Chapter 2: SKZ-046

Yui tersentak bangun tepat saat mendengar suara geraman serak dan hembusan napas panas tepat di samping kanan kepala. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari ada seekor serigala—mutan menyerupai serigala berada beberapa sentimeter dari wajahnya. Hewan buas itu menunjukkan gigi-giginya yang runcing, setengah terbuka dengan darah segar yang masih menetes-netes dari rahangnya. Dan yang paling membuat Yui gentar adalah; kedua mata hewan itu menyerupai dua titik kuning terang di antara gelapnya malam.

Nampaknya para hewan mutasi seperti makhluk ini telah menemukan seorang manusia lezat yang tidak melawan. Karena yang Yui tahu selanjutnya, makhluk itu membuka mulutnya lebar-lebar seperti akan menelan bulat-bulat kepalanya.

Brengsek.

Tanpa menunggu lagi, Yui memaksa tubuhnya berguling ke samping, membuat serigala itu menggigit udara kosong. Kedua mata kuningnya menatap liar ke arah Yui, menggeram dan melolong keras sebelum melompat ke atas tubuhnya yang lemah.

Bobot mutan itu lebih berat dari barbel yang biasa ia gunakan untuk latihan. Begitu makhluk itu mendarat di atas tubuhnya, Yui dapat merasakan organ-organnya terhimpit ke bawah dan membuatnya kesulitan bernapas. Dengan sorot mata yang perlahan-lahan menghitam, tangannya bergerak asal untuk menarik combat knife dari selipan sepatu bootsnya sementara tangan kirinya menahan rahang serigala buas itu. Bau busuk dan amis darah merangsek masuk ke dalam indra penciumannya karena jarak mereka yang begitu dekat. Kemudian dengan kekuatan penuh, Yui menusuk leher serigala itu dan menggerakkan pisaunya—memotong kepala serigala dan mencabutnya dari tubuh.

Tidak mempedulikan darah hitam yang mengotori wajah dan seragamnya, ia menendang tubuh besar mutan itu dan segera berlari masuk ke dalam hutan. Berdasarkan pengalamannya, makhluk mutasi seperti itu tidak akan pernah bisa mati. Meskipun Yui telah memotong kepalanya, hanya menunggu waktu bagi kepala yang baru untuk tumbuh. Nampaknya suara auman dan lolongan tadi memancing beberapa mutan lain mendekatinya. Jadi Yui terus memaksa kakinya yang terluka karena kuku tajam dan menerobos hutan tanpa arah.

Harapannya tentang melihat Risa saat ia membuka mata seketika pupus. Sang Kapten sama sekali tidak dapat ia temukan di sekitar sana. Bahkan area fasilitas sudah tak lagi menampakkan adanya makhluk hidup lain selain siluet mutan dan makhluk raksasa jenis baru—yang tidak menyadari keberadaannya.

Lagipula apa yang ia harapkan? Satu orang manusia berhasil hidup setelah melawan puluhan mutan? Watanabe Risa jelas sudah mati, menjadi onggokan daging tak berbentuk di area fasilitas dan Yui tak mau lagi membayangkan lebih rinci. Selain itu, karena Yui tidak mau menerima bahwa saat ini ia sedang merasakan duka yang luar biasa. Ia menolak untuk percaya bahwa ia adalah satu-satunya prajurit yang masih hidup dari operasi militer LEVIATHAN, Bersama dengan dua ratus anggota datasemen Red-Alert dan kapten yang paling ia hormati turut terbunuh di dalamnya.

Ia ingin menangis. Menangisi kematian Letnan Watanabe Risa, menangisi kematian dua ratus orang prajurit yang terjun bersamanya. Tapi ia tahu, seorang manusia yang didesain sebagai mesin pembunuh mematikan sepertinya tidak akan pernah memiliki waktu untuk menangis.

