80 - You hurt me so badly
Zara Naulia
Satu minggu setelah aku dan El menyepakati akan memakai jasa WO dari Les Noces, kami diminta datang lagi untuk mengukur badan. El tidak ingin menyewa baju dan memutuskan untuk membuat sendiri saja, karena menurutnya itu akan jadi kenang-kenangan dan bisa dipajang di etalase kaca rumah kami kelak. Sedangkan bagiku, itu sangatlah memalukan. Maksudku, untuk apa busana pengantin dipamerkan pada setiap tamu yang datang berkunjung ke rumah?
Sayangnya, El tidak ikut hari ini. Dengan wajah memelas dan penuh rasa bersalah, ia meminta maaf karena harus mengurus kepulangan Daria. Kendati kecewa, aku tetap mengizinkannya. Anggap saja sebagai bentuk kepedulianku pada rekan kerja. Orang-orang mungkin akan menganggapku cukup bodoh karena membiarkan calon suaminya banyak berinteraksi dengan mantan. Aku tahu itu bukan hal yang benar, tetapi selagi mereka tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhubungan kembali, kupikir tidak masalah. Cemburu berlebihan juga tidak baik bagiku.
Dan sepulang dari vendor nanti, aku akan mampir ke rumah sakit menjenguk Daria sekalian menyusul El. Setelah itu kami akan pulang bersama. Setelah diingat-ingat lagi, aku sama sekali belum menjenguk rekan kerjaku itu di rumah sakit.
Aku tiba di depan gedung Les Noces setelah diantarkan oleh taksi dari kantorku. Matahari cukup terik sore ini, hingga payung yang kubawa dari kantor rasanya percuma. Cepat sekali cuaca berubah, atau mendungnya memang hanya di daerah kantorku.
Aku segera memasuki gedung dan memberi tahu seorang pegawai wanita tentang janji yang kubuat untuk datang hari ini. Ia lantas mengantarku ke ruangan yang dimaksud. Saat menaiki tangga, aku melihat wajah yang cukup familier di puncak tangga, tetapi aku lupa di mana tepatnya bertemu dengannya. Terkadang aku bisa sangat buruk dalam mengingat wajah seseorang.
Orang itu masih kupandangi, sampai akhirnya ia sadar dan tersenyum padaku. Aku yang tidak sempat mengalihkan pandangan lantas membalas senyumnya agak kaku. Benar, kami pernah bertemu dan wajahnya yang ramah seolah memberi tahu bahwa ia mengingatku.
"Zara, nggak nyangka kita bisa ketemu di sini. Ngurus persiapan pernikahan sama El, ya?"
Aku ingat suaranya. Ya, itu melegakan karena aku tidak perlu bertanya 'kamu siapa?' dan interaksi kami akan jadi sangat canggung.
"Hai, Ren. Mengejutkan ketemu kamu di sini. Iya, hari ini ngukur badan buat baju." Ya, dia Ren, putra dari teman Ayah yang rencananya mau didekatkan denganku.
"Aku ... diundang, 'kan?" guraunya dan menaikturunkan alis.
Aku hanya tersenyum. "Iya." Kubalas begitu padahal baru saja terpikir rencana untuk mengundangnya. "Kamu juga mau nikah?" Hanya itu yang terpikir olehku tentang kehadirannya di sini.
"Aku belum cerita, ya? Ini bisnisku, Ra. Baru dibuka di sini tiga bulan lalu, sih." Ia tertawa garing saat memberitahuku. Pantas saja pegawai wanita yang menuntunku tadi rela menunggu kami selesai bicara.
"Serius?" Dan aku tidak bisa menyembunyikan betapa aku kagum akan pencapaiannya. Les Noces mungkin tidak banyak dikenal, tetapi aku akui kualitasnya sangat luar biasa. Bahkan karyawannya pun cukup ramah.
"Kamu bukan satu-satunya yang bereaksi kayak gitu."
Aku tidak bermaksud menghina atau semacamnya, tetapi Ren memang tidak tampak seperti seseorang yang akan memimpin jasa semacam ini. Aku justru akan percaya jika ia mengaku sebagai seorang fotografer yang merangkap sebagai desainer venue.
"Ini luar biasa, Ren, kamu hebat."
Ren mengangkat tangannya dan mengusap daun telinganya yang sempat kulihat memerah. "Jangan buat aku tersipu," sahutnya. "Ngomong-ngomong, calonmu mana? Siapa itu namanya? El, El, Farel?"
"Namanya Rafael," koreksiku.
"Ah, iya, siapa pun namanya. Di mana dia?"
