1. Hutan, Permainan, Cerita

Salju yang menutupi jalanan di desa kami sudah kotor dan terinjak-injak, ada bekas roda gerobak dan jejak kaki kuda cokelat kehitaman yang memanjang lalu saling melintang ke arah pintu-pintu rumah. Meskipun musim dingin sudah tiba semenjak dua pekan lalu, udara di sekitar sini masih tergolong aman bagi anak-anak yang mau bermain kejar-kejaran tanpa mantel atau sepatu bot. Yah, kalaupun mereka punya barang-barang bagus dan hangat itu, pastinya sudah tidak layak pakai karena telah digunakan turun temurun entah dari saudara yang ke berapa. Warga Desa Hustle harus berpikir lebih dari sepuluh kali apabila mau menggunakan koin-koin perak—dan emas, kalau punya—mereka demi pakaian hangat, masih lebih baik diam di rumah dan duduk depan perapian sambil menggelung tubuh menggunakan kain tipis seadanya.

Meskipun kondisi rumah-rumah batu di sini suram, sangat biasa saja dan membosankan, hal-hal seperti itu tidak mempengaruhi belasan anak berusia 8-11 tahun untuk bekerjaran sambil melempar bola-bola salju.

Jocelyn tersenggal-senggal, tubuhnya dipaksa berlari oleh anak lelaki berambut pirang lepek di depannya. "Larimu lambat sekali, Jeje!" Seamus memprotes, tetapi tidak melepas genggamannya pada pergelangan Jocelyn.

Kepulan udara keluar dari depan mulut gadis cilik di belakang Seamus selagi dia mengatur napas. Wajahnya memberengut kesal. "Kau berlari seperti anjing!" bentak Jocelyn. Rambutnya yang sudah dikepang rapih-rapih dan kuat kini berantakan tak karuan, helai cokelat kemerahan mencuat dari sela-sela ikat rambut yang sudah dipelintir berkali-kali.

"NUNDUK!" Sambil tertawa Seamus berteriak, tubuhnya menubruk badan Jocelyn membuat gadis malang itu menjerit tertahan. Keduanya jatuh ke atas jalanan empuk tepat ketika sebuah bola salju nyaris mengenai mereka. "Kami manusia, pemburu bodoh!" maki Seamus, tetapi mulutnya tidak berhenti tersenyum.

Jocelyn melepeh salju kotor yang masuk ke mulutnya, dia mengerang lirih dan kembali duduk. Gadis itu menatap sosok menjulang berpakaian bagus yang jadi alasan kenapa dirinya belum mendapatkan jatah mantel baru untuk musim dingin ini. Dia tidak repot-repot memprotes, apalagi memaki setelah mengetahui siapa pelaku yang melemparinya dan Seamus 'peluru' yang seharusnya untuk anak-anak lain yang dilabeli sebagai werewolves.

"Aku tidak berusaha mengenaimu, Idiot!" Suaranya menyebalkan, tetapi diam-diam Jocelyn ingin memiliki suara seindah dan setinggi itu agar terpilih menjadi penyanyi ketika Desa Hustle membuat pesta kecil-kecilan di alun-alun. Seperti nanti malam.

Seamus berdecak, membersihkan rambut pirangnya yang dikotori salju. "Jeje juga bukan werewolves tahu. Kau pemburu yang payah!"

Naomi menatap adiknya sengit. Gadis itu berambut keriting sepanjang punggung, berkilau-kilau di bawah sedikit sekali cahaya matahari sore, wajahnya bersih dan segar seperti apel yang baru dicuci. Kalau dilihat lebih teliti, orang-orang bisa menyadari bahwa Naomi menggunakan riasan murah yang hanya mampu dibeli ibunya sekali setahun. Anak-anak seumuran Jocelyn hanya bisa berkomentar iri, kalau melihat gadis seperti Naomi yang sudah cukup umur untuk menabur sendiri bedak ke wajah mereka. Bukan menerima usapan lima jari asal-asalan dari tangan-tangan kasar para ibu atau wanita tua tetangga yang merasa kasihan karena kulit mereka 'tidak punya warna'.

Sebelum Naomi sempat mencela dua bocah di depannya, seseorang menepuk punggung kiri gadis itu. Membuat Naomi menoleh cepat.

"Nah, kau jadi."

Jocelyn bersumpah melihat wajah Naomi bersemu saat mengetahui siapa yang menepuk bahunya.

Tucker Prescott. Dia anak satu-satunya pandai besi dari desa kami. Itu berarti keluarganya mampu membuat beragam senjata yang diperlukan penjaga dan prajurit di seluruh kerajaan, membuat kapak untuk para penebang pohon seperti ayah kedua saudari, pisau yang digunakan para ibu di dapur, perhiasan yang dikenakan segala kalangan usia maupun jenis kelamin sebagai penangkal atau jimat pelindung dari makhluk jahat Red Woods, juga koin. Meskipun jumlah koin yang diciptakan seluruh pandai besi dibatasi dan harus langsung diserahkan ke kerajaan, bayangan memiliki kekuatan sebesar itu untuk menciptakan uang adalah satu hal yang sangat luar biasa.

