83 - Missing Her

Rafael Lazuardi

Daria - El, bisa kita bicarakan tentang surat notaris itu?
Daria - Please, aku nggak tahu apa jadinya kalau tanpa bantuanmu.

Daria is calling ... .

Aku mengabaikannya dan menyimpan ponselku ke saku dalam jasku. Entah harus memakai cara apa lagi aku untuk menyadarkannya bahwa aku tidak ingin berurusan apa-apa lagi dengannya. Tidakkah ia sadar apa yang sudah dilakukannya dulu? Sekarang rencana pernikahanku dengan Zara terancam batal karena ia terlalu bergantung padaku. Untuk yang terakhir, bukan salah Daria sepenuhnya juga, karena aku pun lupa membatasi diri untuk tidak terus-terusan menemuinya.

"El, pulang kerja ke mana?" Yohanes yang sedang membereskan meja bertanya padaku.

"Ke rumah Zara. Kenapa?"

Reaksi Yohanes sangat berlebihan. Ia menghentikan aktivitasnya dan memandangku. Alis tipisnya tertaut di atas batang hidung. Keningnya berkerut dan aku tidak tahu kenapa ia sampai bereaksi seperti itu.

"Serius?"

"Hah?"

Yohanes keluar dari mejanya dan menghampiriku bersama tas selempang yang sudah menggantung di bahu. Tiap langkah yang dirajut kakinya semakin meningkatkan rasa penasaranku. Andai mukanya tidak berubah serius, sensasinya tidak akan sampai seperti ini.

"Seminggu kemarin kamu nggak ada semangatnya, ya ... kayak orang yang bosan hidup gitu. Aku males bertanya, tapi aku udah menduga pasti ada kaitannya sama Zara. Kukira kalian batal nikah," tutur Yohanes bak seorang analis. Ia meletakkan sebelah tangan di atas mejaku, menopang tubuh. Itu seperti gestur yang menunjukkan bahwa ia siap mendengarkan ceritaku.

"Doanya yang baik-baik, Han." Aku protes. Akhir dari ucapannya membuatku tersulut emosi.

"Kan, cuma dugaan," sahut Yohanes, mengklarifikasi.

Aku mengembuskan napas kuat-kuat untuk meredam emosi. "Tadi kenapa nanya aku mau ke mana?"

"Oh, biasalah, ngumpul sama yang lain." Wajah Yohanes berubah semringah saat mengatakannya. "Lama nggak, tapi nggak bisa ikut, 'kan?"

"Mungkin lain kali." Aku diam sebentar, ada satu pertanyaan yang mendadak muncul di kepalaku. "Kamu masih bisa main keluar? Kan, udah nikah."

Padahal hari ini bukan kali pertama Yohanes yang sudah beristri akan pergi keluar bertemu teman-teman kami. Namun, semakin ke sini, aku mulai memikirkan kehidupan setelah pernikahan. Termasuk alasanku dulu menunda untuk menikah; karena tidak siap melepas kebiasaan lamaku. Kupikir akan sulit bepergian setelah menikah. Entah nantinya akan tidak diizinkan istri, atau aku yang tidak tega meninggalkannya.

"Lho? Kenapa nggak boleh?"

"Kali aja nggak dikasih izin istri." Aku menyahut sambil menggaruk tengkuk, seperti memperlihatkan keluguanku.

Melihat Yohanes menggeleng membuatku malu sendiri. Mantan playboy ini jadi tampak tidak ada wibawanya sama sekali.

"Kalau kamu nikah sama istri posesif ya jelas nggak dibolehin, El," sahut Yohanes diiringi kekehan.

"Dan istrimu ngizinkan gitu aja?"

"Heh, jelek-jelek gini aku setia sama istri, lho. Jadi dia nggak punya alasan buat ngelarang."

Aku manggut-manggut meski belum bisa menerima respons Yohanes sepenuhnya. Kehidupan berumah tangga dengan Zara membayang di kepalaku. Setelah semua ini, apa ia akan percaya padaku jika kubilang ingin pergi bertemu teman-temanku?

