8 - Rumor
Zara Naulia
"Pagi, Zara! Selamat ya."
Aku hanya bisa tersenyum kaku untuk merespon sapaan salah satu rekan kerja yang baru saja berselisih denganku di lobi. Bukan hanya sekali aku mendapat ucapan selamat begitu. Ketika di dalam elevator pun orang-orang juga mengucapkan selamat padaku. Ketika kutanya selamat untuk apa, mereka hanya tersenyum aneh. Seperti menyembunyikan sesuatu yang aku sudah tahu itu apa.
Harusnya itu adahal hal yang baik, tapi aku merasa aneh, tidak biasa.
"Selamat ya!"
Aku berjengit saat seseorang berteriak dan memukul punggungku dengan keras. Setelahnya aku hanya melenguh, tanpa berbalik pun aku tahu siapa pelakunya. Tidak ada satu pun orang kantor yang akan memberikan efek berdenyut pada pukulannya jika bukan Abel.
Hanya pada Abel saja aku bisa menunjukkan keluh kesahku selama di kantor. "Kenapa semua orang bersikap ramah ke aku?" tanyaku sambil meletakkan tas ke atas meja kerjaku. Kemudian mengeluarkan beberapa barang dari sana sebelum menyimpannya ke dalam lemari.
"Loh? Kan bagus, Ra." Abel mengernyit kebingungan pada pertanyaanku. Aku tidak langsung merespon, tapi menjatuhkan badanku ke kursi bersamaan dengan Abel.
"Apanya yang bagus? Mereka sampai ngucapin selamat segala. Kamu juga, Bel."
Abel yang mulutnya sedang dipenuhi kacang itu menghentikan kunyahannya. "Kamu nggak amnesia mendadak kan?"
Aku merengut mendengar ucapannya. "Amnesia kenapa lagi?."
"Kamu nggak lupa sama calon suami sendiri, kan?" Abel menatapku sangsi. "Selamat ya, kutunggu undangannya." Lalu tersenyum lebar sekali sampai-sampai aku merinding melihatnya.
"Ha?" Aku terkaget-kaget. Namun tak lama, sampai kemudian menghela napas dan menggumamkan 'oh'. Aku teringat dengan pengakuan pura-pura El pada Dimas beberapa hari yang lalu. Sudah bisa dipastikan, Dimas pelaku di balik tersebarnya gosip bahwa aku sudah memiliki pasangan. Jika bukan, siapa lagi? Hanya ia satu-satunya orang kantor yang mendengar itu.
Abel tiba-tiba memukul lenganku dengan ekspresi gemasnya. "Ceritain dong, kok bisa cowok itu berhasil melelehkan kutub esnya seorang Zara Naulia," ujarnya dibuat-buat dramatis.
Daripada tersipu dengan ucapan Abel, aku justru tidak menduga bahwa kebohongan El kemarin memberi efek yang melebihi ekspektasiku. Terlebih tentang Dimas, tidak pernah terpikir olehku jika ia akan menceritakan itu pada rekan kerja yang lain. Namun, benarkah rumor itu tersebar karena Dimas?
"Ra! Ceritain dong!" pekik Abel saat aku terlalu lama terdiam.
"Dapat kabar dari mana kalau aku punya calon suami?"
Abel mengerutkan dahi sampai kedua alis tebalnya tertaut. Melihat reaksinya itu membuatku berpikir, apa aku salah bertanya?
"Katanya calon suami kamu yang ngomong langsung ke Dimas. Kasian tuh galau dia."
Aku menggaruk pelipisku yang tidak gatal. Benar rupanya Dimas adalah penyebab rumor itu tersebar. "Kamu percaya?"
"Itu ... iya?"
Aku menghela napas. Rumor ini tidak bagus meski sebenarnya agak menguntungkanku. Orang-orang jadi lebih ramah. Terlebih mereka yang segender denganku. Abel sudah menikah padahal usianya dua tahun lebih muda dariku. Bersama dengan wanita-wanita bersuami lainnya, ia tidak menganggapku saingan seperti yang lain. Sayangnya di kantor ini terlalu banyak karyawan dengan usia kisaran dua puluhan dan belum menikah.
Sepertinya insiden aku menolak Dimas terang-terangan waktu itu membuat mereka kesal padaku entah karena apa. Namun, meski situasi sekarang sudah berbalik, aku masih tidak bisa menerimanya. Terlebih penyebabnya adalah sebuah kebohongan. Meski secara teknis, kelak El akan jadi suamiku, tapi tetap saja caranya salah.
"Kamu tau kan, kalau kita itu nggak bisa langsung percaya rumor begitu aja?" Aku berusaha mengatakan pada Abel bahwa itu tidak benar, tapi aku tidak berencana untuk menceritakan yang sebenarnya. Sebab kesepakatan antara aku dan El tidak perlu diceritakan pada siapa pun.
"Ya, aku tau," sahut Abel tanpa menatapku.
"Meski kujelaskan yang sebenarnya pun, mereka nggak akan percaya. Karena mereka cuma percaya pada apa yang mereka mau dengar aja. Lalu tutup telinga pada apa yang nggak mau mereka dengar," keluhku.
"Betul. Termasuk aku. Sudah telanjur percaya pada rumor dan nggak mau dengerin bantahan apa pun dari kamu. Nah, aku penasaran, gimana kamu bisa ketemu sama dia?" Abel tampak antusias sekali. Ia bahkan sudah berada di posisi ternyamannya di atas kursi. Tidak mengerti kode dariku sama sekali rupanya.