Senyumku luntur perlahan, tetapi sebelum Ren sempat menduga yang tidak-tidak, aku memaksa seulas senyum itu hadir kembali di bibirku.
"Dia masih ada urusan, jadi hari ini aku dulu yang diukur."
"Oh, gitu. Ya udah, ayo kita ke bagian fitting."
Ren berjalan lebih dulu, sementara aku memilih menunggu si wanita tadi kembali menuntunku.
"Ini ruangannya." Ren sangat antusias menunjukkan ruangan tempat aku akan mengukur tubuh.
Warna pastel pink mendominasi ruangan itu, benar-benar memberi kesan yang sangat feminin. Desainnya sangat minimalis, tak banyak ukiran di furniturnya, tetapi beberapa vas berisi bunga warna putih mengisi beberapa sudut ruang. Sangat cantik, bahkan pengharum ruangannya saja sangat menenangkan; aroma lavender. Aku yakin akan tahan berada di sana lama-lama.
"Mbak, bisa mulai diukur sekarang." Ren menginstruksikan seorang wanita yang sejak awal kedatangan kami, memang sudah berada di sana. Kami semua bergeming dan menatap Ren penuh tanya. Untuk apa ia masih ada di sini?—seperti itu arti tatapan kami.
"Ren, maaf, tapi rasanya nggak nyaman kalau kamu ada di sini."
Ren langsung paham. Ia tertawa sendiri sebelum pamit keluar dan berkata akan menungguku. Aku tidak tahu apa yang ingin dilakukannya setelah ini, ia sudah pergi sebelum aku sempat bertanya.
Mengukur badan menghabiskan waktu hampir dua puluh menit. Aku berterima kasih pada wanita yang tadi mengukurku sebelum keluar dari sana. Ren tidak berbohong soal menungguku. Ia bersandar di samping pintu sambil memainkan ponselnya. Sekilas kutemukan kesamaan antara dirinya dengan El, salah satunya adalah postur tubuh. Ren lumayan tinggi, tetapi masih kurang satu atau dua senti agar menyamai El. Potongan rambutnya juga, yang membedakan hanya El berambut lurus, sedangkan Ren agak ikal.
"Jadi, kamu betulan nunggu di sini." Aku menegur Ren sebelum muncul lebih banyak aspek darinya yang akan kubandingkan dengan El.
Ren menegakkan badan dan menyimpan ponselnya di saku celana, lalu tersenyum ramah kepadaku. "Kesempatan kayak gini nggak datang dua kali. Ayo kuantar pulang?"
"Bukannya kamu datang karena ada sesuatu yang lebih penting?" Aku tidak enak langsung menolaknya.
"Aku masih di sini sampai besok, tapi aku nggak bisa meminjammu dari El."
Aku mengernyit pada ucapannya.
"Ya ... meminjam kedengaran aneh. Jadi, pulang?"
"Aku harus mampir dulu ke rumah sakit, mau jenguk seorang teman." Kupikir dengan begitu, Ren akan mengurungkan rencana untuk mengantarkanku.
"Nggak masalah, akan kuantar." Namun, ia tetap kukuh ingin mengantarku. Baiklah, aku yakin penolakan akan berakhir percuma.
"Terima kasih sudah mau direpotkan."
"Sama sekali nggak repot, kok."
***
Aku meraih parsel buah di bangku belakang mobil Ren, parsel yang cukup besar. Di jalan tadi aku sempat meminta Ren untuk mampir dan membeli buah tangan itu untuk Daria.
"Makasih, ya, Ren," ucapku sebelum membuka pintu mobil. "Kamu mau ikut masuk?" tawarku sekadar formalitas.
Ren mengerucutkan hidungnya dan berkata, "Nggak, Ra. Nggak tahan sama bau obat, bikin mual.
Aku tertawa geli dan menggeleng. "Sampai jumpa, Ren. Sekali lagi terima kasih." Setelah itu aku benar-benar keluar dari mobil bersama parsel tadi.
Aku pernah menanyakan ruang rawat Daria ketika rekan kerja kantorku berencana ingin menjenguknya. Waktu itu aku tidak ikut karena harus menemani Ibu mengantarkan kue pesanan pelanggan. Kupikir, tak masalah tak melihat langsung, toh aku bisa bertanya pada El tentang bagaimana kondisinya.
Posisi ruangan Daria ada di lantai tiga. Tinggal berbelok ke kiri sekali, aku akan sampai. Namun, langkahku terhenti di depan ruangan yang pintunya terbuka sedikit. Di dalam sana ada El yang membiarkan tangannya digenggam oleh Daria. Itu sedikit menggangguku, tetapi aku lebih memilih mendengarkan sedikit obrolan mereka sebelum menyimpulkan yang tidak-tidak.
