93 - Is this the end?

Rafael Lazuardi

*Bab ini didominasi dengan dialog.

"El, kamu jahat."

Aku tertawa geli melihat ekspresi kesal Zara. Ia memandang ke luar jendela dengan tatapan ngeri, sesekali bergidik jika ranting-ranting pohon bakau mulai bergerak mengayunkan dedaunannya. Aku tahu betul mengajaknya ke tempat ini bukan sesuatu yang tepat. Zara tidak berkata kalau membencinya, tetapi waktunya yang salah.

"Kan, ada aku." Aku mengatakannya sembari mengedipkan sebelah mata, untuk menggodanya. Namun, aku lupa kalau Zara tidak akan mengerti kode-kode seperti itu.

"Aku nggak mau keluar. Dingin, El."

"Tenang aja. Nanti dipeluk." Kuulurkan tanganku padanya seolah-olah ingin memeluk.

Zara memicing kepadaku dan menggeleng pelan. Sikapnya sudah seperti menghadapi seseorang yang tidak patuh aturan, atau seseorang yang tidak bisa ditegur. Tanganku lantas jatuh di kedua sisi tubuh.

"Nggak mempan," sahutnya lemah dan memandang ke luar jendela lagi.

"Zara ... kamu mau aku cerita, 'kan?"

"Cerita di sini aja. Nggak usah keluar. Kamu sengaja mau nyiksa aku, ya?"

Aku mengangkat tangan dan melambai cepat, seiring dengan gelengan. Andai Zara tahu, itu adalah hal terakhir yang ingin kulakukan padanya. Mana mungkin aku tega menyiksa istriku sendiri–maksudku, calon istri.

Aku memandang ke luar jendela di sebelah Zara. Angin mungkin memang bertiup lumayan kencang hingga menggerakkan dedaunan pohon bakau yang sangat besar. Samar-samar suara debur ombak mengalun indah di telinga. Pantai benar-benar sangat indah di malam hari. Namun, kurasa hanya aku yang berpendapat demikian, tidak dengan Zara.

"Aku udah bawa selimut dan jaket tambahan, Ra. Aku akan memelukmu sepanjang malam kalau mau."

"Kayak udah kamu rencanain."

Aku tersenyum kaku dan menggaruk tengkukku yang tidak gatal. "Sebenarnya ... aku sudah menyimpan itu di bagasi belakang sejak tahu kamu mengidap hipotermia, tapi tenang aja, semuanya masih baru dan dibungkus plastik." Sebelum ini, aku tidak pernah malu mengungkapkan apa yang kuperbuat untuk kekasihku. Namun, dengan Zara ... aku tidak mengerti apa alasannya aku sampai merasa sangat gugup. Ini seperti aku baru melakukannya pertama kali.

"Tapi di luar sana rasanya mengerikan. Aku nggak mau merasa sesak kayak waktu itu lagi."

Aku meraih tangan Zara dan menggenggamnya erat, sembari berharap tanganku cukup hangat untuknya. "Aku nggak akan biarin itu sampai terjadi, Ra."

Akhirnya Zara mengangguk. Aku bergegas keluar dan mengambil jaket tebal serta selimut yang kumaksud. Tak lupa pula alas untuk duduk berbahan lembut. Kuharap itu akan membuat Zara nyaman.

Zara menggandeng tanganku sangat erat, padahal sudah dipakainya jaket tebal yang kubawakan untuknya tadi. Tangan Zara mulai terasa dingin meski kami baru berjalan sebentar di pesisir. Punggungnya tampak tegang. Aku sangat ingin merangkulnya, tetapi tanganku yang satunya sedang repot membawa alas duduk dan selimut.

"Di sini aja, jangan dekat-dekat air."

Aku melihat ke depan kami, ini bahkan masih sangat jauh dari air. Suara ombak pun masih samar-samar terdengar, belum cukup mengetuk pendengaran dengan nyanyian alamnya yang indah. Aku maju dua langkah lagi, tak peduli Zara akan menolak karena tangannya kugenggam erat—ia tidak akan mampu melepaskan diri.

"El!" Ia memperingati, tetapi tetap ikut maju.

Aku hanya tersenyum kepadanya sembari maju dua langkah lagi. Apa gunanya ke pantai jika tidak bisa menikmati pemandangan lautnya.

"Sedikit lagi, Ra."

"Kamu melangkah sedikit-sedikit, kalau ditotal jadi banyak, lho." Kini ia berpegangan semakin erat padaku, dengan dua tangan. Persis seorang anak yang takut kehilangan ibunya di tengah-tengah pasar.

"Ini serius dikit lagi."

