10. Sosok di Kegelapan

Peraturan kesembilan: Dapur dan kamar-kamar di belakang rumah adalah area pelayan. Kau bertanggungjawab atas pemeliharaan dan kebersihannya. Jaga dan rawatlah layaknya rumahmu sendiri.

~ 🥀🥀🥀 ~

Dalam ingatan pertama Amy, ia sedang berjinjit di tepi meja tulis sembari memperhatikan ayahnya bekerja.

Kala itu usianya mungkin tiga atau empat tahun. Sepanjang yang Amy ingat, ayahnya selalu duduk di meja kayu berlaci banyak itu dan memenuhi berlembar-lembar kertas dengan tulisan. Bahkan sebelum ia bisa membaca, gadis itu suka melihat pena ayahnya menari-nari di atas kertas. Ia suka melihat nyala lilin menerangi buku-buku bersampul keras yang judulnya ditulis dengan tinta emas. Ia suka mencium aroma kertas lama dan tinta basah. Ia suka merasakan kasarnya serat-serat kertas di ujung jemari mungilnya.

Alfred Sullivan selalu bilang bahwa ia bekerja demi perubahan. Waktu Amy cukup tua untuk memahami berita di koran, baru ia mengerti maksud ayahnya. The Ashfield Daily adalah koran yang melanggar arus utama. Surat kabar itu konsisten memberitakan ketidakadilan yang menimpa para buruh dan masyarakat miskin di Ashfield. Demonstrasi pekerja menuntut pabrik yang melanggar perjanjian kerja, kasus pelecehan seksual para buruh wanita, penggelapan dana sumbangan oleh sebuah lembaga amal, dan masih banyak lagi. Di kala koran-koran besar senantiasa memberitakan tentang parlemen, daerah koloni, dan para anggota kerajaan, The Ashfield Daily tetap setia mengabarkan kasus-kasus sehari-hari yang acap kali lewat dari perhatian.

Pesan Dokter Satterthwaite mengingatkan Amy pada hari-hari sebelum kebakaran itu terjadi. Kompleks Rathcliffe Valley baru saja memulai pembangunan. Dahulu, area tempat kompleks itu berdiri adalah tempat sekumpulan flat tua dan rumah-rumah kumuh berjajar. Kebanyakan disewakan sebagai hunian murah untuk anak-anak muda yang merantau untuk bekerja di Ashfield, serta keluarga-keluarga berekonomi rendah. Amy ingat, sepanjang pembangunan, banyak demonstrasi yang terjadi. Ayahnya jadi dua kali lebih sibuk, dan seringkali ia baru pulang setelah larut malam.

"Dad, mengapa orang-orang itu berdemo?" Suatu kali Amy pernah bertanya.

"Mereka kehilangan tempat tinggal, Amy. Para pemilik flat ramai-ramai menjual bangunan mereka pada pengembang perumahan. Pemilik-pemilik lahan yang ingin bertahan dipaksa menjual tanah mereka. Mereka sengaja dibuat tidak nyaman hidup di sana. Beberapa bahkan diancam dengan kekerasan. Oleh karena itulah mereka melawan." Tuan Sullivan meletakkan penanya dan menatap Amy lekat-lekat.

"Tapi, bukannya berdemo malah menambah masalah? Kemarin, waktu aku pulang sekolah, aku melihat beberapa remaja ditangkap polisi karena memblokir jalan menuju area pembangunan. Kalau mereka masuk penjara, orang tua mereka jadi sedih, kan? Tadi, guru di sekolah bilang kalau masalah semacam itu harusnya diselesaikan lewat pengadilan saja. Kalau mereka ramai-ramai membuktikan bahwa mereka dipaksa, orang-orang yang mengganggu mereka akan dihukum." Amy menjawab. Gadis itu menyeret sebuah kursi ke samping meja ayahnya, lalu duduk di sana. Wajahnya murung, kakinya berayun-ayun.

"Ah, Amy." Tuan Sullivan menghela napas panjang, lalu tersenyum sedih. Tangannya mengusap-usap puncak kepala Amy dengan lembut. "Secara teori, memang itu jalan keluarnya. Namun, untuk mengajukan tuntutan di pengadilan, kau butuh pengacara. Pihak yang kautuntut pun akan menyewa pengacara. Makin mahal biaya sewanya, makin hebat pengacara itu. Nah, orang-orang yang membiayai pembangunan Rathcliffe Valley adalah orang-orang yang sangat kaya. Banyak di antara mereka adalah kaum bangsawan, pengusaha besar, dan pejabat pemerintahan. Bahkan bila digabungkan, kekayaan para penghuni tanah tidak ada apa-apanya dibanding kekayaan orang-orang itu. Kau tentu tahu apa artinya, kan?"

"Jadi, mereka tidak bisa menang? Itu menyedihkan, Dad," sahut Amy lirih.

"Kau tidak senang kalau ada rumah-rumah megah di sini? Kau tidak senang kalau bisa melihat orang-orang berpakaian bagus setiap hari?"

"Tidak, Dad. Tidak kalau hal itu menyebabkan banyak orang lain menderita." Amy menjawab mantap. Sinar matanya menyorotkan kekeraskepalaan. "Dad sedang mengupayakan sesuatu, kan? Aku tahu Dad dan kawan-kawan Dad pasti takkan tinggal diam."