"Aku nggak mau kita benar-benar berakhir, El. Tolong tetap simpan surat kuasa itu," pinta Daria seraya terisak pelan. Aku tidak tahu kalau ia sedang menangis karena posisinya agak membelakangiku.
Kondisinya tak tampak seburuk yang aku pikirkan, hanya selang infus yang terpasang di tangan kirinya dan selembar perban menutupi rahang sebelah kanan. Selebihnya, Daria tampak sehat, bahkan tidak pucat sama sekali.
"Agar aku bisa kamu repoti kalau terjadi hal-hal seperti ini? Terima kasih, Daria, tapi itu akan merusak hubunganku dengan Zara."
"Tapi kamu cinta aku, El. Cuma aku, 'kan?"
"Itu sebelum kamu memilih untuk mencari cinta yang lain. Memangnya untuk apa aku pindah? Untuk melupakanmu tentunya."
"Itu sudah membuktikan kalau kamu nggak tahan melihat kami berdua, El. Kamu ... nggak rela melihat kami bersama." Daria benar-benar membuktikan bahwa hubungan mereka di masa lalu memang sekuat itu.
Kupikir El mengakui itu benar, karena ia terdiam selama beberapa saat sebelum bicara lagi.
"Waktu itu, iya, memang benar. Dan aku sudah punya Zara sekarang."
"Apa kamu bersamanya setelah berhasil melupakanku? Atau kamu dekat dengannya untuk melupakanku? Kamu harus memutuskan lebih baik biar nggak menyesal ke depannya."
Pertanyaan Daria membuatku tanpa sadar mengeratkan pegangan pada keranjang parsel, hingga menimbulkan suara plastik yang diremas. Kuharap itu tidak sampai terdengar mereka.
"Cukup, Daria. Jangan bersikap seolah-olah cuma kamu satu-satunya wanita yang pantas bersamaku. Karena sebenarnya kamu nggak sebaik itu!" El berdiri dari kursi yang didudukinya hingga tangannya terbebas dari genggaman Daria.
Jantungku berdebar sangat kencang, sampai suaranya terdengar olehku. El tampaknya marah karena ucapan Daria, tetapi aku tidak sedikit pun merasa lega karena El tidak memberi jawaban pasti untuk pertanyaan itu.
"Kamu hanya perlu jujur, El. Kita bisa kembali bersama." Daria berucap lirih. Rupanya, perasaan Daria memang setulus itu pada El.
"Kamu sudah mengacaukan hidupku, Daria. Kamu wanita yang nggak tahu diri karena tanpa tahu diri datang lagi ke kehidupanku dan memorakporandakan perasaanku. Kamu kira mudah sembuh dari luka?"
Pengakuan El yang itu ... melukaiku, sungguh. Nyerinya menembus tulang, lututku melemas dan keranjang buah di tanganku hampir terjatuh. Aku tidak ingin memikirkan yang terburuk, tetapi positive thinking juga akan melukaiku jika ternyata hanya ekspektasi belaka.
"Kamu baru saja mengakui kalau kamu belum sepenuhnya melupakanku, El. Kalau tidak, mana mau kamu repot-repot datang untuk menemaniku."
Untuk beberapa saat, hening menyelimuti. Dan bodohnya, aku masih berdiri di sana menunggu jawaban El. Sengaja kulakukan itu agar ketika aku tahu jawabannya, aku tahu apa yang harus kulakukan setelahnya.
"Benar. Perasaan itu masih ada, Daria. Tapi kamu harus ingat, perasaan itu mungkin nggak bisa dipaksa, tetapi aku boleh memilih untuk melupakanmu dan mencintai Zara. Dan asal kamu tahu, perasaanku padanya jauh lebih besar daripada yang pernah kurasakan untukmu."
Itu melegakan, sungguh. Namun, aku tidak bisa terima karena El berbohong. Minggu lalu ia sempat berkata tidak akan menemui Daria lagi kecuali karena hal mendesak, tetapi ia justru sering datang untuk Daria. Kurasa aku tidak akan berada di sana lebih lama lagi. Dan buah yang sudah kubeli untuk Daria tidak akan kubawa pulang, karena itu akan mengingatkanku padanya.
Jadi, aku membuka pintu ruangan lebih lebar. Terdengar benturan antara kenop pintu dengan dinding di depannya, mungkin karena aku terlalu keras mendorongnya. Sengaja, agar mereka menyadari kehadiranku.
