81 - Turning Point
Rafael Lazuardi
"Abang adalah orang paling bodoh yang pernah kutemui."
Itu adalah hal pertama yang dikatakan Felix setelah kuceritakan masalahku. Ia tampak seperti orang yang sudah kehabisan akal. Mungkin tak habis pikir akan apa yang kuperbuat. Dan ini adalah kali pertama aku menyetujui hinaannya.
"Aku mungkin nggak pernah berhubungan apa-apa dengan orang lain, tapi yang Abang perbuat ... aku kurang setuju sama keputusan Kak Zara. Itu hukuman yang terlalu ringan buat Abang."
Aku sudah berbinar sebelum Felix menyelesaikan ucapannya. Mungkin aku memang pantas menerima hukuman itu atas apa yang sudah kuperbuat pada Zara. Namun, dua bulan itu terlalu lama, bahkan aku sudah terluka di hari di mana Zara memutuskan itu.
"Nah, sekarang Abang bisa apa? Abang udah keterlaluan. Lagian bukannya dengan begini Abang jadi lebih leluasa buat ketemu sama Daria?"
Felix benar-benar membuatku semakin merasa bejat. Terlebih lagi ujaran sarkastisnya membuktikan bahwa aku memang seorang yang idiot. Mengesampingkan Zara hanya untuk Daria? Ya ... aku benar-benar orang paling bodoh di dunia, dan aku tidak akan berhenti merutuki diriku sendiri.
"Coba aja Abang nggak—"
"Cukup, Felix," pungkasku. Felix sudah terlalu banyak bicara dan aku tidak bisa mendengarnya lebih banyak lagi.
"Sekarang menyesal?"
Aku mendelik kesal pada pertanyaannya. Penyesalan selalu datang di akhir, dan pertanyaan Felix mungkin sudah terjawab dengan betapa frustrasinya aku. Ini baru lima hari, dan aku sudah kehilangan satu kilogram berat badanku. Semua itu karena aku menolak makan siang.
Sehari setelah pembicaraan terakhir kami, aku menjemput seperti biasa untuk makan siang. Pesanku, panggilan teleponku, semua diabaikannya. Zara tidak main-main dengan tidak bertemu sampai dua bulan ke depan. Aku belum mencoba untuk bertamu ke rumahnya, karena tidak tahu apa yang akan kukatakan pada ibunya tentang masalah di antara kami.
Pengecut? Ya, dan aku baru menyadarinya. Aku tidak bisa membayangkan akan seperti apa reaksi Tante Mei jika pernikahan putrinya terancam batal.
Aku bisa saja mengatakan bahwa itu keputusan Zara, tetapi pria ini lebih keterlaluan karena membiarkan itu sampai terjadi. Beliau akan mempertimbangkan lagi untuk memberi restu kepadaku. Itu baru Tante Mei, belum sampai ke ayahnya dan orangtuaku.
Kupijat kepalaku yang mendadak nyeri. Duduk bersama Felix di sini dan menceritakan masalah yang kuhadapi ternyata tidak membantu meringankan masalahku; tidak ada solusi. Namun, ia berhasil menyadarkanku pada beberapa hal.
Pertama, aku takut mengabaikan Daria tanpa alasan yang jelas, padahal seandainya Mama tahu aku tidak mengurusnya pun tidak akan jadi masalah. Mama mungkin akan mengerti bahwa aku punya hal lain yang harus dipikirkan, bukan malah mengurusi mantan.
Kedua, ternyata aku tidak bisa untuk tidak khawatir akan kondisi Daria, meski sebenarnya aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk kembali dengannya lagi. Entah aku menganggapnya sebagai apa sekarang, tetapi kuharap ia hanya sekadar teman biasa untukku—yang pernah berbuat salah, tetapi sudah kumaafkan. Meski memaafkannya adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa kulakukan.
Ketiga, aku bukan pria yang tegas. Antara Zara dan Daria, mudah saja jika disuruh memilih—yang pastinya adalah Zara, tetapi Felix menyadarkanku bahwa selama ini aku berbuat sesuatu karena terpicu oleh Daria, entah itu untuk menghindarinya, melupakannya, dan lain-lain. Kapan aku pernah melakukan sesuatu karena memang ingin membahagiakan Zara? Baru niat saja ternyata.
Mengenang kembali awal mula pertemuan kami setelah sekian lama. Semasa kuliah, aku tidak pernah tertarik padanya meski kuakui Zara tidak kalah cantik dengan mantan-mantanku dulu—sekarang aku justru membuat perbandingan lagi. Dan tentang aku yang tiba-tiba mengajaknya untuk berkomitmen, semata-mata hanya untuk mengalihkanku dari memikirkan Daria, berharap ia bisa lenyap dari ingatan.
