Chapter 6: Coefficient of Friction
Keheningan yang mencekam, mengalir rata ke sekeliling ruangan bersama dengan aura gelap yang dihasilkan oleh perasaan takut dan terancam. Benar-benar tak ada satu orang pun yang mengeluarkan suara. Masing-masing sibuk dengan pikiran yang berkecamuk hebat. Semua ketakutan—wajah mereka menunjukkan segalanya dengan jelas. Gestur tangan yang tampak gelisah dan bibir yang bergetar tanpa henti.
Ruang makan kini terisi penuh. Akan tetapi, meskipun dengan banyak manusia yang ada di dalamnya, itu tidak serta merta menghapus hawa mencekam yang terlanjut menyelimuti ruangan luas tersebut. Di meja persegi panjang itu, Yuuka duduk di tempat paling ujung seorang diri—karena ia masih menjabat sebagai seorang kapten—dan Akane duduk di ujung lainnya. Mereka masih mengerjakan tugas secara profesional sebagai kapten dan wakil kapten meskipun semua orang yang ada di sana tahu hubungan kedua wanita itu sedang tidak baik.
Akane sengaja mengumpulkan semua orang tepat ketika Inoue dan Hikaru melapor bahwa mereka telah bertemu dengan anggota Black Army. Dan tentu saja, sebagai orang yang begitu anti dengan kelompok militer itu dan tahu ancaman macam apa yang barangkali telah menunggu, tanpa basa-basi ia segera memerintahkan semua orang yang untuk berkumpul di ruang makan. Meninggalkan gerbang utama dan watchtower kosong tanpa penjagaan.
Awalnya mereka tidak mengerti dan sempat menduga bahwa ada seseorang yang berkhianat. Mereka semua sempat saling menatap dan saling berinteraksi dengan memasang kewaspadaan tinggi karena dugaan tersebut. Berkaca dari peristiwa pemberontakan yang pernah terjadi beberapa bulan yang lalu, berhasil membuat penghuni SKZ-046 mudah memandang negatif rekan mereka sendiri. Untungnya, Akane segera memberitahu semua penghuni mengenai temuan itu. Juga dengan Inoue, Hikaru, dan Yui yang bergantian menceritakan kronologi penemuan tersebut secara rinci dan runtut.
Dan itulah yang membuat suasana menjadi sangat mencekam sekarang.
Yuuka pun sebenarnya berusaha keras menyembunyikan raut wajahnya karena ia tak ingin teman-temannya menjadi semakin takut. Namun tetap saja, ia juga merasa was-was sekarang. Ketika ia tenggelam di dalam rasa takutnya sendiri, Akane tiba-tiba bangkit berdiri dan berjalan dengan langkah cepat untuk mendekati Yui. Tangan kirinya menarik kerah pakaian Yui sekuat tenaga, memaksa tentara itu berdiri dan dengan cepat melayangkan pukulan yang sangat keras pada rahangnya hingga ia jatuh tergeletak di atas lantai ruang makan.
Sontak, semua orang yang ada di sana terkejut dan refleks berteriak. Terutama saat Akane mulai menduduki tubuh Yui dan memukuli wajahnya tanpa henti. Tak peduli dengan darah yang menempel pada buku-buku jarinya, dan juga tak peduli dengan teman-temannya yang berusaha keras menariknya agar tak lagi menghajar Yui. Habu, Matsuda, Akiho, dan Rena sudah berusaha sebisa mereka untuk menarik Akane menjauh dari tubuh Yui. Tapi, mantan letnan itu jauh lebih kuat dari mereka. Ia bahkan mendorong Rena dan Matsuda hingga keduanya jatuh menabrak meja, menyebabkan kekacauan lain sama sekali tak diinginkan.
"Kau—argh—lihat apa yang kau bawa kemari, keparat! Seharusnya sejak awal aku tidak perlu menyelamatkanmu di hutan malam itu. Seharusnya aku membiarkan mutan itu melahapmu hidup-hidup agar kau mati menjadi butiran-butiran daging busuk!" Akane berteriak di sela-sela napasnya yang tersengal sebab pukulan-pukulan penuh tenaga yang masih juga tak berhenti ia hantamkan pada Yui.
