16. Kedatangan Sang Inspektur
Inspektur Jonathan Davenport menghela napas panjang begitu kereta kuda yang ia tumpangi memasuki kawasan East Avenue. Roda kereta berkecipak-kecipak tatkala melintasi genangan air. Beberapa kali kereta terpaksa berhenti karena begitu banyaknya orang yang seenaknya menyeberang jalan. Di sana-sini, orang-orang berpakaian lusuh mencuri pandang kepadanya, lalu buru-buru berpaling dan mempercepat langkah waktu ia menatap balik.
Walau lahir dan besar di pinggiran East Avenue, sudah bertahun-tahun Inspektur Davenport tidak menginjakkan kaki di wilayah itu. Kecemerlangannya membuat pria bertubuh tegap itu ditarik ke kantor kepolisian pusat di wilayah Southbank yang elit. Setelah adik perempuan Inspektur Davenport menikah dan pergi ke Afrika Selatan, orang tuanya pindah ke pedesaan, ingin menghabiskan masa pensiun dengan bertani kecil-kecilan. Maka, hilanglah sudah alasan bagi pria berambut dan bermata hitam itu untuk berkunjung.
Kereta berjalan terus, lalu membelok di sebuah tikungan. Di balik area pabrik dan kantor, tampaklah rumah-rumah dan pasar. Anak-anak kecil bermain di pekarangan rumah masing-masing (yang sebenarnya tidak pantas disebut pekarangan, mengingat tempat itu hanyalah segaris tanah kosong selebar kurang dari dua meter yang membentang panjang di depan rumah-rumah kumuh di sana), sementara ibu-ibu mereka mencuci pakaian. Mereka lari ke dalam rumah begitu kereta melintas. Agak jauh di Selatan, terlihat deretan rumah baru di balik area yang dibatasi pagar hitam dari baja berukir.
Rathcliffe Valley! Pria itu tidak tahan untuk tidak mendecih saat melihat gerbang tinggi kompleks perumahan itu mencuat di antara bangunan-bangunan tua dan rumah-rumah kumuh. Benar kata orang-orang, bahkan dari kejauhan, tempat itu memang mencuat seperti mutiara di kandang babi. Secara harfiah, tentu saja. Secara metafora, Inspektur Davenport takkan menyebutnya demikian. Ia tahu beberapa kebobrokan moral paling busuk justru bersemayam di balik dinding-dinding berlapis emas, sedang hati paling mulia kadang justru bersembunyi di balik rumah reyot beratap miring.
Pandangannya beralih pada kertas-kertas yang tertempel di dinding. Pengumuman anak hilang berderet-deret. Beberapa sudah terlalu pudar untuk dibaca. Selebaran baru menempel di atas selebaran lama, tumpang tindih seperti gigi yang gingsul. Seharusnya sudah sejak dulu ini jadi berita utama, pikir pria itu. Seharusnya sudah sejak dulu kepolisian memberikan atensi penuh untuk kasus ini, dan bukannya baru setelah seorang dokter terkenal ditemukan tewas dengan luka-luka yang sama dengan anak-anak itu. Tanpa ia sadari, tangannya mengepal, geram.
"Kita sudah sampai," ucap sang kusir. Kereta berhenti di depan kantor polisi East Avenue. Seorang polisi sudah berdiri di tangga depan, bersedekap dengan pandangan galak. Sebelah kakinya mengetuk-ngetuk lantai. Inspektur Frederick Grange memang tidak pernah dikenal sebagai orang yang ramah. Diam-diam, para anggota kepolisian menyebutnya SI Susu Masam. Dari awal pertemuan, Inspektur Davenport sudah tahu pekerjaannya takkan mudah.
"Selamat pagi, Grange." Inspektur Davenport mengangkat topi. "Kau tentu sudah terima kabar kalau aku ditugaskan untuk kasus Dokter Satterthwaite."
"Tidak perlu basa-basi, Davenport," sahut polisi bertubuh gempal itu masam. "Bagaimana rasanya menginjakkan kaki di sini lagi, setelah bertahun-tahun mendekam di sangkar emas?"
"Tenang saja, Grange, ini semua murni urusan profesional. Aku takkan merebut lencanamu." Inspektur Davenport tersenyum sinis. Pria itu menepuk-nepuk bahu Inspektur Grange, lalu mrlenggang masuk. Seorang petugas menghormat padanya. Hari itu, Davenport memang mengenakan seragam lengkapnya. Terutama karena ini adalah kunjungan resmi. Ashfield tidak punya banyak polisi yang berpengalaman mengurusi perkara pembunuhan yang rumit. Inspektur Grange pun, seingat lelaki itu, hanya pernah menangani kasus-kasus remeh. Pemabuk yang mengepruk kepala orang lain dengan botol anggur, istri yang meracun suami, suami yang mencekik istri (hal-hal demikian selalu memperkuat keyakinan Inspektur Davenport untuk tidak menikah!), dan hal-hal lain semacam itu. Sama sekali bukan kejahatan sistematis buah karya sebuah pikiran cerdas.
