12. Paranoia
Peraturan kesebelas: Pada hari pertamamu di sini, kau akan diberikan daftar toko-toko langganan Lord Beverley. Berbelanjalah hanya di toko-toko tersebut. Bila barang yang dipesan sedang kosong, atau ada penjual yang berhalangan, beritahu Lord Beverley sebelum mencari barang tersebut di toko lain. Peraturan ini terutama berlaku pada pesanan bahan-bahan kimia, obat-obatan, dan rempah-rempah.
~ 🥀🥀🥀 ~
Berita penemuan jasad bocah kedua di area East Avenue cepat menyebar. Sebentar saja, warga seantero Ashfield sudah membicarakannya. Hanya tiga hari setelahnya, jasad ketiga muncul di dekat flat yang ditinggali Oliver. Kemudian, menyusul jasad keempat dan kelima. Semuanya tewas dengan cara yang sama, tenggorokan tercabik dan darah terhisap habis. Desas-desus pun mulai menyebar. Dugaan terbaru, anak-anak itu dibunuh untuk ritual ilmu hitam. Ashfield adalah kota pelabuhan, dan sangat gampang menemukan manusia berbagai kebangsaan di sana. Sudah jadi rahasia umum, tiap kali sesuatu yang buruk terjadi, pada orang asinglah jari pertama kali tertuding.
"Dengar, ya, ini pembicaraan antara kita saja, tetapi aku yakin pelakunya pasti orang Cina. Suamiku permah pergi berlayar ke Cina, dan ia bercerita bahwa di sana orang-orang menjadikan barang-barang aneh sebagai obat. Kelabang, kalajengking, tanduk rusa, bahkan daging dan darah ular. Aku takkan heran kalau darah anak-anak ternyata laku keras sebagai obat di sana."
"Tidak, postur badan mereka terlalu kecil untuk jadi penculik. Pelakunya pasti salah satu dari para pelaut Haiti itu! Aku pernah mendengar legenda kesaktian dukun-dukun Haiti dengan ilmu Voodoo mereka. Lagipula, bukankah mereka terlihat seperti orang-orang kasar? Setiap kali aku melihat mereka berjalan bergerombolan, aku lebih baik ambil jalan memutar daripada harus berpapasan dengan orang-orang primitif itu! Ih, mengerikan!"
"Ah, bukan! Pelakunya pasti orang Amerika Selatan. Dahulu nenek moyang mereka biasa mencongkel jantung musuh-musuh mereka untuk dipersembahkan pada Dewa Matahari. Mereka juga terkenal pendendam. Barangkali seseorang dari Ashfield telah cari gara-gara dengan para pribumi di sana, dan sanak saudara mereka yang tinggal di sini membunuhi anak-anak kita sebagai pembalasan dendam."
Demikianlah pembicaraan semacam itu berdengung-dengung di pasar dan jalanan. Tuduhan-tuduhan liar sarar kebencian bertetesan seperti asam sulfat pekat, mengalir dan membakar apa pun yang dilewatinya. Orang-orang asing ditolak masuk ke rumah makan, toko, dan bar. Seorang pemuda kulit hitam yang mabuk dipukuli sampai hampir mati gara-gara berkeliaran di jalan pada dini hari. Bahkan mereka yang sudah lama tinggal di Ashfield pun tak luput dari prasangka. Toko rempah Tuan Rashid makin lama makin sepi, dan etalasenya makin lama makin kosong.
"Maaf, Amy, tolong sampaikan pada Lord Beverley kalau cuma segini yang bisa kusediakan hari ini. Karena Lord Beverley pelanggan lama, aku tidak mau memberinya rempah yang sudah mulai lembap dan apak," ujar lelaki itu kala terakhir kali Amy berkunjung. Hari itu minggu terakhir Oktober. Suhu udara mulai mendingin, dan dedaunan berwarna kuning oranye.
"Tidak apa-apa, Tuan Rashid. Terima kasih." Amy tersenyum. "Namun, mengapa kau membereskan tokomu? Apa kalian akan pindah?"
"Mungkin ini terakhir kali kita bertemu, Amy." Tuan Rashid memilin-milin ujung kumisnya, sedih. "Toko terus merugi semenjak jasad kedua ditemukan. Beberapa kali toko kami didatangi. Kotak-kotak rempah dibuka paksa, isi botol-botol minyak dituang keluar. Aku sudah berkali-kali bilang kalau kami hanya menjual rempah dan bumbu, tetapi selalu saja ada yang sangsi. Dua hari lalu, Sachin hampir dikeroyok warga gara-gara seorang anak kecil terkejut melihat kemunculannya. Bukan salahnya bila ia tumbuh jadi pemuda tinggi besar, dan bukan salahnya kulitnya gelap. Padahal kami tinggal di sini hampir dua puluh tahun, tetapi tetap saja kami jadi orang asing."