"Aku tidak mengerti—Moriya!" ucapan Yui terpotong begitu saja. Sebab pukulan Akane tanpa sengaja menyasar batang tenggorokannya dan membuatnya terbatuk hingga kesulitan bernapas. Ia benar-benar tak berdaya. Meski kedua tangannya ia gunakan untuk memasang guard, tenaganya masih saja tak cukup untuk menghalau pukulan mentah dari kepalan tangan yang dibalut sarung tangan taktis itu. Perlahan, ia dapat mengecap rasa aneh di bibirnya—darah.
Akane menghentikan serangannya. Ia menatap dingin pada sedikit lumuran darah yang kini menempel pada buku-buku jari. Melihatnya saja, membuat ribuan memori sewaktu ia masih menjadi anggota militer kembali kepadanya. Kehidupannya yang tidak pernah lepas dari desing peluru dan merahnya darah. Dirinya di masa lalu menurutnya hanya seekor binatang buas tidak bermoral yang hanya tahu caranya merenggut nyawa sesamanya. Ia membenci militer, membenci dirinya sendiri yang pernah melakukan tindakan brutal itu.
Dahulu ia hanyalah seekor anjing peliharaan. Yang selalu mengikuti apa yang diucapkan tuannya dan mendapat hukuman berat apabila ia melanggar perintah. Ia pernah takut pada tuannya dan tak pernah memiliki pikiran lain selain menjaga dirinya tetap hidup dengan tetap menjadi anjing yang patuh. Sekarang, ia bebas. Ia memiliki hak untuk memilih apa yang harus ia lakukan dan tidak ada yang bisa memberinya batasan, seperti dulu.
Dan sekarang, melihat ke dalam mata cokelat Kobayashi yang redup membuat Akane mendapatkan kembali semua kenangan buruknya. Ia benci semua itu, ia harus menghapusnya, menghancurkannya sampai tak bersisa.
Mengambil kesempatan yang muncul dalam sepersekon detik, Yui memutar tubuhnya untuk menghindari pukulan wide hook dari Akane dan langsung melayangkan hantaman siku tepat pada pelipis mantan letnan itu. Tak peduli apa yang akan menimpa selanjutnya, yang ia pikirkan adalah bagaimana caranya ia melepaskan diri dari cengkeraman Akane. Dan untungnya, pukulannya itu berhasil membuat Akane limbung ke samping dan tidak lagi menindih tubuhnya.
Namun, apakah dengan pukulan itu Akane sudah tumbang dan menyerah kalah? Tentu saja tidak. Wanita itu justru menarik keluar combat knife dari sabuk dan mencengkeram leher Yui. Dengan kekuatan emosi yang sudah berada di luar batas, Akane menendang segala sesuatu yang menghalangi jalannya dan mendorong Yui hingga punggungnya membentur dinding. Sekarang, pisaunya sudah terangkat tinggi. Siap untuk menghabisi nyawa orang yang ada di depannya.
"Prajurit ini harus mati!"
Tak ingin diam saja, Yuuka pun akhirnya bergerak. Ia berjalan mendekat—entah mengapa langkah kakinya terlihat santai dan tidak nampak sedikitpun ia terburu-buru—hingga ketika jaraknya dengan kedua orang yang sedang berkelahi itu sudah cukup dekat, Yuuka pun menendang ulu hati Akane dari samping dan menarik lengannya secara paksa. Pisau milik Akane terlempar dan Kira buru-buru mengambil sekaligus mengamankannya. Melihat tindakannya yang sedikit kasar dan raut wajahnya yang menunjukkan kekesalan nyata, teman-temannya pun tidak berani memisahkan lagi.
