13. Perpecahan Sahabat Lama
Peraturan keduabelas: Setiap hari Jumat, seluruh seprai di rumah, termasuk di kamar-kamar tamu yang tidak terpakai, harus diganti. Dua minggu sekali, tirai-tirai harus diturunkan dan dicuci. Selama tirai masih belum terpasang kembali, jendela-jendela harus tetap dibiarkan tertutup. Cermin-cermin dilap dengan lap basah minimal seminggu sekali.
~ 🥀🥀🥀 ~
Lama sekali Lord Beverley berbicara dengan Dokter Satterthwaite. Dengan kesigapan seorang pelayan berpengalaman, Joanne segera membawa Amy menyingkir. Ia ambil keranjang belanja dari tangan si gadis, lalu ia suruh gadis itu membersihkan rumah. "Hari ini aku akan memasak," katanya, "dan kau akan mengganti seprai serta menurunkan tirai-tirai. Ayo, Amy, hari ini hari Jumat. Banyak yang harus kita kerjakan."
Amy tentu saja menurut. Memangnya apa lagi yang bisa ia lakukan? Ia tahu tidak sopan menguping pembicaraan orang lain. Tentang hal itu, orang tuanya sudah mendidiknya dengan keras. Namun, toh pintu perpustakaan tidak terlalu tebal. Sepotong-sepotong, pembicaraan kedua lelaki itu terdengar juga ke luar.
"Aku memang sengaja melakukannya, Satterthwaite." Demikian Lord Beverley berucap. "Harus ada seseorang yang bertindak. Kita sama-sama tahu itu."
"Dengan apa? Mayat-mayat itu? Percuma! Dengar, Beverley, ada baiknya sekali-sekali kau keluar rumah, supaya kau bisa benar-benar melihat dunia macam apa yang kautinggali ini. Tadi, dalam perjalanan ke sini, aku melihat keributan di jalan. Seorang pria asing dicegat warga setempat karena ia memakai jaket panjang berwarna hitam. Dari logat bicaranya, kurasa pria itu orang Italia. Dari para pasien dan staf rumah sakit, aku mendengar insiden serupa terjadi di mana-mana. Orang-orang kulit berwarna yang seringkali menjadi target. Apa itu yang kauinginkan? Mengorbankan lebih banyak orang tak bersalah supaya tanganmu tetap kelihatan bersih?"
"Namun setidaknya orang-orang mulai peduli. Polisi sekarang terpaksa bertindak. Kau tentu tahu aku tak mungkin datang langsung pada polisi. Mereka akan menganggapku sudah sinting. Sekarang, coba lihat seluruh pekerjaanku ini. Kaupikir aku hanya bersenang-senang saja dengan semua ekstrak dan formula itu? Aku mencari cara untuk menghentikannya, Satterthwaite. Di saat bersamaan, aku harus melindungi keluargaku. Nama baik mereka ada di tanganku, dan sebagai anak yang berbakti, takkan kubiarkan nama keluarga Beverley tercoreng."
"Ya, dan kau mengotori tanganmu sendiri dengan darah demi melakukannya." Suara Dokter Satterthwaite sinis dan pahit. "Kau butuh bantuan, Beverley! Hentikan kegilaan ini sekarang juga!"
Mendadak, terdengar suara nyaring meja digebrak. Amy terperanjat, lalu cepat-cepat menyingkir dan pura-pura sibuk. Suara-suara masih terdengar dari dalam. Tak berapa lama kemudian, pintu perpustakaan terbuka. Sang tuan rumah berdiri di samping pintu dengan lengan bersedekap, bibir tipisnya terkatup menahan amarah.
"Sebaiknya kau pergi sekarang, Satterthwaite. Tidak perlu kembali lagi ke sini. Terserah kalau kau mau pergi pada polisi, atau melakukan hal lain dengan informasi yang kaumiliki. Hanya saja, kuharap kau siap menghadapi konsekuensi untuk itu," tutur Lord Beverley.
"Baiklah. Kurasa tak ada gunanya berbicara denganmu. Sama sepertinya, kau benar-benar sudah tidak tertolong lagi." Dokter Satterthwaite membenahi posisi topinya. Ada nada jijik yang kentara dalam suara lelaki itu, seolah-olah Lord Beverley adalah seonggok bangkai busuk penuh belatung. Sementara itu, yang diajak bicara tetap bergeming. Amy berlari-lari kecil membukakan pintu dan gerbang. Kala sang dokter melintas, tak sengaja matanya beradu pandang dengan Amy. Gadis itu tertegun. Di balik kekecewaan Dokter Satterthwaite, ada ekspresi lain yang sulit Amy jelaskan. Apakah itu kesedihan, atau rasa iba? Amy tidak tahu. Namun, ia paham ekspresi itu ditujukan padanya.
"Ah, Dokter Satterthwaite, aku—" spontan Amy berucap, tiba-tiba teringat pada kartu pos dari lelaki itu.
"Ada apa?"
"T ... tidak. Lupakan saja, Tuan." Amy menggeleng. Takut-takut ia melirik ke pintu depan. Lord Beverley masih ada di sana. Masih bersedekap, lelaki itu bersandar pada dinding di balik pintu. Matanya tajam mengawasi Amy dan sang dokter. Satterthwaite mengangguk kecil, langsung memahami sumber ketakutan Amy. Dengan satu gerakan cepat dan tak kentara, ia menjatuhkan sehelai kertas yang dilipat-lipat ke dalam saku celemek Amy, lalu masuk ke kereta kuda yang sedari tadi menunggu di depan pagar.