"Lalu, kalian mau ke mana, Tuan Rashid? Tidak bisakah kalian bertahan sedikit lagi? Tidak ada toko yang menjual rempah sebaik tempat ini di East Avenue," sahut Amy lesu. Tuan Rashid sudah seperti seorang paman yang tak pernah ia miliki. Sachin, putra Tuan Rashid, memang pendiam, tetapi pemuda itu selalu rajin dan ringan tangan. Dua orang teman akan pergi dari sisi Amy, dan lagi-lagi gadis itu tak kuasa mencegah.
"Tiga hari lagi kami akan naik kereta ke London. Kami akan menyewa kios dan mencoba peruntungan kami di sana. Ada banyak orang keturunan India di London. Kuharap tempat itu lebih aman bagi kami." Tuan Rashid mengulurkan tangan, mengajak Amy bersalaman. "Senang mengenalmu, Amy. Sampaikan salam dan terima kasih kami pada Lord Beverley, serta permohonan maaf karena pergi tiba-tiba. Bila nasib baik berpihak, mari bertemu lagi suatu saat nanti."
Sambil menghela napas panjang, Amy berjalan pulang. Hatinya berduka untuk Tuan Rashid dan Sachin. Amy tahu mereka orang-orang baik. Para pedagang lainnyalah yang terlalu kejam! Mengapa mereka bersikap seolah-olah budaya Eropa adalah yang paling mulia, sedang budaya-budaya lain kejam dan barbar? Apakah orang-orang sudah lupa bahwa, sampai kurang dari dua abad lalu, mereka masih membakar dan menenggelamkan wanita-wanita muda yang diduga melakukan sihir, atas kecurigaan-kecurigaan yang sering sama sekali tak masuk akal? Apakah mereka lupa akan pembantaian-pembantaian yang dilakukan pemerintah di tanah-tanah jajahan? Itukah wujud pencerahan yang diagung-agungkan bangsa Eropa? Semua semata-mata hanya alat untuk menjustifikasi penindasan pada bangsa-bangsa lain!
"Seandainya Dad masih di sini, ia pasti tahu apa yang harus dilakukan," gumam Amy pasrah. Ia merasa kecil dan tidak berdaya.
Di pinggir jalan, seorang remaja menjajakan koran. Salah satunya adalah The Ashfield Daily, dengan berita pencarian anak-anak hilang terpajang di halaman paling depan. Amy ingat, waktu ia masih kecil, beberapa kali ayahnya membawanya ke kantor redaksi. Ia masih ingat di mana letak bangunannya. Barangkali suatu hari nanti ia harus ke sana, kalau-kalau ada teman-teman ayahnya yang tahu lebih dalam mengenai peristiwa kebakaran rumah keluarga Sullivan. Dokter Satterthwaite jelas tahu sesuatu, tetapi Amy tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk menemuinya.
Kala Amy memasuki gerbang kompleks Rathcliffe Valley, sebuah kereta kuda hitam pekat melaju kencang mendahuluinya. Kereta itu berhenti di depan Emerald Hall. Begitu keempat roda kereta berhenti berputar, pintunya langsung menjeblak terbuka. Dari dalamnya turun Dokter Satterthwaite. Mukanya merah padam menahan marah. Gadis itu tercengang melihat sang dokter menyuruh Joanne minggir, lalu memanggil-manggil Lord Beverley.
"Beverley! Apa-apaan ini? Inikah yang kaumaksud waktu kaubilang padaku bahwa kau akan mengurus semuanya?" seru Dokter Satterthwaite berang. Seperti tikus, tanpa suara Amy menyelinap masuk ke rumah lewat pintu samping, lalu bersembunyi di belakang Joanne. Baru ia melihat bahwa tangan kanan dokter itu menggenggam segulung koran. Lagi-lagi The Ashfield Daily! Amy tak pernah menyangka seorang pria kelas atas seperti Satterthwaite membaca koran pinggiran semacam itu. Belum sempat Amy mencerna keadaan, keluarlah Lord Beverley dari perpustakaan.
"Aku tidak menyangka kau begitu perhatian pada masalah ini, sampai-sampai kau menerobos masuk dalam rumahku, Satterthwaite," sahut Lord Beverley dingin. Ekspresinya kaku, bak patung marmer dari Romawi kuno. Tangan kanan lelaki itu mencengkeram kusen pintu perpustakaan, dan Amy bisa melihat buku-buku jarinya memutih. Mata kelabunya menyorotkan ancaman.
"Astaga, pernahkah kau memperhatikan dirimu sendiri di salah satu cermin yang kaukoleksi itu? Kau tidak bisa terus melakukan ini, Beverley. Akuilah, kau sudah gagal," desis Dokter Satterthwaite. "Aku mengatakan ini sebagai temannmu. Berhenti berpura-pura, sebelum lebih banyak orang terluka."
Sejenak, Lord Beverley hanya menatap kawannya tanpa berkedip.
"Ikut aku." Sekonyong-konyong pria itu berbalik masuk dalam perpustakaan. "Tidak baik membicarakan urusan pribadi di hadapan para pelayan. Akan kujelaskan semuanya padamu."
Sedang berjuang melawan penyakit bernama "ingin cepetan revisi padahal draft pertama ceritanya aja belum selesai" 😔
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top