90 - Unexpected Dinner

Zara Naulia

Harusnya aku sadar, mungkin mundur adalah cara terbaik daripada menyelamatkan pernikahan yang tidak semua orang menginginkannya. Memberi waktu dua bulan untuk El agar berbenah bukan cara yang benar pula. Aku dengan sikap defensifku, apa terkesan seperti melarikan diri dari masalah?

Aku hanya tidak sanggup menatap El dan teringat akan ucapannya saat di rumah sakit. Bisa saja benar, bahwa aku hanya peralihan dari sakit hatinya. Ternyata aku juga salah karena buru-buru menerima tawarannya. Padahal belum tahu seperti apa latar belakangnya.

Makan malam ini terasa hambar. Aku tidak bernafsu memakannya meski nyaris semua hidangan yang disajikan adalah favoritku. Entah ini kebetulan atau El sengaja memberitahu Mama apa saja yang kusuka. Mengingat Daria juga diundang, kupikir opsi kedua kurang tepat.

Bagian terburuknya, aku harus terlihat baik-baik saja padahal sebenarnya tidak. Undangan makan malam ini membuatku merasa diterima, karena Mama langsung yang menghubungiku. Ini bukan sesuatu yang spesial, aku tahu itu. Namun, aku mensyukurinya. Kuharap, kehadiran Daria tidak mengartikan sesuatu yang buruk.

"Daria, kenapa makannya sedikit?"

Suara Mama membuatku tertarik untuk memeriksa isi piring Daria. Ia duduk di seberang El, sementara El duduk di sebelahku. Wajah Daria tampak pucat, sisa sakitnya beberapa hari kemarin. Dan aku belum sempat menanyakan bagaimana kabarnya sebagai rekan kerja. Sikapnya yang tidak ramah mengurungkanku untuk bertanya.

"Um ... maaf, Tante, aku nggak berselera. Mungkin efek minum obat dari rumah sakit."

Daria tahu kalau Mama sangat memperhatikannya, sampai tidak lagi merasa canggung untuk merengek. Namun, daripada sakit, ia justru tampak tidak menyukai makanannya. Wajahnya tidak tampak selayu itu.

"Oh, begitu. Sakit itu harus dipaksa makan. Biar nanti bisa minum obat lagi."

Bisakah aku tidak merasa iri? Mama tersenyum penuh perhatian. Kalau itu ditujukan padaku, aku tentu akan berusaha menghabiskan masakannya.

"Iya, makasih, Tante. Nanti aku tambah lagi."

Aku menunduk lagi untuk menikmati makananku, sengaja tidak ingin memperhatikan interaksi mereka lebih banyak lagi. Seandainya bisa, aku ingin pulang lebih dulu daripada harus terjebak dalam situasi menyebalkan ini.

"Zara."

Aku buru-buru mendongak lagi ketika Mama memanggil.

"Iya, Ma?"

"Masakannya enak? Mama baru pertama kali nyoba masak Sup Mutiara. Abisnya El bilang kamu suka itu."

Aku baru hendak merespons, tetapi suara El tersedak membuatku lekas-lekas menyodorkan gelas minumku ke arahnya. Dan di saat yang bersamaan, Daria juga melakukannya. Gelas kami nyaris bersentuhan. Aku menatap wanita itu dan menemukan kekhawatiran di wajahnya.

Kemudian aku memandang El. Kalau ia sudah yakin akan pilihannya, tentu tidak perlu menatap gelas kami bergantian. Ia bisa langsung mengambil milik siapa pun, bukannya justru tampak kebingungan seperti sekarang.

Situasinya jadi canggung. Aku masih menatap El, berharap ia akan mengambil gelasku, tetapi ia justru mematung dan tak mengalihkan pandangan dari gelas sedikit pun. Ini sangat memalukan. Bukankah terlihat sekali kalau aku dan Daria sedang memperebutkan El? Posisi kami bahkan tidak bisa ditentukan siapa yang lebih unggul. Aku calon istrinya, dan Daria adalah mantan yang masih menyisakan kenangan untuknya.

Beruntungnya, situasi yang aneh itu terselamatkan oleh Felix yang berpura-pura tersedak. Demi mengakhiri situasi yang membuat Mama berpikiran aneh, aku melarikan gelasku kepada Felix, membiarkan ia meminum milikku. Namun, tak sampai karena El segera menarik tanganku dan meraih gelas yang kupegang.

"Ini buatku," ujarnya setelah menenggak separuh dari isi gelasku.

