Chapter 4: Thorny Issues

Yuuka menganggukkan kepala sekaligus melambaikan tangan pada Akiho dan Kira yang tengah duduk menikmati hangatnya api unggun kecil yang mereka buat di pelataran gedung. Di sekitar mereka tampak beberapa kayu Panjang sekaligus sebuah kotak yang Yuuka tidak tahu apa isinya sampai ia berjalan mendekat. Rupanya isi kotak tersebut adalah beberapa ekor ikan yang masih segar. Nampaknya kedua wanita itu hendak membuat ikan bakar untuk mengisi makanan tambahan malam ini.

Ide yang cukup bagus. Sudah lama mereka tidak mendapatkan makanan seperti ini. Memang lokasi SKZ-046 berada jauh di dalam hutan dan barangkali dekat dengan beberapa wilayah perairan seperti sungai atau air terjun. Mereka tidak sempat memancing sama sekali selama beberapa minggu terakhir karena terlalu fokus menelusuri tempat untuk mencari sumber makanan baru sekaligus membangun beberapa outpost.

Yuuka ingin sekali membantu Akiho dan Kira membersihkan ikan-ikan tersebut. Tapi saat ini, Akane pasti sudah menunggunya di watchtower dengan raut muka masam ditemani oleh senapan kesayangannya. Syukurlah ia tidak perlu merasa bersalah karena Endo dan Marino datang mendekat untuk membantu mereka. Yuuka segera berpamitan, tak lupa memberikan gestur berupa kepalan tangan yang diangkat ke atas untuk memberi semangat.

Keempat orang tersebut membalas lambaian tangan Yuuka, sekaligus memintanya untuk berhati-hati agar tidak menancapkan tangannya pada paku tajam yang mencuat di salah satu anak tangga, sebab Rena baru saja memperbaiki salah satu anak tangga yang ada di watchtower pertama.

Memastikan untuk menuliskan peringatan itu di dalam kepala, Yuuka kembali mempercepat langkahnya untuk menuju watchtower yang dimaksud. Bangunan tersebut sangat tinggi—mungkin beberapa meter lebih tinggi dari bangunan dua lantai yang menjadi tempat mereka tinggal sekarang. Menyerupai menara pengawas yang ada di lingkungan penjara, dengan sedikit modifikasi pada kaca-kaca jendelanya yang dibuat gelap jika dilihat dari luar.

Di puncak sana juga terdapat antena besar untuk menangkap jaringan radio yang dapat menghubungkan mereka dengan dunia luar. Terima kasih pada Inoue dan Takemoto, karena dua orang teknisi serba bisa itu rela berdiri di atas atap watchtower demi memasang tiang antena. Ya, bisa dibayangkan apa yang mereka rasakan dan lihat jika berani mengambil kesempatan untuk menengok ke bawah saat itu.

Kembali pada watchtower, Yuuka mengangkat wajahnya ke atas dan menemukan beberapa kali kilatan cahaya lilin dari sana. Sepertinya Akane membuka pintu watchtower guna membiarkan semilir angin masuk ke dalam ruangan di atas. Ia pun segera menaiki satu demi satu anak tangga untuk dapat mencapai puncak dari bangunan setinggi 20-meter tersebut.

Begitu sampai di atas, Yuuka langsung di hadapkan pada pintu tempat jaga di menara pengawas yang terbuka lebar. Cahaya kekuningan dari lilin yang ada di dalam cukup untuk menerangi satu ruangan seluas 3x3 meter tersebut. Akane sedang duduk di salah satu kursi, tepat di hadapan banyak sekali alat control yang setengahnya tidak berfungsi. Wanita itu sepertinya terlalu fokus dengan buku yang ia baca karena ia tidak menyadari kehadiran Yuuka di belakangnya.

Padahal biasanya Akane selalu tahu dan sadar jika ada orang lain yang tiba-tiba berada di dekatnya meski orang tersebut tidak bersuara. Ia akan memanggil nama orang tersebut jika ia mengenalnya, dan akan langsung berbalik seraya mengacungkan pisau dan menempelkan sisi tajamnya di leher orang tersebut. Namun kali ini Akane sepertinya lebih memilih untuk mengabaikan Yuuka.

