82 - Mission One
Rafael Lazuardi
Aku melihatnya dari sini; kafe yang posisinya tepat di seberang kantor Zara. Zara sedang berjalan keluar dari bangunan kantornya bersama seorang wanita yang sudah tidak asing lagi. Zara sangat sering kulihat bersamanya saat kujemput pulang. Aku tidak tahu bagaimana ia bergaul selama di kantor, tetapi mengingat bagaimana ia dulu saat di kampus, aku yakin bahwa wanita itu adalah satu-satunya teman terdekat Zara di kantor.
Sejak kemarin, aku memutuskan untuk makan siang di sini. Alasannya tentu saja untuk melihat Zara. Aku sempat bertemu dengannya hari Minggu lalu ketika aku mengantar Ibu pulang. Zara juga baru pulang bersama adik-adiknya. Aku mencoba tersenyum padanya, tetapi Zara hanya melihatku sekilas dan menyembunyikan diri di kamar sampai aku pulang. Sikapnya itu menjadi sesuatu yang paling menyesakkan yang pernah kurasakan.
Aku masih memperhatikan Zara, sambil menyesap teh hangat yang kupesan sejak matahari mulai terhalang oleh awan mendung. Ia berjalan bersama temannya itu sambil sesekali tertawa ringan. Dari sini, aku bisa memperdengarkan suara tawa Zara di kepalaku, dan aku rindu mendengarnya langsung. Tak lama kemudian keduanya tak tampak lagi setelah taksi berhenti di depan mereka.
Harusnya aku kembali ke kantorku sekarang, tetapi aku masih memiliki hal lain untuk dilakukan di sini. Sebuah misi untuk menyelesaikan semua urusan yang memisahkan aku dengan Zara, dan kali ini baru tahap pertama.
"El, maaf, lama."
Aku baru memikirkan apa yang akan kukatakan padanya, tetapi ia sudah datang, bahkan tanpa tahu malu tersenyum sangat lebar padaku. Ia masih berjalan pincang sisa kecelakaan waktu itu. Tas yang dibawanya ia taruh di salah satu kursi, dan disusul ia sendiri duduk di kursi seberangku.
"Kamu tahulah, sulit bagiku untuk berjalan dengan kaki kayak gini," ujarnya sambil menunduk untuk melihat kakinya sendiri. Aku bahkan tidak peduli dan tidak ingin tahu tentang kondisinya.
Ia selesai dengan kaki dan memandang ke atas meja, di mana piringku sudah kosong. Senyumnya lantas pudar dan berubah jadi raut kekanakan yang persis ketika tidak mendapat apa yang diinginkannya.
"Kamu curang nggak nunggu aku makan."
"Kita bertemu bukan untuk makan siang bersama, Daria." Aku berujar tegas, tetapi aku yakin itu tidak cukup untuk membuatnya mengerti bahwa hubungan kami tidak akan kembali seperti dulu.
"Kamu dingin banget."
Aku mengernyit. Ya, rupanya aku lupa sudah sangat baik padanya akhir-akhir ini. Sampai-sampai membuatnya berekspektasi lebih tentang kami.
Namun, aku mencoba untuk mengabaikan komentarnya dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat kecil dari saku celanaku.
"Aku sudah pergi ke notaris untuk menanggalkan namaku dari surat kuasa dari kakekmu, dengan begitu aku terlepas dari tanggung jawab atas asuransimu," kataku seraya meletakkan amplop itu ke depannya; agak membantingnya.
Daria memandang amplop itu dengan wajah bingung. "Maksudnya?"
"Kamu bisa baca sendiri."
Aku menyesap tehku lagi sembari menunggunya membaca kertas dari amplop tersebut. Semakin ke sini, wajahnya semakin kehilangan ekspresi, hingga akhirnya ia mengernyit dan melayangkan tatapan protes padaku.
"Apa maksudnya ini, El? Kenapa kamu lari dari tanggung jawab?" Ia menunjukkan tulisan di kertas itu padaku dengan meremas sebagian kertasnya. Aku tidak khawatir Daria akan merobek atau membuangnya, sebab yang dipegangnya itu hanya berupa salinan.
"Menurutmu aku akan terus bertanggung jawab atas mantan? Aku terlalu baik melakukan itu semua untukmu."
Daria tampak marah, sekitar matanya pun memerah seperti menahan tangis.