"Hei, siapa namamu?" Inspektur Davenport memanggil petugas itu. Ia masih sangat muda, lebih mirip remaja daripada pria dewasa. Pipinya kemerah-merahan. Pun rambutnya merah seperti rambut jagung. Ia tersentak sedikit waktu diajak bicara oleh inspektur dari kantor pusat itu.
"Siap, Sir! Petugas O'Neill, siap bertugas!" jawab pemuda itu lantang. "Sebuah kehormatan bisa bertemu denganmu, Sir!"
"O'Neill?" Inspektur Davenport mengangkat sebelah alis. "Kalau tidak salah, itu juga nama salah satu anak yang tewas, bukan?"
"Benar, Sir, dia sepupuku!" jawab si petugas, masih sama lantangnya.
"Lalu, apakah kalian sudah mendapatkan tersangka?"
"B ... belum, Sir." Suara Petugas O'Neill mendadak lirih. "Kami sudah memeriksa beberapa orang yang berkelakuan mencurigakan, tetapi kami tidak punya alasan kuat untuk menahan satu pun dari mereka. Selain itu, kami belum bisa menentukan senjata apa yang digunakan dalam pembunuhan-pembunuhan itu, tetapi pasti bukan sesuatu yang dikenal di tanah Inggris ini ...."
Soal itu, tentu saja Inspektur Davenport sudah mengetahuinya. Masih terbayang olehnya betapa raut wajah dokter kepolisian yang memimpin otopsi atas jasad Satterthwaite seolah telah menua sepuluh tahun lebih cepat kala menemuinya setelah pemeriksaan selesai. Ia bahkan harus memberikan brendi agar dokter itu mampu kembali berbicara dengan koheren. Menurut hasil otopsi, Dokter Satterthwaite disergap tanpa sempat melawan. Kemungkinan besar batang otak pria itu ikut patah saat tulang lehernya remuk. Dengan kata lain, kematiannya terjadi seketika. Sebuah tindakan yang cukup berbelaskasihan.
Namun, tetap saja perkara darah jadi hal yang paling membingungkan! Seperti spons kering, demikian si dokter kepolisian mendeskripsikan keadaan mayat Desmond Satterthwaite. Darahnya seakan sudah diperas habis hingga jantung dan pembuluhnya kosong, tetapi hanya sedikit bercak darah yang ditemukan di tempat kejadian perkara. Lalu, ke mana sisanya?
Ini terlalu mirip. Makhluk-makhluk malam itu, kalau sampai mereka sudah masuk ke Inggris, berarti pembunuhan berantai ini baru permulaannya saja ....
"Oi, jangan kauambil anak buahku, Davenport!" Seruan Inspektur Grange memotong jalan pikiran Inspektur Davenport. Nada suaranya ringan saja, tetapi ada hawa ketidaksukaan yang kentara di dalamnya.
"Tenang, kita partner di sini. Iya, kan?" Sambil menyunggingkan senyum sinis, Davenport menepuk-nepuk bahu Petugas O'Neill. Petugas polisi yang malang itu hanya terdiam dan melirik dengan ekspresi memelas, enggan terjebak dalam perang dingin dua inspektur. Lagi lanjut Davenport, "Setidaknya, itu perintah dari atas. Suka tidak suka, kau harus mengakui bahwa kasus Satterthwaite menuntunku ke sini, Grange."
"Yah, biar kuperingatkan, kau harus bekerja ekstra keras di sini. Orang-orang di East Avenue menganggap para polisi seperti kutu busuk. Jangan kaget kalau sebagian besar dari mereka menolak bicara, atau malah bicara berputar-putar menyesatkan. Bersiaplah diusir, dibentak, dan diludahi. Anak manja sepertimu takkan sanggup bertahan sehari di lubang neraka seperti ini!" Inspektur Grange mendengkus.
"Terima kasih atas peringatannya, Inspektur, tetapi kau melupakan satu hal." Inspektur Davenport membalas. Nada suaranya tenang, tetapi mengancam. "Kau lupa kalau aku lahir dan dibesarkan di neraka ini. Jadi, kecuali kau ingin warga yang marah akhirnya mengeroyok kau dan aku, mari kita bekerjasama dan cepat-cepat menangkap sang pembunuh."
Selamat datang di babak kedua! Setelah sekian lama, akhirnya kasus ini mendapatkan atensi polisi. Akankah seluruh kebenaran terungkap?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top