Dia masih marah rupanya, Yuuka menghela napas. Ia bergerak untuk duduk di kursi kosong tepat di samping Akane. Disandarkanlah punggungnya yang mulai nyeri karena terlalu banyak mengangkat barang-barang berat tanpa beristirahat. Sebenarnya sakit punggung itu tidak mengganggunya, sama sekali bahkan. Justru respon pasif dari wanita berambut cokelat di sampingnya ini yang lebih membuatnya merasa tidak nyaman.

Suara nyaring dari lembaran kertas yang dibalik terdengar mengisi keheningan. Sayup-sayup keramaian dari beberapa orang yang tengah membakar ikan di pelataran gedung turut mewarnai malam yang sunyi dan mencekam itu. Yuuka membawa kesepuluh jarinya mendekat, kemudian saling menautkannya di depan dada. Pandangannya lurus, menghadap jauh ke kegelapan hutan sana. Ia dapat melihat bayangan-bayangan hitam melangkah tertatih-tatih melewati salah satu pohon dan bergerak menjauh.

Perhatiannya dari satu mutan berpindah sepenuhnya pada Akane. Ia jengah didiamkan seperti itu, jadi Yuuka berusaha untuk menarik perhatiannya dengan berdeham sekali dan berucap, "Sampai kapan kau terus bungkam begini, Moriya?"

Sungguh. Yuuka paham betul kalimatnya itu memiliki dua arti, dan Akane jelas akan berpikir demikian. Pertama; tentang bungkamnya Akane mengenai alasan mengapa ia menyimpan dendam yang begitu besar pada aparat militer. Kedua; sampai kapan wanita ini akan mendiamkannya dan menganggapnya seperti makhluk tak kasat mata. Keduanya sama-sama penting dan jika perlu, Yuuka ingin Akane memberikan jawaban atas keduanya. Tapi, pertanyaan pertama jauh lebih penting sehingga ia berharap Akane mau menjawab pertanyaan pertamanya sekarang.

Ia sudah menanyakan hal itu berbulan-bulan yang lalu dan hingga sekarang Akane selalu mengalihkan topik pembicaraan setiap kali Yuuka mengangkat pertanyaan tersebut di depan wajah si letnan.

Akane menarik napas, tangannya bergerak untuk menutup buku berjudul In The Dark Wood karya Ruth Ware dan meletakkannya di atas meja, tepat di samping tatakan lilin—judul buku yang Akane baca membuat Yuuka mengernyit dan menerka-nerka apakah Akane memiliki alasan khusus di balik buku yang ia baca. Gerakannya yang cepat membuat api lilin tersebut bergerak-gerak hampir mati selama beberapa sekon.

"Kau selalu berkata jika aku tidak mengetahui apapun tentang militer hanya karena aku berada di medical corps dan tidak menjadi prajurit biasa sepertimu. Kau menganggap aku tidak pernah mengangkat senjata seumur hidupku tapi kali ini aku akan berkata dengan tegas bahwa semua anggapanmu itu salah." Akane melirik Yuuka melalui sudut mata. Ia tak mau repot-repot untuk memutar lehernya untuk bertatap mata dengan si lawan bicara, meski begitu ia tetap mendengarkan dengan seksama kalimat Yuuka selanjutnya—yang membuatnya cukup tercengang, "aku membunuh seluruh anggota keluargaku hanya dalam waktu satu jam."

Dengan pernyataannya itu, Yuuka berhasil membuat Akane memutar lehernya dan menatapnya dengan kedua mata terbelalak lebar serta mulut yang setengahnya terbuka. Ia seperti akan menyahut tetapi pita suaranya seakan menolak untuk bekerja hingga ia hanya dapat membuka mulutnya tanpa mengatakan apapun. Seolah aliran listrik jutaan volt yang membuat jantungnya berhenti mendadak dan memblokir seluruh aliran darah dalam sirkuit otaknya, Akane benar-benar tidak bisa merespon apa-apa lagi.

Yuuka menundukkan kepalanya dan menatap sepatu bootsnya yang digerakkan mengetuk-ngetuk lantai. Ia terlihat gelisah, wajahnya pun menunjukkan raut kesedihan yang begitu jelas dengan setitik penyesalan di baliknya—Akane memperhatikan semuanya dengan jelas.

