12. Jubah Merah, Sahabat, Luka
Jocelyn merasa kedua kakinya seperti jeli dan seluruh tubuhnya ditarik ke arah berbeda. Menyisakan rasa nyeri di mana-mana, tetapi dia tetap mempertahankan raut 'baik-baik saja' supaya tidak dipaksa Micha kembali ke balik selimut.
Wanita tua yang membantunya mengobati jejak cakaran besar di punggung dan membawakan sepiring makan malam, kini tengah memegangi sebuah jubah merah darah. Begitu Jocelyn selesai mengganti gaunnya jadi atasan berlengan panjang, celana kulit, dan sepatu bot. Micha mendekatinya sambil melebarkan jubah rajutannya tersebut.
"Supaya kau tidak kedinginan," katanya, lalu tanpa persetujuan siapa pun sudah menyampaikan kedua sisi jubah pada bahu cucu perempuannya. Lantas mengikat tali ke depan leher Jocelyn.
Jocelyn memandangi pakaian hangat barunya, persis seperti milik Naomi di hari kematian gadis itu. Warna merahnya juga mengingatkan Jocelyn pada genangan darah beku di sekitar jasad kakaknya yang mengenaskan. Daripada jubah merah terang begini, Jocelyn akan lebih menghargai sesuatu yang berwarna tidak mencolok seperti jubah hitam yang dikenakan Tucker. Namun, dia tidak berkata apa pun supaya tidak menyakiti perasaan neneknya.
"Terima kasih." Jocelyn mengangguk, lantas menarik tudung jubah ke atas kepala.
"Kau tahu, manusia serigala tidak tahan pada benda suci. Jika makhluk itu mengejarmu lagi, bersembunyilah di dalam gereja. Mereka juga lemah terhadap perak, jadi pastikan dirimu tetap berada di samping siapa pun yang membawa senjata perak atau bawa senjatamu sendiri. Hanya karena perubahan serigala mereka terjadi sewaktu malam Bulan Darah, bukan berarti mereka tidak bisa muncul sewaktu siang. Kau tetap harus berhati-hati, kapan pun itu."
Jocelyn meraba jubahnya, merasa sedikit aneh. "Bagaimana Nenek bisa tahu?"
"Oh, Sayangku. Aku hidup lebih lama darimu. Tentu aku tahu banyak hal yang tidak kau ketahui." Micha memandanginya dalam-dalam, lalu mengelus sisi kanan wajah cucu perempuannya. "Kau akan baik-baik saja." Daripada meyakinkan, nada suara wanita tersebut lebih terdengar seperti sedang berjanji.
Tidak mengerti apa yang membuat sang nenek begitu yakin, Jocelyn tetap mengangguk patuh dan keduanya berpelukan sejenak. Pintu kamar kembali diketuk, dua kali. Tanda bahwa Tucker sudah mengosongkan seisi rumahnya supaya bisa membawa Jocelyn kabur.
Begitu mendengar tanda tersebut, Micha memberi satu anggukan mantap yang dibalas Jocelyn. Gadis itu lantas mendekati pintu kamar, membukanya sedikit dan mendapati punggung lebar sang kekasih menghalangi jarak pandang. Perlahan Jocelyn keluar dari kamarnya dan dia bersama Tucker berjalan cepat menuju pintu belakang rumah yang terletak di dekat dapur.
"Jubah yang bagus." Tucker menyindir. "Sama sekali tidak mencolok."
Jocelyn berdecak lirih dan menyenggol lengan pria di sebelahnya, Ticker hanya tertawa singkat. Mereka berjalan melewati belasan ruangan yang pintu-pintunya tertutup dan lampunya dimatikan. Jocelyn bertanya-tanya dalam hati, kenapa orang-orang kaya membangun banyak ruangan. Apa mereka tidak tersesat di rumah sendiri?
Lamunan tak berbobot itu buyar begitu mereka tiba di dapur. Ruangan luas dengan meja marmer berwarna hitam panjang yang dipenuhi kompor beserta peralatan dapur seperti wajan, panci, talenan, wadah pisau, laci piring, lemari gelas, dan lainnya. Ada juga kabinet kayu di atas meja khusus memasak tersebut.