Meskipun ia pernah mendapatkan pelatihan bertahan hidup di hutan belantara dan kedua matanya bisa dikatakan terbiasa dengan gelapnya hutan, Yui merasa kemampuannya itu tidak berlaku sekarang. Tidak ada apapun yang bola matanya tangkap selain pemandangan yang benar-benar hitam. Suram. Mengerikan. Hanya terlihat titik-titik merah dan kuning menyala yang menandakan keberadaan mutan di sekitarnya.

Berkali-kali kakinya tersangkut pada akar pohon, membuatnya jatuh terjerembab dan bangkit lagi dengan agak timpang. Ia tidak tahu lagi seperti apa luka di tubuhnya karena rasa perih di kulit yang robek itu semakin menjadi-jadi. Sepasang mata merah mendadak muncul sekira lima meter dari depan. Yui menukik tajam dan nyaris terpeleset tanah berlumpur, suara geraman terdenger mengikuti bersamaan dengan langkah kakinya yang menginjak tanah dengan tempo cepat. Mungkin sudah sekitar satu jam ia berlari, panas dapat mulai ia rasakan merayap dari tenggorokan. Yui mulai kelelahan, tapi ia terus memaksakan diri.

Mungkin karena otot kakinya sudah menyerah lebih dulu, kecepatan larinya mulai berkurang. Suara dedaunan yang diinjak dan dirobek semakin dekat dengan posisinya, napas Yui tertahan begitu ia mengintip ke bekalang dan melihat sesosok mutan menerjangnya.

BRUK

Ia jatuh bersamaan dengan mutan yang menindih tubuhnya. Mutan itu meraung keras, tangannya tidak memiliki jari. Sebagai ganti lima jari, pada tangannya terdapat satu kuku runcing tajam dan besar. Mutan itu menusuk kaki Yui, membuat tantara itu sekuat tenaga menahan keinginannya untuk berteriak.

Oh tidak, tidak... aku tidak boleh mati. Dimana pisau ku, sialan!

Degup jantung Yui semakin berantakan. Ia tidak dapat melakukan apapun selain meringis, melihat darah merembes keluar dari celana tactical tebalnya. Kedua tangannya menahan mutan itu agar tidak menggigit dan mengoyak bagian tubuhnya yang lain. Penat membuat tenaganya kalah, Yui tahu ia akan mati. Kedua tangannya tak mampu lagi menahan mutan itu. Hingga pada akhirnya pegangan tangannya terlepas begitu saja.

Yui memejamkan mata. Menguatkan mental dan berharap monster itu langsung menggigit kepala sehingga ia tidak perlu mati dengan merasakan sakit yang berlarut-larut.

Tapi—

BANG BANG

CRASH

Yui membuka mata, diantara gelap ia melihat kepala mutan menggelinding di sampingnya dengan darah hitam menggenang. Ia menoleh ke samping, mencari tahu siapapun yang melumpuhkan mutan yang nyaris memakannya hidup-hidup. Kegelapan membuatnya kesulitan, tapi samar-samar ia dapat melihat siluet dari sekelompok manusia yang berjalan mendekatinya.

Masing-masing dari mereka membawa sesuatu yang besar di tangannya, dengan senter dan laser yang berada di ujung—mereka semua bersenjata. Apakah itu survivor?

Tentara itu berusaha mengangkat kepalanya, tapi staminanya yang sudah sampai batas membuatnya tertahan. Mata Yui perlahan terpejam, napasnya yang memburu berangsur-angsur menjadi normal. Mendengar langkah kaki dari sepasang boots mendekatinya—dengan suara yang dipaksakan ia berkata, "...siapa kalian?"

Akan tetapi, justru bukan jawaban yang ia terima. Melainkan pukulan benda tumpul pada kepalanya yang sukses membuatnya kehilangan kesadaran saat itu juga.

Membuka mata, ia langsung disambut oleh cahaya lampu yang berada tepat di depan wajah, membuat kedua bola matanya berdenyut nyeri selama sepersekian detik. Selama beberapa saat ia berusaha beradaptasi dengan penerangan mendadak itu. Yui melihat sekeliling, mengabsen tiap sudut ruangan. Ia menemukan dirinya berada di ruangan dengan cat yang dominan berwarna putih pucat. Dipenuhi oleh peralatan medis dan empat brankar—satu brankar ia tempati sekarang, dan tiga lainnya kosong.