"Benar, kami sedang mengerjakan sesuatu. Dengan bantuan kawan-kawan kami di kota-kota lain, kami akan menyiarkan berita ini ke seluruh negeri. Kami juga akan menulis petisi dan meminta dukungan dari para pejabat dari pihak oposisi. Bila ada demonstran yang ditangkap, kami akan mengawal dan memberitakan proses peradilan mereka, sehingga hakim-hakim tidak berani berbuat curang. Oleh karena itu, jangan kesal kalau aku pulang larut malam, Amy. Kami sedang berjuang untuk mewujudkan Inggris yang lebih baik."

Saat itu, di mata Amy, ayahnya adalah pahlawan. Seorang ksatria hebat berbaju zirah mengilap yang sedang menjalankan misi mulia demi negara. Di usia dua belas tahun, ia terlalu kecil untuk mengerti bahwa ada kekuatan-kekuatan di luar sana yang lebih perkasa daripada hukum negara. Kekuatan-kekuatan yang enggan tunduk pada Tuhan dan manusia, tak berbelas kasihan, dan hanya ingin memuaskan nafsu pribadi belaka. Demikianlah gadis itu tak pernah mengaitkan kebakaran rumahnya dengan misi sang ayah, sampai pesan dari Dokter Satterthwaite datang.

"Andai Dad tahu sekarang aku bekerja di Emerald Hall, Dad pasti kecewa." Amy menghela napas panjang. Malam sudah tiba, dan ia sendirian dalam kamarnya yang mungil. Meski jendela kamar tertutup rapat, tirainya terbuka, dan ia bisa melihat langit cerah penuh bintang di luar. Sepengetahuan Amy, Alfred Sullivan selalu menganggap sistem monarki dan gelar bangsawan sudah ketinggalan zaman. Menurut pria itu, tiada yang lebih baik daripada pembubaran kerajaan, pembebasan wilayah-wilayah koloni, serta penerapan suatu sistem baru yang memungkinkan pembagian kekayaan negara semerata mungkin pada semua golongan masyarakat. Ia selalu berharap akan suatu hari ketika manusia tidak lagi menyiksa dan memperbudak sesamanya gara-gara uang, dan semua orang bisa hidup selayaknya insan yang bermartabat.

Namun, kalau memang kebakaran rumahku bukan musibah biasa, lalu siapa yang melakukannya?  Dari mana Doktet Satterthwaite tahu? Lalu, mengapa ia memberitahuku?

"Ah, aku bingung!" seru Amy. Tangannya meraba-raba meja di samping tempat tidur, mencari gelasnya. Ia teguk airnya sampai habis, tetapi gadis itu masih merasa haus. Apa boleh buat, terpaksa ia turun dari ranjang dan menyalakan lilin. Sambil menahan lelah dan kantuk, tersaruk-saruk ia melangkah ke dapur.

Mendadak, telinganya menangkap suara klik samar dari kejauhan. Bunyinya seperti kunci diputar. Refleks, Amy menoleh ke pintu yang menghubungkan dapur dengan bagian dalam rumah. Setelah Lord Beverley memergokinya, gadis itu tidak lagi berani berkeliaran malam-malam di dalam rumah utama. Dengan menggunakan eksperimen di laboratorium sebagai alasan, pria itu pun dengan tegas menyuruhnya mengabaikan seluruh suara aneh yang mungkin ia dengar di malam hari. Namun, tak ada larangan untuk mengintip melalui jendela dapur. Maka, itulah yang Amy lakukan sekarang. Gadis itu memakai kacamatanya lalu berjingkat-jingkat bak maling amatir, menyibak sedikit ujung tirai jendela dapur, lalu menyembulkan kepala ke balik kaca.

Pada mulanya, semua hening. Pendar suram lampu gas di balik kaca berdebu menerangi jalanan. Lalu, lewatlah sosok berpakaian serba hitam itu. Ekor jaket panjangnya berkibar-kibar bak kepak sayap kelelawar. Kerahnya diangkat tinggi-tinggi hingga menutupi wajah. Masih segar di ingatan Amy sosok Lord Beverley yang mengenakan pakaian serupa pada malam kala ia mengendap-endap ke rumah utama. Sosok itu membawa sebuah karung goni, yang kira-kira muat untuk tepung sebanyak lima puluh kilogram. Di mata Amy, seorang anak berusia di bawah sepuluh tahun bisa dengan mudah dimasukkan ke dalamnya. Beberapa kali sosok itu menoleh ke kiri dan kanan, sebelum menghilang di ujung jalan.

Seketika, tungkai Amy melemas. Gadis itu merosot duduk di lantai dapur yang dingin. Hati kecilnya berontak. Bagaimana mungkin Lord Nathaniel Beverley, yang selama ini selalu tampil sopan dan terhormat, ternyata juga sekaligus seorang penculik dan pembunuh keji? Ditambah lagi, bagaimana cara lelaki itu beraksi, sampai-sampai semua orang yakin korbannya dibunuh oleh sosok bukan manusia? Lalu, bila mempertimbangkan pesan Dokter Satterthwaite, apakah itu berarti ia adalah dalang kebakaran rumah keluarga Sullivan?

Sungguh, kepala Amy seakan mau pecah memikirkannya!

I told myself not to write about politics, yet here I am with this chapter LOL

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top