2
Judul: Inteyvat
Fandom: Genshin Impact
Pairing : Dainsleif x Lumine (Fem!traveler)
Rating : T
Summary :
Sang Pelindung memberi salam kepada gadis yang tertidur itu dahulu kala. Kini, ratusan tahun telah berlalu dan gadis itu telah terbangun, sebuah perjalanan baru kembali dimulai. Namun bagi sang pelindung, semua perjalanan itu terasa bagai déjà vu tidak berujung.
-
Warning: Dainslumi, Dainsleif x Lumine, Dainsleif x Fem!traveler, DLDR, Headcannon
-
Disclaimer: Genshin Impact belongs to Hoyoverse. I don't own any of the stories or characters in it.
-"Dain?"
Sebuah suara memanggilnya. Suara yang terdengar lembut, tenang, tapi juga terdengar sangat jauh ... seperti berada di luar jangkauannya.
"Dainsleif!"
Rasa sakit itu datang sedetik kemudian. Menyiksanya seperti hari-hari yang ia lalui sebelum ini, selama entah waktu yang sudah berapa lama berlalu, ia tidak ingat. Ia hanya ingat kapan semua ini bermula dan ... ia tidak ingat lagi apa pun selain itu. Tapi rasa sakitnya, rasa sakit yang menghujani seluruh tubuhnya tanpa henti, siang maupun malam, menyiksanya luar dan dalam, baik dalam keadaan terjaga maupun tertidur, hanya itu yang tidak akan memudar di dalam arus waktu yang kejam.
"Dain?"
Itu dan ... kenangan akan wajah mungil seseorang yang begitu hangat dan lembut ... wajah dari seseorang yang pernah begitu dekat dengannya dan tidak jua lekang ditelan waktu, tapi ... begitu kejam dan dingin menjauh darinya.
Namun ia berbeda. Sosok di hadapannya kini bukan sosok yang ia kenal dulu. Bukan orang yang pernah menjadi rekannya dalam suka duka. Bukan orang yang hanya akan menimbulkan rasa bersalah dan penyesalan tak berujung setiap kali ia melihatnya.
Tidak.
Meski tidak menyebabkan perasaan sakit yang sama, rasa bersalah dan penyesalan itu masih ada. Terutama karena wajah mereka berdua yang begitu mirip ... wajah yang meski punya air muka berbeda, masih saja menyiksanya setiap kali mereka bertukar pandang.
"Lumine....?" Suara Dainsleif parau dan lemah.
Rasa sakit menyerang dadanya dan ia pun ingat, kutukannya masih berjalan. Ia masih bersama dengan saudari dari rekan seperjalananya dulu. Tapi bedanya, ia semakin parah sekarang.
"Lumine." Dain memanggil lagi ketika melihat Lumine menuangkan segelas air. "Apa yang kau....?"
"Apa kau sanggup bangun?" Lumine meletakkan sedotan di air yang telah ia tuangkan. "Kalau tidak bisa, tidak apa-apa." Ia pun berlutut tepat di samping wajah Dain, menawarkan segelas air itu kepadanya, bahkan repot-repot mengarahkan mulut sedotan itu ke bibirnya. "Minumlah. Sejak pingsan dua hari lalu, kau belum minum."
Dua hari? Pingsan? Dain tidak ingat sama sekali. Dan ia tidak berusaha mencoba untuk mengingatnya. Telah lama waktu bagi dirinya terlepas dari waktu teyvat. Tidak peduli sekeras apa pun ia mencoba mengembalikan ingatan dan waktu dari dirinya, tidak pernah ada cara yang berhasil. Jadi Dain menganggap fenomena ini adalah bagian dari kutukannya dan tidak terpisahkan sampai kapan pun. Ia sudah belajar menerima itu.
Jadi alih-alih bertanya kenapa dan bagaimana ia bisa pingsan, Dain mengamati tempatnya berada. Sebuah rumah dengan atap kayu rendah dengan arsitektur Mondstaat baru terlihat di setiap sudut.
"Aku ada di Mondstaar?' tanyanya setelah selesai meminum air dari gelas Lumine.
