85 - Only you, Zara
Rafael Lazuardi
Aku melakukan kesalahan lagi.
Ponselku tampak sangat mengerikan ketika sambungan telepon baru saja berakhir. Aku tidak bisa heran kenapa orang tadi bisa tahu nomor teleponku. Zara mungkin lelah terus-menerus diteror orang itu karena aku tidak kunjung datang, hingga akhirnya memutuskan memberikan nomorku pada vendor yang akan mengurusi acara pernikahan kami nanti. Ya, datang untuk mengukur badan. Aku terlalu sering mampir ke rumah Zara-meski percuma karena aku tidak pernah menemuinya lagi-sampai lupa datang ke sana.
Zara mungkin sudah berpikir aku berencana membatalkan pernikahan dengannya. Tinggal sebulan lagi, kuharap itu menjadi waktu yang cukup untuk menjahit bajuku. Dan setelah dipikir-pikir lagi, ternyata sudah lama aku tidak mampir ke sana untuk memastikan progres kesiapan acara kami. Aku akan sekalian membahasnya nanti dengan mereka.
Aku memandang layar komputer dengan tatapan gelisah. Tepatnya ketika emailku menerima banyak email terusan dari Yohanes. Kepalaku menyembul dari samping layar monitor, sekadar untuk melihat Yohanes yang sibuk dengan komputernya sendiri. Aku berencana pulang cepat hari ini, tetapi email dari Yohanes menggagalkannya, terlebih lagi ketika kubaca subjek yang sama dari tiap email.
Tenggat hari ini!!!!!!!
Aku menghitung jumlah tanda seru di sana, ada tujuh. Aku yakin dia sengaja ingin membuatku kesal, karena dengan begitu aku bisa dipastikan menyelesaikannya hari ini juga. Sebuah bentuk pelampiasan emosi dengan menyelesaikan pekerjaan kupikir adalah sesuatu yang baik.
Tentu saja. Jika aku ingin pulang lebih awal, maka aku harus menyelesaikannya segera. Namun, selagi aku sudah memeriksa separuh dari emailnya, komputerku kembali menerima pemberitahuan email masuk, dan semuanya juga dari Yohanes-dengan subjek yang sama pula.
"Han," panggilku, dengan menekan emosi yang mulai memanjat ke ubun-ubun.
"Ya?" sahutnya, menyembulkan sebagian tubuh dari balik sekat.
"Kemarin kamu buat aku senggang, kenapa hari ini sebanyak ini?" Aku menunjuk komputer dengan tanganku, padahal Yohanes jelas-jelas tidak bisa melihatnya karena terhalang monitor.
"Tiga bulan sebelum akhir tahun, you know lah, El, orang-orang berlomba buat dapetin kita sebagai sponsor acara. Biasalah, ngabisin anggaran tahunan." Yohanes tersenyum setengah mencebik, seperti memberi tahu bahwa itu adalah sesuatu yang sangat biasa terjadi, dan aku setuju meski baru kali ini mengurus banyaknya proposal yang masuk.
"Nggak dikurasi dulu, nih? Apa semuanya langsung kamu teruskan ke emailku? For your information, I have an appointment after work."
Yohanes menggaruk kepalanya yang aku tidak tahu apakah benar-benar gatal atau hanya dibuat-buatnya. "Ya ... kalau bisa dikerjakan hari ini, kenapa menunggu besok?"
Aku melepas mouse dan membanting punggung ke sandaran kursi. Yohanes benar-benar pantas menerima kandidat sebagai asisten yang suka sekali membuat atasannya kesal. Kendati demikian, aku tidak bisa marah padanya. Meski memang bagian dari tugasnya, tetapi aku tetap harus mengapresiasinya yang sudah banyak membantuku dalam pekerjaan. Itulah mengapa aku selalu menekan emosiku kepadanya.
"Tapi kamu menulis tenggat hari ini dengan tujuh tanda seru. Bagaimana bisa aku nggak terpicu?"
Yohanes tertawa geli seperti aku baru saja melontarkan lelucon. "Kamu bosnya, lebih mempunyai wewenang kapan harus menyelesaikan pekerjaanmu, kenapa sampai merasa tertekan begitu?"
Benar juga. Silly me.
"Kalau begitu, aku akan pulang cepat hari ini," ucapku dengan suasana hati yang membaik, bahkan tersenyum pada monitorku.
