88 - Hurt Confession
Rafael Lazuardi
"Apa benar ini dengan Tuan Rafael Lazuardi?"
"Ya, benar. Anda siapa?"
"Saya adalah pemilik kontrakan yang ditempati oleh Nona Daria. Pagi ini kami menemukan Nona sudah tidak sadarkan diri di kamarnya dengan bersimbah. Kami khawatir dia kehabisan darah karena terdapat luka di pergelangan tangannya. Saya menelepon karena kontak Anda berada di daftar panggilan daruratnya. Bisa menyusul ke rumah sakit sekarang?"
"Maaf, mungkin dia nggak sengaja menambahkan saya ke daftar kontak darurat. Saya nggak punya relasi apa-apa dengannya."
"Oh, begitu. Baik, Tuan. Maaf sudah mengganggu paginya. Terima kasih."
***
Pagi-pagi sekali, mungkin sekitar pukul enam lewat sedikit, aku sudah mendapat telepon dari seseorang dan mengabari kalau Daria ternyata melakukan percobaan bunuh diri. Semakin ke sini, Daria semakin bukan seperti dirinya. Ia bukan lagi wanita yang kukenal dulu; bukan lagi wanita yang akan membuat siapa pun berdesir karena senyumnya; bukan lagi seperti wanita yang akan masuk dalam daftar kriteria istri idaman. Aku tidak tahu apakah perubahan itu hanya berlaku dengan kacamataku, atau orang-orang yang pernah mengenalnya merasa demikian. Yang jelas, aku semakin tidak berniat untuk menyusulnya, meski itu hanya untuk memastikan kondisinya.
Cinta rupanya membawa pengaruh yang terlalu besar bagi manusia. Orang-orang yang tidak mampu membatasi diri, tidak mampu menahan agar cinta itu sendiri tidak mengambil alih kontrol atas diri sendiri, mungkin akan berakhir seperti Daria sekarang; terbaring koma. Cinta itu sendiri berubah menjadi obsesi untuk memiliki. Ia tidak berhenti berusaha membuatku kembali padanya, bahkan sampai rela melukai dirinya sendiri. Semuanya jadi sangat dramatis jika itu berasal dari Daria.
Sudah satu jam aku duduk di sini, di kursi besi panjang yang dingin di depan ruangan rawat Daria. Aku tidak ingin berada di sini, tetapi ini hanya pelampiasan atas emosiku yang memuncak karena ucapan Zara tadi. Aku kecewa karena Zara masih menganggap aku peduli pada Daria. Padahal ia tidak mau mendengarkanku. Apa harus sampai seperti ini? Orang yang akan menikah seharusnya lebih banyak menghabiskan waktu bersama meski itu hanya untuk membagikan undangan ke para kerabat kami.
Semua ini terasa membingungkan. Apakah ini berarti kalau kami memang tidak ditakdirkan bersama? Aku belum pernah menemukan pasangan yang akan menikah menghadapi masalah serumit ini. Maksudku, lihat teman-temanku, mereka bisa memutuskan kapan saatnya menikah dengan pasangan tanpa harus menghadapi masalah terlebih dahulu.
Atau Zara masih belum yakin dengan perasaannya padaku? Dua orang yang saling mencintai seharusnya mampu menyelesaikan masalah serumit apa pun di antara mereka. Ditambah lagi, Zara tidak pernah mengatakan bahwa ia mencintaiku tanpa kumulai. Entah itu aku yang lebih dulu mengungkapkannya, atau kuminta dia mengatakan itu untuk menghiburku.
Soal perasaan, Zara sangat sulit ditebak.
"Rafael!"
Suara Mama sudah terdengar meski ia masih beberapa meter dariku. Beliau datang bersama Felix dan tanpa Papa. Rupanya adikku itu ditugaskan untuk menjemput Mama di bandara.
"Gimana keadaan Daria?" tanya Mama setelah menjatuhkan dirinya di sebelahku; duduk.
Napas Mama tersengal. Khawatir bercampur lelah. Itu terpampang jelas di wajahnya yang dihiasi beberapa kerutan tipis di sudut mata. Mama, tidak bisakah sedikit saja melihat ke mata anakmu, dan berhenti bersikap seolah orang lain adalah bagian dari hidupmu?
"Nggak tau, Ma. Aku belum bertemu siapa pun." Aku menjawab tanpa menatapnya. Mungkin dengan seperti ini, Mama akan sadar kalau aku tidak senang berada di sini.
"Kenapa nggak nanya sama perawatnya?"
Aku hanya mengangkat bahu acuh tak acuh.
"Rafael? Daria lagi koma, lho. Kamu, kok, kayak nggak peduli gini?" Aku berusaha menahan diri agar tidak meledak di sini, tetapi aku ingin sekali mengingatkan Mama tentang siapa anaknya.