'Ya, kami harus membawamu sepanjang jalan dari Stormterror's Lair, kau ingat? Kau ditemukan di sana oleh beberapa petualang dari Adventurer's Guild." Jelas Lumine. "Paimon berkali-kali mengeluh kau berat."
"Maaf merepotkan."
"Hei!" Pintu tiba-tiba terbuka, menampilkan Paimon membawa satu nampan berisi air yang sedikit tumpah. "Paimon dengar ada yang membicarakan soal Paimon! Paimon harap tidak ada yang membicarakan Paimon di belakang!"
"Terima kasih sudah membawakan air yang baru, Paimon." Lumine buru-buru berdiri dan meraih ember itu. "Wah, masih dingin."
"Hehe, tentu saja!" Paimon berkata bangga. "Paimon mendinginkannya dengan mist flower di ruang bawah tanah. Pasti masih dingin!" Kemudian sang pemandu perjalanan membawakan ember itu ke dekat Lumine. "Ini, gunakan ini untuk mengkompresnya! Siapa tau, dengan begitu demam Dain akan segera turun!"
"Kau tidak perlu ... melakukan hal yang sia-sia begitu."
"Eh?" Paimon dan Lumine melongok tidak percaya.
"Apa maksudmu?" Paimon bertanya heran.
"Ini bukan demam yang bisa disingkirkan dengan air dingin."
Dainsleif menutup matanya, mencoba meredakan rasa sakit yang menyiksanya dari dalam itu, hanya dengan kekuatan tekad. Seperti biasa. Jika ada orang di dekatnya, ia tidak bisa menggunakan "itu". Tidak tanpa membuat Lumine terlibat lebih jauh dengan Abyss. Ia tidak mau itu. Ia tidak mau menanggung beban yang lebih berat dari rasa bersalahnya pada orang-orang Kha'enriah. Jangan sampai ia juga ikut terbebani oleh rasa bersalah pada saurari kembar Aether.
"Sudahlah, kalian pergi saja," Dain berkata untuk kali terakhir. Ia mencoba untuk tidak terdengar kasar, tapi di situasi sekarang ketika kepalanya kacau oleh rasa sakit, berpikr jernih itu sangat sulit. "Ini bukan sesuatu yang bisa kalian tangani."
Diam. Tidak ada balasan. Tapi Dain masih merasakan keberadaan orang-orang di sekelilingnya. Lumine belum pergi. Begitu pula Paimon. Tapi entah kenapa mereka tidak bicara sama sekali.
Sampai tiba-tiba terdengar kembali suara.
"Meski begitu setidaknya air dingin bisa membantu membasuh wajahmu, Dain."
Dain melongok, mengintip dari balik tangan yang menutupi wajahnya. Hanya untuk melihat Lumine yang tersenyum lembut kepadanya.
"Kau berkeringat banyak sekali. Setidaknya dengan air dingin dan kompres, kau bisa sedikit lebih menahan demam ini."
Suara yang lembut, kepedulian yang tidak pada tempatnya, tekad yang begitu sulit ditaklukkan seperti bocah yang keras kepala, memikirkan semua itu membuat Dain lemas. Tangannya jatuh begitu saja ke atas kasur, meninggalkan dirinya tidak terlindung apa pun. Terdengar sayup-sayup nama memanggilnya.
"Terserah kau saja."
Dain membuka mata sekali lagi. Bayangan dari masa lalu dan masa kini bercampur. Wajah Lumine yang tersenyum, dekat sekali dengannya, dan menyapukan kain dingin ke wajahnya, tumpang tindih dengan sosok dirinya yang tertidur di dalam peti ratusan tahun lalu, tidak sadarkan diri, belum bangun dari perjalanan yang dikatakan Lumine sangat jauh dan berasal dari dunia lain. Imaji itu berpadu dengan gambaran masa lalu lain, dari sosok yang serupa, namun bukan Lumine. Sosok yang dulu begitu hangat mengulurkan tangan kepadanya seperti seorang sahabat.