Siapa sangka tendangan Yuuka benar-benar memberikan efek yang menyakitkan. Akane, yang kini berada dalam cengkeraman Yuuka sedang mengerang kesakitan dengan tubuh agak membungkuk. Mereka tidak pernah melihat Yuuka mengangkat senjata sebelumnya, apalagi berkelahi seperti ini. Jelas saja mereka segan begitu melihat Yuuka seperti gunung api yang sedang memuntahkan lahar panasnya.
"Kau tahu sesuatu tentang mereka. Tidak mungkin kau begitu takut dengan Black Army sampai seperti ini jika kau tidak tahu apapun," melepaskan cengkeramannya pada Akane dan kini membantu Yui untuk duduk bersandar pada dinding, Yuuka kemudian kembali berjalan dan berhenti di depan wajah Akane. Memandang wanita itu dengan tatapan dingin, ia berucap, "Jika di hadapanku kau tak ingin menjelaskan apapun, bagaimana dengan di hadapan semua orang ini? Ketika mereka tahu kau telah menyimpan rahasia, jangan harap mereka kembali menaruh seratus persen kepercayaan mereka kepadamu."
Semua orang yang ada di sana lantas terbelalak. Semuanya memandang Akane dengan tatapan tidak percaya. Rahasia macam apa yang Akane pendam dari mereka? Apakah lebih buruk dari kebenciannya terhadap Black Army. Akiho, Rena, Endo, dan Marino sampai saling pandang satu sama lain. Mereka ingat betul malam di mana Yuuka lewat di depan mereka dengan wajah muram setelah berbincang dengan Akane di watchtower. Barulah mereka sadar, rahasia yang mereka bicarakan inilah yang telah membuat keduanya bertikai.
Habu, sebagai seorang rekan lama. Orang yang bersama dengan Akane dan Yuuka membangun homebase hingga menjadi sebesar ini tentu merasa terkhianati dengan adanya rahasia itu. Ia memandang Akane dengan sorot mata keji, berusaha menyembunyikan kekecewaan dan memaksa amarahnya menutupi kesedihannya itu.
"Kupikir kita semua adalah keluarga di sini. Kau berjanji pada kami bahwa tak ada lagi rahasia yang tersembunyi. Tidak sejak Manaka dan lainnya berkhianat di sini dan membunuh rekan-rekan kita!" Habu berteriak keras. Sangat keras sampai suaranya menggema dengan lantang di dalam ruangan tertutup itu. Koike sampai berusaha menenangkan, takut jika suaranya itu akan memancing makhluk yang tak diinginkan.
"Jadi begitu caramu bermain?" Akane tertawa miring. Ia memukul dada Yuuka dengan tangannya, dua kali pukulan dan membuat Yuuka melangkah mundur dengan raut wajah menahan amarah. "Ternyata kau licik juga. Membuat semua orang yang ada di sini memusuhiku dalam sekejap mata." lanjutnya. Mendengar ucapannya itu, Yuuka memiringkan kepalanya ke samping.
"Aku sama sekali tidak berniat melakukan itu, Akane. Kau yang melakukannya pada dirimu sendiri. Dengar, aku tak ingin kita terpecah seperti ini dan aku juga tidak ingin membuatmu seperti musuh!" Yuuka menjawab. Ekspresi menakutkan yang semula ada pada wajahnya kini terganti oleh ekspresi lembut, penuh empati dan pengertian. Namun suaranya tetap terdengar tegas di telinga teman-temannya. "Satu-satunya cara untuk bisa membela dirimu sendiri adalah dengan menjawab pertanyaanku—pertanyaan kami."
Akane menggeleng. Masih dengan wajah tengil yang menyebalkan—entah ia membuatnya karena kesal atau memang ia sengaja memprovokasi Yuuka dan semua orang yang ada di sana—ia mendekat pada Yuuka dan berdiri di sampingnya. "Jika berbicara tentang rahasia, pemimpin kalian yang paling cinta damai ini juga memiliki rahasia besar yang tak kau duga. Yuuka mari kita saling membayar dengan rahasia masing-masing, mereka semua berhak tahu apa yang pernah kita lakukan, benar?"
