Prolog

"... akhir dari dunia."

Kringgggg!

Sontak kepala Davia terangkat. Dia merasa seperti baru saja menerima kejut jantung. Karena terbangun secara paksa, kepalanya jadi terasa sangat pusing sekarang. Kala mengedarkan pandang, dia lihat teman-teman sekelasnya sedang bersiap untuk pulang. Guru yang baru saja mengajar mata pelajaran sejarah juga tampak mengemasi laptopnya.

"Hei!" Seseorang menyikut lengan Davia, membuat perempuan itu menoleh. "Lo tidur lagi, ya? Mampus kan nggak tau tugasnya apa! Mentang-mentang unggul di non akademik, lo juga harus ngurus akademik lo."

"Bawel ah," kata Davia seadanya. Sudah menjadi rutinitas baginya mendengar Livy ngomel.

"Ish, gue serius tau. Lo pasti nggak dengerin," ucap Livy.

"Gue dengerin kok." Davia mendekatkan telinganya ke Livy. "Tuh, kuping gue aja buka."

Livy berdecak kesal dibuatnya. Setelah kelas dibubarkan oleh ketua kelas, Davia dan Livy berpisah jalan karena Livy akan pulang dengan pacarnya, Raven, sedangkan Davia jalan kaki. Hingga tiba di rumah, Davia hampir berhenti bernapas ketika mendengar teriakan orang tuanya yang saling membentak di dalam rumah. Rumah yang tidak seperti rumah karena tidak pernah bisa menjadi tempatnya pulang.

Bukankah definisi rumah adalah aman, nyaman, dan menjadi tempat beristirahat? Tapi mengapa Davia merasa lelah sekali ada di tempat ini?

Enggan masuk ke dalam dan mendengar semua keributan itu, Davia pun duduk di depan pintu rumah tanpa ingin masuk. Dia melipat kakinya dan menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan di atas lutut. Menunggu di depan rumah seperti ini bukan hanya sekali dua kali dia lakukan. Bahkan hampir setiap saat dia melakukan ini.

Waktu berlalu sangat cepat. Tak terasa Davia ketiduran saat menunggu lama. Ketika melihat langit yang gelap, ia segera bangkit dan masuk ke dalam. Tampak ayah, ibu, dan adik laki-lakinya sudah duduk dengan tenang di meja makan. Mengetahui Davia yang baru pulang malam-malam begini, suasana rumah jadi mencekam.

"A--aku pulang," ucap Davia sembari menutup pintunya lagi.

"Kenapa pulang? Sekalian aja nggak usah pulang. Kamu kan nggak inget kalau punya rumah," ujar ayahnya, sembari menoleh ke arah Davia dengan tatapan ketus.

Davia tau, itu adalah cara ayahnya bersikap sarkastik padanya. "Maaf, tadi ada kerja kelompok--"

"Kerja kelompok apa yang sampai jam 9 malem? Besok ayah ke sekolahmu aja, ya, ngadu ke gurumu. Biar nggak usah pake acara tugas aneh-aneh. Anak jadi sembarangan pulang malem. Emang gurumu mau tanggung jawab kalo ada apa-apa? Kayak anak nggak punya aturan aja pulang jam segini."

"Mas, udah," sahut ibunya.

"Diem! Anakmu ini harus dikasih tau biar paham. Dia kapan dewasanya kalau terus-terusan dimanja?"

"Davia cuma kerja kelompok, Yah. Kemarin adek pulang jam 10 karena kerja kelompok juga nggak pa-pa, kan?" Davia menoleh ke arah Zaki yang makan dengan tenang.

"Adekmu beda. Dia kan kerja kelompok memang ada tugas. Kalau kamu, itu cuma alasan aja."

Lagi-lagi, Zaki yang dibela. Hanya karena mereka berdua memiliki jenis kelamin yang berbeda, mereka jadi dibedakan. Seolah kedudukan laki-laki itu lebih tinggi dan hak istimewanya jauh lebih banyak dari perempuan. Di sana Davia bisa melihat sang ibu yang hanya mampu menunduk, tak bisa membela anak perempuannya lagi.