"Kekanakan. Aku masih bisa minum punyaku sendiri nih, Bang." Felix membalas sebelum menuangkan air ke gelas dan meminumnya sampai habis.

"Terserah," sahut El, agak kesal. Sikapnya membuatku ingin tersenyum, tetapi sengaja kutahan.

Aku tahu hubungan mereka tidak terlalu dekat, tetapi dengan interaksi mereka yang tadi, aku yakin bahwa ikatan persaudaraan tidak pernah lenyap di antara mereka. Felix tipe adik yang tidak bisa diam jika terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Dan aku benar-benar berterima kasih karena kehadirannya berhasil menyelamatkan malam ini.

Bermenit-menit berikutnya, kami menghabiskan makan malam dengan tenang, diiringi oleh dentingan sendok garpu dengan piring sesekali. Tidak ada lagi tak bernafsu, aku menyantap makan malam dengan nikmat. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Entah itu kenyataan bahwa menu makan malam hari ini sengaja didedikasikan untukku, atau karena El mengambil gelasku alih-alih milik Daria yang disodorkan sepersekian detik lebih cepat dariku. Bisa saja keduanya.

Makan malam berakhir, aku membantu Mama mengumpulkan piring-piring kotor dan membawanya ke wastafel. El juga ikut membantu, Felix pun menyisihkan sisa-sisa makanan untuk kemudian dipindahkan ke meja pantri dan ditutup dengan tudung saji. Sementara Daria tetap di kursi dengan alibi tangannya masih agak bengkak, jadi tidak mampu mengangkat berat. Semua orang memaklumi, termasuk aku. Aku sedang tidak ingin memenuhi pikiranku dengan berbagai dugaan negatif tentang Daria.

"Felix, keluarkan puding sama buah dari kulkas, ya," pinta Mama ketika tangannya penuh oleh busa sabun cuci piring. Aku kebagian membilasnya.

"Zara bisa duduk aja kalau mau." Mama berkata kepadaku, pelan.

"Nggak, Ma. Masa Zara makan enak tapi nggak beresin sisanya?" balasku, seraya menyematkan seulas senyum.

"Kan, Mama yang ngundang, lagian Zara juga datangnya bawain macam-macam tadi."

"Nggak sopan kalau aku nggak bawa apa-apa, Ma."

"El beruntung jadi calon suami kamu."

Aku kaget dengan ucapan itu. Gelas yang baru kubilas mendadak terasa licin hingga tanganku berpegangan erat di sana. Itu sangat tidak terduga. Kuberanikan untuk menatap Mama dari samping, tingginya hanya sebatas leherku, dan aku bisa menemukan seulas senyum yang lebar di wajahnya. Kupikir Mama tulus mengatakan itu.

Sayangnya, Mama tidak tahu jika pernikahan kami nyaris batal. Mungkin aku bisa mempercepat semuanya, maksudku, meski masih ada hampir dua minggu lagi dari dua bulan yang kujanjikan, tetapi aku ingin bicara dengan El malam ini. Ya. Urusan kami harus segera diselesaikan sebelum Mama tahu.

"Zara juga beruntung, Ma." Di samping masalah kami, aku memang merasa pertemuan kami kembali adalah keberuntungan buatku. Aku merasakan perubahan yang berarti dalam hidupku. Tak ada lagi bayang-bayang kelamnya masa lalu yang selalu menyertai keputusanku.

"Maafin Mama, ya. Mama akan bicara sama Daria biar nggak mengganggu kalian lagi."

Aku kaget bukan main. Mataku melotot ketika Mama tersenyum sangat lebat kepadaku. Dan piring yang disodorkannya padaku adalah yang terakhir kubilas. Sekali lagi aku harus memegangnya erat karena otot-otot tanganku mendadak kehilangan kekuatan. Bukankah itu berarti Mama tahu sesuatu tentang kami? Bagaimana? Apa El menceritakan semuanya?

Ya, Tuhan. Aku sudah merasa gagal menjadi pasangan yang baik untuk El, karena belum apa-apa saja kami nyaris berakhir.

Aku mengelap tangan dengan belakang bajuku sembari kembali ke kursi. Mataku tertuju pada El yang sudah lebih dulu memandangku dengan penuh damba. Rupanya aku merindukan cara El menatapku, rindu ketika perlahan seulas senyum tercetak di bibirnya, rindu ketika matanya berkedip lebih lambat saat menatapku. Aku baru menyadari semua itu karena tidak mampu mengalihkan pandangan darinya. Bahkan setelah aku tiba di kursiku, aku masih menatapnya. Kami saling bertatapan, seperti tidak ada siapa-siapa di ruangan ini. Sampai akhirnya seseorang berdeham dan pelakunya adalah Daria.