"Aku tidak pernah menceritakan hal ini pada siapapun, kau adalah yang pertama," Yuuka kembali memulai. "beberapa hari sebelum kita bertemu di hutan ini, aku menembak mati Ayah, Ibu, dan dua kakak perempuanku dengan shotgun. Darah yang menempel di pakaianku waktu itu adalah darah mereka dan bukanlah darah mutan seperti yang aku ceritakan padamu. Kau masih ingat kan bagaimana darah itu mengubah warna pakaianku? Tentu saja, karena aku menembak tubuh dan kepala mereka hingga hancur berserakan."

"...apa yang terjadi?" Akane susah payah memaksa pita suaranya bekerja. Masih dengan keterkejutan yang tak juga hilang, Akane terus berusaha mengingat kembali saat pertemuan pertama mereka lima tahun yang lalu. "kenapa kau begitu tega melakukan semua itu?"

"Mereka terinfeksi tetapi mereka tidak memberitahuku. Ketika aku menghubungi Ayah dari saluran komunikasi yang ada di barak, ia selalu berkata bahwa mereka semua baik-baik saja. Memiliki cukup persediaan makanan dan obat-obatan selama satu bulan ke depan. Saat permohonan cuti bertugasku diterima, aku segera kembali ke komplek pengungsian tempat keluargaku berada dan... semuanya sudah benar-benar kacau."

"Jangan katakan padaku jika—"

"Semuanya hancur, benar-benar hancur. Barikade-barikade yang dipasang mengelilingi area pengungsian itu runtuh tak berbekas, api di mana-mana, serpihan-serpihan besi yang meleleh dan kayu yang hangus terbakar berserakan di jalan raya yang berubah menjadi merah karena darah dan trotoar. Dan... mayat-mayat manusia serta mutan berserakan di seluruh penjuru. Kendaraan lapis baja milik militer dibiarkan hancur di segala penjuru. Saat itu, aku langsung berlari menuju rumah yang ditinggali keluargaku dan... kau tahu apa yang terjadi selanjutnya,"

Tanpa sadar Akane sudah menggeser kursinya lebih dekat dengan Yuuka. Saat ia berbicara, suaranya bergetar dan sesekali berubah serak. Yuuka sedang berusaha mengontrol dirinya sendiri ketika membongkar rahasia kelam yang ia simpan rapat-rapat dari semua orang yang ada di tempat itu.

Yuuka sengaja dipilih untuk memimpin kelompok survivor di SKZ-046 karena kemampuannya memobilisasi kelompok dalam jumlah besar yang sangat baik. Caranya berbicara dan menetapkan berbagai keputusan sangat menunjukkan kewibawaan dan kebijaksanaan yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin. Dan yang paling penting, Yuuka lebih mementingkan perlindungan kelompok mereka sendiri tanpa perlu menyerang kelompok lain untuk menjarah harta benda mereka.

Apalagi Yuuka adalah mantan anggota medical corps di Angkatan Darat, dan itu memperkuat sosoknya sebagai seorang pemimpin yang mengedepankan prinsip pacifist. Akane memang sering menghinanya—dalam konteks bercanda—bahwa wanita ini tidak akan pernah bisa mengangkat senjata bahkan hanya untuk membunuh seekor rusa, dan ia bisa mati jika ditinggalkan untuk bertahan hidup seorang diri di dalam hutan selama berhari-hari.

Ternyata ada alasan khusus mengapa Yuuka tidak pernah mau menggunakan senjata lagi dan Akane seketika merasa bersalah atas semua ucapan yang pernah ia lontarkan pada Yuuka.

"Di sana, aku menemukan mereka dalam bentuk yang paling mengerikan dan aku bahkan hampir tidak mengenal mereka lagi. Taring-taring tajam penuh lelehan darah, mata merah menyala, cakar-cakar tajam dan bau anyir daging manusia busuk... urgh itu adalah mimpi buruk. Aku tidak memiliki pilihan lain selain melindungi diri dan... menggunakan senjata yang ada di sana untuk menghabisi mereka semua. Mungkin suara ledakan shotgun waktu itu telah memancing puluhan mutan di sekitar sana sehingga aku memutuskan untuk kabur ke dalam hutan setelah membunuh mereka," Yuuka menghembuskan napasnya, memberikan jeda waktu beberapa detik untuk mengontrol degup jantung yang semakin memburu. "aku berkeliaran di dalam hutan selama beberapa hari sebelum akhirnya kita bertemu."