Setelah dirasa pas, aku melebarkan alas duduk di atas pasir. Kemudian menyampirkan selimut tebal tadi ke bahu Zara sebelum mengajaknya duduk bersama di atas alas. Tak ada makanan atau minuman di sini, mengingat kami sudah makan malam dan Zara menolak ketika kutawari apakah ingin membeli makanan lagi.

Untuk beberapa saat, kami saling diam. Desir ombak menemani kesunyian malam yang dingin ini--dingin bagi Zara, karena aku tidak memerlukan selimut untuk ini.

"Sampai kapan kamu bakal bicara?"

Aku menoleh dan pandanganku jatuh pada Zara yang sudah membungkus tubuhnya dalam selimut.

"Kamu mau dengar dari mana?"

Zara mengulum bibirnya sebelum membalas, "Sejak awal, hal spesial apa yang ada di antara kalian, dan kenapa sampai berpisah? Aku ... penasaran setengah mati."

Aku bernapas beberapa saat sebelum benar-benar yakin untuk memulai. Ini mungkin akan membuka luka lama, tetapi sebagai calon istriku, Zara berhak tau. Setidaknya untuk meminimalisir terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan suatu saat nanti.

"Saat awal bekerja di luar kota, aku mendapat tekanan. Kamu tahu aku cuma sendiri, 'kan? Dan sejak kuliah aku sudah salah mengambil metode untuk mengatasi kesendirian. Itulah alasanku berkencan dengan banyak perempuan. Aku dan orangtuaku sempat berselisih selain karena aku kecewa dengan kurangnya perhatian mereka, aku juga nggak mau menetap di tempat mereka yang sekarang untuk meneruskan bisnis penerbitan. Itu sama sekali bukan bidangku. Aku nggak bisa, aku lebih suka menantang diriku sendiri."

"Aku dan Daria direkrut bersamaan. Saat itu yang tersisa hanya kakeknya. Kami banyak menghabiskan waktu bersama, sampai akhirnya aku jatuh cinta. Kami memiliki banyak kesamaan, saling memahami kondisi satu sama lain, dan saling mengobati kesepian yang kami rasakan. Kupikir aku nggak bisa hidup tanpa Daria, dan dia juga berpikir seperti itu. Namun, dia lebih lagi, sampai bergantung padaku. Dulu, aku senang saja menjadi sandarannya." Aku diam sebentar, sekadar untuk memastikan kalau Zara masih terjaga.

"Lanjutkan, El," ujarnya pelan.

"Kami memang sering bersama, tapi kami tidak pernah melakukan hal-hal di luar batas. Aku masih sadar untuk tidak berbuat hina kepadanya. Aku menjaganya dan itulah caraku mencintai."

"Sebenarnya aku nggak perlu mendengar hal itu. Apa pun yang pernah kalian lakukan, akan tetap tinggal di masa lalu, 'kan? Kecuali kalau kamu mengulanginya lagi."

Aku terkekeh tak percaya pada responsnya, lalu menggeser tubuhku agar menempel dengannya. Rasanya melegakan karena Zara sama sekali tidak menghindar. Karena itu aku memberanikan diri untuk mencubit pipinya.

"Kenapa aku mau melakukan itu lagi? Perasaanku ke dia udah nggak ada, Ra."

Zara tidak langsung menjawab, dan saat menatapku, matanya sudah berkaca-kaca. "Kamu tahu? Aku masih pesimis soal kesetiaan seorang pria, El. Bukan bermaksud tidak percaya padamu, tapi ... semakin aku jatuh cinta, semakin takut aku kehilangan kamu. Apa itu aneh?"

"Aku pun merasakan hal yang sama." Aku membalas setelah mendaratkan kecupan ringan di dahinya. Tanganku sudah berada di bahu Zara, memberi usapan yang kupikir akan menenangkannya.

"Lalu, bagaimana kalian berpisah?"

"Oke. Jadi, ada pria bernama Dion di kantor. Dia jauh lebih ambisius dariku dan menjadikanku saingannya untuk promosi jabatan. Dia membuatku lengah dengan mendekati Daria. Aku sibuk dengan tugas-tugas, sementara mereka yang mendapat proyek bersama ternyata semakin dekat. Dua bulan setelahnya, Daria berkata kalau Dion akan melamarnya. Sebenarnya aku tahu tentang ini pun dari Daria. Mungkin dia menungguku terlalu lama, padahal kami baru bersama selama tiga tahun. Namun, keputusannya mengakhiri hubungan kami sungguh keterlaluan."

"Dan soal Mama ... aku jarang pulang sejak kuliah, jadi Mama yang lebih sering datang menemuiku, otomatis dia juga berkenalan dengan Daria. Sebelum akhirnya aku luluh dan gantian membawa Daria ke rumah Mama. Di situlah kedekatan mereka berasal. Mama mudah dekat dengan siapa saja, dan Daria juga berhasil menarik perhatian Mama sebagai wanita yang mandiri karena sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi."

