Chapter 2 : Orang Yang Mirip

Setelah melakukan apa yang Yesaya bilang, yaitu berlari ke rumah penduduk untuk memintanya memberi pesan ke kediaman marquess, mereka berdua dijemput oleh kereta kuda keluarga marquess beserta pasukannya. Ternyata Davia kejatuhan durian runtuh hari ini. Melihat banyaknya pasukan dan pelayan yang melayani Yesaya, sepertinya gelar marquess bukanlah gelar biasa. Apa dia setara dengan raja atau pangeran? Davia tidak tau.

"Setelah sampai di rumahku, semua orang akan bertanya-tanya mengenai kemunculanmu. Walau belum resmi, tapi kamu bisa mengatakannya dengan lantang bahwa kamu telah menjadi bagian dari keluarga marquess. Bahwa kamu adalah adikku," ucap Yesaya yang kakinya sudah diperban dan kini duduk di hadapan Davia.

Jantung Davia jadi berdegup kencang. Pakaian Yesaya, pelayan, atau pun pengawalnya sangat unik. Davia seperti merasa ada di negeri dongeng. "Apa kamu benar-benar yakin untuk mengadopsiku? Maksudku, kenapa kamu melakukannya? Aku yakin, itu bukan hanya karena aku telah menolongmu, kan?"

Raut Yesaya tampak sedih. Davia yakin pria itu punya alasan kuat untuk menjadikannya bagian dari keluarga marquess. "Aku pernah memiliki seorang adik. Kamu mengingatkanku padanya."

"Pernah? Itu artinya sekarang tidak?" tanya Davia yang merasa ucapan Yesaya sedikit ambigu.

"Ya, dia sudah mati."

Alis Davia langsung berkerut. "Apa yang terjadi? Kenapa dia mati?"

"Tidak jauh berbeda denganmu. Dia menceburkan dirinya untuk mati."

Davia menelan salivanya secara otomatis. Di dunia ini juga ada orang yang ingin mati. Bukankah itu artinya tempat ini sama saja? Davia juga bisa mengakhiri hidupnya di sini.

"Berjanjilah satu hal padaku, Via."

Dia memilih diam untuk mendengarkan apa yang ingin disampaikan Yesaya padanya.

"Kau boleh mati, tapi jangan pernah menginginkan hal itu terjadi. Mati lah, tanpa melakukannya sendiri. Biarkan kematian yang menjemputmu, bukan kau yang menghampirinya. Kau mau berjanji?" tanya Yesaya.

Davia tak tau harus berkata apa. Mengetahui eksistensi dunia lain saja dia sudah merasa sangat senang. Mana mungkin dia menginginkan mati di awal cerita begini? "Baiklah, aku berjanji."

***

Sampainya mereka di ibukota, Davia bisa melihat ramainya orang yang berlalu-lalang. Ternyata tempat ini benar-benar berbeda. Tidak ada kendaraan seperti mobil, motor, atau teknologi apa pun. Hanya ada kereta kuda atau kuda yang menjadi kendaraan. Uniknya, tidak ada orang yang memegang ponsel.

"Wah," gumam Davia.

Yesaya jadi ikut melihat ke arah jendela. "Apa yang kau lihat dengan mulut menganga begitu?"

"Kebahagiaan," ucap Davia otomatis. Yesaya tidak mengerti. Namun dengan jelas Davia menunjukkan bahwa dia sangat senang. "Sepertinya aku akan bahagia di sini."

Kereta kuda pun berhenti setelah sampai di halaman kediaman marquess. "Aku senang mendengarnya."

Davia melempar senyum pada Yesaya. Pintu kereta kuda pun dibuka. Ada pengawal yang sudah siap membopong Yesaya ke kamarnya karena pria itu masih sulit berjalan sendirian. "Layani wanita itu. Dia akan segera menjagi bagian dari keluarga marquess," titah Yesaya.

Salah seorang pengawal pun mengulurkan tangannya ke arah Davia untuk membantunya turun dari kereta kuda. "Terima kas-- Raven?!"

Kali ini Davia melihat wajah yang sangat mirip dengan Raven, pacarnya Livy, sahabatnya. Davia jelas ingat soal Raven sebab sering mengantar Livy untuk PDKT. Sekarang Davia sangat yakin dan tidak mungkin salah lagi.

"Kamu Raven, kan?" tanya Davia lagi.

"Saya Raxelius, Nona."

Davia langsung terdiam. Padahal wajah keduanya sangat mirip, tapi ternyata dia bukan Raven dari dunianya berada. Apa karena dunianya dan dunia ini bersinggungan, ada banyak manusia yang mirip tapi memiliki identitas berbeda? Itu artinya, ke depannya Davia akan bertemu banyak orang yang familiar di sekitarnya.

"Mari, Nona," ucap Raxelius lagi, masih mengulurkan tangannya di hadapan Davia. Davia pun bergegas menerimanya dan turun dari kereta kuda.

"Nona, mari saya antar." Seorang wanita paruh baya mendatangi Davia. Kali ini wajahnya sangat mirip dengan guru sejarah yang mengajar di kelas tadi pagi.

"Bu Novi?" gumam Davia.

"Saya Nefisa, kepala pelayan di kediaman Marquess Lenineon. Mari saya antar ke kamar Anda," ucapnya dengan hormat.

Davia masih belum terbiasa. Apalagi guru sejarah ini memiliki karakter yang cukup menjengkelkan di dunianya. Sekarang tiba-tiba saja Davia harus melihatnya tunduk hormat begini. Dia jadi merasa sedikit bersalah.

"Ba--baiklah."

Davia pun mengikuti ke mana kepala pelayan itu membawanya. Hingga akhirnya mereka menghentikan langkah di salah satu pintu ruangan yang begitu besar. "Dulu, kamar ini adalah milik nona muda marquess."

