91 - Almost
Zara Naulia
Napasku tersendat-sendat ketika El menempelkan dahinya dengan milikku. Yang tadi itu terlalu memalukan. Aku sampai tidak berani membuka mata dan menemukan caranya menatapku. Ini bahkan bukan sesuatu yang kupikir akan terjadi. Walau bukan yang pertama kali—aku ingat El pernah melakukannya secepat kilat, tetapi yang tadi itu aku tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikannya. El membuat detik-detik yang berlalu tadi begitu hangat dan mendebarkan. Mengingatnya tak berani, tetapi masih terus membayang di kepalaku.
"Zara," panggilnya dengan suara serak. Embusan napasnya terasa panas di wajahku; karena jarak wajah kami terlalu dekat.
"Ya?"
"Apa kamu memaafkanku?"
Aku merasa pilu saat mendengar suaranya, sarat akan pengharapan. Mungkin berharap aku akan menjawab iya. Apa selama ini aku sekejam itu?
"Aku nggak punya alasan buat menjaga jarak darimu lagi."
Jari-jarinya bergerak pelan di pipi dan rahangku. Aku bisa mendengarnya tersenyum. Aku memanfaatkan seluruh indra, kecuali mata, untuk merasakan kedekatannya. Setelah ini, lalu apa?
"Maaf sudah melibatkan Mama dalam masalah kita. Aku bahkan nggak menyangka Daria akan datang dan mendapatkan bumerangnya." El terkekeh dan segera menarik diri dariku. Aku sudah bisa bernapas lega dan membuka mata. Senyumnya yang memamerkan lesung pipit sungguh indah. "Maaf sudah membuatmu berjuang sendirian. Maaf karena membiarkanmu kerepotan sendirian. Maaf karena nggak jujur dari awal. Maaf karena membiarkanmu merasa nggak nyaman atas kehadiran Daria. Maaf. Aku nggak tahu berapa banyak maaf lagi yang harus kuucapkan untuk menebus semua kesalahanku."
"Kamu keterlaluan, El. Aku nggak tahan dan sudah berdoa agar aku ikhlas kalau seandainya semesta mengembalikanmu kepada Daria." Aku sendiri sebenarnya tidak yakin atas apa yang kukatakan, tetapi aku ingat pernah memimpikannya.
Ruang makan di rumah El jadi sangat tenang dan penuh kehangatan saat ini. Meski AC masih berembus dan beberapa kali membuat bulu kuduk meremang. Aku hampir melupakan keberadaan Mama, Felix, dan Daria. Apa yang mereka lakukan sekarang? Apakah insiden tadi dilihat mereka? Kuharap tidak.
"Apa yang harus kulakukan agar kamu memaafkanku?"
"Cukup jadi sebaik-baiknya kamu. Pernikahan kita untuk selamanya, El. Aku nggak mau kalau pada akhirnya kamu menyesal sudah memilihku. Aku memberimu waktu untuk meyakinkan diri. Kupikir itu baik untuk kita berdua."
El meraih tanganku, menggenggamnya sangat erat. El ingin memelukku, tetapi tidak jadi ketika sebuah suara memisahkan kami. Felix berjalan di depan kami dan menghampiri kulkas. Kehadirannya menciptakan canggung. Aku dan El hanya saling pandang tanpa suara, mungkin ia juga berpikiran sama denganku.
"Kenapa diem-dieman?" Felix bertanya setelah mengambil sebotol air dari kulkas. Kerlingan matanya membuktikan bahwa ia tahu sesuatu tentang kami.
"We need privacy." El menyahut agak sebal.
"Kenapa nggak ke kamar aja?" sahut Felix dengan entengnya diiringi suara tutup botol baru yang terbuka. "If something happened, it won't be too much of a problem because you two will get married soon."
Felix keluar dari dapur tanpa menyadari El yang menatap punggungnya dengan mata melotot. Alih-alih marah, ia seperti kaget jika adiknya itu akan berucap demikian. Dan aku tentu mengerti apa maksudnya.
"Jangan dengarkan Felix, Ra. Kalau aku mau, sudah kulakukan sejak tadi tanpa harus membuat pinggangku encok karena posisi duduk yang miring."
"Said by the old man." Suara Felix terdengar sebelum disusul dengan suara langkahnya berlari menjauh.
Wajahku memanas dan kepalan tanganku seringan bulu untuk memukul lengan El. Aku sedang berusaha melupakan insiden memalukan tadi, tetapi El dengan mudahnya membuatku mengingat itu lagi. Aku malu. Sangat. Namun, ia tampak biasa saja, seperti itu sudah biasa dilakukannya. Wajahku cemberut seketika, walau tidak terlalu tampak. Apa itu artinya El dan Daria—snap it, Zara.