Sayang di pertemuan terakhir mereka, senyum hangat itu hilang, berganti wajah yang beku diisi oleh mata yang getir, seolah sudah menyaksikan terlalu banyak keputus asaan tanpa adanya harapan. Uluran tangan itu berhanti hunusan pedang yang terarah tanpa ragu ke arahnya.
"Dia adalah musuhku."
Saat suara yang dingin itu bergema di seluruh ruang mencekam domain itu, Dainsleif melirik ke arah Lumine. Menyaksikan betapa gadis itu begitu putus asa dan sedih.
Dialah yang paling merindukan Aether. Dia yang paling berhak disayangi oleh Aether. Tapi alih-alih reuni hangat dan kepulangan yang dinanti, mereka justru menghadapi kenyataan bahwa mereka ada di sisi yang berseberangan. Kehangatan Aether menghilang, berganti dengan sosok yang hampir asing di mata Lumine. Sosok yang sudah pasti tidak pernah diduga oleh gadis itu.
Dan menyadari dirinya juga berkontribusi pada berubahnya Aether menjadi seperti itu, hanya membuat sakit dan sesak di dada Dainsleif semakin parah.
Dalam kesadaran yang semakin lama semakin jauh, tertelan oleh gugusan bintang yang berpendar membentuk pusaran abadi dan warna biru indigo yang mirip seperti warna langit malam di Kha'enriah, Dainsleif merasa bibirnya menyebutkan satu nama.
Maaf.
Entah itu nyata atau tidak, Dain tidak tahu. Entah ia mengatakannya dengan lisan ataukah ia sudah masuk ke alam mimpi, ia sama sekali tidak bisa lagi membedakan.
Yah, itu pun tidak penting lagi sekarang.
"Kenapa kau meminta maaf, Dain?"
Suara lembut Lumine terdengar. Bergema kencang.
Ah, sudah pasti ini hanya mimpi.
Jadi ... karena ini mimpi, artinya ia bebas melakukan apa pun, kan? Termasuk mengatakan ... apa saja....
"Untuk banyak hal ... terlalu banyak sampai aku tidak bisa menyebutkannya satu demi satu...."
Terlalu banyak dosa, terlalu banyak kesalahan yang tidak bisa dihapus, terlalu banyak perandaian untuk waktu yang tidak akan pernah terulang, tempat yang tidak akan pernah berdiri lagi, dan orang-orang yang tidak akan pernah hidup kembali.
"Jika saja aku lebih bertekad, jika saja aku punya lebih banyak kekuatan ... aku...."
"Aku baru saja terbangun di Teyvat, Dain." Suara Lumine menginterupsi dengan lembut. "Dan di awal perjalanan ini, aku sudah bertemu dengan kakakku. Bukankah itu artinya bagus? Artinya aku dan Aether tidak seberapa jauh."
"Apa maksudnya itu?" Dain menggertakkan gigi. "Kalian terpisah dua faksi. Dibandingkan situasi ini, akan lebih baik jika kalian terpisah satu benua saja."
"Tapi kakakku tidak terlihat membenciku, kan?" Lumine menyahut. "Dia masih ingat apa yang kami percayai sebagai rumah. Ia berjanji kami akan bertemu kembali...."
Suara Lumine terputus. Dain membuka mata ketika ia tidak lagi mendengar suara-suara apa pun dari Lumine, mengira gadis itu telah pergi dari sisinya. Tapi ternyata belum. Gadis itu duduk sendiri, tanpa Paimon di sisinya. Kepalanya menunduk.
"Kakakku hanya berjanji akan menunggu ... dia bilang aku akan mengerti segalanya setelah perjalanan ini berakhir...." Dain perlahan, mencoba bangun, meski itu memakan seluruh tenaganya. Meski ia harus menahan rasa sakit untuk itu.
Di sisinya, Lumine mengepalkan tangan di pangkuan. Sosoknya yang menundukkan kepala tampak bagai seorang pejuang yang telah terpukul mundur oleh kenyataan pahit yang tidak disangka-sangka.
