9 - Date?
Rafael Lazuardi
Tepat pukul tujuh aku berangkat ke rumah Zara. Hanya menempuh perjalanan dalam waktu sepuluh menit, aku tiba di depan rumahnya. Meski bukan yang pertama kali, tapi baru ini aku melihat rumah Zara dengan benar.
Rumah yang tidak terlalu besar, tapi halamannya cukup luas bahkan bisa untuk memarkirkan dua mobil. Meski tanpa pagar, tanaman semak laurel—yang kutahu karena di rumah Ibu juga memiliki tanaman ini—tumbuh rapi di sekeliling halaman rumahnya. Dilihat dari potongan daunnya, aku yakin Zara pasti rajin menyiram dan memangkasnya. Rumahnya benar-benar sangat asri dengan banyak tanaman dan dua pohon yang tidak kuketahui namanya. Sedangkan di sisi kiri halaman, bagian yang berbata, dipakai Zara untuk memarkirkan mobilnya dan tempatku berpijak sekarang.
Aku kagum, meski tinggal sendiri, Zara mampu menata rumahnya dengan baik. Sempat terlintas di kepalaku bayangan dari indahnya rumah kami di masa depan. Namun, kemudian aku tersadar dan menggeleng. Konyol sekali rasanya aku sampai memikirkan itu.
Suara pintu yang dikunci berhasil mengalihkan perhatianku. Aku memutar badan untuk melihat Zara berjalan menghampiriku. Mungkin tadi Zara agak jahat membiarkan tamunya menunggu di luar. Aku sempat ingin protes dibiarkan menunggu lama di luar, tapi ternyata Zara tidak semerepotkan wanita lain.
Zara sudah berada di depanku, dan aku baru menyadari apa yang dibawanya. "Udah pakai jaket, bawa jaket lagi?" tanyaku. Hanya ingin memastikan apakah yang Zara lakukan merupakan ketidaksadaran atau memang sengaja membawa lebih.
"Ini?" Zara balas bertanya sambil mengangkat jaket yang tersampir di lengannya. Aku hanya mengangguk mengiyakan. "Di bioskop, kan, dingin."
Aku mengernyit keheranan. Sedingin itukah bioskop baginya sampai harus membawa jaket berlebih?
"Kamu nggak tahan dingin?"
"Aku nggak suka dingin," jawabnya.
Mendengar itu membuatku tersenyum miring. "Nggak bawa jaket tambahan juga nggak papa, Ra."
Sungguh reaksi di luar dugaan yang kuterima dari Zara. Ia melotot dan memeluk jaket tambahannya dengan erat. Aku tidak mengerti apa maksudnya, tapi itu tampak lucu bagiku.
"Kamu nggak akan tau," ujarnya sambil membuang muka. Tentu saja aku tidak tahu jika ia tidak mengatakan apa pun padaku.
Aku meletakkan tangan kananku di atas mobil, sementara tangan kiriku meraih handle pintu mobil, mengurung Zara yang berdiri di depanku. Itu membuatnya takut dan memundurkan badan sampai menabrak pintu mobil. "Aku bisa jadi jaket tambahan," ujarku seraya tersenyum miring, menggodanya.
Zara tidak merespons ucapanku. Mungkin tepatnya tidak sempat. Sebab suara pintu mobil yang terbuka membuatnya mengatupkan kedua belah bibirnya lagi. Aku menarik pintu agar terbuka dan memberi isyarat agar ia masuk lebih dulu. Setelah itu barulah aku berlari menuju pintu sebelah dan menyusul masuk ke mobil.
***
Setibanya di bioskop, kami berjalan beriringan memasuki gedung. Aku memutuskan untuk menggamit lengan Zara sebab wanita itu tidak berhenti melirik etalase makanan yang ada di sana, hingga beberapa kali tertinggal di belakang. Atas perbuatannya itu, tiap-tiap penjaga etalase saling menawarkan makanan agar kami beli.
