Chapter 3: Mutant's Food
Yui sudah terbiasa hidup di dalam tekanan besar sejak remaja. Berada di kemiliteran sejak usia 16 tahun benar-benar membuat mental dan kepribadiannya terbentuk secara sempurna, menjadi sosok yang gagah, berani dan menjadi prajurit yang tak kenal ampun. Dapat dikatakan ia tumbuh dan berkembang bersama dengan senapan, granat, dagger, dan daging manusia. Dan setiap nyawa yang direnggut olehnya sudah tak lagi ia anggap sebagai sesuatu yang begitu berharga. Ia hanya berjuang untuk negara, untuk batalyon tempatnya berada dan komandan besar militer yang ia hormati.
Dahulu, saat outbreak masih dapat dikendalikan dan masih terdapat banyak safe zone tersebar di seluruh negara, Yui yang masih berusia delapan belas tahun dilibatkan dalam perang sipil—yang mana ia masih anggota baru dan berpangkat private. Ia masih begitu muda dan naif, bahkan menarik pelatuk saja ia gemetar setengah mati. Yui selalu menahan tangis saat ia melihat rekannya tertembak dan mati di sampingnya dengan kepala tercerai berai. Ia juga tak kuasa menahan sedih saat ia harus membunuh pemberontak negara.
Waktu itu pemberontakan terjadi dimana-mana karena ketidakpuasan survivors pada pemerintah. Mereka berkelompok dan membentuk kelompok militan besar dengan tujuan meruntuhkan pemerintahan dan menduduki markas militer. Bahkan satu gabungan pemberontak berhasil mengambil alih lapangan terbang Yoshiji—yang digunakan militer untuk menyimpan persediaan makanan untuk didistribusikan kepada para pengungsi.
Kobayashi Yui muda ditempatkan di garis depan untuk merebut kembali Yoshiji yang waktu itu berada di zona merah. Tergabung dengan pasukan Angkatan Udara, mereka menggunakan helikopter untuk menurunkan pasukan pada malam hari yang gelap. Lucu, karena saat itu komandan yang memimpin batalyon dimana Yui bertugas harus menendang pantatnya karena ia sempat ragu untuk melompat. Terjun dari ketinggian 300 meter, Yui harus merelakan ibu jari dan jari telunjuknya patah karena ia tersangkut di atap bangunan setinggi 10meter dan jatuh berguling di tanah, terpisah 4-kilometer jauhnya dari rekan-rekannya.
Ia tertinggal seorang diri di area musuh. Dengan tubuh terluka dan beberapa tulang yang patah, membuatnya dapat dengan mudah ditangkap dan dijadikan tahanan perang. Selama satu minggu Yui ditahan dan disiksa setiap malam dengan berbagai bentuk siksaan yang menyakitkan hanya agar ia mau membocorkan rencana misi. Namun, hantaman-hantaman palu dan tusukan pisau panas itu tidak mampu membuat mulutnya terbuka.
Bagi Yui, ia lebih baik mati karena melindungi rahasia pasukan daripada harus menjadi pengkhianat negara.
Tepat pada hari ke-8, pasukan pemberontak nampaknya mulai putus asa. Menganggap bahwa mereka telah menawan orang yang salah dan mereka mulai meninggalkan Yui. Private itu tak tinggal diam. Ia mengambil kesempatan itu untuk membunuh tentara-tentara pemberontak dan memberikan jalan bagi pasukannya untuk menguasai jantung lapangan terbang. Yui mendapatkan tiga tembakan di dada dan kaki, meskipun begitu ia tetap maju dengan tubuh berdarah-darah untuk memberi terror pada pasukan pemberontak.
Pihak pemberontak memberinya nama Si Tentara Merah karena beberapa alasan, dan itu cukup masuk akal. Mereka akan berteriak tentara merah di barak delapan! Untuk memperingatkan rekan mereka yang lain dan untuk itu, Yui akan mematahkan rahangnya sebelum menghilang seperti hantu.
Yui dirawat selama dua minggu dan jenderal besar militer memberinya penghargaan khusus atas keberaniannya berjuang seorang diri di garis belakang lawan. Teman-teman di batalyonnya memberinya julukan Si Anjing Gila karena kebrutalannya ketika membunuh lawan. Hal itu membuatnya mendapatkan kenaikan pangkat dan tiket emas untuk bergabung ke dalam pasukan khusus dengan nama kode Doberman dan bertugas sebagai marksman.