Akane jatuh terdiam. Lidahnya terasa kaku dan ia memutuskan untuk tidak menjawab apapun terlebih dahulu. Pandangannya berubah lurus ke depan dengan kedua bahu kokohnya yang lemas. Membayangkan hancurnya perasaan Yuuka saat ia pulang dengan suka cita dan menemukan keluarganya dalam kondisi yang begitu mengerikan hingga membuatnya terpaksa menarik pelatuk shotgun untuk menghabisi semua anggota keluarganya.

"Aku juga seorang pembunuh, asal kau tahu. Begitu juga dengan kau, Black Army, dan semua orang yang ada disini—mereka paling tidak pernah membunuh, satu kali saja dalam hidup mereka. Semua yang hidup di zaman kehancuran ini tidak memiliki perbedaan yang begitu besar. Hanya isi kepala dan hati saja yang menjadi pembeda, sedangkan perilaku? Nyaris tidak ada yang berbeda." Yuuka melanjutkan ucapannya. Suaranya dalam, dingin dan tegas. Sangat berbeda dengan caranya ia berbicara biasanya. "jangan bermuka dua, Akane. Tidak ada dari kita yang sesuci malaikat disini."

"Lalu? Apa yang kau ingin aku lakukan?" Geram, Akane mendorong kursinya mundur dan mengacungkan jari telunjuk di depan wajah Yuuka sementara tangan kirinya mengepal kuat dan dihantamkan di atas meja. Matanya menyalang tajam dan sempat membuat hati Yuuka gentar. "kau ingin mengorbankan belasan orang ini jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi? Apakah kau lupa kita sudah kehilangan banyak orang karena pemberontakan tujuh bulan yang lalu, huh? Kau ingin melihat darah dan mayat bergelimpangan di pelataran lagi? Itu yang kau inginkan, apakah aku benar?"

"Kalau begitu, kenapa? Kenapa kau tidak pernah memberitahu alasan mengapa kau begitu membenci militer?" Posisi Akane yang berdiri dengan angkuhnya dan Yuuka yang masih dalam posisi duduk membuat keadaan semakin mengerikan. Karena dengan posisi itu, Akane terlihat jauh lebih mendominasi dibandingkan Yuuka. Akhirnya, Yuuka turut bangkit dari tempat duduknya. "Aku hanya ingin kau memberi Kobayashi kesempatan, dan aku tidak datang kemari untuk mengajakmu berkelahi seperti ini."

Yuuka menahan bahu Akane, menjaga jarak di antara keduanya agar tidak terjadi adegan adu pukul yang paling dihindari. Tubuh Yuuka yang lebih tinggi dari Akane mungkin dapat memberi sedikit kesempatan jika sewaktu-waktu terjadi perkelahian fisik, tetapi Yuuka tetap tidak mau melukai Akane meskipun lawan bicaranya barangkali berpikir sebaliknya.

"Apa yang kau lihat dari tentara sialan itu? Apakah kau sekarang tidak mempercayaiku? Dengar, Yuuka. Sudah jelas dia adalah anggota Black Army dan dia adalah petaka yang sebenar-benarnya ada! Kenapa kau tetap tidak mau mengerti?"

"Aku hanya ingin kau memberinya kesempatan satu kali lagi untuk membuktikan dirinya sendiri. Membuktikan bahwa ia bukanlah orang seperti yang kau pikirkan!"

Akane mendesis marah. Jelas sekali ia mengucapkan beberapa kata-kata kasar yang cukup keras di telinga Yuuka kendati Akane hanya berbisik saja. Wanita itu berbalik dan kini sepenuhnya membelakangi Yuuka, kedua tangannya mengepal dan terangkat seperti ia berusaha keras menahan keinginannya untuk berteriak dan memukul semua benda yang ada di depannya. Hingga akhirnya, setelah Akane merasa amarahnya sudah berada di titik yang paling tinggi, ia melirik Yuuka melalui bahu dan berucap dengan suara berat, "Pergi dari sini, Yuuka."

"Tidak sampai kau menjawab pertanyaanku, Akane!"

