14. Berita Duka
Peraturan ketigabelas: Surat-surat yang masuk disortir menjadi surat pribadi, tagihan, surat bisnis, dan iklan. Semua iklan boleh langsung dimusnahkan, sedangkan surat-surat lainnya ditaruh di keranjang-keranjang di depan ruang kerja sesuai kategorinya. Telegram harus langsung disampaikan pada Lord Beverley.
~ 🥀🥀🥀 ~
The Three Black Dogs adalah sebuah kedai makan yang terletak persis di seberang Royal Ashfield Hospital. Bangunannya kecil dan tua, sungguh kontras dengan kemegahan rumah sakit sekaligus pusat riset kedokteran berlantai enam itu. Renda kanopi merahnya, yang sudah kusam dan pudar setelah bertahun-tahun diterpa sinar mentari dan debu jelaga, berkibar-kibar diembus angin musim gugur. Menu jualannya sederhana saja, hanya kentang tumbuk bersaus kaldu, sosis panggang, roti lapis, dan makanan-makanan umum lainnya. Namun, tempat itu penuh sesak dengan pengunjung.
Melalui jendela kedai, Amy melongok ke dalam. Udara akhir musim gugur dingin menusuk tulang. Amy menyesal tak mengenakan sarung tangan sebelum berangkat. Uap napas gadis itu menimbulkan embun di kaca jendela. Sudah hampir pukul sebelas tiga puluh. Beberapa orang dokter keluar-masuk membeli makan siang, tetapi Dokter Satterthwaite tak kunjung kelihatan. Betapa pun ia mengamati setiap pria berambut pirang gelap yang datang, ia tetap tak bisa menemukan lelaki itu.
"Aneh, apa Dokter Satterthwaite mendadak berhalangan datang?" Amy melayangkan pandang ke rumah sakit. Andai ada cara untuk menghubungi lelaki itu secara langsung, pasti ia tidak perlu berdiri kedinginan seperti ini! Mulanya, gadis itu berpikir positif. Barangkali ada pasien yang masih harus ditangani, dan Dokter Satterthwaite tidak bisa pergi sebelum ia selesai dengan pasien itu. Namun, jarum jam terus berdetak. Amy tidak punya banyak kesempatan sebelum durasi izin keluar dari Lord Beverley habis.
Gadis itu mulai gelisah. Ia berjalan mondar-mandir di depan kedai. Akhirnya, ia sadar tidak bisa begitu terus. Terpaksa ia memberanikan diri untuk menyeberangi jalan. Pintu gerbang Royal Ashfield Hospital menjulang tinggi, bagaikan tombak-tombak hitam hendak menghujam langit. Makin mendekati bangunan rumah sakit, aroma alkohol dan obat-obatan mulai tercium. Amy menahan napas, berusaha menyingkirkan rasa mual yang tiba-tiba menyeruak. Hanya sekali Amy pernah memasuki rumah sakit itu sebelumnya. Kala itu, ia tinggal di sana selama seminggu, tepat setelah kebakaran menghanguskan rumah dan orang tuanya.
Luka-luka yang Amy derita dalam kebakaran itu tidak terlalu parah. Bahkan, bekas luka di jemarinya akibat terkena tetesan lilin jauh lebih kentara daripada bekas-bekas luka dari tragedi itu. Hanya saja, luka fisik dan luka batin adalah dua hal yang berbeda. Kala gadis itu menapaki jalan menuju ke beranda, dan melihat pasien-pasien baru didorong masuk di atas brankar-brankar beroda, ia teringat kala para paramedis itu membawa jasad orang tuanya. Ia hanya bisa berteriak, berteriak, dan terus berteriak memanggil mereka, hingga suaranya habis dan tenggorokannya terluka. Para perawat harus setengah menyeretnya masuk supaya bisa memperoleh perawatan. Soal apa yang terjadi selanjutnya, Amy tak begitu ingat. Mungkin ia pingsan, atau menangis terisak-isak semalaman. Bau obat merah, karbol, dan alkohol senantiasa menusuk hidung. Bau yang sama terus-menerus terngiang dalam memorinya, tak lekang digerus waktu yang terus berjalan maju.
