• Judging •
Seorang gadis kecil meringkuk melindungi kepala dari hantaman sepatu yang menendang-nendangnya tak henti.
Gadis itu menangis kesakitan, meminta pria berdasi yang menendangnya untuk berhenti.
"Papa sakit! Papa sakit!" rengeknya.
Tidak digubris, pria itu malah mencengkeram lengan si anak lalu menempelkan batang rokok yang masih menyala ke lengannya.
Bocah itu menjerit, menangis sejadi-jadinya. Di dalam kamar yang berantakan oleh mainannya sendiri.
Tapi pria itu hanya berekspresi datar, meski nampak ada emosi mengerubungi hatinya, dia bangkit berdiri membiarkan si anak meringkuk sesenggukan, pakaiannya kucel, tubuhnya dipenuhi memar.
"Aku menyesal menikahi wanita itu dan memiliki anak jalang sepertimu."
Pria itu berdecih, mengambil ponsel di kantongnya lalu menelpon seseorang sambil berjalan pergi keluar kamar. Meninggalkan bocah yang tidak mengerti apa-apa itu sendirian.
=====
=====
"Merlin," panggil guru dari mejanya.
Guru itu tengah membagikan hasil ujian di sebuah kelas.
Perempuan bernama Merlin itu bangkit dari kursinya berjalan ke meja guru, tatapannya kosong agak menunduk. Merlin tahu dari ekspresi sang guru bahwa hasil ujiannya tidak bagus lagi.
Tiba di hadapan meja, guru itu mendesah dengan ekspresi sebal.
"Kenapa kamu tuh bodoh banget, sih? Masa tiap ulangan dapet nilai di bawah KKM mulu? Kamu gak niat belajar, ya?"
"Kalau pinter saya gak akan sekolah, Bu."
Guru itu menggebrak meja membuat seisi murid di kelasnya berbisik ria.
"Si Merlin bener-bener, ya?"
"Biasa, di rumahnya juga emang bermasalah dia tuh."
"Jalang banget jadi perempuan."
Tanpa usaha pun beberapa bisikan itu terdengar ke telinganya, berisik sekali.
"Kamu bisa jawab omongan saya, kenapa soal ini gabisa kamu jawab, hah?"
Merlin tidak merespon, dia menerima kertas ujiannya dan berjalan kembali ke bangkunya. Tidak ada yang benar-benar mengenal dan memerhatikan gadis itu, semua orang hanya tahu bahwa Merlin adalah murid yang selalu bermasalah dengan nilai dan atitud jelek di sekolah, bahkan di rumahnya pernah ada rumor kalau Merlin sempat mengkonsumsi narkoba meski tidak terbukti.
Semua orang membencinya, semua orang munafik. Merlin kadang berpikir mengapa mudah sekali menilai orang lain yang tidak mereka kenal sama-sekali? Mengapa pegangan hanya sebatas rumor?
Padahal mereka lebih pintar darinya, tapi kenapa mereka semua bodoh?
Saat tiba jam istirahat, Merlin beranjak ke toilet untuk makan siang dengan tenang, karena jika makan di kelas atau di tempat terbuka lainnya, pasti ada saja yang akan mengganggu ketenangannya.
Meski berpenampilan lusuh tak terurus dan membuat orang-orang malas mendekatinya, tetapi banyak yang sok jagoan ingin merudungnya hanya karena mereka merasa bahwa Merlin pantas diperlakukan seperti itu. Hanya karena rumor tak jelas itu, hanya karena kebodohannya dan setiap kalimat yang diucapkannya, mereka merasa Merlin adalah makhluk paling hina di dunia.
Namun, ternyata di toilet pun masih ada yang mengincarnya. Tiga perempuan dari kelasnya datang, salah satunya langsung menendang kotak bekal Merlin sampai isinya berceceran ke mana-mana dan mengotori seragamnya.
"Aduh, ngotorin kamar mandi aja!"
Salah satu perempuan menarik rambut Merlin yang dikucir kuda, dia menjenggutnya sampai Merlin terjatuh ke lantai.
"Bersihin cepetan!"