Aku sudah merusak kepercayaan Zara dengan menemui Daria. Rafael, Rafael, daripada memikirkan tentang izin pergi keluar setelah menikah, seharusnya aku memikirkan tentang rencana pernikahan kami. Aku terlalu sering memikirkan itu, jadi kupikir sedikit memikirkan hal lain tak masalah.

"El, sekarang kenapa bengong?" Yohanes dengan kurang ajarnya menjentikkan jari di depan wajahku. Sedikit lagi, jika aku tidak memundurkan kepala, jarinya pasti mengenai hidungku.

"Bagi tips buat dikasih izin?"

Yohanes lumayan peka, jadi sebelum ia sempat membaca gelagatku yang aneh; karena aku tidak ingin membicarakan masalah kami, aku melontarkan pertanyaan lain sebagai pengalihan.

Aku menaikturunkan alis penasaran ketika ia mengerutkan dahi. Baru seperti itu saja Yohanes sudah mulai mencium sesuatu dariku.

"Apa, ya?"

Aku mengembuskan napas lega setelah Yohanes berhenti memicing ke arahku dan mulai berpikir.

"Waktu awal-awal nikah, istriku kuajak ngumpul. Beberapa kali, tuh. Tau, kan, gimana ributnya kita kalau udah ketemu? Lama-lama dia risih, terus nggak mau ikut lagi."

Sekarang aku membayangkan Zara ikut bersamaku ketika kami sedang membicarakan tentang ... you know what is inside our head. Mungkin Zara akan memintaku untuk langsung pulang saat itu juga.

"Terus?"

Yohanes tampak berpikir lagi. "Ini bukan tips, tapi pengalaman. Jadi, selama ngumpul aku nggak absen buat chat dia, tentang apa aja, atau kalau mau pulang terlambat selalu ngabarin dia. Nanya dia lagi ngapain, terus pas mau pulang tawarin mau dibelikan apa. Bagiku komunikasi itu penting."

Aku mengangguk lagi. "Jadi dengan begitu dia akan percaya kita nggak ngelakuin yang aneh-aneh?"

"Sebentar, Rafael Lazuardi." Yohanes menarik kursi di seberang mejaku dan mendudukinya. Tubuhnya condong dengan mata memicing, seperti sedang memindaiku dengan sepasang mata hitamnya itu.

"Aku tahu ada yang nggak beres denganmu akhir-akhir ini. Selama ini aku diam dan menunggumu bercerita, tapi aku nggak tahan lagi, kamu semakin aneh."

"Apa yang aneh?"

"Pertanyaanmu." Ia berdecak sembari menggeleng. "Kamu kayak orang yang nggak mau nikah, tapi dipaksa nikah, kayak takut nggak bisa main lagi. Padahal kemarin koar-koar pengen nikah sama Zara. Gimana aku ngerasa nggak aneh?"

Mungkin Yohanes bisa memberiku sedikit nasihat untuk memperbaiki hubunganku dengan Zara. Namun, bukan sekarang waktunya. Meski harus kuceritakan padanya, perlu waktu yang lama karena aku tidak pernah menceritakan tentang Daria kepadanya. Selain itu, aku sudah berjanji akan bertemu Daffa sepulang kerja, yang mana hanya sebuah alibi. Tujuanku yang sebenarnya adalah untuk menyempatkan bertemu Zara. Ia tidak ingin kami bertemu, tetapi aku sudah tidak tahan ingin melihatnya lagi.

"Nggak hari ini, aku udah ada janji, Han." Aku mengatakan itu sambil berjalan keluar dari mejaku.

"Oke ... berarti benar ada sesuatu yang aneh denganmu," ucapnya, merasa bangga sendiri karena dugaannya benar dan menepuk pundakku dua kali.

"Dan aku mulai yakin kalau kamu memang keturunan seorang cenayang."