Amy menegakkan punggung. Hari itu, kembali ia bersolek. Sehelai gaun merah marun membungkus tubunnya, dilapisi mantel panjang berwarna cokelat gelap. Kainnya murah dan modelnya ketinggalan zaman, tetapi ia tidak peduli. Malahan, ia senang tampak beberapa tahun lebih tua dari usianya. Menghadapi resepsionis rumah sakit adalah hal yang menakutkan, maka ia harus tampak meyakinkan. Di sana-sini, orang-orang berlalu-lalang. Gadis itu agak heran dengan banyaknya polisi yang berkeliaran, tetapi pikirannya tak sempat mempertanyakan hal tersebut.
"Um, permisi!" ujar Amy canggung. Resepsionis Royal Ashfield Hospital adalah seorang gadis berseragam perawat yang jelas-jelas tampak tak ingin berada di balik meja penerimaan itu. Rambutnya pirang dan halus, tidak mekar ke mana-mana seperti rambut Amy bila dibiarkan bebas, dan disanggul rendah di belakang kepala. Mata birunya tentu indah bila sedang berbinar, tetapi saat ini sepasang mata itu hanya menatap bosan pada Amy. Jemarinya mengetuk-ngetuk buku daftar pasien yang terbuka di meja.
"Sudah buat janji? Sebutkan nama dan alamatmu, serta dokter yang hendak kautemui, Nona." Dengan malas, resepsionis itu membalik-balik buku besar di hadapannya. "Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Kalau kau pasien baru, kau harus mengisi formulir pendaftaran."
"Ah, sebenarnya aku bukan ke sini untuk berobat." Amy menyahut. "Aku ingin tahu apakah Dokter Satterthwaite masuk hari ini. Dokter Satterthwaite adalah kenalanku, dan kami berjanji akan bertemu siang ini, tetapi ia tidak datang ke tempat pertemuan."
"Oh!" mendadak gadis resepsionis itu memekik. Matanya jadi sebulat kelereng. "Jadi kau belum tahu rupanya? Ah, sayang sekali, Nona! Sayang sekali! Benar-benar kejadian yang tragis!"
"Ada apa? Apakah Dokter Satterthwaite mengalami musibah?"
"Oh, Nona, Dokter Desmond Satterthwaite meninggal kemarin malam," suara gadis itu penuh rasa iba. "Terakhir kali, kudengar polisi masih melarang orang-orang datang melihat jenazahnya. Benar-benar mendadak, padahal kemarin pria itu masih sehat dan bersemangat ...."
"Eh?" Amy tak kuasa menyembunyikan keterkejutan. "Me ... mengapa? Apakah kecelakaan? Serangan jantung? Atau ... ada apa sebenarnya?"
"Tidak, aku tidak tahu, Nona." Tiba-tiba saja resepsionis itu melirik ke kanan dan kiri dengan gelisah. "Kami semua tak ada yang tahu. Kabarnya Dokter Satterthwaite bahkan tidak pernah sampai ke rumahnya semalam. Dokter-dokter dari kepolisian sedang melakukan otopsi di ruang belakang sana. Maaf, bila kau tidak ada urusan lain, kumohon kau pergi dan menunggu informasi lebih lanjut, Nona!"
Amy kaget luar biasa. Sepanjang perjalanan pulang, gadis itu merasa bagaikan tengah bermimpi. Dokter Satterthwaite, pria lincah dan penuh semangat yang sudah berulang kali melakukan pelayaran ke berbagai pelosok dunia itu, meninggal begitu cepat? Padahal, oh, betapa ia tampak begitu hidup kemarin! Lagipula, bukannya sungguh sangat kebetulan bahwa lelaki itu tiada tepat setelah perselisihannya dengan Lord Beverley?
Kalau polisi sampai dipanggil, berarti kematian Dokter Satterthwaite tidak wajar, bukan?
Gadis itu menggigil. Ia rapatkan jaket, lalu ia ikat sabuknya erat-erat. Langit musim gugur kini kelabu. Angin makin kencang berembus, membawa asap-asap hitam membubung tinggi dari cerobong pabrik, menyebarkan dedaunan rontok ke tengah jalan, dan memaksa para pejalan kaki memegangi topi erat-erat. Sepanjang jalan, gadis itu melangkah cepat-cepat dengan kepala tertunduk. Hanya satu keinginannya, yaitu pulang dan bersembunyi di kamar sampai entah kapan. Satu-satunya orang yang mengetahui rahasia di balik kematian orang tuanya kini sudah tak bisa berbicara. Mungkin saja ia selanjutnya.