Aku menjatuhkan diriku di kursi setelahnya dan tangan El lantas jatuh di atas sandaran kursi, melingkari bahuku.

"El, gimana persiapan pernikahan kalian? Aman?"

Mama membuka suara setelah beberapa detik hening yang canggung karena dehaman Daria tadi.

Aku dan El saling pandang. Aku tahu El tidak enak menjawab karena hampir semuanya kuurus sendirian. Mama—dan mungkin Felix juga—sudah tahu bagaimana hubungan kami akhir-akhir ini, tetapi aku tidak ingin memperlihatkan itu pada Daria. Jadi, aku menunduk sekali untuk meyakinkan bahwa tidak apa-apa El menjawab dengan versinya.

"Sudah, Ma. Acaranya diadakan di rumah, atas permintaan Zara, bertema outdoor. Tinggal cetak undangan aja." El menjawab dengan tenang.

"Bagus tuh, Bang. Lumayan hemat biaya pernikahan. Kak Zara emang jenius." Felix merespons penuh semangat. Ia membuat gestur pistol dengan tiga jarinya dan ditujukan ke arahku.

Aku tidak tahu merespons apa, jadi aku hanya tersenyum.

"Kapan nyiapinnya? Kan, El banyak ngurus aku waktu aku sakit kemarin?"

Seandainya aku jahat, aku ingin sekali membalas ucapannya, membungkamnya agar tidak mengeruhkan situasi. Aku baru merasa tenang dengan atmosfer after dinner ini.

"Ralat ucapanmu, Daria. Aku hanya mengurus administrasi rumah sakit, tapi terjebak dalam diskusi yang alot dengan dokter dan perawat yang mengurusmu." El membalas dengan tegas. Aku bisa merasakan dirinya terbakar oleh emosi.

"Ah, begitu. Tapi aku tetap sangat berterima kasih untuk itu, El." Daria menunjukkan senyum terbaiknya pada El. Ya, hanya pada pria itu.

Aku kesal dengan sikapnya, tetapi selagi El tidak menanggapinya dengan baik, tidak masalah. Walau aku tidak tahu, El diam hanya karena ada aku di sini, atau memang ia juga muak menghadapi Daria.

"Tapi sekarang udah nggak lagi, 'kan?" Sekarang semua mata tertuju kepada Mama. Awalnya Mama memandang kami bergantian, sebelum akhirnya berhenti pada Daria. "Maksudnya, El udah nggak bisa kayak gitu lagi. Sekarang dia punya Zara."

El mengusap pundakku dengan lembut ketika senyum Daria direnggut paksa oleh ucapan Mama. Sementara itu, Felix tampak semringah, seperti ia sudah tahu kalau ini akan terjadi.

"Kenapa, Tante? Aku ... sangat membutuhkan bantuan kalian." Daria mungkin satu-satunya orang tidak menerima fakta bahwa kami akan menikah.

"Daria," panggil Mama dengan lembut. "Kamu sudah besar, Nak. Yang dulu Mama kenal adalah wanita yang mandiri. Kamu pasti tahu cara mengurus semuanya sendirian."

"T-tapi, Tan—"

Mungkin hanya di hadapan Mama, Daria akan seperti orang gagap. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, mungkin, tetapi tertahan di ujung lidah. Kupikir ia sedang berusaha agar tidak meledak di hadapan Mama.

"Daria, Tante memang peduli sama kamu, bahkan sudah dianggap seperti putri sendiri. Dari awal memang Tante yang bilang kamu boleh meminta bantuan El, tetapi sekarang nggak lagi. El harus menikah, Zara akan jadi istrinya, El tentu tidak boleh memprioritaskan hal lain selain istrinya sendiri."

Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Yang kulakukan hanya menonton, menyaksikan bagaimana Daria semakin tidak bisa menerima semua ini. Ya ... kurasa ini memang terlalu mendadak, apalagi dengan dirinya yang baru keluar dari rumah sakit atas percobaan bunuh diri. Ah, bagian itu, aku jadi penasaran kenapa ia sampai senekat itu.

"El, apa aku semerepotkan itu? Nggak masalah kalian menikah, tapi bagaimana aku bisa bertahan di sini?" Mata Daria mulai berkaca-kaca, dan aku menunduk sebelum berakhir mengasihaninya.