***

Aku tiba di rumah Zara hampir malam hari, karena harus mampir ke beberapa tempat terlebih dahulu; membeli camilan untuk Daffa dan Fia. Aku berpikir untuk membelikan Zara sesuatu juga, tetapi camilan kesukaannya sudah ada di daftar belanjaanku untuk dua bocah itu. Mustahil aku yang jarang berkunjung ini tidak membawa apa-apa untuk mereka.

Tahu seperti apa yang kurasakan saat datang ke rumahnya? Gugup sekali. Aku beberapa kali menghubungi Zara untuk sekadar memberi tahu bahwa aku tidak akan membatalkan pernikahan kami. Aku ingin kami segera memperbaiki semuanya sebelum terlambat. Zara terlalu baik sudah memberiku kesempatan, dan aku tidak akan menyia-nyiakannya. Tak pernah sekalipun aku memikirkan untuk kembali dengan Daria—dan aku sudah mengatakan ini berkali-kali. Namun, Zara tidak merespons satu pun pesanku.

Dan di sinilah aku, berdiri di depan pintu rumah Zara, menunggu sang empunya membukakan. Jantungku berdentum keras, euforia menari-nari dalam diriku, dan aku sudah memasang senyum terbaikku untuk menyambut sosoknya dari balik pintu. Napasku tercekat ketika kunci pintu bergerak dari dalam. Aku tidak bisa menebak siapa yang melakukannya, karena jendelanya tidak dirancang agar dapat dilihat orang lain dari luar, dan itu semakin meninggikan ekspektasiku bahwa Zara-lah yang akan membuka pintu untukku.

"Abang El!"

Aku berusaha mati-matian menahan senyumku tetap di wajah, tak ingin senyum yang menyambutku itu luntur karena kecewa yang kurasakan. Aku tidak pernah sadar kami sedekat ini, sampai ia merangsek maju dan memeluk pinggangku. Harusnya wajar, mengingat kemarin-kemarin aku mampir ke rumah setiap hari. Untuk ukuran gadis kecil, ia lumayan tinggi juga.

"Hai, Fia. Bang Daffa-nya ada?" tanyaku basa-basi sambil mengusap rambutnya.

Fia lekas-lekas menarik diri dan menunjukkan wajah cemberutnya padaku. Lucunya.

"Yang dicari cuma Bang Daffa?"

Aku terkekeh mendengar rengekannya. "Fia, kan, udah ada di sini, kenapa dicari lagi?"

Selanjutnya ia mencebik, tetapi mengangguk, menunjukkan bahwa yang kukatakan ada benarnya.

"Oh, iya. Bang Daffa ada, Bang. Kami cuma berdua di rumah."

Keningku lantas berkerut. Apa artinya Zara juga tidak ada di rumah? Seandainya belum pulang kerja, aku bisa menjemputnya. Tidak, maksudku aku akan menunggu di depan kantornya, memperhatikan Zara dari kejauhan seperti biasa. Aku terlalu pengecut karena tidak berani melihat wajah kesalnya ketika kutemui.

"Ibu sama Kak Zara ke mana?"

"Nganter pesanan kue. Ada banyaaaakk." Fia sampai merentangkan tangan untuk membuktikan jumlah yang dimaksudnya.

"Udah lama?"

Fia memainkan telunjuknya di dagu, seperti orang berpikir. Kenapa aku baru menyadari kalau anak-anak kecil itu selucu ini? Dulu, sebelum diajak Zara pergi ke PAUD, aku selalu menghidar karena enggan merespons pertanyaan-pertanyaan polos mereka. Memangnya siapa yang tidak risi karena harus menjawab pertanyaan yang sepele dari mereka?

Oh, mungkin itu hanya aku.

"Enggak juga. Tapi kata Ibu nggak jauh, kok," sahut Fia, seperti memintaku untuk menunggu mereka datang. "Ayo masuk, Bang. Bang Daffa lagi main di depan TV."

