin marak? Bila pembunuh itu lari ke sana, sama saja dengan bunuh diri namanya!

Namun, sang pembunuh tidak pergi ke sana. Dua puluh meter dari gerbang, sosok itu tiba-tiba berbelok dan masuk ke gang terdekat. Ini pun sebuah kebodohan di mata Inspektur Davenport, yang tahu bahwa gang itu buntu. Letak gang itu, yang dimaksudkan sebagai akses pemadam kebakaran, ada di antara dua bangunan kantor. Ujungnya diblokir oleh bangunan lain. Walau punggungnya mulai berat menanggung beban anak itu, sang inspektur menyeringai puas. Hari ini, ia pasti bisa mempermalukan Inspektur Frederick Grange untuk selama-lamanya.

"T ... tidak mungkin!"

Begitu sampai di ujung gang, Inspektur Davenport terperangah. Gang itu kosong. Hanya sampah dan berkeranjang-keranjang botol kosong di mana-mana. Tidak ada tempat sembunyi, dan tak ada kesempatan untuk kabur. Sungguh, si sosok misterius bagai lenyap ditelan bumi. Kelelawar bercuit-cuit nyaring di langit, seolah menertawakan nasib polisi itu. Jantung Inspektur Davenporr berdebar-debar. Matanya menatap nanar ke dinding bata setinggi sepuluh meter yang menjulang di hadapannua.

Iblis jahanam! Ke mana ia pergi?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top