"Aku aja nggak tahu kenapa harus berada di sini, Ma."
Mungkin Mama akan marah atas responsku, tetapi aku tidak peduli. Aku tidak ingin melukainya perasaannya, hanya tidak ingin terus-terusan terjebak dalam lingkaran setan milik Daria.
"Kamu, kan, yang punya tanggung jawab untuk asuransinya?"
Aku terkejut, itu mungkin terlihat jelas di wajahku, bahwa aku tidak menyangka Mama sampai tahu soal itu. Siapa lagi yang akan memberitahunya kalau bukan Daria?
"Ma, aku sudah nggak teribat apa-apa lagi dengan apa pun tentang Daria. Aku—"
"Abang," potong Felix dengan cepat. Kami saling pandang dan segera aku sadar kalau ia sedang berusaha menahanku agar tidak menimbulkan keributan di sini.
"Bukannya hari ini ada rencana pertemuan dengan salah satu sponsor?"
Itu hanya alasan yang dibuat-buat Felix. Memangnya sepenting apa urusan kerjaku sampai harus kuceritakan pada Felix. Namun, lebih baik seperti ini; pergi dulu untuk meredam emosi. Selain itu, Mama mungkin masih kelelahan karena perjalanan jauh menyeberang pulau.
Untuk membenarkan ucapan Felix, aku beranjak dari bangku dan menatap arloji yang melingkar di tangan kiri. "Ya. Benar. Aku harus ke kantor sekarang, Ma."
"Oke. Mama sudah ada di sini. Kita akan bicarakan soal ini di rumah nanti malam."
***
"El, kamu bukan berencana mau menginap, 'kan?"
Yohanes menunggu jawabanku dengan kening yang berkerut. Di pangkuan pria ini, duduk seorang balita laki-laki yang sangat mirip dengannya. Matanya tertuju padaku. Pipi bulatnya bergoyang ketika sang ayah berusaha membenahi posisinya. Aku jadi membayangkan seperti apa rasanya memangku anakku sendiri; anakku bersama Zara. Hingga akhirnya tersenyum sendiri seperti orang gila.
"El?" panggil Yohanes sekali lagi.
"Nggak. Aku cuma sebentar."
Aku menyesap kopi yang tadi dihidangkan oleh Yohanes ditemani dengan kerutan di dahinya. Matanya bergulir ke sebelah kanan, dan ketika kuikuti, ia sedang menatap jam di dinding. "Sebentar? Tapi kamu sudah satu jam di sini."
"Ah, iya."
Yohanes menggeram kesal. Kukira aku tidak sedang mengganggunya, jadi aku tetap berada di rumahnya tanpa berniat pulang.
"El, serius, kamu dengan masalah hidupmu itu merepotkan. Kamu datang padaku, tapi nggak menceritakan apa-apa. Memangnya aku tahan memandang muka surammu itu lama-lama?"
"Tidak."
Aku benar-benar ke kantor tadi siang, seperti alibi yang dibuat-buat Felix. Sebagai pengalihan, aku mengerjakan beberapa pekerjaan yang tidak memerlukan proses berpikir yang berat, hingga tak menyadari sudah tiba waktu pulang. Saat itu juga aku sadar bahwa di rumah ada Mama. Membayangkan ia akan memprotes sikapku yang tak memedulikan Daria, sudah membuat perutku bergejolak. Aku enggan membahas apa pun tentangnya. Akhirnya, aku ikut pulang ke rumah Yohanes. Tentu setelah menanyakan apakah istrinya dinas atau tidak.
"Kalau nggak perlu teman bicara, aku mau menidurkan anakku dulu."
Tatapanku lantas tertuju pada balita kecil yang mulai terpejam-pejam matanya. Aku jadi merasa tidak enak berada lama-lama di sini.
"Aku pulang aja, Han. Kasian anakmu," ucapku sembari beranjak dari sofa.
Kulihat Yohanes menggeleng seperti orang yang tak habis pikir dengan kelakuanku.
"Kamu berutang cerita padaku, El. Aku bosan melihatmu sebentar-sebentar kayak orang yang kehilangan semangat hidup."
Aku tidak menolak ataupun mengiakan, yang kulakukan hanya tertawa sebelum pamit untuk pulang.
Langit sudah gelap, tetapi takada bintang yang menghiasi. Sudah lewat waktu makan malam, tetapi aku tidak bernafsu untuk makan. Setelah apa yang terjadi hari ini, aku tidak sabar malam berlalu dan aku bertemu hari esok.