"Aku akan menutup mulut," gumam Amy lirih. "Ya, ya, aku akan menutup mulut. Aku akan pulang dan melupakan bahwa semua ini pernah terjadi. Aku tidak mau mati seperti Dad, Mom, dan Dokter Satterthwaite. Aku mau seperti gadis-gadis lain, yang bisa hidup tenang. Aku mau .... Aku mau ...."
Suara Amy tercekat. Diam-diam, gadis itu mengusap matanya yang berkaca-kaca dengan punggung tangan. Ia menyelinap melalui pintu samping Emerald Hall, menggantung mantel di balik pintu area pelayan, lalu berjalan lurus melewati Joanne, yang sedang mempersiapkan makan siang. Di dalam rumah, suasana begitu normal. Suara spatula beradu wajan, desis sosis di penggorengan, dengung pelan dari dalam laboratorium Lord Beverley, bau daging goreng bercampur aroma rempah di udara. Ini tidak normal, pikir Amy. Tidak mungkin rumah setenang ini setelah apa yang barusan terjadi.
"Um, Joanne, apakah ada berita yang spesial hari ini?" tanya Amy hati-hati.
"Berita? Tidak ada. Mengapa kau bertanya?" sahut Joanne tanpa menoleh. Wanita setengah baya itu menata sosis di atas piring, di samping kentang tumbuk, kacang polong, dan wortel rebus yang telah disiapkan sebelumnya. Lalu, ke atas kentang tumbuk, ia menyiramkan kaldu kental berwarna cokelat. Tiba-tiba, denting lonceng bergema di dapur. Asalnya dari bel di pagar depan, yang disambungkan dengan sebuah tali panjang ke sebuah bel lain di dapur. Dengan demikian, para pelayan selalu dapat mendengar tamu atau kurir yang datang.
"Tidak, bukan apa-apa. Ah, itu bel berbunyi." Lekas-lekas Amy mengintip jendela depan. "Tukang pos ke sini, Joanne. Akan kuterima suratnya."
Sesaat kemudian, Amy kembali dengan sepucuk telegram. Untuk Lord Beverley, dari seseorang yang Amy asumsikan adalah istri atau saudara perempuan Dokter Satterthwaite. Gadis itu sudah yakin akan isinya. Pada saat bersamaan, Lord Beverley keluar dari laboratorium. Tanpa suara, Amy menyerahkan telegram itu pada sang lelaki, yang langsung membacanya di tempat.
Begitu Lord Beverley membaca telegram itu, spontan matanya melebar. Wajahnya jadi sepucat mayat, tangannya mencengkeram kertas itu sampai kusut tak berbentuk. Ia mundur selangkah, lalu berpegangan pada ujung meja pajangan. Napasnya memburu. Selama Amy bekerja di sana, baru kali itu ia melihat Lord Beverley begitu terguncang.
"Satterthwaite .... Satterthwaite .... Tidak mungkin ...," gumam Lord Beverley sepatah-sepatah. Tak sengaja, tangannya menyenggol vas kecil di atas meja, hingga jatuh dan pecah berantakan. Amy hanya bisa terpaku, terlalu kaget akan reaksi mengejutkan lelaki itu. Joanne berlari-lari mendatangi mereka.
"Tuan Muda, ada apa?" tanya Joanne khawatir.
"Satterthwaite! Si bodoh itu! Ia meninggal!" teriak Lord Beverley. Bulu kuduk Amy berdiri mendengar suaranya. Ada nada keputusasaan dan teror yang hebat dalam suara itu, bak hewan yang dibawa ke pembantaian. Sekonyong-konyong Lord Beverley tertawa sumbang. Pundak pria itu berguncang-guncang seiring tawanya. Lalu, tanpa bisa dicegah lagi oleh Joanne, Lord Beverley melesat masuk ke laboratorium, menyambar mantel dan sebuah tas hitam besar, dan berlari keluar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top