Jadi, seharusnya Yui sama sekali tidak masalah berada sendirian di basecamp asing karena ia pernah merasakan lebih buruk sebelumnya—diikat dan disiksa seorang diri sebagai tahanan perang. Tapi, dikorbankan pada mutan? Hell, Yui lebih memilih bertempur mati-matian di medan perang daripada melawan satu makhluk mutase yang jelas-jelas sepuluh kali lebih kuat darinya.
Di hari keempat kedatangannya di SKZ-046, Yui menunjukkan pemulihan yang luar biasa cepat. Daging dan kulit yang terkoyak di kakinya sudah mulai menyatu dan berangsur-angsur pulih. Ia dapat berjalan secara normal meskipun perih masih dapat dirasakan sewaktu-waktu. Hari itu, saat Yui tengah melakukan sedikit exercise, Yuuka menjemputnya sembari membawa roti kaleng dan segelas susu untuknya, rupanya wanita itu juga menemaninya memakan sarapannya.
Terpisah jarak beberapa meter, Yui harus sedikit menaikkan volume suaranya saat berbicara pada Yuuka. "Apakah itu benar-benar akan dilaksanakan?"
"Apa?" Yuuka mengangkat wajahnya, tampak potongan roti menempel di sudut bibir. Yui memberikan gestur dengan menunjuk bibirnya sendiri agar Yuuka menyadari itu. "jika kau selesai dengan makananmu, aku akan membawamu ke kandang mutan. Mungkin juga akan memperkenalkanmu dengan denah lokasi disini."
Yui mendengus. Ia menelan potongan rotinya bulat-bulat dan langsung meminum habis segelas susu yang diberikan padanya agar tidak tersedak. Matanya dengan tajam menatap lurus pada Yuuka yang tengah meremat kaleng di tangannya hingga menjadi potongan kecil.
"Boleh aku melihat mutan itu?" mendengar pertanyaan Yui, Yuuka menundukkan kepalanya dan tertawa kecil. Ia menggelengkan kepala, sedikit mengapresiasi keberanian prajurit yang kini berdiri di depannya itu.
Tanpa menjawab lagi, Yuuka melempar kaleng yang telah hancur tadi ke tempat sampah dan berjalan keluar klinik. Yui tidak pernah melihat ruangan lain sejak ia dibawa ke tempat tersebut. Jadi begitu ia keluar dan dihadapkan oleh koridor yang mengarah menuju ruangan lain, rasa ingin tahu dalam dirinya seketika keluar seperti anjing kelaparan.
Saat ia mengikuti jejak Yuuka, Yui tidak berhenti mengedarkan pandangan ke segala tempat. Menghafalkan tiap sisi bangunan, mencari celah untuk jalan keluar jika sewaktu-waktu terjadi hal berbahaya.
"Berhati-hatilah saat menuruni tangga. Kakimu belum pulih sempurna." Yuuka memperingatkan tepat sebelum mereka hendak menuruni tangga menuju lantai satu. Ia menoleh ke belakang, memeriksa apakah Yui masih mengikutinya atau tidak.
"Aku bukan anak kecil."
Yuuka tertawa dan mulai menginjak anak tangga pertama, meninggalkan Yui satu langkah di belakang. "Aku tahu itu. Tapi aku tidak mau kau menimpa tubuhku dan membuat kita berdua berguling di tangga dengan menyedihkan."
Si prajurit tertawa pahit mendengarnya, dan ia memilih untuk mengabaikan gurauan Yuuka. Saat Yui menuruni anak tangga pertama, ia dapat merasakan rasa sakit menusuk di kakinya. Ia meringis tanpa suara, menghentikan langkahnya sejenak untuk membiarkan rasa sakit tadi menghilang dengan sendirinya. Tangan kirinya dengan erat mencengkeram pegangan tangga karena serangan rasa sakit tadi membuat kakinya mati rasa. Barulah setelah tiga kali hembusan napas ia dapat berjalan turun dengan perlahan. Tentu saja, tanpa melepaskan pegangannya dari titian tangga.