"Tumben? Mau ke mana?"
"Ke vendor, aku belum ukur badan. Gila, 'kan?" jawabku terlampau jujur. Tak ada gunanya menyembunyikan itu dari Yohanes.
"Ukur badan buat apa? Vendor apa?"
Aku lupa belum menceritakan tentang rencana pernikahanku dengan Zara yang akan diadakan enam minggu lagi. Akan membutuhkan waktu yang panjang untuk menceritakan semuanya pada Yohanes. Akan muncul banyak pertanyaan dari pria itu jika tidak kuceritakan tentang masalahku juga.
Setelah dipikir-pikir lagi, sebanyak apa pun yang kuceritakan pada Yohanes, ternyata tak sebanyak yang kusembunyikan sendiri. Kenapa sulit sekali percaya dengan orang lain?
"Untuk itu, tunggu saja kabar baiknya. Yang jelas, doakan yang terbaik buatku, Han," ucapku dan diakhiri dengan senyum getir.
***
Sekitar pukul lima sore aku tiba di gedung WO. Sengaja aku pulang beberapa menit sebelum waktunya agar bisa segera tiba di sana. Ketika aku masuk, seorang pria sudah menyambutku dengan sapaan yang ramah. Aku memberi tahu maksud kedatanganku dan ia segera mengantarku ke lantai dua, ke sebuah ruangan yang bertuliskan kata 'fitting' di pintunya.
"Akhirnya Anda datang juga," ujar seorang wanita yang aku tidak ingat apakah pernah bertemu dengannya di kunjungan kami sebelumnya atau tidak. Rambutnya digelung rapi dan kalau tidak salah, ia mungkin sudah berusia empat puluhan.
"Iya. Maaf sudah mengulur waktu terlalu lama," sahutku merasa tak enak.
"Tak masalah, kami cuma khawatir penjahit kami tidak sempat menyelesaikannya seminggu sebelum hari H," balasnya sembari meraih sebuah pita ukur dari laci satu-satunya meja di ruangan itu. "Anda ingin ganti? Mungkin nggak nyaman kalau saya yang ngukur?"
"Nggak masalah kalau Anda yang mengukur, Mbak."
Wanita itu mengangguk dan menginstruksikan seorang wanita yang sejak tadi sudah memegang sebuah buku dan pen, untuk mendekatinya.
"Tolong rentangkan tangannya," pinta wanita paruh baya tadi dan aku tentu saja menurut.
Sekitar sepuluh menit kemudian, wanita itu selesai mengukur bajuku. Zara sudah pernah menunjukkan katalog pakaian kepadaku kupercayakan padanya untuk memilih. Sekarang aku baru sadar, semuanya kuserahkan pada Zara. Aku penasaran apa ada lagi yang harus diselesaikan untuk pernikahan kami?
"Maaf, Mbak, boleh bertemu dengan pegawai yang bertanggung jawab untuk menangani persiapan pernikahan kami?" Sebelum aku keluar dari ruangan itu, aku menyempatkan diri bertanya pada si wanita.
"Atas nama siapa? Biar kami cekkan."
"Rafael Lazuardi dan Zara Naulia."
"Ayo ikut saya ke bagian resepsionis," ujar si pria yang menyambutku tadi-dan yang tidak kusadari ternyata menunggu di ruangan itu.
Pria itu memintaku untuk menunggu di lounge yang kurasa memang disediakan untuk pelanggan yang berkunjung. Aku memperhatikan pria itu yang tengah bicara dengan si penjaga resepsionis, dan sesekali memperhatikan sekitar. Ada banyak foto-foto pre wedding di sini, aku penasaran apakah kami juga perlu melakukan sesi foto pre wedding atau-kupikir tidak, mengingat masalah yang terjadi sekarang, jadi menikah dengan Zara saja sudah membuatku senang luar biasa.
Perpisahan sementara ini sungguh membuatku menderita, dan aku benar-benar menyesal sudah melukai Zara. Semua ini tidak akan terjadi jika aku jujur sejak awal, dengan alibi tidak ingin melukai perasaan Zara. Aku terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang merupakan risiko dari perbuatanku sendiri. Sekarang bagaimana aku menikmatinya? Penuh penyesalan. Karma bukanlah mitos, tetapi benar-benar terjadi.
"Permisi."
