1. Emerald Hall

"Mulai hari ini, kau akan bekerja di Emerald Hall."

Amy menarik napas panjang. Bangunan di depannya sama sekali tidak menggambarkan nama itu. Dinding-dindingnya jelas-jelas tidak berwarna hijau emerald, sedang peruntukannya jelas adalah rumah tinggal, dan bukan sebuah hall untuk berpesta. Itu adalah satu dari sekian banyak rumah berbentuk nyaris seragam yang berbaris di Rathcliffe Valley, kompleks perumahan terbaru di Kota Ashfield. Penghuninya, Lord Nathaniel Beverley, adalah seorang ilmuwan muda termashyur, dan Amy diterima menjadi pelayan di sana.

Gadis itu teringat pada penawaran dari mantan ibu pengasuhnya di panti asuhan saat ia sedang kelimpungan mencari pekerjaan. Sebenarnya, ia sungguh berharap dapat bekerja di perpustakaan, atau mungkin kantor penerbitan. Ia selalu mencintai buku. Sayang, tidak ada yang menerimanya, sedang ia pun tak bisa menganggur terlalu lama. Ia sudah terlalu besar untuk tinggal di panti. Maka, begitu ibu pengasuhnya—yang berbaik hati memberi Amy perpanjangan waktu sebulan untuk mencari pekerjaan setelah gadis itu menginjak usia delapan belas tahun—menawarkan pekerjaan itu, segera ia berkemas.

Pegangan alat pengetuk pintu berlapis kuningan terasa dingin di bawah jemarinya. Ragu-ragu gadis itu mengetuk. Satu, dua, tiga. Beberapa saat lamanya Amy berdiri memandangi pintu kayu berdaun satu itu. Kemudian, terdengar bunyi kunci diputar. Seketika, jantung gadis itu berdetak lebih cepat. Ia pernah membaca tentang Lord Beverley di koran pagi, tetapi hanya sebegitu jauh pengetahuannya. Kata orang, pria itu jenius sejak masa kanak-kanak. Ia diterima di universitas kerajaan pada usia lima belas tahun, dan telah mengikuti berbagai proyek penelitian sejak saat itu. Tentu Amy tidak melupakan fakta bahwa ayah lelaki itu, Earl Joseph Beverley, memiliki pabrik bahan kimia terbesar di seluruh kerajaan, bahkan mungkin yang terbesar di seantero Eropa.

Benar-benar seseorang dari dunia yang berbeda, batin Amy, tiba-tiba disergap iri. Ia mencengkeram pinggiran rok kelabunya, dan menyadari bahwa tangannya basah oleh keringat. Orang yang membukakan pintu adalah seorang wanita paruh baya bertubuh pendek dan gemuk. Gaun hitam wanita itu menggantung sampai menutupi mata kaki, yang terbalut sepasang pantofel kulit butut berwarna senada. Celemek putih melindungi bagian depan tubuhnya, sedang topi bonnet putih menutup rambut. Wanita itu memandang Amy tanpa ekspresi, lalu mempersilakan gadis itu masuk.

"Tuan Muda sudah menunggu," tandas perempuan itu sebelum berbalik masuk. Kemoceng bergoyang-goyang pada pinggul lebarnya. Takut-takut Amy mengekori. Karpet tebal menenggelamkan kaki gadis itu. Kopor kalengnya, yang sudah penyok di sana-sini, tersandung-sandung lantai. Ia layangkan pandang berkeliling. Meski rumah tiga lantai itu tidak terlalu besar, interiornya terbuat dari bahan-bahan terbaik. Perabot dari kayu oak tampak mengintimidasi di mata Amy. Sinar matahari dingin dan suram menembus jendela. Industrialisasi pesat di abad ke-19 ini memang berdampak buruk bagi kota-kota besar, tak terkecuali Ashfield. Cerobong-cerobong menyemburkan asap pekat batu bara ke udara. Langit biru jadi kelabu, dinding dan jalan menggelap terlapis jelaga, dan pikiran Amy jadi lebih sering melayang ke mana-mana.

"Argh, fokus. Kau akan bekerja sekarang," gumam Amy, diam-diam menggeleng. Pelayan yang memimpinnya kini berbelok menuju sebuah pintu kayu tebal setinggi dua setengah meter. Sebuah tali keemasan menjuntai dari tepinya, terus menjulur ke dalam ruangan. Tatkala pelayan itu menarik tali, sayup-sayup terdengar lonceng berdenting tiga kali.

"Si pelayan baru sudah datang, Tuan Muda." Begitu wanita itu berucap.

"Persilakan ia masuk, Joanne."

Klik, kunci berputar. Joanne mengedikkan kepala ke arah pintu. Cepat-cepat Amy menegakkan punggung. Oh, alangkah menakjubkannya ruangan itu! Dari lantai sampai ke langit-langit, rak-rak penuh buku menempel pada dinding. Papan tulis besar dengan kaki beroda berdiri di belakang meja kerja Lord Beverley. Gambar-gambar heksagon dan garis-garis zigzag memenuhi papan, diselingi tulisan Lord Beverley yang kecil-kecil dan rapi. Kelak, Amy tahu bahwa gambar-gambar itu melambangkan senyawa-senyawa organik yang sedang dipelajari lelaki itu.