"Kamu tau aku nggak punya siapa-siapa, 'kan?" lirihnya dengan wajah paling memelas yang pernah ia tujukan padaku. Aku heran, cepat sekali ekspresinya berubah.
Kerja yang bagus, Daria, tetapi aku tidak akan terpengaruh lagi.
"Lalu? Dan aku punya hal lain yang lebih penting yang harus kuurus, Daria. Aku nggak bisa menyisihkan waktu untukmu lagi. You're nothing to me."
"Tapi nggak harus bikin surat kayak gini, 'kan?" Daria membanting surat yang sudah kumal itu ke atas meja. "Kamu bahkan nggak bahas soal ini dulu sama aku."
Aku tersenyum pada cangkir tehku yang tersisa sedikit. "Aku nggak perlu penolakan kamu, Dar. Masih banyak laki-laki lain yang mau kamu repoti."
"Kamu kenapa tiba-tiba berubah gini, El? Karena Zara dengerin omongan kita kemarin, ya?"
Aku tidak ingin mengingat kecewanya Zara saat itu, tetapi Daria justru mengungkitnya. "Kamu nggak perlu tahu alasannya. Aku bosan mengingatkanmu kalau di antara kita udah nggak ada apa-apa lagi."
"Tapi, kan, nggak kayak gini caranya, El. Aku harus mengadu ke siapa lagi?"
Aku tidak mengerti kenapa Daria jadi tampak seperti orang yang frustrasi sekarang.
Sejauh aku mengenalnya, ia selalu mendapatkan apa yang diinginkannya—efek dari terlalu dimanjakan oleh kakek dan neneknya dulu. Makanya, ia sampai seperti ini ketika aku tidak mengabulkan apa yang dikehendakinya.
"Itu urusanmu. Kamu nggak lupa, kan, apa yang sudah kamu lakukan dulu?"
"Itu dulu, El. Sekarang aku di sini, di depanmu. Aku udah bilang kita bisa mulai dari awal lagi, 'kan?"
Tidakkah ia merasa malu sudah mengemis seperti ini padaku?
"Kamu kehilangan harga dirimu sebagai wanita, Daria." Ya, aku benar-benar mengatakan itu kepadanya. "Kamu pergi dan datang lagi sesuka hatimu, tapi apa pernah kamu berpikir tentang aku? Aku sudah menemukan obat untuk lukaku, dan kamu datang meracuni. Aku nggak sebodoh itu untuk kembali padamu, tolong jangan salah paham dengan kebaikanku padamu selama ini. Semua itu nggak akan kulakukan kalau bukan karena Mama."
Daria hanya memandangku dengan tatapan yang sulit kumengerti. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya setelah mendengar ucapanku tadi. Yang pasti, ia tidak merasa senang atas obrolan ini.
"Aku bisa mengadu pada mamamu, El."
"Lalu? Mengadu aja sebanyak yang kamu mau, itu nggak akan memengaruhi rencana pernikahanku dengan Zara."
"Kamu yakin? Bahkan yang kulihat akhir-akhir ini Zara pulang sendirian. Itu sudah membuktikan sesuatu, El. Dari awal mungkin kalian nggak seharusnya bersama."
"Sama sekali bukan sesuatu yang pantas kamu ketahui, Daria." Aku berujar kesal lalu beranjak dari kursi, tetapi belum melangkah pergi. "Kurasa obrolan kita sudah cukup, Daria. Hanya itu yang mau kusampaikan. Terserah mau kamu apakan surat itu. Berkas aslinya masih kusimpan. Semoga kamu bahagia."
Benar. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan di sini. Semakin lama mengobrol Daria, tak akan menghasilkan apa-apa selain mendengarnya merengek. Aku memberinya senyum miring sebentar dan pergi dari sana.
***
Satu lagi hari yang berat terlewati. Aku memandang monitor dari komputerku yang layarnya baru saja mati. Di luar sana hujan sangat deras, aku sampai enggan beranjak pulang. Yohanes pun masih di ruangan bersamaku. Bedanya, ia sedang berbicara dengan istrinya di telepon dan tak berhenti tersenyum sejak tadi.
Ruangan ini memiliki dua atmosfer. Di satu sisi cerah dan penuh warna. Satunya lagi bagianku; gelap, kelabu, dan suram, persis seperti yang kurasakan sekarang. Aku memandang iri Yohanes, kehidupan asrama sampai pernikahannya berjalan mulus. Ia hanya mengencani satu wanita seumur hidupnya, dan itu adalah istrinya sekarang. Berbeda sekali denganku. Mungkin aku sedang menerima karmanya saat ini.