Tucker merogoh saku celana hitamnya, lantas mengeluarkan sejumlah kunci yang disatukan menggunakan tali. Dia tampak memasukkan salah satu kunci, tetapi benda itu tidak berputar sebagaimana mestinya. Tucker mencari kunci lain, meyakinkan diri sendiri, lalu memasangnya ke lubang kunci.
"Kau bahkan tidak tahu mana kunci rumahmu."
"Maaf saja. Membuka dan mengunci pintu adalah tugas pembantu."
Jocelyn kembali berdecak sambil memutar bola matanya. Kali ini pintu kayu di depannya mengeluarkan bunyi kunci terbuka. Tucker menarik napas sebelum mendorong pintu, dia menoleh ke kanan untuk melihat mata biru Jocelyn yang lebih terang dari miliknya dan terlihat seperti sedang meyakinkan diri sendiri begitu Jocelyn bertanya, "Kenapa begitu lama? Tidak tahu bagaimana cara menekan tuas?"
Tucker mendengkus geli. "Tidak ... aku hanya mengkhawatirkan beberapa hal."
"Bisa diterima." Jocelyn mengangkat bahu. Sedikit merasa tak yakin.
Dia tidak punya rencana apa pun untuk membebaskan Jaydon, perkataannya selama di kamar tadi hanya impulsif belaka. Namun, setidaknya daripada mendekam di ruangan nyaman dan hangat itu, sementara keluarga dan sahabatnya kedinginan di luar, Jocelyn tahu mana yang lebih layak untuk diperjuangkan. Lebih dari itu, dia belum melihat kondisi orang tuanya sama sekali juga Seamus. Penjabaran Tucker mengenai keadaan mereka tak lantas membuat kegusaran Jocelyn menghilang.
Sambil menggenggam tangan kekasihnya erat-erat, Tucker membuka pintu belakang rumahnya dan membantu Jocelyn menuruni tangga yang licin. Hari sudah gelap, bulan merah tertutup awal di atas sana. Jocelyn tak yakin berapa waktu yang mereka miliki untuk menyusun rencana pembebasan Jaydon selagi memikirkan bagaimana pula, cara untuk menjatuhkan manusia serigala tersebut.
Tucker membuat kegiatan mengendap-endap mereka terlampau mudah. Dia mengenali jalan-jalan sempit yang tidak memiliki penerangan dan sudut-sudut yang bisa menyembunyikan mereka dalam bayang-bayang malam, seperti sedang berhitung satu sampai sepuluh.
Keadaan Desa Hustle ternyata lebih buruk dari yang Jocelyn bayangkan. Rumah-rumah tidak ada yang tampak utuh. Jendela-jendela dan pintunya rusak, mereka yang membangun rumah atau pondok dari kayu terpaksa memiliki lubang sebesar bocah lima tahun di temboknya. Atap-atap bolong, pecahannya ada di atas tanah. Orang-orang berkumpul di dekat api unggun kecil seadanya yang hidup di beberapa titik, mereka mengenakan pakaian hangat terbaik mereka yang kelihatan tua sekali. Anak-anak kecil berwajah muram, orang tuanya lebih parah lagi. Penyerangan kedua mungkin akan terjadi malam ini, tetapi tempat berlindung yang mereka punya sudah tak layak pakai.
Gadis itu menoleh ke balik punggung, memperkirakan jarak antara gereja dan titik-titik kumpul warga desa. Tidak seluruh penduduk di sini rajin mengunjungi gereja-keluarga Brave juga sama. Paling-paling hanya Jocelyn, Jeremiah, dan Naomi yang datang karena Tucker juga datang-jadi Jocelyn sedikit bertanya-tanya apakah bangunan bercat hitam tersebut akan sanggup menampung warga yang tersisa atau tidak. Selama dia ke sana, bangunan itu terasa penuh walau pengunjungnya tidak seluruh penduduk.
Prajurit Zachary tampak kentara di jalanan dibanding yang lain karena baju besi mereka. Namun, orang-orang siaga berpakaian lengkap itu jumlahnya jelas lebih sedikit daripada yang Jocelyn ingat.
Tucker membawa keduanya menuju belakang rumah Jocelyn. Gadis itu akui, dia sedikit terkejut karena pondok batunya malah baik-baik saja. Tidak ada kaca ataupun atap yang pecah. Bahkan goresan bekas cakar jika ada yang berusaha menerobos ke dalam pun juga tak tampak.