"Zara?" El tampak sangat terkejut akan kehadiranku.
"Hai, Zara." Dan Daria menyapaku dengan riang.
"Hai, maaf mengganggu, aku cuma mau ngasih ini," ujarku dan meletakkan keranjang buah di atas nakas sebelah ranjang Daria. "Sayangnya, aku nggak bisa lama-lama karena harus mengantar adikku." Itu bohong, tentunya.
"Nggak masalah, terima kasih sudah mau mampir, Ra."
Aku membalas senyum Daria sekilas sebelum membalikkan badan. Keduanya mungkin sadar kalau aku sudah mendengar semuanya, sebab mereka tidak mengatakan apa-apa begitu aku keluar dari sana dalam diam.
Aku berjalan cepat di koridor rumah sakit setelah menyadari El mengikutiku. Mungkin ia ingin menjelaskan apa semuanya dengan versi yang bisa kumaafkan, tetapi aku sudah sekecewa ini dan sebaiknya tidak berbicara dulu dengannya.
"Zara, tunggu!" El semakin mendekat, hingga akhirnya ia berhasil meraih tanganku tepat di ujung lorong depan elevator. Aku tidak melawan dan pasrah saja ia menggenggam tanganku dengan erat. Namun, aku menolak bertemu pandang dengannya.
"Kamu ... pasti mendengar semuanya, 'kan?" Ada nada panik dalam bicaranya. Dan itu tidak memberi efek apa-apa bagiku.
"Ya." Aku membalas singkat.
"Kamu—dengar, apa pun yang kamu dengar di sana tadi, bukan berarti aku mau kembali dengannya, Ra."
Aku menunduk ketika El meraih bahuku dan mengarahkannya agar kami berhadapan. "Lalu apa? Aku bisa terima itu, tetapi kamu sudah berbohong. Aku tahu kamu sering menemuinya, perhatianmu pada Daria melebihi batas wajar. Terus kenapa kalian sampai berakhir? Aku menanyakan ini berkali-kali, tapi kamu enggan menjawab."
Jika perasaan untuk Daria masih ada, kenapa mereka harus berpisah?
"Bukan hanya laki-laki yang berpotensi meninggalkan, Ra, tapi perempuan juga. Kamu pikir aku mau kembali setelah dia meninggalkanku bersama pria lain?"
Itu informasi baru, dan bisa saja itu sedikit mengubah mindset-ku tentang perpisahan. Selama ini, aku selalu berpikir bahwa pria lebih kejam dari wanita. Namun, informasi itu sudah tidak berarti apa-apa buatku.
"Bukannya sudah terlambat memberitahuku sekarang?"
"Ra ...."
"Begini aja, El." Aku menjauhkan kedua tangannya dari bahuku. "Pernikahan kita masih dua bulan setengah lagi. Selama dua bulan, sebaiknya kita nggak ketemu dulu—"
"Apa maksudmu? Kamu selalu begitu, nggak bisakah kamu melawan ketakutanmu dan berhenti menghindar?"
Aku mematung. El membentakku, walau tidak sekasar itu, tetapi itu yang pertama kali dan rasanya menyakitkan. Pikiranku mendadak kosong, dan aku harus mengatakan maksudku sebelum lenyap di ujung lidah.
"Maaf, Ra."
"Dalam dua bulan, kamu bisa menyelesaikan masalah hatimu, tentang perasaanmu yang sedang kacau, dan segalanya. Kamu punya waktu untuk memilih, El, bersamaku, atau kembali pada Daria. Aku nggak masalah membatalkan pernikahan kita, aku justru akan sangat menyesal jika suatu saat kamu menganggap keputusan menikah denganku adalah sesuatu yang salah. Lagi pula, awal hubungan kita hanya karena sebuah kesepakatan, 'kan? Dan itu bisa berakhir kapan saja."
Aku melangkah mundur mendekati elevator dan memberanikan diri memandang El yang tampaknya tidak percaya pada apa yang baru kukatakan.
"You hurt me so badly, El. Dua bulan lagi, baru kamu boleh datang menemuiku. Sampai jumpa."
Pintu elevator yang tertutup menjadi saksi perpisahan sementara kami. Kuharap, hatiku bisa menerima apa pun keputusan yang akan El pilih. Karenanya, aku menjadi orang idiot yang tidak berani mengakhiri hubungan kami.
Ini gila, tetapi aku sudah sangat mencintainya. Dan nyatanya, cinta dan luka itu tidak berbeda, sama-sama menyakitkan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top