Aku... ini di mana?

Tidak ada orang lain disitu selain dirinya. Tatapannya tertuju pada pintu baja berwarna kelabu, hatinya tergerak untuk turun dari brankar dan keluar untuk mencari tahu dimana ia sekarang serta siapa yang membawanya kemari. Jika ia tidak salah ingat, Yui diselamatkan oleh sekelompok orang dan kepalanya dipukul dengan popor senapan. Mungkin orang tersebut yang membawanya kemari. Jika memang begitu, berarti ia telah diselamatkan oleh kelompok survivor dan tidak dibunuh.

Yui berusaha mengangkat kakinya, tapi sebuah sengatan rasa sakit membuatnya spontan berteriak keras. Dilihatnya celana tacticalnya digulung hingga di atas lutut, luka bekas tusukan mutan dibebat oleh perban yang basah oleh darah yang terus menerus merembes. Di brankar juga terdapat beberapa potong kapas penuh darah yang masih belum dibuang.

"Urgh..." Yui mengerang pelan. Kali ini ia mencoba untuk mengangkat kepalanya dan rasa sakit lain langsung menderanya. Sekali lagi, ia berteriak kesakitan.

Pintu didorong terbuka dengan terburu-buru. Seorang wanita dengan wajah panik sekaligus terkejut berlari mendekatinya, "Tolong, jangan bergerak. Kau terluka parah saat dibawa kemari, aku masih belum menjahit luka di kakimu jadi tolong, jangan bergerak terlalu banyak."

Yui tidak dapat menjawab. Ia hanya mengangguk-angguk dengan mulut terkatup rapat. Perih di kakinya membuatnya tidak fokus dengan apa yang ada di sekitarnya.

Wanita tadi mengambil benang khusus dan sebuah jarum dari sebuah wadah alumunium. "Luka terbuka, tidak terlalu besar sehingga tidak memerlukan begitu banyak jahitan. Kau bisa menggenggam apapun untuk menahan sakit karena kita tidak menggunakan anestasi." Ucapnya. Jarum sudah siap, ia hanya menunggu Yui memberikan isyarat untuk memulai.

Menelan ludahnya sendiri, Yui dengan ragu menganggukkan kepalanya. "Oke."

Ia menggigit bagian bawah bibirnya ketika ia merasakan jarum mulai menembus kulit. Jarum itu kemudian ditarik sehingga Yui dapat merasakan tekstur benang operasi masuk melewati kulit dan mengeratkan luka menganga di kakinya. Yui refleks mencengkeram erat lengan wanita itu. Ia terkejut, tapi tetap melakukan tugasnya meskipun pegangan Yui cukup membuatnya tidak leluasa.

Setelah lima menit, luka di kaki Yui telah dijahit dengan sempurna. Wanita itu berbalik dan membersihkan peralatannya dengan rendaman alkohol pada wastafel di sudut ruangan. Yui menggunakan kesempatan itu untuk memperhatikan lebih baik sosoknya karena ia tak sempat melakukannya tadi. Itu adalah kebiasaan yang ia bawa dari lingkungan militer, memperhatikan dan menganalisa orang lain yang baru ditemui untuk melihat apakah orang tersebut berbahaya atau tidak. Serta apabila ia perlu melumpuhkan, ia bisa tahu bagian mana yang kemungkinan menjadi titik lemah.

Wanita itu mengenakan kaus hitam berlengan pendek dengan celana taktis hitam yang ujungnya dimasukkan ke dalam sepatu boots. Ia memperkirakan wanita itu lebih tinggi darinya karena kepalanya hampir mencapai bagian atas pintu.

"Kenapa kau sendirian di hutan? Biasanya tentara selalu datang dalam kelompok berjumlah besar." Wanita itu berkata. Ia membawa kembali peralatannya dan menyimpannya ke dalam kotak putih besar dengan tanda silang merah.