"Jangan sampai aku mengeluarkan pistolku untuk menghabisimu disini, Sugai Yuuka. Ini peringatan terakhir dan aku masih berbaik hati memberimu kesempatan untuk pergi dari pandanganku!"

Hening. Yuuka terkejut setengah mati karena ucapan Akane yang mengancam akan membunuhnya. Dan Akane pun juga demikian—wanita itu buru-buru mengusak surai-surai rambutnya dengan sangat keras bersamaan dengan hembusan udara yang keluar dari celah bibir. Ia tidak bermaksud mengatakan hal itu pada Yuuka, ia sama sekali tidak memiliki keinginan untuk melukainya.

Ia ingin menarik kembali ucapannya, menyentuh lengan Yuuka dan meminta maaf padanya. Namun, amarah yang memantik bara panas di dadanya seakan membuat seluruh alat gerak dan lidahnya membeku tak berdaya. Yuuka pun juga tidak mengatakan apapun dan masih tetap berdiri diam di tempatnya. Mungkin ia menunggu permintaan maaf dari Akane karena ia yakin wanita ini sebenarnya tidak bermaksud demikian. Akane selalu melepaskan kata-kata yang cenderung mengintimidasi setiap kali ia marah, dan ia langsung meminta maaf beberapa saat kemudian.

Tapi kali ini, Akane tidak melakukan itu. Ia tetap bungkam, bahkan ia juga tidak menatap wajah Yuuka yang memerah sekarang. Yuuka tidak tahu perasaan apa yang merayapi hatinya sekarang—marah, sedih, kecewa? Atau mungkin campuran atas ketiganya? Entahlah, ia tidak bisa menjawab karena semua emosi memekakkan itu bercokol di dalam dadanya.

Yuuka membuka mulutnya, barangkali hendak mengucapkan kata-kata terakhir sebelum akhirnya ia menutupnya kembali dan menelan setiap kalimat yang hampir ia lontarkan. Alih-alih meluruskan kesalahpahaman, Akane memilih untuk tetap diam dan Yuuka juga memutuskan untuk beranjak pergi dari watchtower.

"Kau tahu, Akane? Setiap kali kau berada di dekatku, aku selalu bertanya-tanya dalam hati. Sebenarnya, kau ini menganggapku sebagai apa?" entah sejak kapan suara Yuuka terdengar begitu jauh, dan itu membuatnya merasa janggal. Begitu ia menengok ke samping, rupanya Yuuka sudah berdiri di ambang pintu dengan posisi membelakangi—satu tangan menyentuh pembatas dan bersiap untuk menuruni tangga. "jika kau saja tidak bisa mempercayaiku, lantas apa yang bisa membuatku percaya kepadamu?"

Selesai mengatakan itu, Yuuka segera turun dengan cepat. Sama sekali tidak menggubris panggilan Akane di atas sana. Beberapa orang yang tengah sibuk membakar ikan di sekitar api unggun—yang semula ramai mengobrol seketika bungkam ketika Yuuka melesat di depan mereka dengan wajah masam tanpa menyapa mereka seperti biasanya. Yuuka juga tidak peduli lagi setelah pertengkaran yang terjadi tadi dan ia yakin orang-orang ini juga mendengarnya.

Yuuka menghantam pintu bangunan utama dengan dorongan siku, memasukinya dan membiarkan pintu itu terbuka begitu saja. Meninggalkan teman-temannya yang saling menatap satu sama lain dengan berbagai pertanyaan besar di kepala. Pembicaraan macam apa yang dapat membuat Kapten dan Wakil Kapten itu saling berteriak satu sama lain di watchtower. Tidak ada yang tahu, memang. Tapi yang jelas, suasana SKZ-046 mungkin akan menjadi agak suram selama beberapa hari ke depan.

Si Sugai yang dimaksud itu melenggang cepat menyusuri koridor—lagi-lagi mengabaikan rekan-rekannya yang kebetulan berpapasan dengannya di sepanjang koridor hingga ia masuk ke dalam klinik dengan pikiran yang dipenuhi oleh memori-memori kelam yang seharusnya tidak perlu ia ingat lagi. Demi mendapatkan jawaban Akane, Yuuka rela mengulik kembali masa lalunya dan pada akhirnya ia tetap tidak mendapatkan apapun selain kekecewaan. Jujur, itu membuatnya sangat frustasi.