Sebuah suara membuyarkan semua hal yang ada di pikiranku. Seorang wanita sudah duduk di sofa di hadapanku. Ia tersenyum dan mulai menyalakan iPad yang dibawanya.
"Ah, iya."
"Rafael Lazuardi, benar?"
"Benar, Mbak," balasku. Ah, aku baru ingat ia adalah salah satu karyawan yang menyambut kami di kali pertama kami datang ke tempat ini.
"Ada yang perlu dibantu?"
"Saya baru saja datang untuk mengukur badan, maaf sudah menundanya cukup lama. Dan saya ingin sekaligus menanyakan barangkali ada hal lain yang perlu diselesaikan?"
Wanita itu memainkan iPad-nya sebelum membalas, "Calon istri Anda sudah mengurus semuanya, Tuan, bahkan sudah membayar DP untuk pemesanan paket.
Darahku berdesir ketika wanita itu mengatakan 'calon istri', tetapi aku tidak bisa menikmati sensasi menyenangkan itu lama-lama, karena fakta bahwa Zara sudah menyelesaikan semuanya berhasil menamparku. Aku terlempar pada jurang penyesalan yang tak berdasar. Bagaimana mungkin aku membiarkan Zara kerepotan sendirian sementara aku sibuk mengurus mantan kekasih yang bahkan bukan tanggung jawabku.
Apa yang saat itu kupikirkan sampai memilih mengurusi Daria daripada persiapan pernikahan kami sendiri? Rupanya, aku benar-benar pria yang bodoh.
"Terakhir, dia cuma minta agar proses cetak undangannya ditunda dulu."
Tentu saja Zara akan melakukan itu.
Andai ia mau mendengarkanku sekarang, tanpa harus menunggu dua bulan yang dimintanya itu berakhir, mungkin masih ada harapan untuk kami berdua. Lagi pula, aku sudah sangat yakin dengan perasaanku sendiri, bahwa hanya Zara, Zara, dan Zara yang mampu membuatku uring-uringan seperti orang gila.
Hanya Zara yang ingin kubahagiakan.
Hanya Zara yang ingin kulihat sebelum kupejamkan mata untuk mengakhiri hari dan yang kuberi senyum ketika terbangun di pagi hari.
Hanya Zara yang ingin kujadikan tempat untuk membagi rasa.
Hanya Zara yang aku mau merepotkanku setiap saat.
Hanya Zara pula yang ingin kuberikan cinta.
Aku mencintainya. Sangat. Sampai-sampai aku lupa bahwa komitmen awal kami hanya untuk menguntungkan satu sama lain. Sering bertemu dengannya berhasil memupuk sensasi mendebarkan hingga membuahkan rasa. Segala keunikannya, cara berpikirnya, bahkan diamnya pun, sudah membuatku jatuh cinta berkali-kali padanya. Aku tidak pernah berpikiran untuk kembali dengan Daria, sungguh. Aku sangat ingin menyingkirkan mantanku itu, tetapi entah harus memakai cara apa lagi.
Mungkin Mama bisa membantuku, jika beliau bicara dengan Daria, bisa saja Daria akan sadar dan berhenti berusaha terlalu keras untuk kembali padaku. Karena perasaan yang pernah kuberikan padanya sudah tidak ada lagi, menyisakan kebencian yang sangat mendalam.
Kesadaranku dipaksa kembali ketika ponselku berdering, kuharap aku tidak melamun terlalu lama di hadapan karyawan di hadapanku saat ini.
"Maaf, Mbak, saya angkat ini sebentar," ujarku sebelum sempat melihat kontak si penelepon.
Lagi-lagi Daria. Aku tidak tahu kapan ia bisa berhenti menggangguku. Obsesinya padaku terlalu menyebalkan dan membuat risi. Aku tidak menerima panggilannya dan kembali ke sofa. Setidaknya harus ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk jasa vendor ini.
"Bisa saya lunasi pembayaran paketnya sekarang, Mbak?"
"Oh, bisa, silakan ke bagian resepsionis, Tuan." Wanita itu kemudian memimpin jalan menuju resepsionis.
Zara membayar DP hampir separuhnya, itu tentu bukan jumlah yang sedikit. Ciri khas Zara, tidak ingin merepotkan orang lain. Jika ia bisa sendiri, why not?
