10. Dendam, Nenek, Kurungan
Jocelyn merasakan perih membakar punggungnya yang ditimpa kaki sang serigala, dia makin menyadari betapa kecil tubuhnya di bawah makhluk besar tersebut. Gadis itu mampu mendengar maut dari deru napas sang serigala saat hewan itu menggeram rendah di samping wajahnya, seperti tengah memperingatkan bahwa dialah yang tengah memegang kendali atas nyawa siapa yang hendak dicabutnya malam ini.
Dalam satu entakan keras, serigala besar itu meninggalkan jejak luka tusuk di punggung Jocelyn, sementara dia sudah mengambil langkah pertama menuju punggung mungil Jaydon yang nyaris sampai ke penghujung gang. Hewan besar itu tidak perlu berlari mengejar, satu langkahnya saja sudah setara sepuluh langkah manusia biasa.
Jocelyn menyadari adiknya tidak akan bisa lolos, tidak peduli seberapa cepat kedua kaki Jaydon bisa membawa tubuhnya melarikan diri. Gadis itu merasa udara makin sulit dihirup, paru-parunya menyempit dan punggungnya perih. Dia merentangkan tangan kanan, menarik salju supaya bisa bergerak maju. Pandangannya pun sudah mengabur.
Jocelyn bergerak lambat di atas salju, berusaha meraih pedang milik Jaydon yang berada di luar jangkauan tangannya. Kedua lengannya bergantian membawa tubuh merayap maju menuju satu-satunya senjata yang mungkin bisa menyelamatkan nyawa mereka malam ini.
Manusia serigala yang mengejar Jaydon menghalangi ujung gang, moncongnya yang besar diarahkan ke depan remaja lelaki bertubuh kurus tersebut. Gigi runcing mengkilap membuat Jaydon mundur, kakinya saling tersandung sehingga dia terduduk. Tubuhnya gemetar bukan main, bahkan sudah mengompol sedikit. Sambil terpejam dan berharap bahwa semua ini hanya mimpi, Jaydon menggunakan kedua tangannya untuk bergerak mundur, tetap mempertahankan posisi duduk. Serigala besar berbulu cokelat di depannya mengendus perut Jaydon, membuat remaja tersebut menjerit tertahan. Matanya makin rapat menutup.
“JAYDON!”
Tepat saat hewan besar itu membuka mulut, Jocelyn melempar pedang milik Jaydon yang mendarat tak jauh dari tangannya. Mendengar teriakan sang kakak, menyetrum sedikit keberanian dalam tubuh Jaydon. Dia membuka mata dan berguling ke kanan. Menghindari puluhan gigi setajam pisau yang nyaris mengoyak tubuhnya. Remaja itu meraih senjata pemberian Jocelyn, Jaydon mengangkat pedang dan hendak mengayunkan benda berat tersebut ke leher besar sang serigala.
Namun, makhluk itu lebih gesit. Kaki depannya mengempas tubuh Jaydon ke dinding sebelum Jaydon sempat berkedip. Tubuh kurusnya menabrak permukaan dinding batu bata dan terjatuh tak berdaya di atas salju. Pedangnya terjatuh tepat di depan serigala, kemudian terinjak sampai bengkok. Baru saja hewan itu akan mendatangi Jaydon, satu tusukan dari pisau dapur keluarga Brave bersarang di perut. Hewan besar itu menoleh ke belakang.
Jocelyn tampak terengah-engah, gaunnya berlumuran darah. Dia berusaha mati-matian untuk berdiri sambil membenamkan pisaunya sampai ke pangkal. Benda mungil yang ditancapkan Jocelyn tak lebih dari tusukan tusuk gigi bagi sang serigala. Alih-alih membuatnya merasa sakit, tusukan itu justru menyulut emosinya seperti api terkena bensin.