"Adik Yesaya?" tanya Davia.

Nefisa mengangguk. "Benar. Sekarang, akan menjadi milik Anda, Nona. Silakan masuk." Nefisa membukakan pintunya untuk mempersilakan Davia masuk.

Davia pun melangkah ke dalam. Kala mengedarkan pandang, dia cukup tercengang karena furnitur dan isinya sangat mewah. Benar-benar seperti kerajaan. "Ini indah sekali. Apakah marquess itu gelar seorang bangsawan?"

"Benar, Nona." Nefisa menatap lurus ke arah Davia. "Nanti siang akan ada beberapa pelayan yang datang ke kamar ini. Nona bisa memilih pelayan pribadi Anda sendiri. Maaf karena baru bisa datang siang nanti karena pemberitahuan dari tuan sangat tiba-tiba. Sehingga saya harus menyeleksi kecakapan mereka terlebih dahulu."

Aku punya pelayan pribadi? Wah, luar biasa! batin Davia.

"Okey, nggak masalah."

"Kalau begitu, saya permisi, Nona." Nefisa pun pamit undur diri dari ruangan itu untuk menyelesaikan pekerjaannya yang lain, sementara Davia merebahkan diri di atas ranjang. Berbaring begini di ranjang yang luas sungguh menakjubkan. Sangat berbeda dengan kasur di rumahnya karena sang ayah hanya membelikan ranjang berkualitas bagus untuk Zaki.

Sekarang apa yang harus Davia lakukan? Dia memang tinggal di dunia yang berbeda, memiliki identitas baru, menjadi bangsawan, bahkan berada dalam perlindungan yang aman. Namun, tidak mungkin kan untuk terus menjadi parasit?

Davia harus mempelajari lingkungan dunia ini agar bisa beradaptasi dengan baik. Apalagi dia juga harus memastikan, menghilangnya dia dari dunia asli tidak akan berdampak macam-macam.

Pada siang hari, para pelayan muda yang dimaksud Nefisa datang ke kamar Davia. Di sana dia bisa memilih sendiri siapa yang akan melayaninya untuk ke depannya. "Berapa umur kalian?" tanya Davia.

"Saya 16 tahun."

"Saya 18 tahun."

"Saya 23 tahun."

Umur yang bervariasi. Davia pun meminta ketiganya untuk berdiri. Yang memiliki tinggi badan paling mirip dengannya adalah yang umurnya sama, yaitu 18 tahun. "Siapa namamu?" tanya Davia.

"Ufa, Nona."

"Oke, mulai sekarang kamu yang akan menjadi pelayan pribadiku, Ufa."

***

Pekerjaan pertama yang diberikan Davia pada Ufa adalah untuk berpura-pura menjadi dirinya.

"Ta--tapi Nona ... apa ini akan baik-baik saja?" tanya Ufa yang dari tadi sudah ketakutan harus mengenakan gaun milik Davia. Davia sendiri belum pernah mencoba memakai gaun, yang mana pakaian sehari-hari di sini. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Malam ini dia harus memastikan pintu penghubung itu lagi.

"Aman. Asal kamu tidak bicara atau tidak mengikuti rencanaku. Kalau ada yang datang, bilang saja kamu tidak enak badan dan ingin sendirian. Aku akan kembali sebelum matahari terbit," ucap Davia.

"Saya akan menunggu Anda, Nona."

Davia membantu Ufa berbaring di ranjangnya dan menutup selimut sampai bahu. Ufa juga sudah memakai rambut palsu yang mirip dengan miliknya. "Terima kasih, Ufa. Aku akan segera kembali!"

Davia hanya memiliki kesempatan malam ini karena Yesaya tidak mungkin menemuinya. Pria itu kan sedang di masa pemulihan atas kondisi kakinya. Davia pun segera memakai lagi jubahnya dan menutup kepalanya dengan tudung jubah itu. Davia berjalan cepat ke jendela kamar. Tadi dia sudah memastikan tinggi gedung ini sampai ke bawah dan bagaimana cara untuk lompat dengan aman.

"Mungkin adik Yesaya dulu juga sering melakukan ini. Jalan tikus ini sangat mudah sekali dilalui seperti sengaja dibuat," gumam Davia sambil mengendap-endap agar tidak sampai ketahuan pengawal.

Sampai di halaman, Davia harus merayap untuk menyusup di semak-semak. Untung sepanjang jalan kereta kuda tadi, dia sudah menandai jalan. Semoga saja tanda itu masih ada dan tidak ada yang merusaknya.

Hingga dia berhasil sampai di luar kediaman, ia menggesek-gesekkan kakinya di tanah. Kain itu masih ada. Davia harus cepat, maka Davia berlari dengan kecepatan tinggi. Di tengah jalan, khususnya saat di pusat kota dia memang sempat bingung karena tandanya hilang. Hal itu pasti terjadi, tempat ini ramai dilalui orang. Untungnya, Davia masih sedikit ingat kalau bagian ini.

"Danau ini ... ya, di sini aku membantu Yesaya. Kalau begitu, pintunya tidak jauh dari sini. Aku harus mencarinya."

Davia terus mengedarkan pandang, sampai dia mendengar sebuah alunan lagi. Percikan-percikan cahaya yang menuntunnya pada dunia ini kala itu juga datang lagi. Saat menunduk, cahaya itu ada tepat di bawah kakinya dan mengarah ke dalam hutan. Apa maksudnya ... cahaya itu sedang menunjukkan jalan padanya?

Davia pun mengikutinya. Hingga dia menemukan pintu yang bercahaya cantik. "Itu dia."

Davia menemukannya.







~ INTO ANOTHER WORLD ~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top