Aku sejahat itu pada Zara. Sekarang kurasa aku menerima karmanya. Tega sekali aku memanfaatkan ketakutannya untuk diriku sendiri. Aku berjanji akan membantunya melawan ketakutan, tetapi aku justru membawakan trauma baru untuknya.
"Argh!"
Aku mengerang dan mengacak rambutku dengan kuat. Tak peduli jika itu akan membuat beberapa helai rambutku tercabut. Sakitnya tidak berarti apa-apa daripada sakit hatiku sekarang.
"Bang, tidur, deh, sana. Kalau nggak bisa tidur, minum obat flu aja." Felix dengan muka risinya menendang-nendang kakiku dengan pelan agar aku merasa terganggu dan pergi dari sana.
Namun, aku bergeming dan memandangnya tak berkedip selama beberapa saat. "Kamu kapan pulang?" Hanya dengan pertanyaan itu sudah memberitahunya bahwa aku kesal.
"Santailah, Bang. Duduk dulu di sini kalau belum ngantuk. Mau kubuatkan kopi?" sahutnya dengan cengiran terbaik yang dimilikinya.
Kupikir opsi minum obat flu agar cepat mengantuk terdengar lebih baik daripada minum kopi. Di saat seperti ini aku perlu tidur, bukan insomnia yang akan membunuh mentalku, karena keputusan Zara selalu menggerayangi pikiranku sampai sekarang.
"Terima kasih solusinya." Aku beranjak dari sana setelah mengatakan itu. Ini baru jam sembilan, tetapi aku tidak berencana untuk terjaga lebih malam dari ini.
Aku baru meletakkan ponselku ke atas nakas ketika benda itu berdering panjang. Nama kontak Tante Mei, atau yang sekarang sedang kubiasakan untuk memanggilnya Ibu, terpampang di sana. Jantungku hampir melompat keluar rasanya. Aku tidak ingat pernah membuat janji atau hal lainnya sampai beliau harus meneleponku lebih dulu, atau Ibu tahu tentang masalah kami?
Singkirkan pikiran buruk itu, apa pun yang terjadi, harus tetap kuhadapi.
"Selamat malam, Bu," sapaku lebih dulu.
"Malam, Nak Rafael. Maaf, ya, Ibu ganggu malam-malam begini."
Aku tersenyum seperti Ibu akan melihatku. "Nggak papa, Bu, saya belum tidur."
"Begini, Nak, mungkin ini agak ngerepotin, tapi Ibu mau ngajak Nak Rafael buat pergi ke pasar pagi besok. Bisa?"
Aku tidak kaget, sebenarnya bukan ini kali pertama Ibu akan mengajakku pergi. Kadang, aku juga yang akan menawarkan diri untuk mengantarnya. Ya, lumayan sebagai bentuk pendekatan dengan calon mertua—tetapi pantaskah aku menyebut diriku sebagai calon menantunya?
"Bisa, Bu. Saya nggak ada kegiatan besok." Kuharap itu akan jadi kesempatan menemui Zara. Aku benar-benar sangat merindukannya. "Mau dijemput jam berapa, Bu?"
"Jam tujuh, ya, Nak. Ajak juga Felix, sesekali dia mampir ke pasar khas daerah sini."
Aku tersenyum lagi. "Kalau dia udah bangun besok pagi, Bu," sahutku, ingin bergurau sedikit.
"Iya, makasih, ya, Nak Rafael. Teleponnya Ibu tutup. Jangan begadang, lho."
"Iya. Selamat malam, Bu." Dan telepon kami terputus.
Aku menatap nanar ponsel pintarku. Kenapa semua ini terasa mudah untukku, tetapi tidak untuk Zara? Sebenarnya apa yang sedang semesta rencanakan untuk kami di masa depan nanti?
***
Aku tiba di rumah Zara jam tujuh kurang sepuluh menit, dan menemukan mobil Zara tidak terparkir di halaman rumahnya. Rupanya Zara sedang memakainya pergi, hingga Ibu memintaku untuk mengantarnya. Aku kecewa karena gagal bertemu Zara.
"Nak Rafael udah datang."
Suara Ibu memaksa seulas senyum hadir di bibirku. Tidak mungkin aku menyambutnya dengan wajah muram.
"Iya, Bu," sahutku, dan aku merutuki karena respons itu terlalu singkat, terdengar tidak ramah.
"Felix nggak jadi diajak?"
Ibu adalah sosok yang berkebalikan dengan Zara. Beliau sangat ramah, supel, tahu bagaimana mengakrabkan diri dengan orang lain. Bahkan ia sudah cukup dekat dengan Felix padahal baru tiga kali bertemu, dan dua di antaranya terjadi secara tidak sengaja.