Yui menatap wanita itu sekilas. Mempertimbangkan haruskah ia memberikan informasi pada orang asing di depannya itu. Tapi jika diperhatikan, tidak ada lagi alasan bagi Yui untuk menutupi. Seluruh anggota batalyon telah ditumpas habis dan ia berada seorang diri di tempat yang penuh orang asing. Mungkin ia dapat bertukar informasi tentang keberadaannya.

"Tidak, komando militer pusat mengirimkan dua ratus pasukan untuk mendobrak masuk ke dalam fasilitas penelitian. Dan seperti yang kau lihat sekarang, hanya aku yang beruntung bisa kabur dari kejaran monster-monster itu." Yui menjawab. "siapa kau? Dimana aku sekarang?"

Wanita itu agak terkejut saat mendengar penjelasan singkat Yui. Lagipula, siapa yang tidak terkejut saat melihat ada satu dari dua ratus manusia yang berhasil menyelamatkan diri meskipun dalam keadaan luka parah. Ia mulai berpikir bahwa prajurit di depannya ini sebetulnya bukan prajurit sembarangan.

"Sepertinya tak sopan jika aku tidak memperkenalkan diri, baiklah. Namaku Sugai Yuuka." Yuuka mengangguk mantap. "saat ini kau sedang berada di SKZ-046. Akane yang membawamu kemari semalam, tolong maafkan dia karena dia sempat memukulmu."

"SK... apa?"

"Ya. Ini tempat markas kelompok kami. Berada jauh di dalam hutan, dapat dikatakan berada dalam zona kuning karena hanya makhluk mutasi golongan satu dan dua yang berkeliaran disini."

Kelompok? Kenapa aku tidak pernah mendengar tentang tempat ini? Yui terdiam sejenak sebelum menjawab, "Sejenis tempat pengungsian?"

Yuuka menggeleng pelan. "Tidak. Kami sudah tidak menerima survivor lagi karena suatu alasan—ya, kau tahu maksudku. Di dunia yang sekarang ini, tidak ada lagi manusia yang dapat sepenuhnya kau percaya."

Yui baru saja akan membalas tepat saat pintu baja itu kembali terbuka, menampakkan seorang wanita dengan wajah tegas dan agak menakutkan. Ia membawa senapan serbu yang digantungkan pada punggung. Di pinggangnya juga terdapat kantung peluru dan pistol. Ia mengunci sorot mata tajamnya pada Yui, menunjukkan antisipasi dan tanda tak bersahabat pada tantara itu. Dan Yui sendiri juga tidak mau repot-repot membalas dan memilih untuk melihat ke arah lain.

"Sudah kuduga ternyata memang benar aku pernah melihatmu sebelumnya." Wanita itu berkata. Suara kasarnya terasa memekakkan di telinga Yui. "aku melihatnya di antara pada recruits beberapa tahun yang lalu. Tak kusangka kau cepat dipromosikan menjadi anggota Black Army."

Yuuka menoleh dan memperhatikan gadis itu seolah memberikan suatu pertanyaan. Begitu juga dengan Yui—prajurit itu terbelalak, seperti ia telah melihat sesuatu yang tak pernah ia lihat sepanjang hidupnya. Ia terkejut mengapa orang asing didepannya ini tahu tentang Black Army yang merupakan satuan militer paling rahasia. Jarang sekali ia bertemu dengan anggota Black Army secara langsung. Bahkan, anggota batalyon pernah bercanda dengan mengatakan bahwa sebenarnya satuan Black Army ini tidak benar-benar ada dan hanya rumor yang digunakan untuk membuat takut para pemberontak.

Dari yang Yui tahu, anggota Black Army adalah tentara dengan skill yang sangat tinggi. Beberapa dari mereka cenderung bengis, haus darah, dan tidak mengenal rasa kemanusiaan. Mereka tidak ragu untuk memenggal kepala wanita, anak-anak, dan lansia yang mereka anggap sebagai bagian musuh—singkatnya, mereka tidak ragu melakukan kejahatan humaniter demi keberhasilan misi mereka. Oleh sebab itu, mereka disebut sebagai Black Army. Sangat gelap, hitam, dan suram.