"Apa?" Rena memutar wajahnya menghadap Yuuka dengan cepat. Menyenggol lengan Koike yang tengah menyiapkan kapas bersih dan wadah alkohol untuk Yui, ia melanjutkan, "Sebenarnya, apa yang kalian sembunyikan dari kami?"
Paling tidak, pertanyaan Rena itu telah mewakili apa yang dipikirkan oleh Hikaru, Inoue, Takemoto, dan penghuni SKZ-046 lainnya. Semuanya terkejut setengah mati. Mereka berpikir, setelah pemberontakan terjadi kehidupan kecil mereka di tempat ini akan berangsur-angsur membaik dan kembali ke keadaan semula. Tapi dengan fakta yang baru saja terungkap, keinginan itu mungkin tidak akan pernah terlaksana.
Yuuka, tak bisa mengelak dan sebenarnya tidak mau lagi menghindar. Toh, cepat atau lambat teman-temannya juga akan mengetahui juga. Daripada mereka mengetahui dari mulut orang lain, tentu lebih baik mereka tahu dari mulut Yuuka sendiri. Meski ia takut. Ia takut teman-temannya akan menganggapnya sebagai orang yang buruk dan menghapus semua ingatan tentang perlakuan baik yang telah susah payah ia berikan pada mereka sebagai seorang leader yang baik.
Namun, jika memang selama ini ia telah hidup dan menghabiskan waktunya berjuang bersama orang-orang yang tepat, seharusnya apa yang kubur dalam-dalam selama ini tidak menjadi alasan bagi mereka untuk meninggalkan Yuuka. Dengan pikiran itu, akhirnya Yuuka mulai membuka rahasianya—rahasia yang hanya diketahui oleh Akane.
"Personel yang bertugas di medical corps semuanya memiliki kemahiran dalam menggunakan senjata api." kelebat sendu yang muncul di wajah sang kapten mendadak muncul. Berbanding terbalik dengan raut wajah terkejut yang kini ditampilkan oleh teman-teman yang mendengarkan ucapannya.
Sejauh ini, Yuuka hanya menceritakan bahwa dirinya mantan anggota angkatan darat. Lebih tepatnya di divisi medical corps yang bertugas untuk memberikan layanan kesehatan hingga pertolongan pertama untuk keadaan yang sangat mendesak pada prajurit yang terluka di medan perang. Ia selalu mengaku bahwa ia tidak memiliki keahlian menggunakan senjata api, senjata tajam, hingga bahan peledak. Sehingga kalimat Yuuka barusan telah mematahkan ucapannya sendiri.
"Di barak, kami selalu diberikan porsi latihan yang sama dengan prajurit lain. Seperti menembak, meledakkan sesuatu dengan javelin dan mortar, hingga menggunakan air support." Yuuka berjalan mendekati Hikaru dan Habu. Ia mengambil senapan berburu yang mereka sandarkan pada meja dan mengangkatnya. "Menggunakan ini, aku bisa membunuh musuh dengan jarak puluhan kilometer dengan satu kali tembakan." ia mencoba membidik ke arah pintu besi yang tertutup, melepaskan safety dan menembakkan senapan itu hingga membuat yang lain terkejut karena suara letupannya yang keras. Ia tahu Habu tidak mengisinya dengan peluru jadi ia tanpa ragu menarik pelatuk.
Selesai menunjukkan bahwa ia bisa menggunakan senjata api, ia mengembalikan senapan itu pada Habu. "Hingga suatu hari, saat aku mendapatkan hari libur dan keluar dari barak untuk menjenguk keluargaku di barak survivor... aku menemukan tempat itu sudah hancur. Dengan darah hitam dan potongan tubuh manusia di mana-mana, jelas itu adalah tindakan mutan. Dan benar saja, saat aku berlari ke tempat keluargaku berdiam aku hanya menemukan mereka tengah berada di tahap transformasi menjadi makhluk mengerikan itu."