Tucker mengetuk pintu dua kali, tak butuh waktu lama sampai pintu terbuka sedikit dan wajah tua Adam menyembul dari dalam. Pria yang selalu terlihat lesu dan tak bersemangat itu tampak semringah mendapati wajah putrinya di sebelah Tucker.
"Jocelyn!" Adam menyingkir dari depan pintu, memberi ruang agar kedua pengunjung itu berjalan masuk. Begitu Jocelyn di dalam, Adam langsung memeluknya erat-erat. "Syukurlah kau sudah sadarkan diri."
Jocelyn meringis pelan, membuat Adam buru-buru melepas pelukan mereka. Pria itu tanpa sengaja mengenai luka di punggung anaknya. "Maafkan aku."
"Tidak apa, Ayah." Jocelyn menggeleng cepat dan tersenyum. Dia memandangi sosok bertubuh jangkung di depannya lantas bertanya, "Apa Ayah baik-baik saja?"
"Aku tidak apa-apa. Ibumu yang terluka sebab melindungi Nenek." Adam sedikit menoleh, membuat Jocelyn turut menatap ke arah kasur yang terletak di ujung ruangan. Meskipun tidak jelas, dia bisa melihat tubuh ibunya yang sedang terlelap.
"Apa dia akan baik-baik saja?"
"Ibumu baik, Sayang. Para tabib sudah mengurusnya. Dia juga tidak pingsan sepertimu, hanya terluka."
Jocelyn mendesah pelan. "Syukurlah." Dia heran kenapa dirinya ditempatkan di rumah Tucker yang nyaman dan hangat, sementara ibunya malah mendekam di pondok batu tua ini.
Tucker memandang sekeliling. "Mana Seamus?"
Tepat setelah dia mengatakan itu, pintu depan terbuka dan sosok berambut pirang muncul di ambangnya. Seamus kelihatan sedikit berantakan, baju dan rompi kulitnya kusut dan dia berjalan setengah pincang untuk masuk.
Adam dan Tucker yang sudah bersiaga menyembunyikan tubuh Jocelyn di belakang mereka, seketika membuang napas lega hampir bersamaan. Jocelyn menyelip di antara keduanya untuk melihat sang sahabat lebih jelas.
"Seamus, astaga!"
"Jeje, kau sudah sadar? Syukurlah!" Wajah Seamus berubah cerah, dia berusaha meraih Jocelyn dan nyaris terjungkal kalau gadis itu tidak menangkap tubuhnya.
"Kakimu kenapa?" Jocelyn bertanya sambil mengarahkan Seamus untuk duduk di kursi yang ditarik Tucker. Dia sendiri berlutut di samping sahabatnya sambil mencoba memeriksa kaki Seamus.
Pemburu itu menahan tangan Jocelyn dan menggeleng. "Hanya luka kecil yang masih sakit." Dia tertawa singkat. Mata cokelatnya kelihatan meyakinkan, hingga Jocelyn mengangguk.
Gadis itu kembali berdiri. Teringat luka yang juga diterima manusia serigala malam itu, kaki kanan depan. Lalu surat untuk Naomi yang mungkin difungsikan guna menjebak Tucker. Jocelyn menatap Seamus yang sedang melepas botnya perlahan, mengeluarkan salju dari dalamnya.
Apa Seamus masih menyukai Naomi waktu itu?
Jika, iya. Maka itu menjelaskan alasannya membenci Tucker sehingga mau membuatnya seolah-olah mengirimkan surat kematian Naomi. Walau surat itu hampir seratus persen tidak ditemukan siapa pun, nama Tucker terbukti ampuh memancing Naomi keluar.
Mungkinkah karena cinta bertepuk sebelah tangan? Jocelyn mengernyit, merasa bahwa alasan itu tidak terdengar seperti Seamus. Namun, di saat yang sama, gadis itu juga mulai sangsi. Seberapa besar dia mengenal sahabatnya?
"Jeje, kau baik-baik saja?"
Kembali Jocelyn menatap Seamus. Satu kenyataan menyengat ingatannya. Dia menceritakan pasal Jaydon yang melihat kematian Naomi malam itu pada Seamus, reaksi Seamus waktu itu masih tergambar jelas di matanya. Wajah terkejutnya ... yang terlihat ganjil.
Kalau Jaydon adalah saksi mata ... maka itu alasan kenapa dia hendak disingkirkan ... tapi, apa alasan untuk membawanya pergi?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top