Pintu yang dibuka dengan satu dorongan keras secara mendadak itu tentu membuat seseorang yang ada di dalam sana terkejut setengah mati. Terutama dengan kondisinya yang sedang setengah mengantuk diakibatkan oleh efek obat bius yang disuntikkan Koike padanya. Gebrakan pintu klinik dan ketukan-ketukan keras dari sepatu boots yang beradu dengan lantai keramik membuat kesadarannya mendadak kembali.

Yui memang tidak mengenal Yuuka sebaik itu. Apalagi mereka baru saja bertemu selama beberapa hari saja. Akan tetapi, raut wajah Yuuka seolah menunjukkan ribuan beban yang sengaja dilimpahkan kepadanya begitu saja membuat Yui sadar bahwa memang ada yang tidak beres. Yuuka berjalan melewati brankar tempatnya berbaring dan berhenti di depan wastafel. Ia menunduk, membuka lemari kecil, mengambil satu botol air dan menggunakannya untuk membasuh wajah serta rambutnya.

Ia tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan saat ini. Terutama ketika ia tahu Yuuka sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk diajak berbicara. Hatinya tergugah untuk bertanya kenapa tetapi pada akhirnya ia menelan bulat-bulat ucapannya itu dan memutuskan untuk tetap diam. Yui juga berpura-pura menutup matanya, berharap Yuuka tidak mengajaknya berbicara.

"Kobayashi."

Oh, Tuhan. Memang sial.

Yui menahan napas dan menghembuskannya perlahan-lahan. Ketika ia membuka mata, Yuuka sudah berdiri di seberangnya. Wajahnya basah, beberapa tetesan air tampak menetes turun dari dagu dan membasahi pakaiannya. Ia tampak sangat kelelahan, berbeda dengan Yuuka yang ia lihat beberapa hari yang lalu.

"Merasa lebih baik?" Yuuka kembali bertanya.

Yui merapatkan bibir sejenak. Mempertimbangkan beberapa hal yang perlu ia ucapkan bersamaan dengan jawaban. Ia ingin tahu apa yang membuat Yuuka sefrustasi itu—ia ingin mencoba untuk lebih peduli dengan orang-orang di sekitarnya, tetapi ia sadar betul bahwa hubungannya dengan Yuuka juga masih belum sampai pada tahap dimana ia berhak menanyakan hal-hal yang personal kepadanya.

Ia dapat membaca ekspresi Yuuka dengan cepat. Wanita tinggi itu menyembunyikan sesuatu yang sangat rumit di balik senyuman lelahnya. Persis seperti komandannya—Watanabe Risa—setiap kali ia kembali ke barak setelah mengikuti latihan berat selama satu hari penuh. Kaptennya itu selalu menyapa anggota-anggotanya, memberikan dukungan moral meskipun ia sendiri tengah menyimpan perasaan sulit yang disembunyikan dengan sempurna.

Entah mengapa Risa memiliki beberapa kesamaan dengan Yuuka dan Yui sadar betul akan hal itu. Setelah kematian Risa, ia tidak memiliki seseorang yang dapat menjadi sosok pemimpin baginya—ia seperti seekor anjing yang kehilangan pemiliknya. Berjalan sendirian, luntang-lantung seperti gelandangan di antah berantah.

Yui tersentak. Menyadari bahwa ia membiarkan pertanyaan Yuuka menggantung di udara tanpa jawaban selama beberapa menit. Buru-buru ia menjawab singkat, "Ya."

"Senang mendengarnya langsung darimu," Yuuka tersenyum sekilas. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada kemudian melanjutkan, "kau tahu Akane masih memiliki sedikit masalah dengan kehadiranmu di tempat ini, tapi jangan terlalu banyak berpikir tentang itu. Aku akan memastikan ia tidak menyentuhmu atau melukaimu seperti tadi siang. Jika ia memintamu untuk pergi, jangan dengarkan dia. Karena hanya aku yang berhak memutuskan akan hal itu."

Dari cara bicaranya, masalah yang orang ini hadapi sekarang sepertinya berkaitan dengan Moriya Akane. Tatapan Yuuka yang menyasar langsung ke sepasang netra cokelat miliknya membuatnya tercekat selama beberapa detik hingga Yui refleks mengalihkan pandangan pada jajaran lemari di belakang wanita itu. Sudah jelas semua ini karena kehadiranku yang ditentang keras oleh Moriya. Dan ia berselisih pendapat dengan Sugai yang tetap bersikeras mengizinkanku tinggal.