Seamus menatap Tucker iri, soalnya dia suka Naomi dan Naomi menganggapnya lebih tidak berharga dari lalat yang mengerubungi bokong kuda. Yah, kalau di depan Tucker yang keluarganya mempekerjakan separuh pria dewasa di Desa Hustle, anak pensiunan pemburu macam Seamus Hunt tentu tidak masuk list menantu idaman. Jocelyn mengembuskan napas, sahabatnya tidak punya harapan.

"Aku sudah berhenti main, kok. Bagaimana kalau kita ke rumahmu dan makan teh saja?"

"Minum," koreksi Seamus. Biasanya yang mengambil peran orang bodoh adalah dirinya, ternyata perasaan suka memang bisa membuat gadis cantik terpelajar sekalipun kelihatan bego.

Tucker tersenyum sopan, dia menggeleng pelan. "Aku masih mau main," tolaknya ramah. Lalu membantu Seamus berdiri. Keduanya nyaris sama tinggi. "Tapi, kalau kau mau berkunjung, silakan saja. Ibuku ada di sana bersama anak-anak perempuan yang lain. Aku yakin melihat Paulina ada di antara mereka."

Ekspresi Naomi berubah, tetapi dengan lihai gadis langgangan pemeran utama teater Desa Hustle itu menepis mimik gusarnya menjadi terenyum, seusai mendengar nama 'Paulina' disebut. Seingat Jocelyn, gadis anak perancang bunga itu memang bersahabat dengan Naomi dan siapa pun tahu, Naomi menyukai Tucker.

Sebelum ada yang sempat bersuara lagi, seruan berat dari arah gerbang masuk desa membuat keempatnya dan anak-anak lain serempak menoleh. Wajah mereka berubah cerah, bahkan Jocelyn yang biasanya memasang ekspresi biasa saja tersenyum kecil.

"Anak-anak! Kalian siap mendengar cerita?"

Para orang tua bilang, bahwa Monroe Joy adalah pembual. Namun, anak-anak tidak percaya pada apa yang orang tua mereka katakan. Bagi mereka, Monroe adalah pendekar bayaran terkeren di seluruh dunia dan cerita-cerita yang dibawanya membawa kebahagiaan seperti nama belakangnya. Wanita berkulit gelap dan potongan rambut pendek setelinga itu tersenyum lebar, memamerkan gigi putih kebanggan yang Monroe bilang lebih mengkilap daripada mutiara. Wanita bermantel kulit beruang itu duduk di pinggir sumur depan satu-satunya gereja usang. Dia bersedekap, bangga melihat pertumbuhan pasukan ciliknya setelah tidak pulang nyaris genap empat tahun.

Jeremiah Brave, ibu Jocelyn, bilang bahwa Monroe dulunya hanyalah tukang bersih-bersih kendang babi, tetapi dia juga menerima pekerjaan-pekerjaan kasar lain seperti menebang pohon, mengumpulkan kayu bakar, menguliti hewan buruan, mengangkut batu dan bahan bangunan untuk memastikan dia punya makanan hangat bagi adik-adiknya yang sekarang sudah tiada, meninggal karena hipotermia.

Namun, Monroe bukan berasal dari Desa Hustle, sehingga cerita menyentuhnya itu tidak bisa diterima para orang tua. Namun, apabila itu benar, sungguh kasihan. Jocelyn yakin, para ibu membiarkan anak-anak mereka berkumpul, memeluk, mencubit, dan tertawa bersama Monroe adalah karena anggapan bahwa wanita itu melihat sosok adiknya dalam diri anak-anak ini.

Sebenarnya, melihat gaya berpakaian Monroe dan puluhan pisau peraknya yang berkilau-kilau, sudah cukup menjelaskan bahwa dia memanglah seorang pendekar bayaran. Namun, selalu ada satu hal ganjil dalam cerita yang dibangga-banggakannya tersebut.

"Aku melewati Red Woods lagi hari ini. Aku beruntung bisa selamat."

Nah, itu dia.

Jocelyn mendesah dalam hati sambil menggeleng. Dia memperhatikan tangan besar Monroe yang dipenuhi bekas luka tak karuan, seperti jalur yang digambar pada peta. Waktu pertama kali wanita itu datang ke Desa Hustle dan Jocelyn melihat tangannya, dia tidak tahan dan memuntahkan seluruh sarapannya hari itu. Naomi sampai kena demam dan tidak mau makan malam.