Yuuka menunggunya di lantai bawah saat Yui mencapai anak tangga terakhir. Di depan matanya adalah pintu ganda yang terbuka lebar, membuat sinar matahari yang hangat masuk ke dalam bangunan. Ia dapat melihat halaman luas di luar bangunan, dan jauh beberapa meter di depan sana terdapat pagar—tembok tinggi yang membatasi mereka dengan dunia luar. Berjalan menjauhi tangga, di sisi kanan dan kirinya terdapat koridor dengan beberapa pintu yang tertutup. Di ujung kanan terdapat belokan untuk menuju ke bagian bangunan yang lain.
"Pintu coklat gelap di koridor kanan adalah aula makan. Tiap jam makan kami selalu berkumpul disana. Ruang itu juga tempat dimana kami melakukan pertemuan dan diskusi untuk membahas sesuatu yang penting." Yuuka menjelaskan pada Yui. Ia lalu berjalan ke koridor sebelah kiri. "sedangkan disini adalah gudang senjata. Kami menyimpan seluruh amunisi, bahan peledak, dan beberapa pucuk senjata disini. Ruangan ini selalu terkunci dan satu-satunya kunci dibawa dan disimpan oleh Letnan Moriya Akane. Jadi, kami tidak bisa membuka pintu tersebut seenak hati."
Yui berdiri bertumpu pada satu kaki, mengangguk-angguk pada penjelasan Yuuka. Wanita itu berjalan kembali dari depan pintu besi gudang senjata dan mendekati Yui. Satu tangan Yuuka mendorong punggung Yui dengan lembut dari belakang, memintanya untuk berjalan di depannya keluar dari gedung utama.
Cahaya matahari yang menyilaukan mata menyambutnya begitu atap bangunan tak lagi melindungi kepalanya. Yui berada di luar ruangan, seperti lapangan rumput lembut dengan peralatan seperti tiang dan tali untuk mengerat hewan, bekas api unggun, dan dua buah truk offroad lapis baja yang terlihat terawat. Beberapa meter di depannya, tepat di samping gerbang utama terdapat dua menara pengawas yang masing-masing dijaga oleh satu orang. Beberapa orang berada di sekelilingnya dan nampak sibuk menikmati kegiatan mereka masing-masing.
Tapi saat Yuuka ikut bergabung dan berdiri di samping Yui, mereka serempak menghentikan kegiatan mereka dan mau repot-repot untuk memutar tubuh untuk menghadap Yui dan Yuuka. Bahkan mereka mendekati prajurit itu dengan wajah bersahabat.
"Astaga, senang melihatmu keluar dari ruangan putih itu." Seorang gadis dengan gigi gingsul tersenyum pada Yui, sesaat kemudian ia melemparkan pukulan kecil di punggungnya. "lihat betapa kerasnya dirimu. Apa yang dilakukan militer hingga membuatmu begini, eh?"
Yuuka berjalan dan berhenti disamping gadis itu, tangan kanannya menyentuh bahunya. "Ini Matsuda Rina. Dia yang bertanggung jawab dengan bahan makanan disini. Dia juga yang membantu kami untuk memasak dan bertanggung jawab penuh dengan dapur." Matsuda mengacungkan jempolnya pada Yui, dan Yui menjawab dengan senyuman tipis. Yui mengalihkan pandangannya pada orang lain, kali ini pada seseorang yang tengah menguliti hewan di sudut lapangan.
Wanita itu berperawakan tinggi—paling tinggi diantara semua orang yang ada disana. Rambutnya pendek, cenderung kurus, dan terlihat seperti seorang laki-laki dewasa apabila ia tidak mengeluarkan suaranya untuk memperkenalkan diri. Yui bahkan terheran-heran begitu tahu suara wanita itu lebih lembut dari perawakannya yang nyaris menyerupai algojo.
"Aku Habu Mizuho. Dan yang disampingku ini Morita Hikaru." Yui terkejut saat menyadari ada sosok manusia lain disamping Habu. Wanita itu menoleh pada Yui dengan wajah datar dan menunjukkan satu matanya yang tertutup eyepatch.
Yui terlihat agak terpaku pada wanita itu dan Yuuka langsung menyadarinya dan menanyakan sesuatu padanya. "Ada apa?"