Aku menghela napas dan memandang langit gelap melalui jendela ruanganku yang berada di lantai empat. Hujan sama sekali tidak memberi tanda akan berhenti. Ia masih menghujam bumi tanpa ampun. Aku jadi memikirkan Zara. Apa ia sudah pulang? Mobilnya dibiarkan dipakai oleh Ibu, dan seingatku ia pernah bilang agar Ibu tidak perlu repot-repot menjemputnya karena ia bisa pulang dengan taksi. Namun, di tengah hujan seperti ini, apa masih ada transportasi umum yang berlalu lalang di jalan?
Zara bisa kedinginan karena menunggu! Aku sampai berdiri dari kursi karena menyadari hal itu. Mungkin Zara akan menolak bertemu denganku, tetapi aku tidak bisa membiarkan dirinya menunggu sendirian. Segera saja kurampas tas ranselku dan jaket yang tersampir di belakang kursi. Kuharap jaket itu cukup untuk menghangatkan Zara.
"Han, balik duluan, ya," ujarku dan melemparkan kunci ruangan kepadanya. "Tolong sekalian kuncikan, terima kasih," sambungku sebelum menghilang di balik pintu.
Yohanes berteriak memanggil namaku berkali-kali, tetapi aku mengabaikannya. Yang kupikirkan saat ini adalah segera tiba di kantor Zara sebelum ia pulang. Jalanan yang lengang membuatku bisa melajukan mobil dengan cepat. Tak sampai lima belas menit, aku tiba di depan kantor Zara.
Karena sudah sepi, seorang satpam mengizinkanku untuk membawa mobilku ke dalam pagar kantor. Aku berterima kasih padanya dan memarkirkan mobil di lahan parkir yang tak jauh dari gerbang.
Sayangnya, aku tidak melihat Zara di tempatnya biasa menunggu. Aku bertanya pada satpam dengan menyebutkan detail penampilan Zara, dan beliau dengan ragu berkata belum melihatnya keluar. Aku pun sadar rasanya tidak mungkin beliau menghafal seluruh karyawan yang ada di sana.
Akhirnya, aku bersama payung hitamku dan jaket tersampir di bahu, berjalan membelah hujan memasuki gedung kantor Zara.
Ia ada di sana, duduk di section penerimaan tamu di sisi kiri ruangan. Aku mematung di ambang pintu, payung yang kubawa jatuh menyentuh lantai, tetapi gagangnya masih dalam genggamanku. Jantungku berdebar hebat kala melihatnya dalam jarak sedekat ini.
Zara belum menyadari kehadiranku. Ia sibuk memainkan ponselnya sembari sebelah tangan memeluk dirinya sendiri. Sudah bisa dipastikan ia kedinginan sekarang.
Aku menutup payungku dan menyandarkannya ke dinding. Jaket yang kusampirkan di bahu tadi sudah berpindah ke genggamanku. Lalu kuberanikan diriku untuk menghampiri Zara. Kuharap, ia masih mau melihatku.
"Zara," panggilku dan menyodorkan jaket padanya. "Kamu pasti kedinginan."
Ia membalas tatapanku dan bola mata kecokelatan itu bergulir turun ke jaketku. Aku berharap ia menerimanya.
"Kamu ngapain ke sini?"
Itu bukan respons yang ramah dari seorang Zara. Sungguh.
"Anggap saja aku datang sebagai seorang teman yang ingin membantumu." Aku tahu ia masih menunggu sampai dua bulan hingga aku benar-benar memiliki keputusan pasti untuknya. Kalau aku mau, aku bisa mengatakan bahwa aku memilihnya saat ini juga. Namun, aku belum bisa melakukan itu karena rasanya aku belum menyelesaikan apa-apa.
Zara bergeming, hanya memandang jaket yang pernah tanpa sengaja kutinggalkan di rumahnya dulu.
"Kumohon, Ra, aku tahu kamu kedinginan, jangan ditolak."
Ia menghela napas dan menerima jaketku. Senyumku mengembang kala ia memakainya.
"Terima kasih."
"Sama-sama, Ra." Itu benar-benar sangat canggung. "Ayo, sekalian kuantar pulang?"
"Itu akan merepotkanmu," sahutnya.
