89 - After Confession

Rafael Lazuardi

Tak ada yang berbeda dari dua malam kemarin; setelah kuungkapkan keluh kesahku pada Mama. Hanya terasa lebih lega. Aku bangun di pagi hari dengan perasaan yang ringan. Pikiranku tidak dipenuhi oleh hal-hal selain rencana untuk bicara dengan Zara. Otakku bekerja keras untuk itu itu, bahkan sejak sedetik setelah mataku terbuka di pagi hari dan sedetik sebelum aku terlelap di penghujung hari. Itu terkesan berlebihan untuk seorang laki-laki, tetapi aku memang selalu memikirkannya di samping urusan pekerjaan.

Mama masih di sini, dan Daria masih terbaring koma. Aku tidak tahu apa yang membuat Mama masih bertahan di sini dan membiarkan Papa mengurusi bisnis penerbitannya sendirian di sana. Sempat kutanya pada Papa tentang kabarnya, dan ia memberi tahu akan menyusul ke sini begitu urusannya selesai. Mama bilang akan bicara pada Daria langsung begitu wanita itu tersadar, hingga aku menyimpulkan bahwa lagi-lagi Mama berada di sini untuk Daria. Namun, semua itu terbantahkan dengan perubahan sikap Mama kepadaku.

"Mama ingin memperbaiki semuanya."

Terlalu cepat untuk menyadarkannya dalam semalam. Besok paginya—setelah pengakuan besar itu—Mama berusaha memasak masakan favoritku, meski ternyata menu itu justru kesukaan Felix. Mama pikir aku dan Felix akan memiliki selera yang sama, tetapi aku tidak bisa menyalahkannya karena selama ini tidak pernah memberi tahu apa saja yang kusuka. Malamnya, aku memberikan daftar apa saja yang kuinginkan. Itu sebabnya aku terbangun oleh aroma cumi bumbu asam manis.

Aku membayangkan betapa sempurnanya hidupku jika yang memasak adalah Zara. Bangun setiap pagi untuk mencari-cari sosoknya yang menghilang dari sisi lain kasur, tetapi setelahnya kutemukan sedang si dapur dengan mengenakan celemek warna hijau. Ia selalu bilang bahwa hijau adalah favoritnya. Kan, aku sudah tersenyum seperti orang gila sebelum tertampar oleh kenyataan bahwa Zara masih enggan bicara padaku.

Mungkin dua hari lalu bisa jadi waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya, selagi Zara tidak mengabaikanku. Dengan perasaan yang kalut karena kabar Daria, mungkin akan membuatnya memikirkan itu secara mendalam. Aku berusaha membuktikan bahwa aku tidak peduli lagi dengan Daria, tetapi ia justru memaksaku untuk menemuinya di rumah sakit. Akhirnya, aku kehilangan kesempatan bicara untuk yang ke sekian kalinya.

"Pagi, El." Mama menyapa ketika aku baru tiba di ruang makan. Ia sedang menata meja dengan menu sarapan pagi ini.

"Selamat pagi, Ma," balasku dan menghampiri meja pantri untuk membuat secangkir teh. "Felix rugi kalau nggak bangun segera," celetukku dan tertawa ringan. Seperti yang kupikirkan tadi, Mama memasak udang asam manis. Sebagai seorang pecinta masakan laut, Felix tentu tidak akan sanggup melewatkan yang satu ini.

"Bangunin dia kalau gitu."

"Mama tahu aku nggak pernah suka berbuat baik untuknya."

Aku sedang mengaduk teh ketika seulas senyum terukir di bibirku. Itu bukan senyum yang menyenangkan untukku, tetapi sesuatu yang kuharap akan membuat Mama mengira aku bercanda walau sebenarnya itu sebuah fakta.

"El ... tentang masa lalu, itu sepenuhnya salah kami sebagai orangtua, bukan karena Felix. Ingat? Dan lagi kakek sama nenekmu yang kecintaan banget sama kamu."

Sekarang aku merasa tidak enak karena Mama jadi terlarut dalam masa lalu. Aku bisa menemukan penyesalan di wajahnya.

"Oke, Ma. Aku ke kamarnya sekarang." Aku meletakkan teh yang kubuat tadi di sebelah tangan Mama yang bertumpu pada meja makan. Ya ... hitung-hitung sebagai permintaan maafku padanya.

Setelah menaiki tangga dan berbelok sedikit ke kiri, aku tiba di kamar tamu yang ditempati Felix. Posisinya tepat di sebelah kamarku. Felix tidak biasa bangun kesiangan—kecuali akhir pekan, itu yang kutahu setelah tinggal bersamanya beberapa minggu.