"Aku tidak tahu kau merawat anak-anak juga disini." Yui berkata dengan frontal. Suaranya itu mungkin cukup keras hingga membuat siapapun yang berada di menara pengawas tertawa terbahak-bahak.
"Lihat! Hikaru, benar dugaanku bahwa ia akan mengira dirimu sebagai anak lima tahun!" di menara pengawas kiri terdapat dua orang yang masing-masing membawa senapan penembak jitu.
Hikaru menggeram kecil. Ia kemudian mengangkat pisaunya dan mengacungkannya pada dua orang yang masih menertawakannya di menara pengawas. "Inoue, brengsek... lihat saja. aku akan kesana dan kulempar kau dengan Takemoto keluar dinding, dasar dua manusia sinting!"
"Ah... maafkan aku. Kupikir kau anak kecil." Yui berkata.
Hikaru meletakkan pisaunya dan membersihkan noda darah dari telapak tangannya menggunakan sapu tangan. Sepertinya ia sedikit tertarik dengan Yui sampai-sampai ia meninggalkan tugasnya dengan Habu dan mendekatinya. "Tidak apa-apa. Dan tolong jangan pernah memanggilku anak kecil seperti dua orang berengsek di atas, aku sangat tidak mengapresiasi hal itu... Kobayashi." Hikaru memelankan suaranya ketika ia mengeja nama Kobayashi yang dibordir pada combat uniform lusuh yang masih ia kenakan, mungkin segan atau sedikit takut jika ia salah mengeja namanya.
Yuuka berkata, "Ingat saat aku mengatakan padamu tentang kami tidak menerima pengungsi? Karena waktu itu terjadi pemberontakan hebat yang membunuh belasan anggota kami dan Hikaru menjadi satu orang yang hidup dari ledakan." Yui tidak memberikan respon berlebih karena ia telah mengetahui hal-hal seperti itu dalam perang, mungkin ada yang lebih buruk. "matanya meleleh karena panas dan aku tidak bisa melakukan apapun untuk mengobatinya."
"Shit?" Yui yang semula berasa biasa saja langsung bergidik begitu Yuuka mengucapkan kalimat terakhirnya. Membayangkan bola mata manusia yang meleleh seperti lilin yang dipanaskan cukup membuat isi perutnya teraduk-aduk begitu saja.
Hikaru meliriknya dari samping, sekilas sudut bibirnya naik memamerkan senyuman miring pada Yui. Seolah menggodanya. "Kau mau melihatnya?"
"Tidak. Aku baik-baik saja," Yui menjawab, sebelum berusaha mengalihkan perhatiannya pada gadis tinggi yang sedari tadi berdiri di belakangnya. "kupikir kalian akan segera melemparkanku ke kandang mutan?"
"Tentu! Setelah aku selesai menembak hewan jadi-jadian disana. Jangan piker kau bisa bebas begitu saja!"
Suara nyaring yang familiar di telinga Yuuka membuatnya agak penasaran dan memutuskan untuk ikut naik ke menara pengawas bagian kanan setelah meminta Yui menunggunya bersama rekan yang lain. Sebab, dari suara bernada tinggi itu, Yuuka dapat membaca suatu kesenangan tersembunyi di dalamnya. Apalagi, ia dapat melihat sedikit bayangan Akane yang melihat ke depan sana dengan menggunakan senapan sniper.
Ia dapat mencium bau karat dari anak tangga besi yang ia naiki. Suara nyaring dari besi yang beradu dengan sol sepatu boots mengikuti tiap kali kakinya menginjaknya. Dan berada di puncak menara pengawas, ia mendapati Akane berdiri dengan waspada sembari membidikkan senapan penembak jitu ke arah luar. Penasaran dengan apa yang Akane intai, Yuuka berinisiatif mengambil binocular yang tertempel di sabuk Akane untuk melihat makhluk apa yang tengah dibidik oleh sahabatnya.
Sesuatu yang besar, seperti gundukan hitam besar bergerak dengan hati-hati di antara semak-semak. Apapun itu sepertinya ia tampak takut dengan keadaan sekelilingnya. Menggumam mengerti, Yuuka lantas tersenyum, memberikan senyuman yang sama dengan senyuman miring milik Akane.