Inilah Zara yang kukenal sebelum adanya komitmen yang mengikat kami berdua. Menyakitkan, tetapi aku pernah berada di masa-masa ini.
"Nggak sama sekali. Hujannya nggak akan berhenti dalam waktu dekat. Mau sampai kapan kamu mau menunggu di sini?"
Zara memandang ke luar pintu dan mungkin mempertimbangkan tawaranku.
"Please?"
Zara tidak membalas, tetapi ia beranjak dari sofa dan meraih tasnya. "Baiklah. Hanya untuk kali ini," sahutnya.
Aku hampir mengayunkan kepalan tangan ke udara saking senangnya. "Ayo, Ra."
Aku berjalan mendahuluinya untuk membuka kembali payungku. Kami berjalan beriringin di bawah payung menuju mobilku. Aku membukakan pintu untuknya lebih dulu sebelum aku menyusul.
Setelah dua minggu, aku melihat Zara dengan jarak sedekat ini. Meski terasa sangat canggung, tetapi aku sudah merasa sebahagia ini. Zara, wanita yang tidak pernah benar-benar kuperhatikan keberadaannya dulu, sekarang justru menjadi seseorang yang memberi pengaruh besar padaku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya aku jika tidak bertemu lagi dengannya, dan tidak mendengarkan kisahnya dulu.
Mobilku kuberhentikan ketika lampu lalu lintas menyala merah. Selama bermenit-menit berlalu, kami tidak bicara sama sekali, bahkan Zara saja sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari luar jendela. Aku tidak tahu sehina apa diriku sekarang di matanya. Dan aku tidak tahan dengan kesunyian yang menyiksa ini.
"Zara," panggilku, tetapi ia hanya membalas dengan gumaman.
"Aku sudah mengakhiri surat kuasa itu. Tentang Daria—"
"El," potongnya. "Kamu bilang menemuiku sebagai teman. Tolong simpan saja itu, aku nggak mau mendengar apa pun tentang kita dulu."
Padahal kupikir ia akan senang mendengar tentang apa yang terjadi hari ini.
"Baiklah," ujarku akhirnya. Aku tidak ingin ia lebih marah padaku karena memaksanya untuk mendengarkan itu.
"Bagaimana harimu?"
Zara akhirnya menoleh untuk menatapku. Dahinya berkerut, mungkin pertanyaan itu terdengar aneh untuknya. Ya ... aku pun merasakannya. Itu sangatlah canggung.
"Hanya berusaha memerankan sosok teman dengan baik," timpalku seraya kembali melajukan mobil.
"Baik. Terima kasih sudah bertanya."
Aku mengangguk dan menyugar rambutku dengan sebelah tangan. Situasi ini sungguh sangat tidak menyenangkan. Aku tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan padanya. Zara masih memiliki keahlian untuk membungkam lawan bicaranya.
Namun, bukan aku kalau menyerah begitu saja.
"Pekerjaanmu ... lancar?"
"Ya."
"Aku lega mendengarnya. Kuharap kamu makan dengan baik."
"Ya."
Aku pasrah. Selalu ada jeda yang panjang sebelum Zara merespons. Peran sebagai teman ini sudah tidak bisa kulakukan lagi. Terlebih, aku mengharapkan obrolan yang lebih dari sekadar menanyakan bagaimana harinya. Namun, kuurungkan untuk bicara lebih banyak karena kami sudah dekat dengan rumahnya.
"Terima kasih tumpangannya. Jaketmu akan kucuci dulu sebelum kukembalikan, El," ujarnya sambil melepas sabuk pengaman.
Aku segera meraih tangannya yang dingin sebelum ia benar-benar keluar dari mobil. "I'm missing you so badly, Ra." Hanya untuk mengatakan itu kepadanya.
Zara tidak merespons, dan lekas-lekas menarik tangannya dariku. Ia berlari membelah hujan sampai tiba di teras rumahnya. Dan aku baru benar-benar pergi setelah ia masuk ke rumah.
Bersabarlah, El. Fokuslah dengan masalah yang harus kamu tuntaskan.
...
...
Sorry to say, but I'm still hoping that good things happen to them. 😭
Please, El, don't be a jerk and come back to Zara.
And, I wish you all enjoy this story, and if you found something that bothered you from the storyline, don't mind to tell me. I'm an amateur writer, need a lot of supportive criticism.
Hehe, thank you and—
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top