"Black Army? Akane, kau tidak pernah menyebutkan tentang organisasi itu sebelumnya." Yuuka bertanya.

"Ah iya. Mungkin aku lupa. Kau lihat patch bergambar kepala naga itu? Patch itu memang ada di semua seragam prajurit yang tergabung dengan pasukan khusus. Tapi, bukan itu yang menjadi ciri khas dari anggota Black Army. Tapi, sebuah tato bergambar kepala naga yang sama pada bagian belakang leher. Sedikit di bawahnya." Akane menajamkan matanya pada Yui. Satu tangannya bergerak untuk memegang popor pistol di sabuk seperti akan menariknya keluar. "Pasukan Black Army lah yang melakukan pembantaian massal pada kelompok survivor di Timur."

Yuuka yang semula memasang ekspresi santai, begitu mendengar ucapan Akane langsung mengambil satu langkah mundur dari Yui. Tapi ia tak melakukan gerakan lanjutan melainkan hanya menatap Akane dan Yui bergantian. Tapi Yui dapat merasakan kewaspadaan dari wanita yang lebih tinggi itu meningkat jauh lebih banyak dari sebelumnya.

Yang paling mengejutkan lagi adalah tentang keberadaan tato kepala naga yang ada di belakang lehernya. Sejak kapan tato itu ada disana? Dan sejak kapan ia telah menjadi anggota Black Army? Dan lagi, pembantaian massal apa yang dimaksud? Yui seratus persen yakin jika ia tak pernah terlibat dalam pembunuhan massal terhadap warga sipil sebelumnya dan ia bersumpah atas nama Tuhan atas kesaksiannya itu.

"Black Army? Aku tidak mengerti apa yang kau katakan." Jawaban Yui membuat Akane mendengus kasar. Dari tatapan wajahnya ia seperti menganalisa Yui dengan penuh perhitungan. "aku tidak pernah mendengar tentang Black Army ataupun bertemu dengan mereka. Baiklah, kalaupun memang benar aku anggota Black Army, aku tetaplah tidak berdaya. Aku tak memiliki alasan untuk membunuh kalian semua!"

Akane diam memperhatikan Yui. Memperhatikan tiap gerak-gerik yang ia lakukan, termasuk perubahan ekspresi wajah. Ia tidak menduga meskipun bukti yang ada di bagian belakang leher Yui jelas menunjukkan bahwa ia adalah anggota Black Army, ia tak dapat menyangkal bahwa apa yang dikatakan Yui adalah sebuah kebenaran. Sorot mata cokelatnya menunjukkan ketidaktahuan, sekaligus setitik rasa takut yang seharusnya tidak dimiliki oleh prajurit pembunuh sepertinya.

Akhirnya, Akane menurunkan tangannya dari popor pistol membiarkannya menggantung di sisi tubuh. Meskipun begitu, aku tidak boleh lengah. "Kalaupun apa yang kau katakan benar, kami tidak bisa mengonfirmasi apakah kau bersih atau terinfeksi. Aku akan terus mengawasimu, soldier. Memastikan bahwa akulah orang pertama yang membiarkan peluruku bersarang di otakmu."

Suasana klinik menjadi agak tegang setelah Akane menyelesaikan kalimatnya dan memilih meninggalkan ruangan, setelah bertukar tatap dengan Yuuka selama beberapa detik.

"Benarkah kau bukan anggota Black Army?" Yuuka mengulang. Suaranya lebih dalam dari sebelumnya. Bahkan kini, tatapannya terasa cukup dingin dan menunjukkan kewaspadaan.