"Seekor bison yang tidak terinfeksi, huh? Sudah satu bulan sejak kita menemukan hewan murni seperti itu." Yuuka berucap. Ia mengembalikan binocular pada sabuk Akane.
Di sampingnya, Akane mengangguk pelan. Jarinya sekarang sudah bersiap menarik pelatuk senapan. Ia menarik napas dengan satu tarikan cepat, menyikut Yuuka di sampingnya untuk memberikan satu peringatan terakhir. "Mundurlah jika kau tak ingin telingamu berdengung selama satu minggu penuh." Tepat setelah ia mengatakan itu, Yuuka segera melompat mundur dan suara letusan keras dari senapan sniper tersebut membuat setiap orang yang berada di basecamp terkejut.
Peredam yang terpasang pada ujung senapan tidak serta merta mengurangi suara tembakan yang menggelegar. Bison yang berada ratusan meter dari menara pengawas langsung tumbang setelah peluru berkaliber besar menembus kepalanya. Akane tersenyum bangga. Rupanya keahliannya sebagai seorang prajurit masih belum pudar meskipun telah tiga tahun lamanya ia mundur dari kemiliteran.
Yuuka kembali mendekati Akane, memberinya pelukan kecil dan usapan di kepala sebagai ucapan selamat sebelum mengajaknya turun ke bawah.
Keadaan di bawah seketika berubah setelah Akane menembakkan senapannya. Kelompok hunter dan scavenger seperti Habu, Hikaru, Matsuda dan dua orang asing lainnya langsung meninggalkan pekerjaan mereka untuk mengambil senjata tajam dan beberapa senapan sebelum melompat ke dalam mobil jeep. Tampak mereka melemparkan beberapa bahan peledak dan Molotov ke dalam. Yui beralih pada salah satu menara pengawas, Takemoto melompat turun dan bersama-sama dengan Yuuka mendorong gerbang baja besar itu terbuka, membiarkan kelompok pemburu keluar dengan kecepatan tinggi untuk mengambil binatang buruan dan memperbaiki ranjau-ranjau yang hancur di sekitar basecamp.
Masih dikejutkan oleh keributan mendadak tadi, jantung Yui nyaris copot dari tempatnya begitu kedua tangannya ditarik ke belakang dan dua besi dingin melingkar di pergelangan tangannya, Akane memborgolnya dan menjatuhkannya ke tanah seperti ia adalah seorang teroris bersenjata. Tulang pipinya mendarat dengan menyakitkan, membuatnya refleks mengerang menahan sakit—terutama saat Akane menginjak punggungnya dengan lutut hingga membuatnya tak bisa melakukan apapun selain menahan sakit.
"A-Akanen—" Yuuka menarik rompi rimba yang dikenakan Akane, tapi tenaganya tidak cukup kuat untuk menarik mantan letnan itu dari atas tubuh Yui. "Kau tidak boleh menginjaknya seperti itu, hei! Aku sudah susah payah menjahit lukanya!"
Derap langkah terdengar dari bagian belakang bangunan utama basecamp. Dua orang lain berlari keluar dari bangunan utama dengan tergesa-gesa. Wajah mereka berubah kaget saat melihat Akane menginjak tubuh Yui yang tidak menunjukkan perlawanan apapun. Mereka tampak ingin menolongnya dan menarik Akane dari atas tubuh Yui, tapi mengingat mantan letnan satu itu paling tidak suka jika ia diganggu, maka mereka membatalkan niat dan hanya berjalan mendekati Yuuka.
"Koike, kau sudah menyiapkan peliharaan kita di belakang sana?" Koike, yang baru saja tiba dan menyadari Akane memanggilnya dengan nama belakang—yang berarti ia sedang tidak ingin bermain-main.
"Sudah. Kita bisa membawanya sekarang."
Akane mengangguk. Ia menarik seragam Yui dan memaksanya berdiri, selama ia berjalan menyusuri wilayah samping bangunan yang tampak rimbun, Akane tidak melepaskan cengkeramannya dari bahu Yui. Padahal, sudah jelas Yui tidak memberikan perlawanan atau usaha untuk melepaskan diri dari cengkeramannya. Apa yang sudah dilakukan Akane hanya didasarkan pada dendam pribadi dan tidak seharusnya dilakukan. Tatapan kebencian terus ditujukan pada Yui meskipun ia tetap pasrah dengan yang Akane terus menekannya.