"Dia belum mandi waktu saya mau berangkat," jawabku dan terkekeh ringan.
"Ah, kebiasaan anak muda. Zara juga sering kayak gitu kalau akhir pekan, malah abis sarapan tidur lagi. Mohon dimaklumi, ya, Nak."
Aku hanya tersenyum pada informasi itu. Membicarakan tentang Zara membuat rasa rinduku semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar sangat ingin bertemu dengannya, mengatakan maaf dan merengkuhnya selama mungkin. Sayangnya, itu hanya mampu kulakukan dalam bayang-bayang.
Aku mungkin melamun cukup lama, karena ketika Ibu menepuk pundakku, beliau sudah siap dengan dompet dan tas belanja yang besar di tangan.
Selama di perjalanan menuju pasar pagi, Ibu tidak berhenti bercerita. Ada banyak hal menarik tentang masa lalu, anak-anaknya, sampai bisnis kue yang katanya berawal dari celetukan Zara.
"Kuenya enak, kalau dijual pasti ada yang beli, Bu." Ibu menirukannya dengan sangat baik, aku sampai bisa membayangkan jika Zara betulan mengatakan itu.
Setibanya di pasar, Ibu membeli banyak bahan kue, beliau bilang itu untuk jualannya selama seminggu ke depan. Usaha kue Ibu bisa dibilang sangat sukses, itu terbukti dari banyaknya belanjaan yang sedang kubawa saat ini; dua plastik besar penuh di tangan kanan dan satu di tangan kiri, belum lagi tas belanjaan beliau yang hampir seukuran dengan plastik yang kubawa hampir terisi penuh.
"Nak Rafael udah sarapan?" tanyanya ketika kami sedang memasukkan belanjaan ke bagasi mobil.
"Belum, Bu. Rencananya pas pulang nanti sekalian beli makan buat Felix juga."
"Mampir sarapan sama Ibu, yuk?"
Aku memandang Ibu tanpa berkedip. Dari ajakannya saja, aku sudah merasa akan ada sesuatu yang ingin beliau bicarakan denganku. Kalau dipikir-pikir lagi, mana mungkin Ibu akan diam saja setelah tahu kalau calon suami putrinya mendadak jarang datang berkunjung ke rumah.
"Ya ... Ibu mau ngobrolin sesuatu juga sama Rafael. Itu kalau nggak buru-buru pulangnya, sih."
Mungkin wajah berpikirku mudah sekali terbaca olehnya. Akhirnya aku tidak mengatakan apa pun selain mengangguk untuk menerima ajakannya.
Ibu membawaku ke sebuah kedai kecil yang tak jauh dari pasar. Jadi mobilku kubiarkan tetap berada di parkiran pasar dan kami ke sana dengan berjalan. Ibu bilang tak masalah, kami tak akan lama-lama, karena Felix akan menungguku.
Kami duduk di dekat jendela setelah menerima makanan yang kami pesan. Di kedai ini lumayan ramai, awalnya aku ragu Ibu akan membicarakan hal penting di sini, tetapi aku mungkin tidak sadar bahwa sekarang sudah lumayan siang untuk sarapan—pukul sembilan—dan pengunjung yang sudah ada di sini, mulai pulang satu per satu selama kami menyantap sarapan kami.
Aku berdebar bukan main sekarang. Pembicaraan ini pasti tidak akan jauh-jauh dari hubunganku dengan Zara. Sejak tadi aku terus memikirkannya dan itu membuatku tidak sabar ingin segera pulang. Maksudku, reaksi yang akan diberikan Ibu rasanya cukup mengkhawatirkan. Aku lebih suka dihadapkan oleh setumpuk tinggi berkas kerjaanku daripada melihat Ibu marah.
"Bu, saya minta maaf sebelumnya." Akhirnya itu spontan terucap olehku. Rasanya lebih kurang ajar jika hal seperti ini justru diawali oleh Ibu.
"Kamu tau apa yang mau Ibu bicarakan rupanya." Seharusnya Ibu menunjukkan wajah marah padaku, bukan malah tersenyum tpis seperti itu. Sesak sekali melihat Ibu seperti itu.
"Ibu boleh marahi saya, maki saya karena sudah melukai Zara. Saya adalah orang bodoh yang tega membuat dia sedih, tapi saya nggak bisa melepas Zara." Saya jatuh cinta karena permainan saya sendiri.
Ibu menerima ucapanku sembari mengangguk. Tampaknya Ibu sudah tahu seperti apa permasalahan kami, sebab ia tidak menanyakan apa-apa padaku.