"Nanti dulu beli makanannya, Ra," tegurku. Antrian cukup panjang. Jika kami memutuskan untuk membeli makan lebih dulu, barisan manusia di tiga loket tiket ini pun akan semakin panjang.
"Kamu bisa antri sendiri selagi aku beli makanan, 'kan?" Zara bertanya sambil menarik tangannya dariku.
"Orang sebanyak ini kalau kamu hilang gimana nyarinya?"
"Kayak aku sependek itu aja," keluh Zara pelan-pelan, tetapi masih bisa kudengar. Aku hanya menyunggingkan senyum kecil. Dia memang tidak sependek itu. Jika berdiri di sampingku, tingginya mencapai daguku. Sementara tinggiku 185 senti. Ya, kuakui Zara tidak pendek.
Pengunjung semakin padat dan tiap-tiap loket pembelian tiket semakin penuh. Sesekali aku berdecak ketika seseorang menyenggol badan kami, kesal karena mereka berusaha menerobos antrian. Bahkan barisan yang seharusnya diisi oleh dua orang kini diisi empat sampai lima orang. Sampai-sampai Zara beberapa kali menabrakku karena terdorong.
"Kamu jangan jauh-jauh deh, Ra." Aku menarik Zara mendekat. Kali ini kupegang erat-erat tangannya agar tidak menjauh seperti tadi
Aku melirik Zara yang menunduk dalam-dalam. Telapak tangan Zara dingin. Entah karena tanganku yang hangat, atau memang udara di dalam ruangan ini sangat dingin bagi Zara.
"Kukira kamu beli tiket online tadi, El." Suara Zara menyadarkanku bahwa aku terlalu lama menatapnya.
Aku buru-buru menoleh menatap ke antrian di depan kami sebelum Zara menyadarinya. "Aplikasinya lagi maintenance dari pagi. Sampai siang tadi belum selesai. Jadi aku nggak sempat pesan di sana."
"Pantesan rame."
Giliran kami untuk membeli tiket pun tiba. Kami sempat memperdebatkan film apa yang akan mereka tonton. Tak peduli bahwa di belakang kami masih ada yang menunggu untuk membeli tiket. Zara menginginkan horror-thriller, sedangkan aku ingin film action. Aku melirik si penjaga loket sebentar karena merasa tidak enak. Namun yang kutemukan ia justru tersenyum geli melihat kami. Mungkin ia pikir kami adalah sepasang remaja labil yang tidak mau mengalah pada satu sama lain. Kalau boleh jujur, aku agak tersinggung.
Akhirnya kami menonton film action setelah kukatakan pada Zara bahwa kali ini adalah giliranku memilih, dan akan membiarkannya memilih di waktu lainnya. Aku mengucapkan judul film yang ingin kami tonton beserta jam tayangnya kepada Mbak penjaga loket.
"Maaf, tiket untuk jam delapan sudah habis, Mas. Yang tersisa hanya pukul sembilan lewat lima belas dan setengah sebelas," ujar si penjaga loket.
Aku melirik Zara. "Gimana, Ra?" Aku tidak masalah menonton di jam-jam malam. Namun Zara perempuan, yang mungkin saja merasa tidak nyaman menonton terlalu malam bersama seorang pria sepertiku. Apalagi durasi filmnya setengah jam lebih. Kali ini aku akan setuju jika ia mengusulkan film yang lain.
Zara tampak berpikir. Dalam hati aku berharap agar Zara memilih salah satu dari waktu tayang yang tersisa. Aku terlalu malas jika besok harus pergi ke sini lagi. Aku melirik Zara dengan tatapan penuh harap dan tampaknya ia paham.
"Ya udah, ambil yang jam sembilan lima belas aja," ucap Zara. Aku bernapas lega.
"Yakin? Nggak papa nih nunggu? Baru jam delapan kurang lho ini." Aku memastikan sambil melirik arlojiku.
"Iya. Lumayan bisa makan dulu. Aku lapar."