Serigala meraung, membuat Jocelyn terjatuh. Mulut lebarnya terbuka dan tak ada kesempatan bagi sang gadis untuk bergeser barang sejengkal. Jocelyn menunggu rasa sakit merobek tubuhnya, tetapi perasaan itu tidak pernah datang. Ketika dia mengintip, makhluk besar di depannya terpukul mundur sebab sebuah anak panah mengenai kaki depannya, sebelah kanan.
Zachary muncul dari ujung gang, busur silangnya diarahkan ke hadapan sang serigala. Tanpa rasa takut meskipun tetap waspada, dia menembakkan anak panah kedua dan ketiga dalam waktu berdekatan. Hewan incarannya dengan cekatan menghindar, bahkan kini sudah menaiki dinding menggunakan cakarnya dan berdiri di atas atap. Beberapa saat setelahnya, anak buah Zachary turut muncul lantas menghujaninya serangan panah perak. Namun, tak ada lagi yang berhasil melukai makhluk tersebut seperti Zachary.
Sebelum serigala besar dan kejam itu pergi, dia menatap Jocelyn sebentar dan Jocelyn bersumpah melihat kobaran api kebencian di sepasang mata cokelatnya.
---
Ketika Jocelyn sadarkan diri, dia tidak lagi di jalanan desa atau pondoknya. Tidak kedinginan, justru sebaliknya.
Ruangan tempatnya berbaring terasa familiar sekaligus asing, aroma kayu manis yang tak pernah diciumnya mengisi rongga paru-paru dan ketika Jocelyn berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi malam itu, kepalanya berdenyut. Menyisakan rasa pening mengerikan. Sengatan perih luar biasa terasa di punggung. Jocelyn mengerang, tak ada suara yang keluar dari tenggorokannya. Kini ketika dia bergerak untuk menyalurkan kepedihan, semua sendi di tubuhnya turut serta menyumbang sakit.
Detik berikutnya, gadis itu sudah tidak bertenaga untuk bergerak. Tubuh malangnya kembali terbaring di atas ranjang empuk yang bukan miliknya. Rambut cokelat kemerahan acak-acakan di atas bantal berbulu angsa.
Pintu di sebelah kiri ruangan mengeluarkan bunyi jegleg sebelum terbuka, dan Jocelyn bersyukur sosok yang muncul dari balik sana adalah orang yang dia kenal. “Nenek.” Suaranya masih tidak ada.
Micha terburu-buru mendekati samping kasur sambil membawa nampan. Dia meletakkan lempengan besi itu di atas nakas, dan menyodorkan gelas seperti tengah memperlihatkan emas.
“Minumlah anakku, minumlah.”
Tangan keriput Micha bergerak untuk menyusun tumpukan bantal di belakang tubuh cucu perempuannya, membuat Jocelyn mendapat tambahan sandaran untuk sekadar bisa memajukan tubuh dan menenggak minuman.
Apa yang gadis itu pikir sebagai air putih terasa sangat berbeda di mulut, Jocelyn nyaris memuntahkan minuman yang baru dihabiskannya separuh. Belum sempat gadis itu menjauhkan gelas, Micha mendorong wadah kayu tersebut agar terus menempel di mulut Jocelyn dan memaksanya menghabiskan cairan aneh di dalamnya.
“Apa-apaan minuman itu,” keluh Jocelyn, suaranya sudah sedikit kembali. Sekarang dia tidak perlu jawaban atas apa yang ada di dalam gelas barusan.
“Kau tidak sadarkan diri sejak kemarin malam. Itu sudah satu hari penuh.” Micha meletakkan gelas kosong di atas nakas. Dia menggenggam kedua tangan Jocelyn, tatapan di mata kelabunya yang serupa Adam membuat Jocelyn teringat banyak hal.
“Di-di mana Ayah? Ibu? Jaydon?”
Micha tak lantas menjawab. Wanita tua berambut kuning jagung yang disanggul berantakan itu mempererat genggamannya. Seolah berhasil menangkap isyarat yang diberikan neneknya, Jocelyn membuka mulut lebar-lebar.
“MEREKA MATI?”
“Tidak, Sayang,” sangkal Micha sambil menggeleng. Membuat Jocelyn membuang napas panjang, bersyukur sudah salah menangkap isyarat.