"Tidak. Aku bersumpah, demi Tuhan. Aku hanya anggota pasukan khusus biasa yang ditugaskan di untuk melakukan infiltrasi. Aku tidak pernah terlibat dalam pembunuhan massal, kejahatan perang atau apapun itu—"

"Baiklah. Begini, kemungkinan Akane akan memberitahu yang lainnya tentang dirimu sehingga kau harus bersiap dengan apapun yang akan terjadi. Bisa jadi mereka melakukan voting untuk menendangmu keluar atau mungkin mengecek apakah kau benar tidak terinfeksi—" Yuuka memutus ucapannya sejenak sebelum melanjutkan, "dengan melepaskanmu di kandang mutan."

Melepaskanku di kendang mutan? Mereka sudah gila!

"Berdasarkan pengamatan kami, mutan akan membiarkan manusia yang terinfeksi. Jadi itu cara satu-satunya untuk membuktikan apakah kau aman atau tidak demi orang-orang yang hidup disini."

"Sial..." Yui mendesis. Menggunakan lengannya untuk menutup kedua matanya, ia berkata dengan suara tertekan. "sial... aku bahkan tidak bisa menggerakkan kaki dan kalian berencana mengorbankanku menjadi makanan mutan."

Mengangkat satu alisnya, Yuuka menjawab. "Itu aturan." Ia pun menutup laci terakhir setelah memasukkan peralatannya ke dalam sana. "Akane membuat aturan itu setelah terjadi pemberontakan besar-besaran disini dua tahun yang lalu dan sejak itu setiap ada pendatang baru, kami melakukan prosedur ini. Aku akan keluar dan bergabung dengan yang lain, kau tetaplah disini dan beristirahat."

Yuuka berbalik dan berjalan mendekati pintu, meninggalkan Yui yang masih menutup wajahnya dengan sangat frustasi.

"Omong-omong, Sugai." Panggilan Yui membuat Yuuka berhenti di tengah jalan, tidak menduga tentara tersebut menyebutkan Namanya secara langsung. Ia menoleh, tanpa kata-kata menunggu Yui mengatakan sesuatu. "well, aku hanya ingin berterima kasih karena kau telah mengobati lukaku."

"Tentu, itu tugasku." Yuuka melemparkan senyum ramah pada Yui sebagai respon singkat sebelum melangkah meninggalkan Yui sendirian.

Yuuka menutup pintu klinik dengan lembut, diluar ia telah disambut oleh koridor yang hening. Ia tidak mendengar suara obrolan ataupun langkah kaki dari orang-orang yang ada di markas. Berarti kemungkinan Akane telah mengumpulkan semua orang di ruang makan untuk membahas masalah anggota Black Army—Kobayashi.

Jadi ia segera berjalan menyusuri koridor untuk menuju aula makan yang berada di lantai dasar. Cahaya matahari menerobos masuk melalui sela-sela jendela yang tertutup gorden using, menjadi penerangan dalam bangunan gelap tersebut. Saat menjelang pagi seluruh lampu memang sengaja dimatikan untuk menghemat bahan bakar genset—kecuali ruang laboratorium, klinik, gudang bahan makanan dan persenjataan yang listriknya dinyalakan untuk suatu alasan, yaitu keamanan.

Seluruh ruangan tersebut dipasang alat keamanan yang mengharuskan seseorang menginput sidik jari agar pintunya dapat terbuka. Sekali lagi, semua itu dilakukan sejak terjadi pemberontakan. Semua orang sepakat untuk memperkuat keamanan markas tidak hanya diluar tetapi juga didalam.

Yuuka berdiri didepan pintu ruang makan yang tertutup. Ia perlu mendorong pintu itu dengan sedikit kekuatan karena engselnya sedikit berkarat. Bukan aroma makanan yang menggugah nafsu makan yang ia hirup begitu ia masuk, sebagaimana fungsi sebenarnya ruang makan. Melainkan Yuuka malah mencium aroma menyerupai keju busuk. Memang tidak begitu kuat tapi bau itu cukup mengganggu bagi hidungnya yang sensitif.