Yui mencoba berpikir keras. Ia sendiri tidak memiliki tujuan lain sekarang. Jika bukan disini, lantas ke mana lagi ia akan pergi? Ia juga tidak bisa bertahan hidup sendirian di dunia luar yang berbahaya ini. Namun ia juga merasa tidak nyaman apabila Akane terus menerus mengancam keberadaannya mengingat hanya dia seorang yang menolak keberadaannya. Melihat bagaimana sikap letnan itu, Yui merasa Akane tidak akan ragu menembak mati dirinya jika ia memiliki kesempatan.

Jika ia menolak dan dengan berat hati memilih untuk pergi itu sama saja dengan tidak menghargai usaha keras Yuuka yang telah bersusah payah bernegoisasi dengan Akane hingga kedua wanita itu terlibat dalam pertengkaran yang cukup pelik.

"Aku membiarkanmu tetap tinggal karena aku percaya kau adalah prajurit yang loyal. Jadi aku berharap kau tidak membuatku menyesal karena telah membuat keputusan yang sangat berisiko ini," Yuuka menegakkan tubuhnya dan berjalan mendekati Yui dengan langkah tegap. "mulai detik ini kau ada di bawah pengawasanku. Jika terjadi sesuatu terhadap dirimu, aku adalah orang pertama yang harus kau temui."

Orang pertama yang harus aku temui? Menarik. Yui memperhatikan perubahan ekspresi Yuuka di sana. Wajahnya yang semula masam kini berubah menjadi lebih tegas. Ia tidak menunjukkan keraguan apapun sekarang, bahkan ia terlihat begitu percaya diri ketika mengucapkan semua itu. "Sebagai gantinya, apa yang harus aku lakukan untukmu?" Yui akhirnya membalas.

"Laksanakan semua perintahku tanpa kecuali, soldier. Jika aku memintamu untuk membunuh, maka kau harus melakukannya. Mengerti?"

Secara tidak langsung Yuuka meminta Yui untuk menjadi tangan kanannya, ajudannya, atau apalah itu. Yui tidak keberatan, tentu saja, karena selama ini ia selalu hidup di bawah perintah seseorang. Risa—komandan sekaligus tuannya jelas tidak bisa lagi memberinya perintah dan seharusnya Yui berbahagia karena ia dapat hidup dengan bebas sekarang.

Tetapi tidak. Setelah kematian Risa, ia justru merasa begitu kosong. Rasanya ia seperti kehilangan arah hidupnya, nyaris seperti anak kecil yang tersesat di tengah hutan belantara. Pada faktanya, ia hampir menyerupai salah satunya sejak Akane menemukannya tergeletak di tengah hutan dua tiga minggu lalu. Yui sadar, ia tidak akan bisa bertahan tanpa tali-tali yang menjerat tangan dan kakinya seperti boneka.

Tidak akan pernah bisa.

Yui memandang lilitan perban bernoda darah yang ada di tangan dan kakinya. Sejak hari pertamanya disini, Yuuka adalah orang yang selalu membantunya. Ia telah menyelamatkannya dari kematian termasuk menyelamatkannya dari setan berwujud manusia dengan nama Moriya Akane itu. Maka, pantaslah Yuuka menjadi tuannya yang baru sebagai pengganti Risa.

Setelah beberapa detik berlalu dengan keheningan yang mencekik, Yui akhirnya mengangguk pelan. Pandangannya masih tertuju pada dogtag milik Risa yang melingkar di pergelangan tangannya saat ia menjawab, "Dimengerti."

Harusnya Yuuka puas jika Yui menyetujui penawarannya itu. Tetapi, Yui tidak mengerti mengapa Yuuka justru tampak terkejut setengah mati tepat setelah ia mendengar respon Yui. Bahkan setelah Yuuka beranjak keluar dari klinik tanpa menatapnya barang sebentar saja, Yui tidak bisa melupakan ekspresi Yuuka yang tidak bisa dijelaskan beberapa waktu lalu.






Lupa kalau ada draft disini. Padahal udah dari bulan Mei.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top