“Kalau begitu di mana mereka? Mereka baik-baik saja, kan?” Gadis itu bertanya dengan nada memburu, menuntut jawaban pasti.
Micha mengangguk sekali, meskipun wajahnya tampak tak yakin. “Ibumu baik-baik saja, hanya saja dia menerima luka parah di wajah akibat seekor serigala. Beruntung itu bukan apa-apa. Seorang tabib sedang mengurusnya sekarang.” Micha menjilat bibir bawah. “Adikmu, Jaydon. Dia ... Zachary membawanya dan secara khusus mengawasi kesehatannya.”
Jocelyn mengernyit dan menggeleng samar. Pria yang memimpin misi pasukan dari istana tersebut tak punya kewajiban untuk mengurus adiknya. Meskipun Jaydon tampaknya memang diincar oleh manusia serigala, membiarkan lelaki tersebut di bawah pengawasan Zachary tidak membuat perasaan Jocelyn membaik. “Apa ... apa yang orang itu mau darinya?”
“Dokter yang Zachary bawa dari ibukota mengobati Jaydon. Karena kau pingsan, dia diinterogasi dan akhirnya ditahan.” Micha membuang napas. Jocelyn tidak bisa membedakan kerutan di kening wanita itu apakah alami atau karena dia mengernyit dalam sepertinya. “Zachary bilang, pasti ada alasan khusus kenapa manusia serigala itu menyerang kalian berdua dan hanya kalian di desa. Jadi dia ....”
“Dia mengurung Jaydon untuk menjadikannya umpan?” Jocelyn menebak sambil menjerit, terbelalak. Diamnya Micha seolah mengkonfirmasi kebenaran ucapannya.
Jocelyn mengerang. Dia meletakkan nyawa pada ujung taring serigala, bukan untuk melihat adik laki-lakinya akan diserahkan sebagai umpan. “Aku akan bicara pada Zachary." Jocelyn menyingkap selimut. Mengabaikan rasa sakit yang mencabik-cabik tubuh.
“Tenanglah, Jo.” Micha menahan cucu perempuannya. Meskipun tua, dia masih memiliki tenaga setara Jeremiah. “Adam yang sedang bicara padanya. Adam dan Seamus. Mereka berusaha membawa adikmu pulang.” Micha menggeleng. “Kalau Zachary tahu kau sudah sadarkan diri. Dia bisa mengurungmu juga.”
“Lebih baik aku daripada Jaydon. Dia nyaris mati jika aku tidak kebetulan ada di sana malam itu. Bagaimana mungkin dia bisa bertahan di bawah tekanan para prajurit milik Zachary?” Jocelyn ngeri membayangkan apa yang mungkin orang-orang itu lakukan terhadap adiknya untuk mengorek informasi. Fakta bahwa Jaydon memahami bahasa serigala membuat gadis itu bergidik.
Semoga dia tidak bilang apa-apa soal itu.
Jocelyn mulai menimbang-nimbang rencana untuk menggantikan posisi Jaydon. Alasan apa yang membuatnya tampak lebih penting dari sang adik. Dibandingkan dia yang terluka hingga pingsan, luka Jaydon pasti lebih ringan dan keberadaannya akan lebih berguna bagi Adam dan Jeremiah jika penyerangan kedua terjadi. Jocelyn pikir, akan lebih baik jika dia saja yang dikurung. Toh, perlakuan para prajurit itu akan sedikit lembek di hadapan wanita. Aku harap.
Micha hendak kembali bicara. Namun, ucapannya terhenti oleh bunyi ketukan tak sabaran dari pintu.
---
Simple note, penting tak penting :
Cara baca nama :
Jocelyn : Jo-se-lin.
Jaydon : Jay-den.
Seamus : Si-mes.
Tucker : Tak-er.
Adam : Adam.
Jeremiah : Yeremiah.
Zachary : Zakari.
Micha : Mi-ca.
Naomi : Naomi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top