"Fuyuka, Rena. Tolong ambil posisi di menara pengawas kanan. Aku akan mengawasi Akane jikalau ia melakukan hal yang tidak manusiawi pada prajurit itu." Ucap Yuuka sebelum berlari menyusul Akane dan Koike ke area belakang basecamp, menuju kandang besar tempat mereka menyimpan peliharaan mereka selama beberapa bulan terakhir.
Seumur hidupnya, baru pertama kali ini Yui menemukan ada seseorang—sekelompok orang yang cukup gila untuk menyimpan seekor mutan, atau mungkin seorang makhluk mutasi, atau sebutan apapun yang biasa mereka panggil untuk makhluk mengerikan yang sedang meringkuk di dalam kandang dengan tinggi lima meter, dan lebar tujuh kali sepuluh meter. Untuk beberapa alasan, kendati Yui sangat membenci makhluk di depannya ini, ia terkadang masih menyebutnya dengan kata seorang. Bagaimanapun juga, sebagian besar mutan yang ada adalah hasil dari virus yang menginfeksi manusia.
Yui susah payah menenggak saliva, agaknya kini ia merasa gelisah. Sudut matanya mendapati Akane yang berjalan mendekat. Tangannya membawa sebuah tongkat besi yang diseret di atas permukaan tanah. Mendekati pagar berkarat yang menjadi kurungan bagi si mutan, Akane mengangkat tongkat besi dan memukulkannya berkali-kali hingga membangunkan makhluk mutasi itu. Perlahan-lahan, makhluk tersebut menggerakkan tubuhnya dan perlahan-lahan menunjukkan sosok aslinya.
Makhluk itu berbentuk seperti beruang madu raksasa. Dengan enam tangan besar penuh darah dengan cakar-cakar tajamnya yang menusuk-nusuk tanah. Kepalanya terpisah menjadi dua, sama-sama memiliki gigi-gigi besar mirip gigi ikan hiu yang siap menyantap tubuh Yui. Makhluk mutasi ini masih memiliki bentuk manusia di dalam torsonya. Itu dilihat dari kepalanya yang masih berbentuk manusia—tidak menyebutkan gigi-giginya yang aneh itu. Jadi kemungkinan ia berasal dari manusia yang baru-baru ini terinfeksi.
"Dia Matsudaira. Paling tidak begitu kami memanggilnya sebelum ia bermutasi menjadi makhluk yang kau lihat sekarang." Akane berucap. Pandangannya tertahan pada monster yang berada di dalam kandang. Ia tahu prajurit di depannya ini mulai merasa gentar dan ia tidak peduli dengan itu. Jadi ia segera memberikan tongkat besinya pada Yui dan mendorongnya masuk ke dalam kandang tanpa mempedulikan protes dari rekan-rekannya.
Akane melihat dengan jelas sewaktu kelompok mereka menemukan Yui terkapar di tengah hutan belantara, di bawah cengkeraman mutan serigala yang nyaris menggigit tulang tengkoraknya. Tak mungkin prajurit ini tidak terinfeksi, pikirnya. Selain karena ia ingin menyingkirkan manusia yang berpotensi ini, alasan lain bagi Akane untuk melempar Yui ke dalam kandang mutan adalah karena ia anggota Black Army.
Rumor tentang keberadaan Black Army memang sudah santer sejak ia masih menjabat sebagai perwira tinggi angkatan udara. Dan ia tidak bisa berbohong jika pasukan khusus paling berbahaya itu memang benar-benar ada di luar sana. Pasalnya, ia pernah bertemu langsung dengan salah satu anggotanya saat ia tengah berkelana untuk mencari tempat singgah baru atau tempat mencari bahan makanan baru.
Keberadaan Black Army adalah malapetaka besar. Sebuah bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Dan Akane tak mau menerima risiko besar hanya karena satu orang prajurit sekarat.