"Ada satu hal yang mau ayah katakan," ucap ayah Davia sembari berjalan mendekati Davia. Di sana Davia sudah bersiap jikalau dirinya ditampar sang ayah sebagai hukuman. Namun, ucapan ayahnya setelah itu jauh lebih menyakitkan daripada tamparan yang biasa ia terima. "Mulai besok, kamu tidak perlu sekolah lagi. Biaya sekolah kamu akan dialokasikan untuk adikmu yang setelah ini masuk sekolah swasta sains. Kamu harus mengalah, demi kesuksesan adikmu."

"A--apa?" Davia tidak percaya dengan apa yang dia dengar barusan.

"Apa aku harus mengulanginya?" ucap ayah Davia, merasa tak suka dengan Davia yang lambat dalam memahami maksudnya.

"Tapi ... bagaimana denganku, Ayah? Bagaimana dengan Davia? Davia kan juga butuh sekolah, bukan cuma Zaki!"

"Alah, nanti setelah lulus juga kamu akan jadi apa? Kamu hanya akan menikah, melayani suamimu, dan melahirkan. Kamu tidak akan bisa membantu kami, Davia. Jadi, ayah harap kamu bisa mengerti. Toh, nanti Zaki juga akan membantu biaya pernikahanmu di masa depan kalau kamu mau membantunya mengalah sekarang," ucap ayah Davia. Benar-benar menganggap anak perempuannya ini tak lebih dari benalu yang lebih baik segera disingkirkan.

"Apa anak Ayah cuma Zaki?" ucap Davia.

"Davia, sudahlah ... kamu turuti saja ya Nak," ucap ibu Davia yang bergegas mendekat agar Davia tidak bicara macam-macam.

"Nggak, Bu! Aku juga punya hak asasi manusia untuk hidup di sini! Aku ingin tau kenapa aku diperlakukan berbeda dengan Zaki. Seolah aku bukan anak kalian juga! Padahal kalian juga harus bertanggung jawab atas hidupku," kata Davia yang mulai menangis.

Plak!

Satu tamparan itu melayang langsung di pipi Davia. Tatapan tajam ayahnya, membuat perempuan itu membeku di tempat. Tamparan ini benar-benar keras, bahkan Davia tau betuk kalau Zaki tidak pernah mendapatkannya. Senakal apa pun anak itu, sang ayah pasti selalu menoleransi. Berbeda dengan Davia, yang nakal sedikit langsung dimarahi atau dihajar.

"Tutup mulutmu! Sudah untung aku memintamu berhenti sekolah dan berdiam di kamar! Kamu masih bisa bernapas dan makan di sini. Aku tidak memintamu mencari uang atau semacamnya, kan? Jadi berhenti mengeluh dan taati perkataanku selagi kamu tinggal di sini!" bentak ayah Davia, semakin membuat hati Davia sakit.

"Ayah benar-benar ... sampai akhir ... nggak sayang sedikit pun ke Davia, ya?"

Ayah Davia bersedekap dada sambil menghela napas berat. "Berhenti lah berdrama. Aku muak melihatnya."

Davia pun mengusap air matanya, lalu melirik ke arah Zaki yang tampak tersenyum puas. Hal yang paling Davia benci padahal posisinya jauh lebih tua dari anak itu. Maka Davia pun segera berjalan menuju kamarnya dan membantingnya dengan keras. Tubuhnya merosot ke bawah sampai akhirnya ia bisa meluapkan segala tangisnya. Dia lelah, sangat lelah.

***

Embusan angin malam ini jauh lebih tenang dan segar dari biasanya. Air mata yang sudah berjatuhan beberapa jam tampak mulai mengering. Meski rasanya lega karena dia telah meluapkan segala tangisnya, tetap saja ada yang mengganjal di dalam dada. Davia harus segera mengeluarkan keresahan itu sebelum benar-benar melanjutkan hidupnya.

Hah ... melanjutkan hidup? Konyol sekali. Davia tidak ingin melakukannya lagi. Dia tidak punya alasan untuk tinggal di bumi ini. Satu-satunya motivasinya masih bertahan saja dicabut secara paksa hari ini. Jadi, untuk apa dia hidup? Dia hanya akan memperusuh bumi dengan keberadaannya.

Sesuatu seperti berdenging keras di dalam kepalanya. Berdiri di pinggir jembatan, Davia meletakkan tangannya di atas pegangan dan menompa keningnya. Ia merasa kepalanya sangat berat, seperti terisi dentuman-dentuman yang memukulnya tanpa henti. Rasa sakit ini dia terima sejak dia harus menerima tamparan ayahnya setiap melawan.