"Kamu bisa menangani semuanya sendiri, Daria. Kamu bukan anak-anak lagi. Mudah bagimu untuk mencari seseorang yang akan bersedia membersamai."

Lalu aku teringat rumor Abel kalau Daria dekat dengan Dimas. Sejauh aku mengetahui karakter pria itu, ia akan melakukan apa saja untuk wanita incarannya. Namun, apakah Daria juga incarannya? Atau mereka hanya kebetulan pergi bersama dan Abel melihatnya?

Aku tidak tahu kenapa mulai memikirkan tentang Daria sekarang.

"Ma, sisanya dibicarain empat mata aja deh. Kasian dia jadi tontonan."

Sayangnya, tidak ada rasa kasihan sedikit pun yang Felix tujukan pada Daria. Ia bahkan tampak senang akan situasi ini. Kemudian ia bangkit dari kursi, meraih beberapa buah dan pergi dari sana. Mama menyusul, tetapi mengisyaratkan agar Daria ikut dengannya. Hingga tersisalah aku hanya berdua dengan El di sini.

"Aku merasa malu sekarang." El bersuara lebih dulu.

Aku menatapnya lamat-lamat, membaca wajahnya yang tercetak jelas penyesalan di sana. Ia tersenyum getir kepadaku.

"Malu karena?"

"Tidak mampu menyelesaikan semuanya sendirian. Aku tidak tahu Mama akan bicara pada Daria seperti tadi." Rupanya, El sama kagetnya denganku. "Kalau ada yang bisa menghentikan Daria, aku yakin hanya Mama."

"Apa reaksi Mama waktu tahu kita seperti ini?" Pertanyaan yang sejak tadi bersarang di kepalaku.

"Mama menyesal. Lagi pula, bukan cuma itu yang kuberitahu, tapi semuanya. Aku mencurahkan semua hal yang kurasakan sebagai putranya. Dan membuktikan padanya bahwa aku lemah tanpamu, Ra. Sekarang adalah saatnya aku membuktikan kepadamu."

El menggeser kursinya semakin dekat dan menatapku dengan sorot penuh keputusasaan. "I'm missing you so badly," bisiknya dan tersenyum getir. Satu tangannya yang sejak tadi berada di bahuku, kini merambat naik hingga mencapai rahang dan jempolnya bergerak pelan di pipiku, mengusapnya dengan lembut.

"Aku juga." Akhirnya aku mengaku.

Kami bertatapan cukup lama, seperti saling mengobati kerinduan kami, seperti sedang memberitahu bahwa kami sebenarnya membutuhkan satu sama lain. Bahkan kalau aku boleh jujur, ini; bertemu El, adalah hal terbaik yang terjadi setelah menghadapi kenyataan bahwa Ibu resmi berpisah dengan suaminya.

"Aku mencintaimu, Ra. Sangat. Sejak awal, cuma kamu. Aku tidak perlu dua bulan yang menyiksa untuk memastikan pilihanku. Karena  cuma kamu yang selalu kumimpikan bersanding denganku di pelaminan. Persetan dengan dua bulan, Ra, aku akan menyelesaikan semuanya malam ini."

Kukira El akan bicara lagi, jadi aku menunggu. Namun, yang ada justru ia menempelkan bibirnya ke milikku. Untuk beberapa saat diam di sana, membiarkan aku mengetahui perasaan yang ia coba sampaikan padaku. El serius, semua yang ia rasakan padaku terasa sangat nyata dan begitu kuat. Aku tak sanggup menahan air mataku hingga mengalir ketika mataku terpejam.

Aku membiarkan El melakukannya, menyesap semua kesedihan yang kurasakan ketika kami tak bertemu. Entah apa yang akan terjadi besok, aku tidak bisa memikirkannya lagi. Seluruh sarafku hanya terpaku pada tautan bibir kami, membiarkan diriku menikmati hati yang menghangat, dan kuharap perasaanku juga sampai padanya.

***

Ini udah kayak ending belum sih? 😅
Anu ... aku, maaf, adegan akhir babnya diskip aja ndak papa (eh, udah telat ngasih taunya, Tut). Aku gak jago nulis yang kayak gitu, dan ini pertama kalinya, kupikir mereka perlu sesekali hehe. Kuharap nggak aneh jadinya, ya.

Itu aja, makin ke sini, aku makin gugup. Menuju ending benar-benar meresahkan. Ngakunya mau ending, tapi rasanya kayak ada yang belum terselesaikan gitu, gimana menurut kalian?

Ini aja dulu cuap-cuapnya. Terima kasih dan—

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top