"Apaan, Bang? Tumben nyamperin pagi-pagi?"

Benar dugaanku, ia sudah sibuk berkutat dengan laptop di atas kasur ketika aku menyelinap masuk setelah membuka pintu kamar tanpa permisi. Pakaiannya sudah bersih, tidak lusuh, dan rambutnya juga tampak lembap sehabis keramas.

"Mama yang minta aku datang ke sini."

"Harusnya aku udah bisa nebak."

Kalimatnya terdengar biasa saja, tetapi mampu menyentil tepat di hati. Sampai-sampai rasa bersalah merambat ke seluruh saraf. Aku mendadak tidak pantas menyebut diriku sebagai seorang kakak.

"Maaf."

Sekarang Felix menoleh dengan muka kebingungan. Alis tebalnya bertaut dan dahi lebarnya berkerut. "Kenapa nih? Abang kayak orang sentimentil gitu."

Aku menarik kursi di depan meja rias dan berhenti di sebelah kasur, berhadapan dengannya.

"Entah," sahutku setelah beberapa saat. "Menurutmu kenapa?"

"Bang, curhatnya bisa ditunda? Ini aku lagi ngetik revisian. Dospemku gila, ngirim review pagi-pagi gini, ditunggu cuma sampai jam sepuluh." Kemudian jarinya mulai menari lagi di atas kibor. Wajahnya mengerucut masam, aku tidak ingat seberapa menyebalkannya diburu-buru untuk revisi seperti itu.

Aku jadi tersadar bahwa tujuan awal ke sini hanya untuk memberi tahu Felix tentang cumi asam manis. Namun, aku justru melangkah masuk dan menonton kesibukannya.

"Bang, udah ada rencana buat bicara sama Kak Zara?"

"Belum nemu jalan keluarnya. Zara selalu punya cara buat menghindar. Apa harus menunggu sampai waktunya tiba? Itu berarti hanya tersisa dua minggu sebelum pernikahan. Padahal seharusnya kami semakin dekat, bukan malah jaga jarak seperti ini."

Sebenarnya aku tidak ingin berkeluh kesah padanya, tetapi suasana terasa pas. Pagi ini tidak terlalu cerah, awan mendung terlihat di kejauhan. Mungkin hari ini akan hujan. Sementara itu, menceritakan apa yang kurasa pada seseorang yang memiliki kontak batin dengan kita ternyata memberi efek melegakan setelahnya. Aku sudah banyak melewatkan momen-momen itu bersama saudaraku dan sekarang aku menyesalinya.

"Salah siapa?"

Ya ... kendati begitu, aku juga harus siap makan hati karena respons yang menyebalkan.

"Kamu nggak akan berhenti menyalahkanku, ya?"

"Abang bego, sih, merhatiin mantan berlebihan." Felix mencibir, tetapi sesaat kemudian ia melanjutkan, "Sorry, Bang."

Felix sudah kurang ajar, tetapi aku tidak bisa marah padanya. Apalagi yang ia ucapkan itu benar. Aku memang sebodoh itu karena terlalu menurut. Namun, anak mana yang berani melawan ibunya sendiri? Yang pasti, aku bukan salah satunya.

"Terima kasih sudah mengingatkan pria bodoh ini," sahutku sarkastis.

"Lho, El, kenapa malah diam di sini? Bukannya disuruh bangunin Felix buat sarapan bareng? Cuminya dingin nanti kalau kalian kelamaan."

Kami berdua serempak menoleh ke pintu, di mana Mama berdiri di sana sembari menggeleng pelan. Namun, aku bisa melihatnya menahan senyum, seolah-olah Mama sedang menyembunyikan sesuatu dari kami.

"Cumi?" Kemudian Felix menampar lenganku dengan kuat. "Wah, Abang nggak bilang-bilang. Malah curhat di sini."

Aku lekas-lekas melayangkan tatapan protes pada Felix. Siapa yang lebih dulu membahas tentang Zara? Felix. Aku tidak terbiasa kedapatan curhat dengan orang lain. Apalagi di hadapan Mama. Aku merasa lemah entah kenapa. Yohanes pun harus mendesakku dulu baru aku akan bercerita.

"Curhat apa? Masih pagi ini."

"Kak Zara. Bang El kangen berat, sampai turun berat badannya."

Selanjutnya aku melempar bantal ke dada Felix dengan kuat, hingga membuatnya berbaring. Ia tertawa puas sekali setelah berhasil mempermalukanku di depan Mama. Bantal memang tidak akan menghasilkan rasa sakit.

