11. Demi Kebenaran
Peraturan kesepuluh: Bila, dalam menjalankan pekerjaanmu, kau menemukan masalah yang menurutmu bisa kautangani, kau boleh menanganinya tanpa meminta persetujuan Lord Beverley. Namun, kau bertanggungjawab penuh atas konsekuensi yang timbul dari tindakanmu. Oleh karena itu, pikirkan matang-matang sebelum bertindak.
~ 🥀🥀🥀 ~
Amy tidak tahu kapan ia tertidur. Tahu-tahu saja sinar mentari menelusup dari sela-sela tirai dan jatuh ke wajahnya. Gadis itu mendapati dirinya meringkuk di lantai dapur, persis di bawah jendela tempat ia semalam mengintip. Kacamata masih menempel di wajahnya. Sambil meregangkan tubuh yang kaku, gadis itu bangun dan memaksa diri melangkah ke kamar mandi. Sempat ia terkejut melihat refleksinya sendiri di cermin. Oh, betapa ia seperti hantu! Rambutnya mengembang berantakan, matanya bengkak setelah semalaman menangis dalam tidur, kulit wajahnya pucat dan kusam.
Kala ia selesai bersiap-siap, sudah hampir pukul tujuh pagi. Lord Beverley sudah pulang. Amy menemukan sepatu botnya, penuh lumpur berwarna kemerahan yang mulau mengering, tergeletak di antara barisan sepatu di rak. Biasanya pria itu takkan bangun sampai pukul delapan. Perlahan-lahan Amy membuka pintu depan, lalu pergi ke pasar. Semua terlihat bagai mimpi di matanya. Ia bahkan tidak menyadari pelayan-pelayan tetangga yang menyapanya. Mulutnya komat-kamit menggumamkan daftar belanja hari ini. Berulang-ulang, berulang-ulang, terus seperti mantra.
Amy yakin hanya itulah cara supaya ia bisa tetap waras dan sadar melewati pagi ini.
Di pasar, suasana sudah hiruk-pikuk. Manusia-manusia, tua dan muda, berkerumun di pelataran. Aroma anyir menyergap hidung Amy. Tiba-tiba saja, ia bergidik. Jantungnya berdebar kencang. Bau itu berbeda dari bau daging segar di pasar daging, atau amis ikan di pasar hasil laut. Bukan pula bau sampah busuk yang kerap kali menumpuk di sekitar pasar. Belum pernah Amy mencium bau semacam itu sebelumnya, dan ia sangat, sangat waswas karenanya.
"Hei, Nona, jangan ke sana!" Terdengar seorang pria berseru. Namun, Amy tidak mendengarnya. Gadis itu terus melangkah maju, mengabaikan firasat buruknya sendiri. Ya, ia tahu ia takkan menyukai hal yang ia temukan di depan sana, tetapi ia tak mau berhenti. Sedikit demi sedikit, tampaklah sosok biang keributan itu, bersandar lunglai di bawah pohon cemara tua yang jadi ikon pasar itu.
Sosok itu adalah seorang anak perempuan. Lebih tepatnya, yang tersisa darinya. Tubuh itu sangat kecil, lebih mirip boneka daripada manusia. Kulitnya, yang dahulu putih bersih, kini biru-kelabu, menggantung longgar laksana baju kebesaran. Kepalanya terkulai ke kiri, rambut hitamnya terjurai menutup wajah. Mata kiri si anak terlihat dari sela-sela rambut. Mata itu membelalak, pupilnya kusam dan berkabut. Sebuah luka koyak menganga di leher kanan gadis kecil itu. Lagi-lagi, potongannya kasar dan serampangan. Bau busuk bercampur anyir makin menyengat, hingga perut Amy mulai bergolak.
Aneh sekali, tidak ada darah ....
Sekonyong-konyong, sekujur tubuh Amy gemetar. Keranjang belanjanya jatuh ke tanah. Ia dekap diri sendiri dengan kedua tangan, berusaha menormalkan napas yang makin cepat dan tak beraturan, tetapi sia-sia. Amy mengenali wajah anak itu dari salah satu sketsa dalam pamflet pengumuman orang hilang. Bocah malang itu diculik dari rumahnya pada tengah malam, ketika kedua orang tuanya sama-sama bekerja sif malam di pabrik sepeda. Masih berapa banyak lagi mayat yang akan muncul? Apakah anak-anak lain yang hilang semua bernasib sama? Gadis itu memejamkan mata, tetapi sudah terlambat. Keringat dingin membanjiri dahinya, kakinya melemas, dan tubuhnya limbung ....
"Amy!" Sebuah suara berseru dari tengah kerumunan. Sebelum Amy menghantam tanah, Oliver berlari dan menangkapnya. Pemuda itu menggendong Amy menjauh dari kerumunan, lalu menurunkannya di teras sebuah toko kue yang masih tutup. Sedang keduanya duduk di tangga teras, hati-hati ia sandarkan punggung Amy pada dinding.
"Amy, hei, kau bisa mendengarku?" Sembari menyeka keringat si gadis dengan sapu tangannya, Oliver berujar lembut pada sahabatnya itu. "Tenanglah, aku ada di sini, oke?"