Dua anak perempuan lainnya hanya cekikikan di belakang, Merlin masih berekspresi datar segera memungut bekalnya kembali. Dia tidak memberikan respon apa pun, Merlin sudah lelah.
"Lu tuh gak pantas lahir jadi manusia, kelakuan lu aja kaya binatang. Pasti bapak sama ibu lu nyesel udah lahirin lu, haha!"
Berisik sekali, Merlin langsung bangkit berlari menerobos ketiga perempuan itu yang mengaduh saat dia tabrak. Merlin tidak ingin mendengar suara mereka lagi. Namun, saat duduk di kursi, ternyata kolong mejanya sudah dipenuhi sampah basah membuat baunya tercium ke sekitar.
"Merlin, bersihin meja kamu tuh! Jorok banget sih." Seorang perempuan di bangku sebelahnya protes.
Merlin menghela napas panjang, orang-orang di sekitarnya berisik sekali. Dia berjalan keluar kelas menuju kantin untuk meminta kantung keresek, dia tidak peduli meski bel sudah berbunyi. Tapi--lagi-lagi saat berjalan di lorong, Merlin kembali dicegat tiga perempuan tadi.
"Lu mau bolos kelas? Wah, gak ada kapok-kapoknya ini jalang."
Meski berusaha menghiraukan mereka dengan menerobos, tetapi lengannya dicengkeram membuat pergerakan Merlin terhenti.
"Kayaknya lu beneran mau dapet masalah, ya?"
Merlin menepis lengan perempuan itu, saat perempuan itu melotot kesal dan merangsek hendak menyerangnya, Merlin refleks menggenggam kepala perempuan itu dengan dua tangan lalu membenturkannya ke tembok.
Perempuan itu seketika pingsan di tempat, membuat kedua rekannya menjerit ngeri. Terutama saat melihat hidung perempuan itu mulai mimisan.
"Me-merlin, lu keterlaluan!"
"Kita laporin lu ke guru!"
Kedua gadis itu langsung melapor ke guru, seketika, jam belajar terganggu karena berita tentang pingsannya perempuan itu menyebar. Perempuan itu berada di ruang kesehatan mendapat perawatan intensif, sedangkan Merlin berada di ruang bimbingan konseling.
"Kamu kenapa sampai melukai Geisha? Mau berlaga sok jagoan, bukan?"
Merlin hanya menatap guru di hadapannya dengan ekspresi dingin nan datar. "Mereka buli saya."
"Kamu dapat luka?"
Merlin menggeleng.
"Terus, apa yang dipermasalahin? Jangan bikin-bikin alesan deh, kamu gabisa lukain orang dengan alasan apa pun. Mau jadi apa kamu? Preman? Kamu anak perempuan, loh."
Merlin tidak merespon, tidak menjawab apa-apa lagi saat ditanya. Dia hanya diam seribu bahasa dengan ekspresi datarnya. Pada akhirnya, Merlin mendapat surat peringatan pertama dari sekolah.
Jam pulang sekolah pun tiba, Merlin meremas-remas surat itu dan membuangnya ke tempat sampah. Dia berjalan di trotoar menuju halte bus sembari menghela napas beberapa kali, Merlin sendiri tidak sadar dia sudah menghela napas sesering itu.
Di halte bus yang kebetulan sepi, Merlin duduk menunggu busnya datang. Dia hanya melamun menatap lalu-lalang kendaraan di jalan raya, membiarkan mentari senja menemaninya. Tiba-tiba terdengar suara anak kucing membuat Merlin menengok ke asal suara.
Terdapat kucing kecil berwarna putih dengan bercak hitam di mata kiri dan buntutnya, hanya saat itu pertama kalinya Merlin merubah ekspresi menjadi senyum tipis yang hangat. Merlin turun dari kursi berlutut menyambut anak kucing itu.
"Halo, Manis." Suara lembut Merlin memanggil sang kucing yang berlari kecil mendekatinya.
Dulu saat kehidupannya sedikit lebih tenang, Merlin suka sekali membawa makanan kucing ke mana-mana. Namun, kali ini dia tidak pernah membawanya lagi, sehingga Merlin merasa bersalah dan luluh pada suara meongan kucing kecil itu.