"Ya ... Daria memang punya potensi untuk membuat orang lain menyukainya. Itu yang terjadi saat dia pertama bekerja."

Aku mengangguk-angguk sembari menatap ke laut di hadapan dan melanjutkan, "Daria mungkin sudah memimpikan sebuah keluarga sejak lama, jadi dia menerima lamaran Dion dan bertunangan tak lama kemudian. Aku hancur saat itu, Ra. Sudah banyak hal yang kami rencanakan, tetapi dia meninggalkanku. Aku nggak sanggup melihat kebersamaan mereka. Dan ketika perusahaan berencana untuk membuka cabang di sini, aku pun menawarkan diri untuk dipindahkan. Hingga promosi jabatan itu didapatkan Dion."

"Dan pas sekali, kepindahanku beberapa hari sebelum acara reuni kelas kita diadakan. Awalnya aku sudah berencana nggak datang. Tapi karena sudah di sini, aku mulai mempertimbangkannya."

"Karena itu kamu nggak langsung ke gedungnya dan memilih berkeliaran di jalan?"

Aku menatapnya lagi. "Kalau waktu itu aku nggak jalan-jalan, aku nggak akan tahu kalau kamu diikutin cowok aneh. Tapi percayalah, aku mensyukuri pertemuan kita. Mungkin memang ada alasan kenapa kita dipertemukan."

"Kamu selalu berhasil membuat semua ini sangat meyakinkan." Aku sempat melihat wajah Zara memerah sebelum dahi kami menempel. Aku yang lebih dulu mendaratkan dahiku ke miliknya.

"Aku nggak mau kehilangan dua kali, Ra. Dan ... aku udah berkomitmen untuk membersamai kamu seumur hidup."

"Hm hm." Zara menarik dirinya hingga dahi kami tidak lagi bertemu. "Dan kamu belum benar-benar ngelupain perasaanmu ke Daria, 'kan? Kamu sebegitu perhatiannya sama dia."

"Jadi, waktu itu aku diancam Mama. Sebelum Mama kenal kamu. Tunggu, apa kamu yakin mau dengar ini?"

Aku memandangnya hati-hati, takut apa yang kuceritakan padanya setelah ini akan melukainya.

"El, aku udah minta kamu untuk cerita, dan aku yakin udah siap mendengar semuanya."

Sebelum mulai bicara lagi, aku mencari tangannya untuk kugenggam erat, berharap bisa menggantikan selimut dan membuatnya hangat.

"Awalnya Mama masih berharap aku bisa kembali bersama Daria, tentunya karena Mama masih percaya apa yang diceritakan Daria—dan aku nggak tahu apa yang dia katakan kepada Mama. Dan aku terlalu pengecut untuk menceritakan yang sebenarnya. Maaf, Ra. Dan waktu itu Mama mau merestui kita asal aku masih bersedia membantu Daria selama di sini. Itulah kenapa aku sering menghilang untuk membantunya. Aku nggak bisa ngasih tahu kamu karena takut kamu akan terluka, Ra."

Zara mengangguk kecil, sangat lemah sampai aku mengira ia enggan melakukan itu dan hanya ingin menunjukkan respons yang baik. Untuk mengatasinya, aku menarik tangan Zara dan mengecup punggungnya cukup lama.

"Itu udah berakhir, Ra. Mama nggak lagi menjadikan restu kita sebagai ancaman. Dia menerima hubungan kita."

"Aku baik, El. Sungguh. Aku ... sedang berusaha untuk percaya yang baik-baik aja tentang kita."

Aku mengecup tangannya sekali lagi.

"Dan Daria tahu kalau aku sangat patah hati. Setelah tahu Dion hanya memanfaatkannya untuk menghancurkanku, dia juga patah hati. Aku tidak pernah tahu dia akan seniat itu pergi ke kota ini. Dia berusaha kembali padaku, Ra. Karena dia percaya bahwa kami membutuhkan satu sama lain. Dulu, itu mungkin benar, tapi sekarang aku sadar, bersama dengannya atau tidak, aku tetap baik-baik saja. Aku masih mampu menjalani hidupku dengan baik."

"Dan aku nggak tahu kalau Daria sampai terobsesi. Dia terlalu bergantung padaku karena kebersamaan kami dulu. Dia juga yakin kalau masih ada sesuatu di antara kami. Hanya karena aku tidak pernah meninggalkannya, dia pikir aku masih mencintainya dan menganggap kamu cuma pelampiasan."

"Awalnya begitu, 'kan? Aku cuma pelampiasan."