Desa Hustle terletak di pinggir hutan, lokasinya paling jauh dari kerajaan dibandingkan desa lain. Untuk keluar dan memasuki wilayah ini, harus melintasi sebuah hutan. Tentu saja ada jalan lain, tetapi perlu waktu dua kali lebih lama jikalau lewat sana, sementara melintasi hutan hanya menjadi opsi bagus apabila dilalui ketika siang hari. Tidak ada yang pernah berhasil memetakan bagian dalam hutan tersebut, warga desa percaya bahwa setiap malam jalurnya berubah-ubah.

Serigala-serigala besar selalu berkelompok, ada juga makhluk aneh menyerupai manusia bertubuh besar, tinggi, mengerikan, dan mematikan yang mendiami wilayah itu.

Apa pun kecuali serigala.

Dari lagu ninabobo dan cerita-cerita menakutkan yang diceritakan orang tua kepada anak-anaknya, kami tahu bahwa Red Woods tidaklah aman. Terutama karena ada makhluk berjenis serigala raksasa yang tinggal di dalamnya, lebih besar daripada beruang dan giginya lebih tajam daripada pedang. Satu serangannya dapat langsung membunuh siapa saja, bahkan prajurit paling pemberani pun akan merasa gentar. Memikirkannya ketika malam sudah sanggup membuat kami sulit tidur. Jadi sosok yang berkata bahwa dia berhasil melintasi Red Woods lagi, tentu saja terdengar seperti bualan orang gila bagi orang tua. Namun, anak-anak? Monroe itu pahlawan!

"Kau takut?"

Jocelyn berbalik, menatap Tucker yang tersenyum sehangat teh panas. Dia langsung menggangguk cepat, merasakan tatapan sinis Naomi dari sisi kanan. "Memangnya kau tidak?" Jocelyn sudah bisa membayangkan sindiran yang akan diterimanya ketika pulang nanti.

"Suatu saat nanti, aku akan melewati Red Woods juga. Saat aku sudah dewasa."

Terkadang Jocelyn tidak mengerti, kenapa laki-laki selalu percaya diri dan penasaran.

"Apa kau tidak penasaran, apa yang ada di dalamnya?"

Jocelyn merasa jantunya berdenyut tidak karuan, punggungnya dingin oleh perasaan merinding yang merayapi seperti seekor laba-laba. "Tidak."

Gadis itu tidak menduga kalau Tucker akan tertawa. "Apa kau tidak bosan, tinggal di tempat kecil begini?" Ada sesuatu dari cara Tucker mengatakannya yang membuat Jocelyn merasa tak suka, sekaligus tertantang.

"Setidaknya aku tahu, kalau aku aman."

Tucker bergumam panjang sambil mengusap dagu. Jocelyn memperhatikan wajah remaja di depannya, berkulit putih dan mulus. Benar-benar mengundang untuk disentuh. Wajar saja, keluarganya yang paling kaya di sini.

"Suatu saat nanti, aku akan mengajakmu keluar dari desa ini."

Jocelyn abai. Jika dia pergi, siapa yang akan mengurus pondok tua milik keluarganya? Dia tentu tidak bisa mengharapkan Naomi yang selalu ingin tampil cantik bahkan jika keluarganya sedang paling melarat dan sekarat sekalipun. Jocelyn juga tidak bisa memaksa gadis itu bekerja jika semua hal yang dilakukannya selain bersolek akan jadi kekacauan. Ibu juga sudah beranggapan bahwa Naomi tidak cocok melakukan pekerjaan apa pun, neneknya beranggapan bahwa dia tidak akan menikahi siapa pun jika tidak mampu melipat selimut. Namun, Naomi tidak peduli. Pikirnya jika menikahi Tucker maka akan ada orang lain yang melakukan hal-hal sepele seperti merapikan piring makannya, jadi lebih baik dia memastikan bahwa Tucker benar-benar jatuh cinta padanya daripada melakukan hal-hal yang bisa dilakukan orang lain.

"Kan kalian tidak bisa memastikan kecantikanku. Kalian juga tidak bisa membuat Tucker jatuh cinta untukku. Hanya aku yang bisa melakukannya untuk diriku dan kita semua, jadi tolong. Biarkan saja. Kalau dia menikahku, kita akan jadi cukup kaya dan tidak perlu tinggal di tempat kumuh ini. Ayah dan ibu bisa menikmati masa tua dibalut pakaian mahal dan tidur di kasur empuk."

Setidaknya Jocelyn merasa bahwa alasan Naomi itu ada benarnya juga. Jadi untuk kali pertama, dia tidak mendukung keinginan Seamus yang mau menjadikan Naomi pengantinnya suatu hari nanti.

"Kau tega sekali, Jeje. Tapi, aku memang miskin, sih."

Bertahun-tahun berlalu dan Naomi Brave tidak pernah menjadi pengantin. Tidak untuk Tucker Prescott maupun Seamus Hunt atau laki-laki di seluruh dunia. Karena tubuhnya ditemukan tidak bernyawa di atas salju berdarah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top