"Apa aku mati saja, ya, Tuhan?" gumam Davia. Beberapa saat kemudian, dia mendongak. Langit malam ini begitu cerah, sangat berbeda dengan suasana hati Davia. "Apa Engkau sedang menertawakanku dengan menunjukkan langitmu yang begitu indah? Hmm, ternyata tidak ada yang benar-benar peduli padaku di dunia ini."

Davia menurunkan pandangannya ke bawah sana, sungai dengan arus tenang yang kelihatannya cukup dalam. Kalau Davia loncat, apakah dia akan langsung mati? Dia harap begitu. Setidaknya di akhir hidupnya, dia ingin berhenti merasakan rada sakit.

Davia pun mulai naik ke atas pegangan dan berdiri di luar pegangan jembatan. Dia masih menggenggam erat pegangan itu karena rasa takut yang dia punya juga masih tersisa. "Beneran langsung mati, kan? Kalau enggak, aku nggak akan mengulangi hal ini lagi."

Menatap ke bawah terlalu menakutkan. Apalagi hari sudah gelap. Bisa saja ada banyak makhluk tak kasat mata yang langsung menyambutnya. Agar tak perlu berpikir macam-macam lagi, Davia pun mulai memejamkan mata. "Atas nama bumi dan langit, terima lah tubuhku yang sudah sakit oleh penderitaan yang Engkau buat," gumam Davia sebelum akhirnya melepas genggamannya.

Byur!

Rasa dingin langsung menyelimuti kulitnya. Di dalam air yang begitu dalam ini, dia mulai membuka mata. Ternyata di bawah sini sangat cantik sebab airnya sangat jernih. Beberapa saat berhasil menahan di dalam air, dia mulai kesulitan bernapas. Davia merasa ada sesuatu yang terbakar dalam tenggorokannya. Sontak dia memberontak dan otomatis berenang ke permukaan. Saat itu juga tiba-tiba hujan yang disertai petir datang. Membuat arus sungai yang sebelumnya tenang berubah deras. Davia pun mulai mencari sesuatu untuk menahannya agar tidak terbawa arus terlalu jauh.

Sampai akhirnya dia menemukan sebuah kayu besar. Davia pun menjadikannya penopang tubuh dan mulai berenang ke pinggir. Untung saja ia segera naik, tidak sampai terbawa ke laut. Dengan tubuh basah kuyup, Davia menatap kosong arus air di depannya sambil menenangkan diri di bawah jembatan. Ternyata bunuh diri tidak semudah itu.

Walau dirinya ingin mati, alam bawah sadar otaknya berhasil menyelamatkan dirinya. Siapa juga orang bodoh yang ingin dirinya mati? Ketika Davia bisa berenang dan dia memilih cara ini untuk meninggalkan bumi. Sungguh konyol.

"Kalau hidup begini, tapi mati pun nggak boleh, aku harus gimana?" Davia memeluk erat lipatan kakinya.

Tiba-tiba derasnya hujan tak lagi berisik di sekitar telinga Davia. Dia malah mendengar sebuah alunan yang begitu menarik. Alunan ini terasa familiar, seperti pernah dia dengar tapi dia juga tidak ingat kapan. Pandangan Davia pun mengedar untuk mencarinya. "Suara apa, ya?"

Karena di sekitar Davia sangat gelap, percikan-percikan cahaya itu muncul dari suatu tempat. Davia bangkit dari tempatnya. Dia ingin menemukan hal ini. Sampai dia sadar, bahwa suara ini berasal dari pintu bekas yang dia sandarkan ke tembok kaki jembatan. Tadi benda ini lah yang membantunya di air.

"Ini?" Davia menempelkan telinganya ke pintu. Dia mendengar sesuatu dari dalamnya. "Aneh, nggak mungkin."

Karena penasaran, Davia mulai memutar knop pintunya. Meski ini akan tampak konyol, tapi Davia buka saja. Hal pertama yang membuat tubuh Davia membeku di tempat adalah hal yang ia lihat di dalam pintu itu. Hutan serta danau yang begitu luas dan ... sangat indah.

"Hah?! Apa-apaan!"







~ INTO ANOTHER WORLD ~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top