Sepeninggal Dokter Satterthwaite, Lord Beverley memanggil Amy dan Joanne ke ruang kerjanya. Posisi duduk yang tegap dan gestur tubuh yang tenang tetap tak mampu sepenuhnya menutupi gurat-gurat kelelahan di wajah lelaki itu. Pun sorot matanya yang biasanya tajam itu kini menampakkan kekalutan. Gelas kaca di meja separuh terisi oleh wiski. Kemungkinan wiski kualitas terbaik, yang memang disimpan sendiri olehnya. Wadah alkohol itu, sebuah botol kaca buatan tangan dengan bagian bawah berbentuk oval dan leher ramping berhias kaca meliuk-liuk, memantulkan cahaya mentari jadi garis-garis pelangi di atas kertas.
"Seharusnya kau tidak minum, Tuan Muda," komentar Joanne tak senang. Di saat seperti ini, gerak-gerik wanita itu lebih mirip seorang ibu asrama daripada seorang pelayan rumah tangga.
"Tidak perlu mengkhawatirkanku, Joanne. Aku sudah tahu batasku," sahut sang tuan rumah, lalu menyesap sedikit wiski di gelas. Amy menyadari bahwa tangan pria itu sedikit gemetar. "Mulai hari ini, aku tidak mau lagi menerima tamu-tamu yang datang tanpa mengabari terlebih dahulu. Bila ada yang bertamu tanpa pemberitahuan, bahkan jika itu ayah atau ibuku sendiri, suruh orang itu kembali lain waktu. Kalau orang itu marah, biar saja. Tegaskan bahwa itu memang kemauanku. Saat ini, aku benar-benar menginginkan privasi untuk diriku sendiri."
"Namun, bila Tuan Muda melakukan itu, ayah Tuan akan—"
"Tidak ada perkecualian, Joanne! Bila ayahku tidak setuju, biar aku yang bicara sendiri padanya. Andai ia sesekali menaruh perhatian pada hal-hal selain bisnisnya, tentu aku tidak harus bertindak seperti ini. Kalian berdua paham?"
"Baik, Tuan," cicit Amy. Gadis itu mengerut di kursi. Jemarinya memainkan renda di tepi celemek. Dalam hati, ia ingin menghilang saja. Amy selalu takut pada orang yang bisa tetap tenang ketika emosinya memuncak. Biasanya, orang-orang semacam itu malah jauh lebih mengerikan daripada orang-orang yang berteriak dan memaki-maki ketika marah.
"Dan kau, Amy Sullivan, berhenti ikut campur dalam hal-hal yang bukan urusanmu. Aku tahu kau memang masih muda dan idealis, tetapi bukan berarti kau harus berlari ke sana kemari dan berusaha membantu setiap orang di sekitarmu. Mengerti?" Mendadak Lord Beverley mengalihkan perhatian pada Amy. Gadis itu terperanjat, lalu cepat-cepat menegakkan punggung dan mengangguk.
"Sial, semua ini membuatku sakit kepala." Lord Beverley memejamkan mata sembari menggeleng pelan. Lalu, setelah menghabiskan sisa wiski di gelas dalam satu tegukan, lelaki muda itu menyandarkan tubuh ke kursinya yang lembut dan berpunggung tinggi. Dengan tangannya, ia memberi isyarat agar kedua pelayannya keluar.
Sepanjang sisa hari itu, Joanne tidak bicara pada Amy. Sia-sia gadis itu berusaha mengorek keterangan tentang apa sebenarnya yang menyebabkan Lord Beverley dan Dokter Satterthwaite bertengkar begitu hebat. Lama-kelamaan, gadis yang baru saja dewasa itu jadi frustrasi. Teringat ia akan masa kecilnya, kala kawan-kawan ayahnya dari The Ashfield Daily bertamu ke rumah. Orang-orang dewasa itu akan berdiskusi sampai larut malam di ruang tamu, ditemani tembakau murah dalam pipa yang terus mengepul bak cerobong pabrik. Setiap kali mereka datang, Amy selalu disuruh tidur. Memang ada benarnya, karena para pria itu selalu datang larut malam, dan Amy harus bersekolah di pagi hari. Namun, bahkan di hari-hari libur musim panas, ia harus puas hanya jadi penonton di sudut ruang tamu. Bagi orang-orang dewasa, anak-anak hanya untuk dilihat, dan bukan didengar. Betapa pun Amy rindu terlibat dalam sesuatu yang besar, selalu saja orang-orang di sekitarnya memaksa gadis itu tetap di bangku penonton.
Namun, barangkali kali ini ia bisa mengubah keadaan.
Saat Amy merapikan celemek, jemarinya menyentuh sesuatu yang mungil dan tebal. Seketika, Amy teringat pada pesan Dokter Satterthwaite yang belum ia baca. Kertas itu masih terlipat rapi dalam saku celemeknya. Gadis itu tak tahu kapan sang dokter menulis pesan untuknya. Barangkali, menurut dugaan Amy, Dokter Satterthwaite mempersiapkan pesan itu dari awal sebagai rencana cadangan, kalau-kalau keadaan ternyata tidak memungkinkannya untuk berbicara langsung dengan si gadis pelayan.
Hati-hati ia mengeluarkan kertas itu dan meluruskan lipatannya di atas meja terdekat. Berbeda dari yang sebelumnya, surat itu adalah sebuah undangan pertemuan, ditulis dengan huruf tegak bersambung yang kecil-kecil dan terburu-buru. Tintanya tercoreng pada beberapa huruf, membuat Amy harus menyipitkan mata dan mengerutkan dahi untuk memahami isi pesannya.
Sabtu besok, pukul 11:30, The Three Black Dogs. Datang sendiri. Jangan beritahu Beverley. Mari bicara, Amy Sullivan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top