"Ra ... aku berusaha melupakannya dan sekarang justru terjerat dengan pesonamu." Kujatuhkan kepalaku di bahunya, sedikit bermanja-manja untuk menunjukkan bahwa aku mengatakan yang sebenarnya. "Now I'm stuck with you."

"Hm hm. Lalu apa lagi? Apa hanya itu yang membuatnya merasa sampai harus resign demi melupakan kamu?"

Sekarang aku dibuatnya berpikir. Aku tidak tahu apa lagi yang harus kuceritakan selain itu. Karena hanya sebatas itu hubungan kami. Selebihnya, itu tentang apa yang dirasakan Daria kepadaku.

"Itu ... aku juga nggak tau, Ra. Mungkin dia sedang berusaha melupakanku, jadi dia memutuskan pergi."

"Kalian benar-benar sama. Pergi untuk melupakan. Seandainya kita nggak ketemu, apa kalian akan kembali bersama?"

Aku mengerutkan hidung dan menggeleng. Itu sama sekali tidak pernah kubayangkan akan terjadi. Dion dan Daria dulu sering kali menunjukkan romantisme, yang mana membuatku panas. Hingga meyakinkanku bahwa mereka tidak akan terpisahkan.

"Aku nggak tau, Ra, tidak pernah terpikirkan akan kembali dengannya. Mungkin dia memang mau melepaskan diri dariku. Bukankah itu bagus?"

Zara menarik tangannya dariku dan disembunyikan kembali dalam selimut. Angin berembus kencang dan kupikir itu yang membuatnya mengeratkan selimut.

"Tapi dia baru diloloskan menjadi karyawan tetap. Sayang kalau dia pergi."

"Dan kamu masih memikirkan dia setelah apa yang dia perbuat ke kamu?" Dahiku berkerut, respons Zara benar-benar sangat tidak terduga. Zara benar-benar wanita dengan hati yang bersih. Aku tidak akan menyangka kalau ia sangat terluka. Hanya orang-orang keji yang tega menyakitinya. Dan, ya, aku pernah menjadi salah satunya.

"Aku bicara sebagai mentornya." Zara memutar kedua bola matanya dan itu membuatku gemas. Aku mendekat dan memeluknya erat. Sayangnya, selimut tebal yang membungkusnya lumayan merepotkan.

"El, kurasa kita harus pulang sekarang."

"Kenapa?" sahutku sembari menyamankan posisi, masih dengan memeluknya.

"Udaranya semakin dingin."

"I can make you warm."

Yang kudengar kemudian adalah geramannya. "Aku serius, El."

Aku menarik diriku hanya agar aku dapat melihat wajahnya. Kedua tanganku berada di kedua lengannya, lalu memutarnya agar berhadapan denganku. Mataku menyapu wajahnya yang indah bermandikan cahaya bulan malam ini. Zara adalah definisi dari keindahan. Dan aku benar-benar sangat mencintainya. Sungguh.

"I'm so in love with you, Zara." Sebelah tanganku merambat naik untuk menyingkirkan beberapa helai rambut yang tertiup hingga menutupi wajahnya, sementara sebelahnya lagi menyusul untuk menangkup pipinya.

Wajahku mendekat perlahan, setelah tahu Zara tidak memberikan perlawanan, aku mulai menghujani wajahnya dengan kecupan ringan. Mata, pipi, dahi, dan hidungnya yang dingin. Zara tersenyum ketika aku melakukan itu dan itu berhasil menulariku.

"I love you too, El."

"Then, once again, will you marry me?"

"Yes!"

Sekali lagi aku mendekatkan wajahku, kali ini tidak pelan-pelan lagi. I kiss her, again. Kali ini dengan lebih lembut, berharap perasaanku tersampaikan padanya. Tentang aku yang tidak ingin kehilangannya, tentang betapa aku ingin membahagiakannya, tentang betapa aku sangat ingin memilikinya untukku sendiri, dan melakukan semua hal menyenangkan bersamanya.

Ya. Aku berjanji, tidak akan melepas Zara apa pun yang terjadi.

*
*
*

Habiskah?
Or maybe aku perlu menulis beberapa bab lagi tentang mereka?
Jadi, kerandoman apa yang kutulis ini? Part ini mungkin ngebosenin, karena isinya juga sama kayak yang udah-udah. But, I think I have to write this. Karena El belum ceritain ke Zara sih. You may skip this boring part and wait for the real ending. Hiks.
Gak sanggup pisah sama mereka aku tuu. 🤧

Thank you and see you on next chapter, guys—I supposed 💚
*Sambil menunggu, bisa samperin ceritaku yang lain, mungkin salah satunya juga selera bacaan kalian. 🙈

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top