Dengan kresek besar di tangan kiriku, Fia menarik tangan kananku untuk masuk ke rumah.

Aroma ruangan ini ternyata juga sudah kurindukan, tepatnya setelah seminggu lebih lamanya tidak berkunjung ke sini. Ruang tengah masih menjadi ruangan paling nyaman di rumah ini. Aku ingat Zara berkata bahwa ia memang sengaja merancang satu ruangan yang memiliki suasana dan dekorasi paling comfy di rumahnya. Alasannya, karena hanya di ruangan itu seluruh anggota keluarga akan berkumpul dan bersantai.

"Bang, rank-ku udah naik." Daffa mengatakan itu tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel pintarnya. Entah bagaimana ia bisa tahu kalau yang datang adalah aku.

"Fia, di dalam isinya camilan. Kalau mau makan, langsung ambil aja," ujarku ketika menaruh kresek yang kubawa tadi ke atas meja, kemudian disusul aku menjatuhkan pantat di sofa bersebelahan dengan Daffa.

Dan itu menjadi pertanda mulainya permainanku dan Daffa. Kami sangat menikmati kebersamaan satu sama lain. Bahkan kerap kali ber-high five jika berhasil mengalahkan musuh. Kami sudah bermain beberapa ronde selagi menunggu Zara dan Ibu pulang.

"Sore, Bu," sapaku agak canggung ketika Ibu lewat bersama Zara di belakangnya.

Aku dan Zara sempat bertemu pandang, tetapi ia lekas-lekas membuang muka. Sikap dinginnya membuatku tidak tahu harus berkata apa, bahkan ketika aku sudah mempersiapkan apa yang akan kukatakan padanya pun, semuanya melebur di ujung lidah. Nyaliku menciut. Wanita seperti Zara sangat mengerikan ketika marah. Tidak mengomel, tetapi hanya diam. Diamnya ini bisa berarti banyak hal, dan aku sampai takut sekadar untuk menduga-duga.

Dua bulan, yang berarti lima minggu lagi dari sekarang. Aku tidak tahu apakah sanggup saling diam selama itu dengannya. Saat ini aku ingin sekali bicara dengan Zara, mengutarakan semua perasaan yang ada, membebaskan diri dari siksaan batin yang membelenggu.

Aku mulai kehilangan fokus, Daffa sampai menegurku karena musuh berhasil bebas. Kendati begitu, kami tetap berhasil memenangkan permainan. Dan itu bertepatan dengan suara Ibu yang memanggil Daffa dan Fia ke dapur yang menyatu dengan ruang makan.

Tersisalah aku sendirian di ruang tengah. Karena apa yang terjadi, berada di sini terasa asing, seperti aku terjebak di sebuah tempat di mana aku tidak mengenali siapa pun. Efek diabaikan Zara bisa sampai seperti ini. Aku sungguh tidak bisa membayangkan jika sampai gagal menikah dengan Zara. Itu akan jadi patah hati yang kedua untukku. Dan mungkin aku akan seperti Zara, tidak siap untuk memberi hati kepada orang yang baru.

"El."

Aku menatapnya; Zara berdiri di ambang pintu tak berdaun yang membatasi ruang tengah dan dapur. Aku tak mampu menoleh, dan hanya tertuju padanya dengan sangat intens, seperti mempertahankan ilusi yang tiba-tiba muncul dan takut itu menghilang jika aku berkedip. Suaranya berhasil mengguncang jantung meski ia hanya menyebutkan namaku.

"Ya?" Aku membalas dengan suara yang agak bergetar.

"Cuma mau mengingatkan untuk mengukur badan. Vendor meneleponku dan bilang kalau kamu nggak datang-datang."

Ya Tuhan. Satu lagi kecerobohanku. Sekarang Zara pasti akan berpikir kalau aku tidak benar-benar berniat menikah dengannya. Bisakah situasinya lebih buruk dari ini?

***

Semangat berpuasa bagi yang menjalankan~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top