"Tapi ia tidak bilang ... ia tidak bilang kita akan pulang." Tubuh Lumine bergetar. "Ia bilang, ia punya cukup waktu untuk menungguku. Ia bilang, kami selalu punya cukup waktu, tapi ... kapan waktu itu akan tiba? Sampai berapa lama? Berapa lama lagi aku harus bertualang sendirian di dunia ini....? Dan apa ... apa yang kiranya akan aku temui di akhir perjalananku nanti jika Aether saja sampai berkata seperti itu...."
Ketakutan. Dain merasakan ketakutan pekat dari suara Lumine.
Dalam senyap malam, remangnya cahaya, dan kesunyian suasana, mereka seolah terlempar kembali ke suasana gelap Chasm tempo hari, ketika mereka menyaksikan pengorbanan Halfdan. Di sana, baik Dain maupun Lumine, mengungkapkan sedikit kekhawatiran merena satu sama lain. Sedikit mengungkapkan keraguan, kecurigaan, dan bahkan pertanyaan-pertanyaan pribadi yang tidak pernah bersedia dijawab Dain jika yang bertanya adalah orang lain.
Sekarang Lumine sekali lagi menunjukkan ketakutannya. Mungkin, ia sudah melihat hal-hal yang tidak diinginkan lagi. Biar bagaimanapun, waktunya di dunia ini terus berjalan dan semakin lama, ia akan semakin memahami cara kerja dunia ini. Melihat berbagai kebenaran yang disembunyikan, dan mungkin ... harus menghadapi kenyataan yang tidak akan pernah ia duga.
Wajar jika ia ketakutan. Di sampingnya hanya ada Paimon. Tidak ada orang lain. Paimon pun, bukan seseorang yang dikenalnya. Mereka mungkin rekan seperjalanan, tapi ... mereka tentunya tidak bisa terbuka satu sama lain.
Sama seperti ... dirinya dan Aether di masa lalu. Sama seperti hal ... yang memecah mereka berdua di akhir perjalanan.
"Aku akan sangat bahagia saat kita bertiga bertualang bersama nanti, Dain!"
Dain ikut terdiam, terbawa suasana oleh Lumine yang juga terdiam. Dain tahu, Lumine sedang menahan tangis. Biar bagaimanapun, Lumine baru saja mengatakan sesuatu yang pribadi. Ia tidak akan menambah beban dan rahasia yang diperlihatkannya kepada orang yang tidak bisa dipercaya seperti dirinya. Sudah cukup menunjukkan kelemahan, jangan sampai ada air mata.
Kemudian mata Dain tertuju pada bunga Inteyvat yang ada di kepala Lumine. Bunga yang dulu ia dan Aether berikan. Bunga yang mereka berdua berkati dengan doa, agar ketika bangun nanti, mereka bertiga bisa bertualang bersama.
"Kalian akan bertemu lagi."
Ucapan itu keluar dari mulut Dain. Begitu saja, selayaknya berkat yang pernah ia berikan kepada Lumine dahulu saat gadis itu masih tertidur dalam peti. Meski ia mengucapkannya tanpa pikir panjang, Dain tidak menyesal. Dan ia tidak berniat menarik kata-katanya. Tidak sekalipun, Lumine sedang menatapnya penuh tanda tanya sekarang.
"Kalian akan bersama lagi dan kalian akan pulang." Dain berkata, lembut tapi penuh tekad. Matanya dan mata Lumine saling bertatapan. Mata emas Lumine dan mata biru milik Dain. "Aether bukan orang yang suka membual apalagi melanggar janji. Jadi ... kau hanya perlu percaya padanya. Kau tidak perlu percaya padaku, kau juga berhak ragu akan semua hal mengenai dunia ini, tapi aku berani jamin padamu, kalau di akhir perjalanan ini, dia menunggumu dan kalian akan pulang bersama."
"Begitukah?" Lumine berujar. Suaranya lembut, tapi berbalut kesedihan. Meski begitu, sang gadis tetap berusaha tersenyum. "Jika kau sampai bilang seperti itu ... artinya kakakku tidak berubah selama ratusan tahun. Syukurlah."
Dain menundukkan kepala. "Orang keras kepala seperti dia mana bisa berubah semudah itu."