Sekali lagi ponselku berdering selagi mesin ECD bekerja untuk kartu ATM-ku. Aku meraihnya dengan susah payah menggunakan tangan kiri karena harus menekan PIN juga pada mesin ECD tersebut. Dan sekali lagi aku menyesal sudah membuang waktuku hanya untuk menemukan kontak Daria di sana.
Kali ini aku tidak menunggu ia membatalkan panggilan, tetapi aku langsung menekan tombol untuk menolak panggilannya.
Aku tidak tahu masih ada urusan apa lagi dengannya sampai ia tidak berhenti menghubungiku. Aku sengaja tidak memblokir nomornya demi menghindari hal-hal berisiko karena kenekatannya. Daria yang dulu pernah kuberi cinta dengan tulus, sekarang berbalik menjadi sosok yang paling ingin kuhindari.
Proses pembayaran selesai. Wanita penjaga kasir mengembalikan kartu ATM-ku sekaligus dengan struk pembayaran. Aku berterima kasih dan segera pergi dari sana. Setibanya di sebelah mobil, ponselku berdering lagi dan kali ini menggeram dan menerima panggilan tersebut tanpa memperhatikan nama kontaknya.
"Ada apa lagi, Daria? Nggak cukup menggangguku terus? Apa masih perlu kutegaskan kalau kita sudah-"
"Ini aku. Aku bukan Daria."
Napasku tercekat dan segera saja kuperiksa nama kontaknya.
***
Apa kalian menyadari sesuatu?
Kalau makin ke sini, makin banyak narasi dibandingkan dialog. *Ah, dari dulu juga kayak gitu, Tut. 😢
Maaf, aku nggak tahu harus menuliskan interaksi apa antara si tokoh dengan yang lainnya, rasanya mereka perlu lebih banyak mengungkapkan apa yang dia rasakan walau kadang masih rancu, atau aku lupa ternyata itu sudah disampaikan sebelumnya. *Tenang, setelah kelar, bakal aku revisi, kok. Hiks.
Makasih, makasih banget buat teman-teman yang masih mengikuti kisah Zara dan El dalam Intertwined sampai di sini. Iya, aku tahu, kok kalau El menyebalkan, kurang ajar, keterlaluan, dan hal nggak baik-baik lainnya. Hihi.
Sosok El ini kubuat berdasarkan karakter seseorang yang nyata dan pernah kutemui. Mengingat Zara ini sangat merepresentasikan aku, tetapi sosok El sama sekali bukan tipeku. Aku cuma berpikir, gimana jadinya kalau dua tokoh yang seperti jika dipersatukan. Dan ya ... inilah jadinya.
Ada alasan kenapa aku menulis sebanyak ini. Menghindari plot hole salah satunya. Dan lagi, tulisanku dulu pernah dibilang terkesan buru-buru sampai sering kali menimbulkan tanya. That's why aku jadi lebih suka merincikan beberapa scene yang kalau dibaca-baca lagi, sebenarnya nggak perlu ditulis gitu meski ada informasi di dalamnya. Tapi malah aku jadi terlalu berlebihan menulisnya. ☹☹
Duh, maaf jadi curhat.
Aku mau iklan bentar boleh, kan? Udah, sih ngiklan di cerita satunya, tapi mana tau teman-teman di sini juga bakal suka. Hihi.
Ini chicklit juga. Dari dulu aku suka banget baca cerita novel terjemahan gitu. Dan di cerita di bawah ini aku mencoba menulis dengan gaya tersebut. Mungkin teman-teman bakal suka? Ini ditulis barengan sama 5 temanku yang lain di akun masing-masing. Dan mendapat jatah update satu hari dalam seminggu. Aku kebagian hari Selasa, lho.
Cek, deh
Blurb:
[Song Series]
Update tiap hari Selasa
Ava tidak pernah sesial ini dalam hidupnya; calon tunangannya setuju dijodohkan dengan wanita lain, dan harus kehilangan pekerjaan di saat yang bersamaan.
Orang bilang, di balik kesialan, akan digantikan oleh sesuatu yang baik. Namun, pantaskah Ava menyebut Alby sebagai malaikat penolong, sementara kehadiran pria itu bertujuan untuk ajang balas dendam pada mantan kekasihnya?
Alby yang memulai permainan itu, dan Ava turut berpartisipasi meski awalnya enggan. Namun, semakin jauh permainan itu mereka mainkan, justru melibatkan perasaan di dalamnya.
"This game I know I'm gonna lose, makes me want you more."
Sampai jumpa dan-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top