"Aku takut, Oliver. Aku tidak tahu kapan semua ini akan berakhir ...," bisik Amy lirih. Tangannya mencengkeram lengan jaket Oliver erat-erat. Tangan itu sedingin es, basah oleh keringat. Napasnya tersengal-sengal. Gelap, gelap semata mengelilinginya. Ia ingin berteriak keras-keras hingga paru-parunya meledak, lari sejauh mungkin sampai ia tiba di tempat asing yang jauh, tetapi tubuhnya bagai membeku. Seolah ia sedang berada dalam mimpi buruk yang melumpuhkan, dan ia tak bisa bangun betapa pun kerasnya ia berusaha.
"Ssh, tenanglah." Oliver menarik Amy dalam pelukan dan meletakkan kepala gadis itu di bahunya. Tangannya lembut mengusap-usap punggung gadis itu. Perlahan, Amy berangsur tenang. Bahunya melemas, napasnya melambat. Ya, segala-galanya memang terasa bagaikan mimpi sekarang, tetapi Oliver nyata. Gadis itu bisa merasakan kehangatan tubuhnya, kelembutan jaket wol yang ia kenakan, serta sokongan mantap dan kokoh dari lengannya. Meski ia tidak mengerti mengapa pemuda itu muncul di pasar, bukan berarti ia tidak bersyukur karenanya. Maka, gadis itu balas melingkarkan lengan di pinggang Oliver, memeluknya erat-erat seolah pemuda itu akan melayang pergi apabila ia lepaskan.
"Mengapa kau ada di sini, Oliver? Bukannya ... bukannya kau seharusnya bekerja?"
"Aku hendak membeli sarapan di toko roti ketika kulihat keramaian di pasar. Masih ada banyak waktu sebelum pukul delapan, jadi kuputuskan untuk melihat apa gerangan yang membuat pasar jadi begitu riuh. Ternyata, aku malah menemukanmu hampir pingsan di sana," tutur Oliver. "Lagipula, untuk apa kau ke sana, sih? Aku tahu kau memang orang yang gampang penasaran, tetapi jangan lakukan itu lagi! Bagaimana kalau tadi kau ditolong oleh orang yang berniat jahat? Ah, pokoknya, jangan membuatku khawatir, Amy. Aku tidak bisa lagi menjagamu sepanjang waktu seperti ketika kita masih kecil dulu."
"Tidak ada darah." Mendadak Amy bergumam lagi. Ia menatap kosong ke kejauhan. Matanya yang basah berkilat-kilat, bak sepasang manik kristal berwarna hazel.
"Apa maksudmu, Amy?"
"Tidak ada darah," ulang Amy, kali ini lebih mantap. "Aku tidak tahu apakah itu karena anak itu sudah tewas berhari-hari, atau karena mayatnya dipindahkan, tetapi entahlah, semua terlihat terlalu, um, bersih. Kau mengerti maksudku, kan? Seperti daging di pasar yang sudah dicuci bersih dan tidak lagi berdarah, atau seperti ... seperti .... Ah, aku tidak bisa menjelaskan. Aku tidak mengerti, Oliver, mengapa bisa ada orang yang begitu keji di daerah ini? Apa salah kita? Mengapa orang-orang di sini yang harus menghadapinya?"
"Aku mengerti maksudmu, Amy. Orang-orang lain juga mengatakan hal yang sama, juga dalam kasus sebelumnya." Oliver menghela napas panjang. "Mereka bilang, sesuatu telah mengisap habis darah anak-anak itu. Aku tidak tahu untuk apa, dan memang bukan bagianku untuk mencari tahu. Bersabarlah, Amy, setelah dua mayat ditemukan, polisi pasti akan menangani kasus ini lebih serius. Atau mungkin—ah, ini kedengarannya gila—bila kau benar--benar tidak tahan lagi, mari kita pergi dari sini. Kita tinggalkan Ashfield sejauh mungkin. Kita bisa mencari pekerjaan lain di luar sana. Aku yakin banyak yang mencari orang-orang muda seperti kita."
"Tidak, aku tidak bisa." Amy menggeleng. "Masih ada yang harus kuselesaikan. Sebelum aku memperolehnya, aku tidak bisa pergi dari sini."
"Amy, kau ini bicara tentang apa, sih? Sungguh, dulu kau tidak seperti ini." Oliver menatapnya lekat-lekat. Keheranan terpancar di wajahnya, juga kekhawatiran. Masalahnya, Amy belum berani bercerita. Selama ia belum memperoleh bukti kuat tentang kegiatan Lord Beverley, bukti yang dapat ia tunjukkan pada orang lain, ia tidak mau sembarangan bicara. Bisa jadi ia malah dianggap orang gila, lalu diasingkan ke rumah sakit jiwa sebelum sempat membongkar kebenaran.
"Karena aku benci hidup seperti ini! Aku benci diam saja tanpa bisa berbuat apa-apa, sama seperti ketika rumahku terbakar dan aku malah lari seorang diri. Maaf, Oliver, tetapi saat ini ada sesuatu yang harus kucari tahu seorang diri. Hanya dengan demikian aku bisa membalas budi pada Dad dan Mum. Kematian mereka ... aku baru tahu bahwa ada rahasia di baliknya, dan rahasia itu berhubungan erat dengan kasus ini."
P.S: Oliver adalah definisi cowok green flag yang sebenarnya ( ꈍᴗꈍ)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top