Suara Yuuka perlahan-lahan menjadi semakin kecil. Getaran emosi yang berasal dari trauma berat yang ia derita membuat suaranya terpecah—membuatnya terlihat hampir seperti akan menangis. Yui, yang kini sedang didampingi oleh Hikaru dan Inoue, menajamkan pendengarannya. Dan ia yakin, yang lainnya pun juga melakukan hal yang sama dengannya. Mereka mendekat, namun tetap menjaga jarak dari Yuuka.
"Jadi aku membunuh mereka semua. Ayah, Ibu, dan kakak perempuanku. Aku menembak mereka tepat di kepala, tetapi ternyata virus sudah membuat mereka bermutasi sehingga aku terpaksa harus menembak dan menghancurkan tubuh mereka." ia membawa tangannya ke atas, menggunakannya untuk mengusap wajahnya yang muram. "Aku menembak mati semua anggota keluargaku. Itulah mengapa aku tidak pernah ingin lagi menggunakan senjata api."
Satu detik, dua detik. Keheningan kembali menyergap mereka tepat ketika Yuuka menyelesaikan ceritanya dengan satu dengusan kecil. Hingga akhirnya, Takemoto memutuskan untuk bertanya. "Kalau begitu, kenapa kau tidak menceritakan hal yang sejujurnya pada kami? Kau tidak perlu berbohong bukan?"
"Aku tahu!" sahut Yuuka. "Aku ingin memberitahu kalian apa yang sebenarnya, tapi melihat apa yang sudah terjadi... membuatku tidak ingin membongkat segalanya. Aku tidak mau kalian memandangku sebagai seorang pembunuh yang menghabisi keluarganya sendiri. Aku—Aku juga tidak mau melakukan itu..."
Tak ada satupun dari mereka tak menyangka bahwa orang selembut dan sebaik Yuuka pernah menghabisi seseorang—tidak main-main, ia membunuh keluarganya sendiri dalam satu hari. Entah pemandangan mengerikan dan perasaan pedih sebesar apa yang ia simpan ketika ia terpaksa melakukan itu.
Sekarang, Yuuka mulai sedikit menangis. Dan melihat itu, Matsuda beserta Akiho dan Marino berjalan mendekat untuk menenangkannya. Mereka juga memberikan sebuah sapu tangan pada Yuuka sementara membiarkan wanita itu melampiaskan kesedihannya sejenak.
Yui tidak tahu dengan yang lainnya, tapi sepedih apapun, tindakan Yuuka sebenarnya juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Yang ia lakukan hanyalah menyelamatkan keluarganya, mencegah mereka berubah menjadi makhluk haus darah yang mengerikan. Tentu lebih menyedihkan lagi jika melihat anggota keluarga sendiri berubah menjadi mutan. Yuuka ingin keluarganya mati dalam keadaan yang baik—masih menjadi manusia.
Setelah menggali kembali kenangan lama itu, kondisi Yuuka pastilah menjadi tidak stabil sekarang. Beruntung, teman-temannya tidak menganggap Yuuka sebagai seseorang yang buruk dan tetap menemaninya. Lagipula, jika saja ia tidak sedang menunggu pengakuan Akane, mungkin Yuuka akan beranjak pergi menuju rooftop untuk menenangkan diri.
Mengusap sisa air mata yang ada di pipi, Yuuka menoleh pada Akane dan berucap dengan suara serak, "Sekarang, giliranmu."
Akane mengangguk. Ia mengetuk lantai dengan kakinya sebanyak dua kali dan menghela napas panjang. Berusaha untuk melepaskan beban di dadanya sebelum mulai bercerita. "Aku pernah menjadi anggota Black Army." ekspresinya seketika berubah menjadi lebih dingin, penuh dengan kewaspadaan meskipun jauh di dalam, Akane sedang berusaha mengingat kembali semua ingatan lama itu. Kedua tangannya diletakkan dan dilipat di atas meja, dengan posisi keduanya saling mengepal kuat.
Teman-temannya mungkin terkejut atas pembukaan yang ia berikan. Akan tetapi, Yuuka lah orang yang paling dibuat tercengang. "Kau... Black Army?" ia mengulang, mendekatkan diri pada Akane dan menyentuh lengannya.