"Bagaimana hasil keputusannya?" Yuuka bertanya saat ia duduk di kursi. Di sampingnya, Habu sedang membersihkan shotgunnya dengan kain putih. Di atas meja terdapat beberapa butir shells yang siap dimasukkan kedalam.

"Keputusan masih seri. Setengah menyetujui ia tetap tinggal dan setengah yang lain ingin ia pergi." Pemburu itu menjawab dengan nada ringan. Sekarang tangan shotgun Habu telah berpindah—disandarkan pada kursi yang ia duduki. "aku dan lainnya baru saja akan berangkat berburu saat Akane mengumpulkan kami di ruang makan."

Suara Akane yang tengah menggerutu terdengar jelas di ruangan hening, "Aku tidak percaya kalian menyetujui anggota tentara hitam itu untuk tetap tinggal di markas. Apakah kalian tidak memikirkan hal yang akan terjadi selanjutnya?"

"Seluruh pasukan kompinya habis dibunuh oleh para mutan, hanya itu yang diketahui oleh Komando Militer Pusat. Dalam pendataan disana, status Kobayashi jelas K.I.A. dan itu artinya tak perlu khawatir militer akan melacak Kobayashi dan menemukan kita disini. Lagipula, ini di tengah hutan dan banyak sekali makhluk mutasi baru dan berbahaya di sekitar sini." Hikaru menjawab. "kelihatannya Kobayashi adalah prajurit yang cukup kompeten. Jika ia tinggal, kita mungkin akan mendapatkan personel all-rounder yang sangat sempurna baik secara fisik, taktis, pengetahuan berperang dan bertahan hidup."

Ia adalah satu-satunya yang memiliki tubuh paling kecil. Berdiri setinggi seratus lima puluh sentimeter, Hikaru memiliki kemampuan beradaptasi dan menguasai berbagai jenis senapan, bahkan melee weapon. Hikaru adalah anggota yang bertugas mencari daerah baru yang berpotensi menjadi tempat tinggal baru dan sumber makanan yang layak. Menjadi sosok yang paling mudah diingat karena ia selalu menggunakan eyepatch hitam di mata kiri—bola matanya hancur karena terkena serpihan bom saat pemberontakan yang terjadi beberapa bulan yang lalu.

"Kecuali jika mereka berniat melakukan operasi bunuh diri lain." Kira menyahut, sembari memasang senyum menyebalkan.

Yuuka kemudian memindahkan perhatiannya pada orang lain yang duduk mengelilingi meja persegi Panjang besar itu. Ia tak sadar bahwa kedatangannya lah yang selama ini ditunggu oleh para peserta rapat karena suara Yuuka yang akan menentukan Yui tetap tinggal atau pergi. Akane menunjuk Akane dengan dagu, memberikan isyarat bagi Yuuka untuk mulai berbicara.

Memperhatikan teman-temannya yang lain, terlihat tidak ragu saat Yuuka berucap dengan mantap, "Aku memilih dia tetap tinggal. Selanjutnya, aku serahkan padamu untuk melakukan sesuai prosedur."

Helaan napas kasar keluar dari mulut Akane. Ia mengusap tengkuknya dengan kasar setelah mendengar jawaban Yuuka. Orang terakhir telah bersuara, bagaimanapun perjanjian harus tetap dilakukan dan itu adalah membiarkan Kobayashi tetap tinggal bersama mereka. Berpikir mengenai hal itu saja sudah membuat kepala Akane mendidih. Mulai hari ini ia akan bersama dengan anggota militer dan semua orang tahu ia memiliki suatu dendam pribadi dengan militer meskipun ia merupakan mantan letnan angkatan udara.

"Apa boleh buat," Akane akhirnya berucap. Anggota-anggota lain menampakkan wajah sumringah untuk menyambut anggota baru yang akan bekerja sama dengan mereka sesaat lagi. "kembali ke pos masing-masing dan lakukan hal yang seharusnya kalian lakukan. Aku dan Yuuka mengurus anggota Black Army ini."












Visualisasi pasukan Black Army
Source: Death Stranding

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top