Lalu, pandangannya bergulir pada sosok pria di balik meja. Ia belum pernah melihat Lord Beverley sebelumnya. Ia hanya tahu usia pria itu masih cukup muda. Barangkali tipikal kutu buku, dengan rambut acak-acakan, pakaian kusut bernoda tinta, dan kacamata tebal. Namun, ketika kursi di balik meja kerja berputar, tak ayal gadis itu terkejut juga. Menurut taksiran Amy, Nathaniel Beverley pastilah berusia tidak lebih dari dua puluh lima tahun. Wajahnya bersih tanpa kumis dan cambang, rambut cokelatnya disisir rapi ke belakang. Mata kelabunya, walau tanpa emosi, menyorotkan kecerdasan dan ketegasan. Buku-buku terhampar di meja kerjanya dalam posisi terbuka, sedang sehelai kertas yang baru ditulisi separuh terhampar di  hadapannya. Joanne, usai menunaikan tugasnya, minta diri kepada lelaki itu.

"Permisi, Tuan Muda, akan kutinggalkan kalian berdua." Wanita itu membungkuk sopan. Kembali terdengar suara klik saat pegas pintu menutup.

Sepeninggal si pelayan, Amy mulai bergerak-gerak gelisah. Kacamatanya melorot turun ke ujung hidung, membuat penglihatannya menjadi dobel. Setengah buram, dan setengah tajam. Sungguh tidak nyaman. Ia dorong bridge kacamata itu dengan telunjuknya, tetapi posisinya masih belum pas juga.

"Jadi, apakah kau orang yang suka ingin tahu?"

Deg! Spontan Amy tersentak. Mengapa Lord Beverley mengatakan hal itu sebagai pertanyaan pertama? Apakah ini pertanyaan jebakan? Gadis itu benar-benar tidak bisa menebak. Kalau ia jujur, jawabannya ya. Saat ini ia bahkan penasaran akan alasan pria itu melompati pertanyaan-pertanyaan klise semacam siapa-namamu, berapa-umurmu, dan mengapa-kau-ingin-bekerja-di-sini. Bisa jadi Lord Beverley mencari pelayan yang bisa merangkap sebagai asisten penelitian, dan rasa ingn tahu akan jadi aset yang sangat berharga. Namun, ada kemungkinan Lord Beverley adalah tipe orang yang tidak suka pekerjaannya diutak-atik orang lain. Bila demikiann halnya, maka rasa ingin tahu akan mengantarkan Amy pada sebuah penolakan.

"Uh ...." Amy menarik-narik ujung kepangannya. Rambut gadis itu pirang dan kasar seperti jerami, dikepang rapat-rapat membentuk dua jalinan di kanan dan kiri. "Sedikit, kurasa. Aku tidak pernah membaca diary atau surat orang lain meski aku sangat penasaran, bila itu yang kaukhawatirkan, um, Tuan."

Suara Amy bertambah lirih di akhir kalimat. Sebabnya, ia tak yakin bagaimana harus memanggil calon majikannya itu. Sebutan "Tuan Muda" yang digunakan Joanne terasa aneh di lidah Amy, yang jelas-jelas lebih muda dari Lord Beverley. Sepertinya kata "Tuan" adalah alternatif paling aman, sekaligus paling nyaman.

"Bagus. Aku memang butuh seseorang yang seperti itu." Lord Beverley mengangguk, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja. "Kudengar kau cukup cerdas. Bisa membaca, menulis, dan berhitung, serta gemar membaca koran. Pemilik panti juga bilang kalau kau terampil mengerjakan pekerjaan rumah. Rekam jejakmu baik. Untuk saat ini, belum ada alasan untuk menolakmu. Hanya, kau harus tahu bahwa kau akan jadi satu-satunya pelayan penuh waktu di sini."

"Eh?" Mata Amy melebar. "Lalu, bagaimana dengan Joanne, Tuan?"
"Joanne datang setiap hari untuk membersihkan rumah dan mencuci baju, lalu pulang pada pukuk empat sore. Nyonya Collins, sang koki, pulang setelah menyiapkan makan malam. Kau akan membantu mereka di siang hari, serta mengurus keperluan rumah pada malam hari. Kau juga akan bertindak sebagai kurir dan orang suruhanku. Kau tinggal di kamar pelayan di samping dapur, dan akan mengurus makanan serta cucianmu sendiri. Gajimu akan kubayarkan pada tanggal dua puluh lima setiap bulan," jelas Lord Beverley, tenang dan datar bagai mesin. "Apakah kau menerima tawaran ini, Amy Sullivan?"

"Aku bersedia, Lord Beverley," sahut Amy cepat-cepat.

Untuk pertama kalinya dalam pertemuan itu, Amy bersumpah melihat kilasan ekspresi senang di wajah Lord Beverley. Hati-hati ia meraih pena dan menandatangani kontrak kerja. Segera setelah ia keluar dari ruang kerja Lord Beverley, menyadari bahwa ia akan tinggal nyaris sendirian di rumah itu, keraguan mulai merayapi hatinya. Joanne sudah pergi entah ke mana. Ruang tengah kediaman itu luas dan hening. Perabotan-perabotan berukir yang berat menjulang tinggi, membuat Amy merasa semungil tikus ladang. Tidak ada nuansa kehangatan, dan Amy, gadis kurus yang hanya setinggi seratus enam puluh sentimeter itu, tiba-tiba menggigil, seolah hawa dingin yang tak terjelaskan baru saja berembus melewati hatinya.

Jangan konyol, Amy. Kau hanya gugup di tempat asing. Gadis itu membatin, berusaha menenangkan diri sendiri. Ya, ia pasti hanya takut dan gugup menghadapi pekerjaan baru ini.

Mari kita mulai masuk dalam cerita! Oh ya, untuk yang bingung soal setting, cerita ini berada di sebuah kota fiktif di Inggris abad ke-19. Nuansanya kurang lebih seperti di novel Sherlock Holmes.

(✿^‿^)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top