Lumine tertawa pelan. "Benar." Kemudian setelah tawanya reda, Lumine mengucapkan satu kata: "Terima kasih." Kepada Dain.
Mendengarnya, Dain memalingkan wajah. "Kau tidak perlu berterima kasih."
"Oh, ya, dari kata-katamu tadi ... kau kedengaran sangat mengenal kakakku," Lumine dengan lembut mengalihkan topik. "Apa kau bisa menceritakan sedikit ... soal kakakku yang kau ketahui?"
Kali ini Dain terdiam. Ia memejamkan mata sejenak dan menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Ia mencoba mengingat, menggali ke dalam ingatannya yang telah gelap, diselimuti kegelapan tak berdasar dari abyssal power. Hanya bintang yang berpendar yang ia lihat di dalam kegelapan itu. Tidak peduli seberapa keras ia mencoba mencari serpihan ingatan atau mencoba meraih salah satu bintang itu dan melihat apakah ingatannya ada di sana, ia tidak bisa melakukannya. Semua itu terlalu mustahil.
"Maaf," Dain berucap, kembali membuka mata. "Aku tidak bisa mengingatnya."
Dan seperti itulah, percakapan mereka berakhir malam itu.
***
Malam telah larut ketika Dain kembali sadar. Sakit dari kutukannya telah mereda, begitu pula dengan demam di tubuhnya. Bulan telah tinggi di luar. Cahayanya sampai dan masuk ke dalam ruangan, menerangi tempat yang samar-samar itu. Di sisinya, Lumine tertidur di atas kursi dengan kepala bersandar ke tepian ranjang. Salah satu sisi kepalanya menghadap ke arah Dain.
Sisi kepala tempat bunga Inteyvat berada.
Ingatan Dain mengembara ke salah satu dari sedikit kenangan yang tersisa di dalam kepalanya. Ingatan soal dirinya dan Aether yang memberkati bunga di kepala Lumine, berdoa untuk gadis ini seakan ia akan bangun esok hari dan mereka akan memulai petualangan bersama.
Tanpa sadar, tangan Dain menyentuh kelopak bunga itu, merasakan kelopak yang kaku di bawah sentuhan jarinya. Seperti menyentuh kertas perkamen.
Inteyvat adalah bunga nasional dari Kha'enriah. Bunga itu akan bertahan selama dua minggu sebelum akhirnya layu dan mati. Tapi jika dipetik dari tanah, kelopak bunganya akan mengeras dan kaku. Hanya jika kembali ke tanah Kha'enriah-lah, bunga itu akan berubah menjadi debu dan lenyap.
Simbol dari petualang yang jauh dari rumah. Sebuah janji untuk pulang kembali jika petualangan sudah selesai. Ironis bagi Dain, ketika petualangannya berakhir, rumah tempatnya pulang musnah. Ia tidak lagi punya tempat kembali dan kini, terpaksa mengembara selamanya, sampai tubuh ini hancur atau dirinya ditelan kutukan.
Sekali lagi, Dain menyentuh kelopak bunga Inteyvat di kepala Lumine, mengenang saat-saat damai, ketika ia bisa dengan mudahnya memetik Inteyvat dan menaruhnya di kepala gadis yang masih tertidur itu, ketika berkat darinya yang Sang Pelindung bisa berarti sesuatu.
Perlahan, Dain menunduk, mengecup kembali kelopak bunga itu, seperti di masa lalu saat ia pertama kali menaruh bunga itu di kepala Lumine. Lalu, seperti di masa lalu, Inteyvat menerima berkahnya. Putik bunga itu menyala indigo, seperti warna kekuatannya. Mendengar berkat dan doanya.
"Semoga kau bisa pulang bersama dengan kakakmu suatu hari nanti ... Lumine."
Di sudut dunia, tempat mata para dewa tidak tertuju, mimpi mengambang dan bersiap untuk terbang mengangkasa di gelapnya malam, menerangi kegelapan dengan cahayanya yang seperti bintang. Apakah bintang itu bisa bersinar selamanya ataukah redup ditelan kuasa dan hukum yang tidak bisa dilanggar? Hanya waktu yang bisa membuktikannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top