Di dalam, Akane melihat Yui tengah berhadap-hadapan dengan gigi-gigi besar milik mutan Matsudaira. Prajurit itu mengangkat tongkat besinya di depan wajah, bersiap-siap untuk mengayunkannya di kepala mutan. Rasanya seperti sedang melihat gladiator dengan versi paling baru. Tidak ada prajurit romawi dengan pedang-pedangnya dan teriakan bar-bar disana, hanya suara raungan mutan yang tiba-tiba menjadi sangat keras saat ia mulai mencium keberadaan manusia.
Yui melompat mundur, mendorong tongkat besi yang ia genggam masuk ke dalam rahang besar monster itu. Ia menjatuhkan tubuhnya sendiri dan mendarat dengan menggunakan lengan kirinya sebagai tumpuan. Persetan dengan luka di kakinya yang kembali berdenyut-denyut. Ia tak mau cakar mutan itu memotong kepalanya menjadi dua.
Sayangnya, meskipun ia berusaha keras untuk menghindari ayunan tangan dari mutan yang tengah mengamuk, tetap saja pergerakannya yang terlalu serampangan karena panik itu membuat Yui lengah. Ia menggeram keras, merasakan perih dan panas dari lengan dan bahunya. Tubuh Yui terhempas, menabrak pagar besi kandang. Ia menengok ke samping, darah merah mengalir keluar dari luka sayatan dalam yang ada di bahu dan lengan. Luka itu memanjang, Yui bahkan dapat melihat lapisan putih dari dagingnya sendiri.
Sialan. Mereka benar-benar berniat untuk membunuhku.
Yui memaksa tubuhnya berdiri meskipun darah terus mengalir dari lukanya dan menetes di atas tanah. Di depannya, mutan ganas itu semakin beringas karena mencium aroma darah. Aku akan benar-benar mati sekarang. Yui berlari memutar kandang, berusaha untuk menghindari kejaran dan serangan bertubi-tubi dari monster yang mengejarnya. Ia tak lagi memiliki senjata untuk melawan jadi ia hanya bisa menghindar dan lari jika memang ia masih mau mempertahankan nyawanya.
Di luar kandang, Akane tampak menikmati apa yang ia lihat sekarang. Kedua tangannya terlipat di depan dada dengan kedua alis yang bertaut rapat. Berbeda dengan mantan letnan di sampingnya, Yuuka dan Koike justru tampak sangat gelisah. Melihat dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana seorang manusia hidup dibunuh perlahan-lahan dengan monster yang kapan saja siap memakannya jika ia menurunkan kecepatannya sedikit saja. Di sana, Yui tampak mulai kelelahan. Mulutnya terbuka, berusaha untuk meraup oksigen untuk memenuhi paru-parunya yang memanas.
Berkali-kali Yui terjatuh karena kelelahan dan saat itu juga ia kembali dilukai oleh cakar tajam dari mutan di belakangnya. Wajahnya menunjukkan rasa sakit yang tertahan tiap kali cakar itu merobek bagian tubuhnya dan saat ia kembali memaksa kakinya untuk bangkit dan kembali berlari.
Akane sudah benar-benar kelewatan sekarang.
Yuuka tidak mendengarkan panggilan Akane dan ia menyibak tangan sahabatnya yang menarik mundur bahunya saat ia berlari mendekati kandang untuk membuka satu-satunya pintu pengaman. Ia tak bisa membiarkan Yui mati di dalam sana, jadi setelah ia membuka pintu Yuuka segera menarik Yui keluar dan menutup kembali pintunya. Koike refleks melompat mendekat, turut menahan pintu karena mutan itu semakin mengamuk dan menabrakkan tubuhnya pada pintu yang terbuka. Menggelengkan kepala dan membuat kesadarannya kembali separuhnya, Yui kembali memaksa tubuhnya yang sudah sekarat untuk berdiri dan membantu dua orang tadi untuk menahan pintu.
Beruntung, kekuatan tiga orang mampu menahan mutan untuk tidak menjebol pintu dan membuat kekacauan. Yuuka berhasil memasang lima pengaman dan menguncinya tiga kali, tepat setelahnya mereka sama-sama terdiam—mengatur napas yang berantakan karena kepanikan yang terjadi beberapa saat yang lalu.
Beberapa detik keheningan kemudian dipecahkan oleh suara marah Akane. Wanita itu mengepalkan tangan dan memukul pagar besi berkali-kali. "Apa yang sudah kalian lakukan! Kau tidak bisa mengeluarkannya sembarangan seperti itu, Yuuka!"