Kenapa aku sampai memikirkan hal-hal seperti itu? Mereka sudah berpisah. Kebersamaan mereka itu hanya masa lalu. Tak ada lagi alasan untuk merasa cemburu. Meski kehadiran Daria masih membuatku agak khawatir. Mungkin aku akan merasa lega jika Daria pergi jauh, tetapi apa harus berlebihan seperti itu? Daria punya hak untuk berada di mana saja. Yang perlu kulakukan adalah menaruh kepercayaan lebih banyak pada El. Katanya, saling percaya juga kunci sebuah hubungan.
Aku menatap El yang sibuk tersenyum sembari menatap tautan tangan kami. Entah sejak kapan ia meraih tanganku, aku sampai tidak sadar lagi.
"Sudah jam sembilan lewat," ujarku asal-asalan. Bola mataku bergulir untuk melihat jam dinding di atas mesin dispenser, ucapanku ternyata benar. Sekarang jam sembilan lewat lima.
"Kenapa?" El berpura-pura tidak tahu padahal kerlingan matanya jelas-jelas menunjukkan bahwa ia sedang menggodaku.
"Aku harus pulang."
"Kamu bisa menginap di sini. Lagian aku males ngeluarin mobil lagi, Ra." El membalas seraya merentangkan tangan ke atas dan mengembuskan napas yang nyaring khas orang lelah.
Aku menggeleng pelan tapi pasti, lalu berdiri. "Nggak. Lagian aku nggak minta diantar. Jam segini masih ada taksi mondar-mandir," balasku sembari memasang mantel wol tebal yang sebelum makan malam tadi kusampirkan di kursi.
"Bahaya, Ra."
"Aku bisa jaga diri."
"Humh. Disentuh cowok asing aja udah nggak bisa ngapa-ngapain." El bermaksud menyindirku. Sebelah sudut bibirnya naik saat tahu ia berhasil membuatku kesal.
Itu adalah momen awal pertemuan kami. Aku yang penakut dicengkram oleh tangan dingin orang asing. Saking kagetnya, aku sampai tidak bisa melakukan apa-apa. Mungkin sejak awal, kehadiran El saat itu, memang sudah ditakdirkan. Ketika aku berusaha menyembunyikan ketakutanku, ia datang dan mengetahui semuanya dalam waktu singkat. Siapa yang menduga kalau dua orang yang tak pernah bicara akan berakhir dalam satu garis takdir?
Senyumku mengembang seketika. Tak peduli jika El baru saja menyindirku. "Apa yang harus kulakukan ke pria yang menolongku waktu itu?"
"Mungkin sebuah ciuman kayak yang didapatkan Spiderman sewaktu menolong—aku lupa namanya."
"Aku bukan Jane."
"Bukan berarti kamu nggak boleh memberi sesuatu yang sama." El ikut berdiri, meletakkan kedua tangannya di atas bahuku. "Jadi?"
"Kamu sadar nggak? Aku udah ngasih yang lebih dari itu." Aku diam sebentar, hanya untuk bertanya kepada diriku sendiri, apakah aku sudah sangat yakin. Karena setelah ini, tidak akan ada jalan untuk kembali. "Sisa hidupku, El. Aku memberimu itu, apa kamu masih mau menagih yang lain-lain?"
El hanya tersenyum. Ia mendekat dan membuat jantungku berdebar, aku takut ia akan melakukannya lagi, tetapi ia justru mengangkat dagunya dan mendaratkan bibirnya di dahiku. Untuk beberapa saat di situ dan berhasil membuatku menyadari ketulusannya.
"Kayaknya Mama ada di depan. Kamu ke sana dulu, nanti aku susul. Mau ambil jaket sama kunci."
Aku mengangguk. Tangan El masih di pipiku sebelum ia menjauh dengan tampak terpaksa. Aku meraih tas jinjing yang tadi kuletakkan di kursi kosong sebelahku dan berjalan keluar.
Alih-alih bertemu Mama, aku justru dihadang oleh Daria. Ia berdiri dari sofa ketika aku tiba di ruang tamu. Ia tampak seperti tetap tinggal di sini sedikit lebih lama dariku yang akan diantar El pulang, sebab barang-barangnya masih ada di ruang makan. Sekali lagi wajah tidak bersahabat itu ditunjukkannya kepadaku.
"Zara," panggilnya agak serak. Mau tidak mau aku harus berhenti. Mata Daria sembap dan aku baru sadar setelah melihat wajahnya.
"Aku nggak mau musuhan sama kamu, Daria. Nggak peduli kalau kamu pernah jadi orang paling berarti buat El." Itu spontan terucap sebelum Daria mengatakan sesuatu yang aku yakin akan melukaiku.
"Apa kamu tahu bagaimana hubungan kami dulu dan bagaimana kami berpisah?"
Pancingan Daria berhasil membuatku penasaran dan memang benar El belum menceritakan tentang masa lalunya secara terperinci. Namun, apa aku siap mendengarnya? Apa dengan mengetahui cerita tentang mereka akan membuatku goyah? Itukah tujuan Daria mengungkit itu kepadaku.