"Ibu nggak mau mencampuri urusan kalian, tapi sebaiknya segera selesaikan masalah kalian. Zara mungkin meminta waktu dua bulan, tapi kalian nggak akan tau apa yang terjadi setelah itu. Apakah kalian akan melanjutkan rencana pernikahan, atau mengakhiri semuanya. Ibu sudah mendengar dari sisi Zara, tapi belum tahu dari sisi Rafael kayak gimana. Apa sebenarnya yang Rafael pikirkan tentang—Ibu lupa siapa namanya."
"Daria, Bu." Aku benar-benar merasa tidak enak saat menyebutkannya. "Mama meminta saya untuk membantunya kalau kesusahan. Mama tahu kalau saya sudah berakhir dengannya, tapi kami kasihan karena dia nggak punya siapa-siapa. Orangtuanya meninggal sejak usia kecil dan dia dibesarkan oleh paman dan bibinya."
"Kasihannya ... ."
Aku tersenyum tipis dan menunduk. "Tapi sekarang saya sadar, mengasihani tidak bisa dijadikan alasan mengabaikan urusan kami dan lebih memilih Daria. Saya ketakutan dan nggak bisa menolak permintaan Mama. Biar bagaimanapun, saya putranya dan sulit buat nggak menurutinya. Awalnya terpaksa, tapi lama-kelamaan, saya nggak sadar itu jadi kebiasaan."
Aku masih dalam tundukan, memandang piring kotorku yang sudah tidak berisi makanan lagi; hanya minyak dan saus yang tersisa.
"Melepas Zara adalah penyesalan terbesar dalam hidup saya. Saat ini saja, saya sudah terlarut dalam penyesalan." Aku bicara lagi karena Ibu tidak kunjung bersuara. Sementara aku masih enggan mendongak, aku tidak sanggup melihat wajah kecewanya.
"Ibu cuma mau yang terbaik untuk Zara, sudah lama Ibu ingin melihat Zara tersenyum bahagia. Bahagia yang bukan karena orang lain, tetapi karena memang dirinya sendiri merasa bahagia. Hidupnya sudah cukup sulit, dan masalah seperti ini pasti bikin dia kepikirian. Dia mungkin keliatan baik-baik aja, tapi mata nggak bisa berbohong, Rafael."
Kamu berhasil membuatnya terluka, Rafael. Keterlaluan.
Aku terpaksa mendongak ketika Ibu meletakkan telapak tangannya di bahuku. Beliau memandangku sangat lembut, hingga mataku mulai memanas. Rasa bersalah yang menjadi-jadi mulai mendorong air mataku keluar dari sarangnya.
"Buktikan. Buktikan kalau Nak Rafael memang nggak mau melepas Zara." Ibu meremas bahuku pelan, hangat telapak tangannya berhasil mengobarkan tekad dalam diriku.
"Iya, Bu, saya berjanji. Saya akan selesaikan semuanya dan membahagiakan Zara."
***
Hai *lambai tangan canggung*
Banyak banget ya babnya. Hehe. Hehe. Hehe.
Aku ... beberapa kali nerima kata-kata ini,
"Buset, banyak banget babnya."
"Itu kalau terbit bakal dibabat habis babnya."
"Jangan banyak-banyaklah, ntar aku bosan bacanya."
Pertama, aku nulis ini tanpa outline, yang mana semua penulis tahu itu adalah sesuatu yang fatal. See? Ceritanya melebar. Satu-satunya cerita aku yang pakai outline itu cuma Joy, itupun karena babnya gak boleh lebih 25. (Kalian bisa temukan di reading list-ku, dan alhamdulillah udah dibukukan, guys. Hihi)
Kedua, dari awal menulis sampai sekarang, aku belum pernah kepikiran buat menerbitkan tulisan-tulisanku. Aku menulis untuk bersenang-senang, membagi imajinasi di kepala dan berharap bisa menghibur siapa pun yang baca. Untuk Joy, itu karena aku lolos proyek hehe. Masih nggak nyangka sampai sekarang.
Ketiga, ya ... aku nggak pernah memaksa orang lain untuk membaca, pun nggak akan menahan orang lain untuk terus membaca ceritaku. Itu sebabnya, aku berterima kasih dengan sangat banyak (🙈🙈) buat teman-teman yang sampai di bab ini. Aku terharu banget. Karena kalian, aku bertahan menulis, bahkan udah punya banyak stok buat ditulis di akun ini kalau-kalau udah tamat. Hehe. Nantikan, ya~ 👐🏻👐🏻
Oke, segitu aja dulu pojok Tuteyoo-nya. Sampai jumpa di bab depan. Semoga cerita ini lekas tamat. 🥺
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top