"Ya, sebelum aku kabur dari markas komando dan berhasil lolos dari kejaran personel mereka dengan bersembunyi bersama para mayat manusia di dalam hutan. Nama kodeku, Arctic." Akane mengangguk pelan sebagai jawaban untuk Yuuka. Kemudian ia kembali menghadapkan pandangannya ke depan, kepada teman-temannya. "Aku tidak tahu sejak kapan aku bergabung. Tapi kupikir itu dimulai ketika ada prajurit dengan wajah tertutup tiba-tiba masuk ke dalam barak saat malam hari dan menculik beberapa dari kami untuk dimasukkan ke dalam truk. Saat itu aku tidak bisa melihat apapun karena kepalaku ditutup oleh kain hitam. Perjalanan cukup panjang, meski akhirnya truk tiba-tiba berhenti dan aku diseret keluar untuk dibariskan di suatu tempat—masih dengan kepala tertutup kain hitam."
"Saat itulah seseorang yang menyebut dirinya sebagai Overlord, menjelaskan alasan mengapa kami dibawa ke tempat itu. Ia mengatakan, kami adalah prajurit istimewa yang dipilih langsung oleh Jenderal Besar Militer dan akan dilatih mati-matian untuk menjadi anggota pasukan khusus yang disebut Black Army. Malam itu adalah awal dari teror yang lebih mengerikan dari US Marine's Hell Week. Overlord mungkin pantas disebut sebagai Hitler di era apokaliptik. Ia adalah Jenderal yang sangat kejam dan tidak kenal ampun. Jika kami membuat kesalahan sedikit saja, maka kami akan dipenggal atau ditembak mati di tempat."
"Selama berada di bootcamp, kami dipaksa melupakan nama asli kami dan hanya mengingat serta memanggil satu sama lain dengan nama kode. Kami juga selalu memakai penutup kepala hitam seperti prajurit Spetznaz. Dan satu-satunya identitas kami sebagai anggota Black Army adalah tato kepala naga yang ada di bagian bawah leher. Mereka mencuci otak kami dan menanamkan pola pikir mengerikan yang membuat kami semua bertingkah selayaknya psikopat. Kami dipaksa untuk melukai dan membunuh satu sama lain. Awalnya, jumlah kami ada lebih dari 400 prajurit. Hanya dalam tujuh bulan, jumlah itu terpangkas hingga menjadi 25 orang dan aku menjadi salah satunya."
"Setelah mengalami neraka dunia, 25 orang yang tersisa ditetapkan menjadi anggota Black Army. Misi pertama kami adalah memburu dan mengeksekusi orang-orang yang diduga sebagai pengkhianat Defense Force. Operasi militer waktu itu dilaksanakan dengan metode khas blitzkrieg dan dipimpin oleh salah satu anggota kepercayaan Overlord. Kalau tidak salah, nama kodenya adalah Helsinki. Dalam operasi itulah, aku melihat hasil dari cuci otak yang dilakukan oleh Overlord. Prajurit-prajurit baik itu berubah menjadi malaikat pencabut nyawa, menjadi eksekutor dengan jiwa iblis yang merasuk jauh di dalam hati mereka."
"Aku tidak bisa melihat lebih jauh karena aku sempat jatuh tak sadarkan diri tepat ketika satu orang prajurit membelah kepala bayi dengan kapak dan meminum darahnya seperti ia sedang meminum air kelapa langsung dari buahnya. Saat aku sadar, Helsinki sudah ada di sampingku. Ia memberiku air minum dan memastikan bahwa aku baik-baik saja. Ia juga berjanji tidak akan mengatakan apapun pada Overlord tentang itu."