"Ngomong-ngomong soal Zara, Mama ngundang dia makan malam hari ini."

Aku menelan ludah. Jantungku berdebar kencang. Gugup saat membayangkan akan bertemu dengannya lagi. Perasaan ini sama seperti ketika aku jatuh cinta untuk yang pertama kali. Gejolak itu menggelitik sampai rasanya ingin membuatku berjingkat di tempat. Namun, tentu saja tidak kulakukan di sini. Felix akan mendapat bahan untuk mengejekku.

"Liat tuh, Ma, ada yang kesenangan mau ketemu sama calonnya."

"Ayo sarapan. Orang ini nggak boleh telat kerja." Aku beranjak dari sana lebih dulu sebelum menyaksikan mereka menertawakanku.

***

Seorang vendor menghubungiku siang tadi—saat istirahat makan siang, menanyakan tentang kapan kami akan mencetak undangan, karena prosesnya membutuhkan waktu dan belum lagi membagikannya tidak akan selesai satu hari. Kecuali undangan dikirim secara daring. Ah, tidak berkesan sama sekali jika seperti itu.

Awalnya, aku ingin memutuskan sendiri agar vendor mulai mencetak undangan, tetapi aku ingat Zara. Aku sudah berkali-kali membuatnya kesal karena mengambil keputusan sepihak tanpa dibicarakan berdua terlebih dahulu. Malam ini kami akan bertemu, aku akan membicarakan itu dengannya. Kuharap tidak ada yang berubah di antara kami. Aku tetap calon suaminya dan dia calon istriku.

"Hari ini kamu keliatan berseri-seri." Yohanes berkata begitu setelah meletakkan selembar amplop cokelat di mejaku.

"Maksudnya?" Aku harus mendongak untuk melihatnya, sedangkan tanganku merayap di atas meja sampai meraih amplop cokelat tadi.

"Kamu lebih ramah hari ini, nggak kayak kemarin-kemarin. Ya ... walau masih keliatan mendungnya." Yohanes tidak kembali ke mejanya, tetapi duduk di kursi di hadapan mejaku.

"Bukannya aku selalu kayak gitu?"

Yohanes mencebik, menggumamkan sesuatu yang remeh pelan-pelan dan aku tidak bisa mendengarnya. "Ramah tebar pesona, iya," sahutnya agak kesal.

"Eh, kapan kalian nikah? Masa nggak ada kabarnya lagi. Putus, ya?"

Aku yang baru akan meletakkan amplop yang sudah kuambil berkasnya pun beralih melibaskannya di depan wajah Yohanes, hingga angin yang tercipta membuat pria itu berkedip-kedip.

"Sembarangan. Nggak ada kata putus di antara kami."

"Terus apa? Gagal nikah?"

Aku menatapnya nyalang. Yohanes dengan mulutnya yang suka ceplas-ceplos adalah kombinasi menyebalkan. Orang bilang ucapan adalah doa. Bagaimana jika semesta justru mengaminkan ucapannya tadi? Pasti aku akan menjadi pria paling menyedihkan di bumi ini.

"Apa salah aku mengira kayak gitu? Lagian kamu nggak keliatan repotnya. Foto prewed nggak ada. Rencana cuti buat nikah juga enggak. Kamu nggak keliatan kayak orang mau nikah. Masih lama, ya?"

Aku menghela napas dan membanting punggung ke sandaran kursi. Rasanya tidak pantas aku memberi tahu tanggal pernikahan kami mengingat aku tidak ikut andil terlalu banyak dalam persiapannya. Rasa bersalah itu masih membelengguku. Aku memang calon suami yang buruk.

"Tunggu aja." Ya. Hanya itu yang bisa kurespons.

Yohanes bangkit dari kursi, tetapi belum berpindah sedikit pun. Ia menatapku iba, kemudian tersenyum. Aneh melihatnya seperti itu. Aku sampai mengernyit.

"Semoga kamu bahagia, El." Itu terdengar sangat tulus. "Ya ... terlepas dari karma karena menghancurkan hati mantan-mantan pacarmu tentunya. Selamat menikmati." Setelah itu barulah ia kembali ke mejanya, menyisakan aku yang mengumpat tidak jelas.

"Kurang ajar!"

***

Aku pulang lima menit lebih awal, tentu saja setelah mendebat Yohanes. Ia menolak aku meninggalkannya, tetapi setelah tahu alasannya, ia langsung mengusirku. Aku bisa bilang kalau Yohanes mendukung penuh hubunganku dengan Zara.