Namun, waktu enggan berkompromi, ia masih berjalan dengan laju yang sama. Mama tidak akan membiarkan aku langsung beristirahat setibanya di rumah. Jika ada sesuatu yang mengganggunya, Mama akan segera menyelesaikannya. Dan tentang Daria tentu akan jadi pengantar tidurku malam ini.
"Kok, baru pulang?"
Aku baru masuk ke rumah, dan tatapan penuh selidik dari Mama segera menyambutku.
"Ma, aku ingin menceritakan sesuatu ... tentang Daria."
Kupikir sebelum Mama menanyakan sesuatu yang mengharuskanku menjelaskan berkali-kali, sebaiknya aku yang lebih dulu memulai.
Aku duduk di sofa ruang tamu sebelum Mama merespons. Namun, kupikir Mama memang sudah menunggu penjelasan dariku, jadi ia ikut duduk di sofa yang posisinya di sisi lain ruangan. Aku harus menyerongkan badan untuk melihatnya.
"Aku nggak tau apa Papa udah cerita ke Mama atau belum, dan apakah cerita versi Papa sama persis denganku atau tidak."
Mama mengangguk ringan. "Ya. Mama sudah mendengar kalau kalian tidak berakhir dengan baik. Daria juga udah klarifikasi ke Mama."
"Tapi aku bakal tetap ceritain ke Mama lagi. Terserah Mama mau percaya versi aku atau yang diceritakan Daria."
"Mama harus mendengarnya dulu, 'kan?"
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.
"Ma, Daria cinta pertamaku. Waktu dia meninggalkanku karena pria lain yang tampak lebih siap dariku, aku terpuruk. Pacarnya yang baru, sengaja memamerkan hubungan mereka dan membuatku nggak bisa fokus dengan pekerjaanku. Aku sakit seminggu penuh, apa Mama tahu? Nggak. Mama hanya sibuk berkirim pesan dengan Daria, seperti dia adalah anak perempuan Mama."
"Aku nggak cemburu, Ma. Aku nggak pernah iri kalau Mama lebih perhatian sama dia daripada aku. Apalagi ... Daria sebatang kara waktu itu. Namun, aku justru merasa seperti terasingkan, sejak Felix lahir, aku kehilangan seluruh perhatian kalian. Jadilah aku terbiasa buat nggak memberi kabar apa-apa pada kalian. Mungkin kalau aku mati pun kalian nggak akan tahu."
Aku mengusap wajahku, ketika di saat yang sama mata Mama mulai berkaca-kaca. Aku tidak bermaksud untuk membuatnya sedih atau menyesal, tetapi kupikir ini momen yang pas untuk mengungkapkan uneg-unegku sekalian.
"Aku nggak tahan melihat mereka bersama. Kebetulan perusahaan membuka cabang di sini dan memerlukan karyawan, aku menawarkan diri dengan suka hati. Padahal jabatanku di pusat sudah lumayan membanggakan. Tapi aku lebih peduli sama kesehatan mentalku, Ma. Aku nggak bisa berpikir jernih."
"Zara adalah teman kampusku dulu. Jujur, kami bahkan nggak pernah mengobrol dengan benar, kami tidak saling mengenal dan topik yang relate di antara kami berdua hanya tentang tugas. Kepindahanku ke sini mempertemukan kami kembali di acara reuni. Zara wanita yang berbeda, dia penuh luka. Saat aku tahu tentang konflik batinnya, aku maju untuk menjadi obatnya. Aku mungkin sedang sakit, tapi dengan Zara di sekitarku, aku juga terobati. Kami adalah obat untuk satu sama lain."
"Ketika aku sadar sudah jatuh cinta dengannya, Daria datang lagi, memorakporandakan perasaanku. Aku nyaris kembali dengannya lagi, Ma. Tapi aku ingat Zara, ketakutannya dengan lawan jenis akan semakin buruk kalau aku meninggalkannya demi wanita yang sudah membuangku."
"Daria nggak pernah cerita soal itu ke Mama." Mama dengan ekspresi kagetnya membuatku tertawa hambar.
"Dia nggak mau kehilangan perhatian Mama. Dia bersikeras ingin kami kembali, tapi aku nggak bisa, Ma. Aku terluka gara-gara dia, aku nggak menemukan sesuatu lagi darinya seperti yang kurasakan sama Zara."
Mama meraih lenganku, dan menggenggamnya dengan erat. "Mama mengerti, kalian juga akan menikah. Tapi ... apa harus setega ini padanya? Menarik namamu dari surat kuasa asuransinya?"
Aku tersenyum getir. "Itu yang Mama nggak tahu."
"Kalau begitu beri tahu Mama, Nak." Itu bukan lagi permintaan, tetapi sebuah desakan.
"Hubunganku dengan Zara merenggang gara-gara dia."