Benar juga. Kenapa aku tidak sadar dari tadi. Pantas saja ia tidak berhenti melirik etalase makanan yang kami lewati. Tak ingin membuatnya menunggu lagi, aku lekas-lekas mengeluarkan dompet sambil berucap, "Beli dua, ya, Mbak."
Setelah membayar harga tiket dengan uang pas, wanita penjaga itu memberikan tiket kami. Aku mengucapkan terima kasih, dan segera menarik Zara keluar. Antrian di belakang kami masih sangat panjang dan menyesakkan. Kami saja sampai kesusahan lewat.
"Ra, noleh sini deh," ujarku saat kami sudah berada di luar gedung. Aku terpikir akan sesuatu, dan tepar setelah Zara memutar kepala ke arahku, aku langsung menekan tombol kamera ponselku.
Zara tampak kebingungan melihat dua tiket yang kuarahkan di depan wajahnya. "Kamu ngapain, El?"
"Biasalah. Nanti kamu liat sendiri aja," jawabku dengan bangga.
"Ada mukaku?"
"Lho, justru itu objek utamanya," sahutku dengan tenang. Kami berjalan beriringan menuju rumah makan yang tidak jauh dari gedung bioskop.
"Pasti jelek? Ambil foto nggak bilang-bilang." Zara membuang muka, tapi aku tahu dari nada bicaranya, ia tidak kesal padaku.
"Emang kalau aku minta izin buat foto, kamu mau?"
"E-enggak sih."
Aku menyeringai lebar. "Makanya, jangan remehkan kemampuanku dulu, liat aja sendiri fotonya."
Zara memicing, seolah-olah memberi ancaman, 'awas kalau jelek'. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Zara seorang wanita. Normal jika ia tidak ingin foto jeleknya disimpan oleh orang lain.
Ia mengeluarkan ponsel dari kantong jaketnya. Aku baru saja mengirimkan sebuah postingan dengan menandai akun miliknya. Sudah bisa dipastikan pemberitahuan itu sampai padanya. Diam-diam aku melirik layar ponsel Zara. Ia membuka notifikasi pemberitahuan itu dan terpampanglah hasil jepretanku tadi.
Aku mengambil foto tiket bioskop dengan latar wajah Zara. Meski agak blurry, foto itu jadi tampak aesthetic karena kulit putih Zara bersinar di gelapnya malam. Tak ada protes darinya. Itu berarti ia tidak mempermasalahkan foto yang kuambil.
"Bagus, 'kan?" godaku sambil menyenggol Zara yang tengah menyimpan kembali ponselnya.
Zara hanya mengangkat bahunya ringan.
"Ra, coba liat mereka," suruhku sambil menunjuk pasangan yang baru saja memasuki rumah makan yang ingin kami datangi.
"Terus kenapa?"
"Pasangan itu gandengan, Ra. Kamu nggak mau gandengan sama aku?"
Zara langsung mengambil jarak dariku. Ia bergidik, tidak tanggung-tanggung menunjukkan bahwa ia geli dengan hal-hal seperti itu. Jika sudah begini, artinya Zara masih ragu denganku, kan?
"Ngapain gandengan? Kayak orang pacaran aja."
Aku hanya bisa merespons dengan tertawa garing. Kusembunyikan kedua tangan ke dalam kantong jaket kulitku. Malu rasanya ditolak begitu dengan seorang wanita. Niat ingin romantis, malah berujung menjatuhkan harga diri. Padahal mantan-mantan kekasihku dulu akan menyambut uluran tanganku dengan suka hati.
Aku seharusnya ingat bahwa tidak semua wanita ingin diperlakukan dengan cara yang sama, dan Zara sangatlah berbeda.
"El," panggil Zara.
Aku hanya meresponnya dengan gumaman.
"Postingan kamu bikin aku repot."
"Kenapa?"
Lalu Zara menunjukkan layar ponselnya yang penuh pemberitahuan kepadaku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top