Tadi siang Mama mengirim pesan agar aku menjemput Zara di kantornya. Awalnya aku menolak karena kemungkinan besar Zara pasti menolak ikut denganku. Namun, Mama sudah tahu itu akan terjadi, jadi ia sudah menghubungi Zara agar mau kujemput. Memalukan memang, meminta bantuan orangtua di usiaku yang sudah banyak ini.

Aku tak berhenti melihat spion yang menggantung di atas dasbor mobil, mungkin sekitar sepuluh detik sekali? Sekadar untuk memastikan penampilanku tidak terlalu buruk dan rambutku tetap rapi. Apakah aneh kalau aku grogi menemui calon istriku sendiri?

Aku keluar dari mobil ketika kulihat Zara berjalan menuju gerbang. Jantungku menggila di dalam sana. Selama aku mampir ke rumahnya, jarang sekali aku melihatnya. Ibu bilang kalau Zara sedang repot-repotnya di kantor jadi harus pulang terlambat.

"Hai, Ra." Ya Tuhan, itu canggung sekali.

"Hai, El."

"Kabarmu gimana?"

"Baik."

Aku nyaris berpikir keras untuk merespons jawabannya. Sebelumnya, hal ini bukan sesuatu yang sulit untukku. Aku selalu punya cara untuk mempertahankan komunikasi, tetapi sepertinya itu tidak akan berlaku untuk kuterapkan pada Zara.

"Kamu nggak nanya kabarku balik?"

Zara mengernyit heran, tetapi kemudian merotasikan kedua matanya. Aku tahu ia tidak suka caraku merespons yang seperti menggodanya. Sungguh sebuah reaksi yang sangat kurindukan.

"Kamu ada di sini, berdiri dengan gagahnya, bahkan mampu mengemudi. Apa perlu kutanya, kamu sakit?"

Respons Zara membuatku senang bukan main. Sungguh. Meski takada ekspresi yang berarti di wajahnya, tetapi ia menghargaiku. Itu saja sudah membuatku terhibur.

"Tapi aku tetap ingin mendengarnya darimu." Karena mendapat respons yang sesuai dengan harapan, aku memberanikan diri melontarkan gurauan.

"El, aku nggak mood bercanda sekarang. Kita juga nggak akan ketemu kalau bukan karena Mama."

Aku bungkam setelahnya. Sinar di wajahku mungkin seketika lenyap. Senyumku direnggut paksa oleh gravitasi hingga menyisakan sebuah garis tipis.

"Maaf. Ayo, masuk." Aku menunjuk pintu mobil dengan kedua tanganku, tak berani memandang wajahnya. Mempersilakan ia untuk berjalan lebih dulu. Namun, Zara bergeming, aku menatapnya dan menemukan kalau ia sudah lebih dulu menatapku sendu.

"Maaf," lirihnya lalu menunduk, menatap jari-jarinya yang tengah bermain-main.

Aku ingin sekali menghapus jarak di antara kami dan menghamburinya dengan pelukan, lalu membanjiri wajahnya dengan kecupan ringan, untuk menenangkan sekaligus melampiaskan rasa rinduku kepadanya. Sayangnya, aku urung melakukan itu karena tak ingin Zara merasa tidak nyaman.

Tahanlah sedikit lagi, El.

Aku tersenyum tipis, kemudian berjalan menghampiri mobil dan membukakan pintu untuknya.

"Mau mampir ke suatu tempat?" tawarku ketika memasang sabuk pengaman.

"Iya. Nggak mungkin aku datang dengan tangan kosong."

Kami tiba di rumah setelah hari berubah gelap. Zara mampir ke beberapa tempat hingga bawaannya lumayan banyak sekarang. Mulai dari buah, sampai kue kering. Aku, dengn agak memaksa, membantu membawakan tiga kresek besar. Bukan lelaki sejati namanya jika membiarkan Zara membawa semua itu sendirian.

"Selamat datang, Zara sayang." Mama menyambut kami di depan pintu dan memberi Zara pelukan yang sangat erat. Pemandangan yang sangat langka itu membuatku tersenyum cukup lebar.

"Makasih udah ngundang Zara, Ma."

"Biasa aja. Ayo masuk, di dalam udah ditunggu Felix sama Daria."

"Mama undang Daria juga?" Aku melotot kaget. Lalu beralih menatap Zara yang sudah kehilangan senyumnya.

Alih-alih menjawabku, Mama hanya tersenyum ke arahku. Kerlingan matanya menandakan bahwa ada sesuatu yang ia rencanakan.

Aku tidak ingin apa-apa, tetapi kuharap makan malam ini tidak akan sekacau yang mulai terbayang di kepalaku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top