"Aku menyerah, Ra. Mungkin perasaan El emang udah nggak sama kayak dulu lagi. Tapi kupikir kamu perlu tahu yang sebenarnya dulu sebelum kalian menikah."
"Satu-satunya yang membuatku penasaran, Daria, adalah kenapa kamu tiba-tiba baik sama aku?" Aku bergeser mendekati dinding, bersandar di sana dan berhadapan dengan Daria. Sikapnya sungguh membingungkan.
"Karena Tante Rena." Daria kembali menjatuhkan dirinya ke sofa dan mengumpulkan beberapa gumpalan tisu bekas di atas meja dalam genggamannya. "Aku cuma menurut sama Tante. Kalau dia bilang aku harus menjauh, maka aku menjauh. Tapi aku nggak akan pergi sebelum meluruskan semuanya, Zara."
"Alasan aku tidak melepas El gitu aja karena aku tahu ikatan kami sangat kuat. Hubungan kami berakhir oleh keputusan satu pihak aja. Aku yang meninggalkannya, bisa bayangkan betapa terlukanya dia?"
Pengakuan itu membuatku menyadari satu hal. "Artinya kamu menjilat ludah sendiri. Kamu mengambil sesuatu yang sudah kamu buang, kasarnya."
Daria tersenyum dengan mata sembapnya. Matanya sampai tenggelam. Sementara aku berusaha menguatkan diri sendiri agar tidak terpengaruh oleh apa pun yang dikatakannya. Aku sudah susah payah membangun kepercayaan, dan Daria tidak boleh mematahkannya begitu saja.
"Perspektif kita berbeda, Zara. Aku hanya berusaha mengambil apa yang tersisa, yang seharusnya ditujukan untukku. Dan itu adalah perasaan El, cintanya kepadaku." Daria mengatakannya tanpa gentar, seolah-olah tahu bahwa itulah adanya. Ia tampak sangat yakin kalau El masih menyimpan itu untuknya. Aku tidak mengerti bagaimana seseorang bisa sangat percaya diri seperti Daria sekarang.
"Lalu? Setelah kamu dapatkan lagi, apa yang akan kamu lakukan?"
"Memperbaiki semuanya. Memulai semuanya dari awal. Kesempatan kedua akan kumanfaatkan sebaik-baiknya."
Tanganku terkepal erat di kedua sisi tubuh. Apa ia bermaksud untuk merebut El dariku, dengan alibi bahwa masih ada yang bisa diselamatkan di antara mereka.
"Tapi aku udah terlambat. Kamu tahu, 'kan? El udah ketemu kamu. Aku nggak tahu apa yang kamu lakukan sampai membuatnya kecintaan." Daria mendengkus diiringi dengkusan pasrah. "Andai bukan karena Tante Rena, aku masih terus berusaha sampai pernikahan kalian terlaksana. Tapi aku tetap menyarankanmu untuk mendengar semuanya. Biar kamu tahu apa alasanku seperti ini."
"Kamu menakutkan, Daria. Kenapa bukan kamu aja yang memberitahuku alasannya?"
Mulut Daria sudah terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi karena kehadiran El. Di tangannya ada kresek hitam cukup besar.
"Ayo," ajaknya seolah-olah tidak ada Daria di sana.
Aku tersenyum, bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi antara aku dan Daria tadi. "Aku belum pamit sama Mama," balasku bersiap ingin kembali ke dalam.
"Mama lagi di toilet. Aku udah bilang kamu mau pulang, ini Mama nitip buat Ibu," sahutnya dan mengangkat kresek di tangannya.
Aku mengangguk ringan sebelum pandanganku tertuju pada Daria yang sok sibuk dengan ponselnya. "Daria, duluan, ya."
Aku tidak menunggu respons atau reaksinya dan bergegas berjalan menuju pintu. Aku sempat mendengar El mengatakan hal serupa sebelum menyusulku.
"Apa Daria mengatakan sesuatu yang nggak menyenangkan?"
Aku berpikir sejenak sambil mengaitkan sabuk pengaman. Jelas sekali Daria membuatku terganggu, tetapi apakah itu cukup penting untuk diceritakan?
"Tidak." Pada akhirnya itu yang kukatakan. Ini sudah cukup malam. Otakku sudah lelah bekerja seharian, pun sudah lelah mencerna apa yang terjadi selepas makan malam tadi. Aku tidak ingin ditambah lagi oleh beban diskusi yang tentunya akan sangat alot.
"Baguslah." El menyalakan mesin mobil dan melajukannya. "Zara, apa kita sudah bisa ... mencetak undangan?"
Aku nyaris melupakan yang satu itu. Bahkan aku belum memikirkan akan mengundang siapa saja.
"Bisa kita diskusikan lain waktu? Aku belum membuat daftarnya."
"Oh, iya. Aku juga."
Apa yang kudengar itu sebuah kekecewaan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top