"Bagaimana mungkin?" Mama kaget, lebih seperti tidak percaya pada apa yang kuucapkan. Aku sudah menduga reaksi itu akan kudapatkan darinya. Aku sungguh tidak tahu pembelaan macam apa yang Daria katakan pada Mama.
"Mama terlalu memanjakannya, menjadikan restu sebagai ancaman jika aku mengabaikan Daria. Sepenting apa dia buat Mama?" Suaraku mulai bergetar dan mataku memanas. Aku ingin menangis, bukan karena sikap Mama, tetapi karena aku sudah sangat jahat kepada Zara.
"Itu ... sebelum Mama mengenal Zara dengan baik, Nak." Mama tahu aku ingin menangis, jadi ia kembali mengusap tanganku.
"Sekarang Mama sudah mengenalnya?"
"Dia perempuan yang baik."
"Ma, aku sayang Mama. Bahkan aku nggak berani melamar Zara kalau tanpa restu Mama. Aku menghargai pendapat Mama. Tapi aku betul-betul nggak bisa melepas Zara kalau Mama mau aku kembali dengan Daria. Itulah kenapa aku nggak bisa menolak permintaan Mama untuk memperhatikan Daria di sini. Mama dengan tega mengancam tidak akan merestui hubunganku dengan Zara jika aku menolak. Tapi apa Mama tahu akibatnya?"
Setetes air mata lolos membasahi pipiku. Aku tidak pernah tampak semenyedihkan ini di depan siapa pun. Tidak pernah. Namun, karena ini menyangkut masa depanku dengan Zara, aku rela tampak sangat menyedihkan. Bahkan jika harus memohon pun, aku akan bersujud di hadapan Mama.
"Daria menyita waktu yang seharusnya untuk Zara. Kami perlu mempersiapkan pernikahan kami, tetapi aku justru sibuk mengurus terapi kaki Daria yang patah. Dia selalu mengancam akan mengadu pada Mama. Memangnya aku bisa apa kalau Mama mencabut restu kami?"
Aku ngos-ngosan. Kerongkonganku mendadak terasa sakit. Aku tidak sadar sebanyak apa aku bicara tadi. Felix lalu datang membawakan air untukku dan Mama.
"El, Mama nggak tahu kalau dampaknya akan seburuk ini. Daria nggak pernah cerita apa-apa ke Mama." Mama tampak merasa bersalah. Dan aku justru sakit melihatnya seperti ini. Aku tidak ingin Mama mengira bahwa ia bukanlah ibu yang baik untuk anak-anaknya.
"Apa itu menjadi alasan buat nggak mencari kabar anakmu sendiri, Ma?" Suaraku terdengar lirih.
"Ma, pernikahanku dan Zara semakin dekat. Aku sudah membiarkannya mengurus persiapan pernikahan kami seorang diri. Maka ...." Kuraih tangan Mama dan menggenggamnya dengan erat. "Aku mohon, Ma, lepaskan aku dari bayang-bayang Daria. Jangan buat aku terbebani dengan tanggung jawab untuk mengurusnya. Jangan jadikan restu kami sebagai ancaman. Mungkin aku sudah bersikap dengan tidak sesuai harapan Mama. Mama boleh menghukumku, tapi jangan pisahkan aku dengan Zara. Hanya itu permintaanku, Ma."
Aku membiarkan air mataku mengalir tanpa henti. Tak kupedulikan seperti apa kacaunya penampilanku sekarang. Namun, mungkin dengan seperti ini Mama akan mengasihaniku. Memangnya ibu mana yang tega menghalangi kebahagiaan anaknya sendiri?"
"Rafael, maafkan Mama. Mama nggak tahu kalau kamu berada dalam situasi sulit. Mama sudah lupa sejak kapan, tapi Mama sudah tidak memikirkan tentang ancaman itu lagi. Mama merestui kamu dengan Zara. Apa pun untuk kebahagiaanmu, Nak."
Mama memelukku dengan erat, sesuatu yang baru kusadari bahwa aku sangat merindukannya. Aku lupa kapan terakhir berada dalam dekapannya. Rasanya senyaman ini, aku sampai meletakkan dagu di bahunya, tak ingin melepasnya dulu.
"Ma, satu lagi." Aku menarik diri dari pelukannya. "Tolong, bicara pada Daria. Aku nggak mau jadi alasannya melukai diri sendiri seperti yang terjadi hari ini."
***
Can I say sorry? This part is a total failure. Dont you think so too? Aku belum pernah mengakhiri cerita dengan benar, maksudku ... aku gugup bukan main waktu nulis ini. Ini mendekati ending. Iya gak sih? Ya ... semoga abis ini Daria nggak macem-macem lagi. Capek aku ngadepin dia :")
Thank you and—
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top