"Overlord... ia tidak pernah menampakkan wajahnya. Ketika ia muncul di depan kami untuk melakukan eksekusi, ia selalu menggunakan seragam militer hitam legam tanpa patch nama dan satuan sehingga kami tidak bisa mengetahui dari kesatuan mana ia berasal. Dan saat ia akan menemui kami, mata kami langsung ditutup dan diikat oleh kain hitam. Selalu seperti itu. Ia kejam, brutal, misterius, dan sangat... berbahaya. Pada suatu hari, Overlord memerintahkan kami untuk melakukan genosida pada kelompok survivor di Timur. Aku dan 15 orang lain menolak keras perintah itu dan malam itu juga aku diseret, dipaksa untuk menghadap Overlord secara langsung. Kalian sudah tahu apa yang terjadi selanjutnya, kami semua akan dibunuh."
"Beruntung, aku berhasil kabur dari sana meskipun harus mendapatkan dua tembakan di bahu. Aku berlari masuk ke dalam hutan, bersembunyi dan hidup di sana selama berbulan-bulan hingga akhirnya aku bertemu dengan Yuuka. Sejak saat itu dan hingga detik ini, aku masih mengingat semua kekejaman Black Army dan betapa mengerikannya sosok Jenderal dengan nama Overlord itu. Itulah kenapa, aku tidak ingin mereka tahu keberadaan kita di sini dan ingin melindungi kalian semua."
Fakta demi fakta telah menghantam bertubi-tubi seperti hujan meteor yang datang tanpa aba-aba di tengah gelapnya malam. Dimulai dari pengakuan Sugai Yuuka yang membunuh keluarganya hingga Moriya Akane yang mengaku sebagai mantan anggota Black Army. Semuanya mulai memahami mengapa Akane dapat langsung mengidentifikasi Yui sebagai salah satu dari mereka dan benar-benar menentang keberadaannya di homebase.
Tapi di sisi lain, ada hal yang selalu terasa janggal. Terasa tidak benar.
Itu adalah pernyataan Yui yang mengaku bahwa ia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Black Army bahkan tidak tahu bahwa ia adalah bagian dari pasukan tersebut. Selama ini, ia hanya menjalankan tugas selayaknya prajurit biasa; membantu survivor mempertahankan base mereka, mengirimkan bantuan, dan yang lainnya. Ia tidak pernah mendapatkan perintah untuk melakukan genosida dan tiap pembunuhan yang ia lakukan pun didasarkan pada usaha perlindungan diri.
Akane pun juga tidak mengerti mengapa itu bisa terjadi. Meski sempat terbesit di pikirannya jika proses rekrutmen Black Army sudah benar-benar berubah untuk menjaga kerahasiaan anggota dan petinggi-petingginya—terutama sang Jenderal, Overlord.
Namun, menyimpulkan bahwa Black Army datang ke wilayah hutan itu untuk menemukan Akane atau Yui termasuk dalam penarikan kesimpulan yang terlalu terburu-buru meskipun kemungkinan akan hal itu cukup besar pula. Masalahnya, beberapa anggota Black Army yang tanpa sengaja ditemui oleh Hikaru, Inoue, dan Yui pun tidak mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan penangkapan atau perburuan.
"Status dua orang ini sudah K.I.A di dalam database NMU. Aku yakin mereka berkeliling di sini bukan untuk mencari mereka tetapi untuk mendapatkan sesuatu yang berharga." setelah beberapa menit tenggelam dalam diam, Hikaru akhirnya mengeluarkan suaranya. Di sampingnya, Matsuda dan Takemoto mengangguk setuju. "Mengapa aku tidak terkejut jika mereka berniat mengambil antidote dari NV virus di pusat penelitian Moonlight Company?"
Koike menyandarkan punggungnya pada dinding dan memerosotkan tubuhnya hingga kini ia sedang berada dalam posisi jongkok. "Jika itu memang benar, maka keberadaan kita di sini sedang dalam posisi yang membahayakan. Kita akan kesulitan berpindah dari satu outpost ke outpost yang lain dan mulai kesulitan mencari jalan ke kota tanpa ketahuan oleh Black Army." ia menyahut.
"Dan outbreak akan menjadi lebih buruk lagi jika Black Army berhasil merebut antidote itu dan menyerahkannya pada Jenderal Besar Defense Force. Mereka jelas akan membuat beberapa percobaan lagi dan membuat antidote itu berubah fungsi menjadi virus yang baru, seperti dulu." Endo ikut menimpali dengan suara kecil.