"Mau ikut pulang?" tanya Merlin disambut sundulan sayang kepala kucing itu ke kakinya sambil mengeong.
Merlin mengelus-ngelus tubuhnya lalu menggendong si kucing saat bus tiba di halte. Merlin akan membawanya pulang lalu memberinya susu dan makanan.
Meski dia harus menyembunyikan kucing itu dari ayahnya. Rumah Merlin memiliki gudang bawah tanah yang tidak pernah dijamah siapa pun, sehingga gudang itu akan menjadi tempat bagus untuk menyembunyikan kucingnya.
Selama beberapa hari, rencananya berjalan mulus. Merlin merawat anak kucing itu dengan penuh kasih sayang, kucing itu juga yang membuat dia bisa lebih mengontrol dirinya untuk tetap hidup dengan waras.
Kucing itu adalah penopang kehidupannya.
=====
=====
Sore itu, Merlin ingin melepas beban menemui kucingnya di gudang. Namun, hal yang dilihatnya membuat Merlin terbelalak bukan main. Tidak ada kucing di sana, hanya ada percikan merah di sekitar kain tempat kucingnya tidur.
"Kucingku ... sudah mati."
"Kucingmu dibunuh."
"Kucingmu sudah mati Merlin."
Merlin mengepal kedua tangannya, rahangnya mengeras, sesaat seluruh tubuhnya gemetar dimakan amarah.
Berisik.
Merlin mendengar bisikan-bisikan dalam benaknya membuat dia sakit kepala.
"Mari bunuh seseorang yang membunuh kucingmu."
"Ya, kau tahu siapa orang itu."
"Mari bunuh orang itu."
"Bunuh orang itu."
"Ayo bunuh orang itu."
"Ck! Berisik," keluh Merlin.
Kemudian ekspresinya jadi dingin, tubuhnya melemas kembali.
Merlin berjalan keluar dari gudang bawah tanahnya memasuki rumah menuju dapur, dia melewati ruang televisi dengan tenang, ayahnya ada di sana tengah mabuk dengan kemeja kerjanya. Merlin tidak melirik sedikit pun ke arah ruang televisi, dia hanya fokus berjalan menuju dapur.
Di dapur, Merlin mengambil pisau yang paling besar, Merlin tersenyum miring mengusap-usap pisau itu. Dia berjalan kembali menuju ruang televisi mendekati ayahnya dari belakang, saat bayangannya membuat sang ayah menengok, Merlin langsung menancapkan pisau itu ke lehernya sebelum sang ayah berteriak.
Merlin tersenyum lebar saat melihat ekspresi ayahnya yang melotot dan berusaha berteriak tetapi suaranya tidak keluar, leher sang ayah mulai dibanjiri darah yang mengotori kemejanya. Merlin kembali mencabut pisau itu dari leher sang ayah dan menusukkan ke jantungnya.
Dengan suara yang mengintimidasi, Merlin berbisik, "Bagus, diam saja seperti itu. Dunia ini akan sunyi tanpa adanya kau, seperti kucing itu yang menjadi bisu setelah dibunuh olehmu."
Merlin kembali mencabut pisau dari jantung sang ayah, dia mundur beberapa langkah lantas berdiri diam menyaksikan ayahnya yang menggeliat seperti cacing kepanasan. Matanya melotot sambil memegangi lehernya yang sudah robek oleh pisau, dia terkapar di lantai menggapai-gapai udara sambil kejang-kejang.
Dengan ekspresi dingin bercampur sendu, Merlin bergumam, "Ucapan kalian semua tentangku menjadi kenyataan ...."
Merlin terkekeh miris. "Puas kalian?"
Jika dunia tak kunjung menutup mulutnya, Merlin sendiri yang akan menyingkirkan kebisingannya.
Kini suara berisik itu berangsur hilang.
=======================
=======================
Words count : 1300+
Cerpen kedua Rio yang diikutin event WIA!
Enggak makin dark, kan? //senyuman lebar dengan mata berbinar//
Makasih ya yang udah mampir! Rio seneng banget, deh ~
Sampai jumpa di lain cerita!
Salam kece,CryoUmbra
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top