"Tujuan kita hanya untuk mengecek apakah Kobayashi terinfeksi atau tidak. Kau sudah melihat bagaimana mutan itu mengejarnya dan menyerangnya sampai ia hampir mati begini. Itu sudah tercapai dan sudah sepatutnya kita mengeluarkannya dari kandang!" Yuuka membalas dengan tak kalah sengit. Dahinya berkerut marah, dan Akane, meski mengetahui itu tetap tidak mau menurunkan tingkat emosinya yang sudah berada di luar batas. "keputusan mayoritas sudah ditetapkan, Akanen. Kau memiliki dendam pribadi dengan militer, aku tahu, tetapi kau tak bisa menggosokkan dendammu itu di depan wajah semua orang dan memaksa mereka untuk memiliki pikiran sama denganmu."
"Yuuka... kau ini tahu tidak tahu apa-apa tentang militer," Akane mengacungkan jarinya di depan wajah Yuuka. Kali ini berbicara dengan agak mendesis. Ia bahkan mendekatkan wajahnya dengan Yuuka. "dia terlalu berbahaya, Akane. Kau ingat dengan apa yang kau lihat di luar sana, saat mereka membunuh survivor yang tidak terindikasi adanya infeksi? Mereka bukan manusia, mereka mesin pembunuh!"
"Kau harus tahu kapan kau perlu menyingkirkan perasaan pribadimu, Akanen. Salah satunya adalah dalam kondisi seperti ini. Karena pikiran kerasmu itu, kau hampir membunuh manusia hidup dan kau masih bisa berbicara tentang kemanusiaan? Jika Kobayashi mati di dalam sana, kau tahu siapa yang harus disalahkan!"
"Sugai Yuuka—!"
"Tak apa. Aku baik-baik saja." Yui mengerang, sengaja mengalihkan perhatian sepasang manusia yang tengah menarik urat leher di depannya. Luka-luka di tubuhnya kembali terasa sangat sakit sekarang, bahkan lebih sakit dari sebelumnya. Saat ia berusaha untuk berdiri, tubuhnya akan langsung jatuh karena kedua kakinya sudah tak memiliki kekuatan lagi untuk menahan bobot tubuhnya sendiri. Umpatan kecil keluar dari sela napasnya, benar-benar memalukan. "hanya... aku tidak bisa berdiri."
Koike mengambil inisiatif untuk menahan pendarahan di lengan dan bahu Yui dengan menggunakan lilitan kain, ia membebatnya dengan kencang dan membuat prajurit itu berteriak menahan sakit.
Yuuka menengok ke belakang, menangkap sepasang mata gelap Yui dengan miliknya dan menahannya selama sepersekon detik sebelum kembali menghadap Akane. Ia menghembuskan napas berat, sedikit menyesal karena ia telah membiarkan amarah menguasai kepalanya. Disentuhnya bahu kiri Akane dengan lembut, menepuk-nepuknya dan berharap sahabatnya itu dapat juga menenangkan diri karena adu mulut barusan.
Sayangnya, sahabatnya itu sama sekali tidak menunjukkan gelagat untuk berhenti berdebat. Malahan Yuuka menemukan otot leher Akane berkedut, disusul dengan dengusan napas kasar. Bagus, Akane benar-benar marah sekarang.
"Kita harus membicarakan hal ini secara pribadi, Akane. Aku akan mengurus Kobayashi dan kita akan bertemu di watchtower sebelum jam makan malam."
SKZ-046
Captain In Charge: Captain (MC) Sugai Yuuka
Vice Captain: First Lieutenant (1st L) Moriya Akane
Notes
• MC: Medical Corps
• Sejauh ini anggota SKZ-046 yang pernah bergabung dengan kemiliteran yaitu Sugai Yuuka, Moriya Akane, dan Kobayashi.
• Sugai Yuuka berasal dari matra darat (army)
• Moriya Akane dan Kobayashi Yui sama-sama berasal dari matra udara (air force)
• Black Army is real.
• Belum diketahui alasan mengapa Akane mundur dari militer.
Fyi, sebutan Si Tentara Merah terinspirasi dari hantu Taruna Merah yang santer di kalangan taruna akmil.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top