Yuuka menghembuskan napas kasar. Ia menyilangkan lengan di depan dada, tampak berpikir dengan sangat serius. Ia mencoba memikirkan tindakan apa yang harus ia lakukan saat ini (tentu saja itu sangat sulit, apalagi ia selalu berusaha mengambil pilihan yang hampir tidak memiliki risiko besar yang mengakibatkan hilangnya nyawa). Ia juga tidak bisa menghapus kemungkinan akan keberadaan Yui yang sedang dicari oleh Black Army.
Jika kemungkinan itu benar-benar menjadi kenyataan, maka sekali lagi, akan ada perang demi mempertahankan homebase. Satu-satunya yang membuatnya tenang adalah; ia tak perlu lagi berpura-pura tidak bisa memakai senjata. Sudah pasti ia akan membuat beberapa kekacauan yang melibatkan proyektil peluru dan darah.
"Kami memiliki basement yang jalan masuknya tersembunyi di dalam garasi. Jika mereka memang datang ke homebase, Kobayashi bisa bersembunyi di dalam sana. Meskipun aku berani menjamin bahwa mereka tidak akan bisa menembus pertahanan yang kita buat di sekitar homebase." Menyelesaikan kalimatnya dengan suara rendah yang mengintimidasi, Yuuka segera beranjak dari tempatnya dan melangkah mendekati pintu. Gerakannya sangat cepat, menimbulkan semilir angin kecil yang muncul ketika ia melesak keluar.
Tanpa sadar, Akane ikut berdiri dan menahan pergelangan tangannya. Itu membuat tubuh Yuuka seperti ditarik ke belakang dan membuat wanita itu menghentikan langkahnya yang terburu-buru. Yuuka menoleh ke belakang, memberikan tatapan penuh pertanyaan pada Akane. "Kau mau ke mana? Jangan, lakukan sesuatu yang membahayakan dirimu sendiri!"
"Aku akan pergi ke homebase milik survivor lain. Mereka harus tahu bahaya macam apa yang sudah menunggu mereka." Yuuka menyentuh tangan Akane sejenak. Kemudian melepaskan cengkeramannya itu dengan perlahan.
Akane mengernyit dalam. Ia membalas dengan nada jengkel, "Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja?"
"Dan kau pikir aku akan tinggal diam setelah mendengar langsung darimu jika tindakan Black Army itu adalah tindakan di luar nalar manusia? Setelah mendengar bahwa mereka sedang berada di hutan yang sama dengan kita?"
"Dan kau akan pergi begitu saja tanpa membawa mereka bersamamu?" Akane bertanya sekali lagi. Wanita itu melangkah ke samping dan menggunakan tangannya untuk menunjuk beberapa orang yang sedang bergerak cepat di belakangnya. "Tidak ada rahasia di antara kita, Yuuka. Seperti yang kau katakan, kita semua adalah keluarga. Dan keluarga tidak akan meninggalkan siapapun sendirian."
Yuuka memiringkan kepala dan memandang ke depan. Hikaru, Habu, Inoue, Matsuda, dan Yui sudah berdiri dengan senjata masing-masing di tangan. Pandangan mereka seakan memberikan harapan bahwa Yuuka akan mengizinkan mereka untuk bergabung dan melihat teman-temannya masih menganggapnya sebagai keluarga berhasil membuat hati Yuuka menghangat. Kebersamaan mereka membuat kekhawatiran dan rasa takut yang ada di dalam dadanya luluh seketika. Digantikan oleh kepercayaan diri dan api keberanian yang membuatnya sedikit bersemangat.
"Bawa kami bersamamu, kapten. Kami tidak akan bisa memaafkan diri kami jika kau sampai mati dimakan mutan atau dibunuh di luar sana." Matsuda mengeluarkan pistol dari holsternya dan melemparkannya pada Yuuka. Wanita itu menangkapnya dengan senyuman lebar sebagai gantinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top