"Bel, daripada aku ceritain sesuatu yang nggak benar, gimana kalau kamu kirim dulu laporan kerjamu ke aku?"
Abel mengulum bibirnya sebentar sebelum menunjukkan cengiran kepadaku. Aku tahu ia masih belum menyelesaikan laporan kerja yang seharusnya dikirimkan padaku setiap pagi. Benar-benar cara terbaik untuk membuatnya bungkam.
Alih-alih meminta mereka mengirimkan laporan satu jam sebelum pulang, lalu memeriksanya dalam waktu yang tersisa, aku lebih suka memeriksa laporan mereka di pagi hari. Selain karena pikiranku masih segar, aku juga bisa lebih teliti memeriksa laporan mereka. Lagi pula, aku juga tidak ingin menerima resiko terlambat pulang hanya untuk memeriksa laporan milik tiga puluh rekan kerjaku.
Aku tersenyum melihat Abel mengubah posisi duduknya jadi berhadapan dengan komputer. Dengan begini, aku bisa tenang memeriksa laporan milik yang lain.
***
Jam istirahat sudah berlangsung sejak lima menit yang lalu. Namun aku memilih untuk tidak pergi makan siang. Aku sempat membuat sereal instan di sela-sela pekerjaanku tadi. Hingga sampai sekarang aku masih merasa kenyang. Jadi, kugunakan waktu istirahat untuk bersantai sambil menonton film di kokputerku.
Sayangnya, ponselku berdering dan nama kontak El tertera di sana. Sejak aku menyetujui ajakan berkomitmen dengannya, El setidaknya akan meneleponku satu kali dalam sehari. Hanya saja, aku tidak menduga ia akan meneleponku di jam istirahat seperti ini. Kemarin-kemarin ia bahkan meneleponku saat malam.
Tidak ingin obrolan kami terdengar oleh siapa pun, aku memilih untuk mengangkat telepon El di fun room, sebuah ruangan yang biasa kami pakai untuk beristirahat atau membuat acara hiburan kecil-kecilan. Biasanya ruangan itu akan sepi di jam istirahat seperti ini.
"Halo?" ujarku setelah mengangkat telepon El.
"Mau makan siang bareng?"
El benar-benar tidak suka basa-basi. "Nggak. Aku masih kenyang. Tadi abis makan sereal." Kemudian yang terdengar adalah suara kekehannya.
"Serius? Kamu makan sereal di luar jam sarapan?"
Aku mengernyit. Kedengarannya memang agak aneh, tapi aku menyukai itu. "Ada yang salah?"
"Nggak ada yang salah. Aneh, tapi nggak papa. Jadi, beneran nggak mau makan lagi?"
Aku menggumam mengiyakan. "Iya, Rafael Lazuardi. Kamu nelpon buat ngajak makan siang aja?"
"Sebenarnya ada lagi."
"Apa?"
"Ada film bagus di bioskop. Karena temen-temen masih belum tau aku pindah kerja, jadi nggak ada temen nonton."
Aku memutar mataku saat mendengar desahan frustrasi di ujung kalimatnya. "Siapa suruh nggak ngabar-ngabar," cibirku dan hanya mendapat respon tawa dari El di seberang sana.
"Jadi, mau nonton bareng? Itu bisa jadi kencan pertama kita lho, Ra."
Aku mematung saat El mengatakan kencan pertama. Aku bahkan paling anti dengan apa yang disebut kencan itu. Jujur saja, aku tidak tahu banyak tentang apa saja yang biasa orang-orang lakukan saat berkencan. Apa kami nanti akan berpegangan tangan? Atau mengambil swafoto bersama di tempat-tempat yang kami kunjungi lalu mempostingnya ke akun media sosial? Semua itu bahkan bukanlah sesuatu yang pernah kupikir akan kulakukan.
"Ra? kamu masih di sana?"
"I-iya."
"Gimana? Mau?"
"Kencan ya?"
Sebenarnya aku enggan sekali melakukannya. Andai aku tidak lupa jika sudah berjanji akan memberinya kesempatan untuk dekat denganku, aku pasti sudah menolak. Kalau dipikir-pikir lagi, itu hanya menonton film biasa. Tidak akan terjadi apa pun seperti yang kubayangkan saat orang-orang berkencan, kan?
Lagi pula jika diingat-ingat, sejak pertemuan kami di kafe waktu itu, kami hanya berkomunikasi melalui telepon. Sesekali bertemu tidak akan melukai siapa pun.
"Baiklah."
"Jadi genre film apa yang kamu suka?"
"Apa aja selain romance." Aku menjawabnya tanpa pikir panjang. Selama ini aku memang tidak suka dibayang-bayangi dengan adegan-adegan romantis dalam sebuah film percintaan. Aku selalu dibuat geli saat menontonnya.
"Bagus. Malam ini kujemput jam tujuh, bisa?"
"Bisa, El."
"Oke. Sampai ketemu nanti."
"Iya, sampai ketemu."
Aku tidak menjauhkan teleponku dari telinga. Masih menunggu sampai El memutus sambungan telepon lebih dulu. Namun, tampaknya ia juga melakukan hal yang sama sepertiku. Suara embusan napas El bahkan masih terdengar olehku.
"El?"
"Iya, Ra?"
"Teleponnya," ujarku sengaja menggantung.
"Kayaknya masih mau denger suara kamu."
"Siapa?"
"Aku?"
"Bercandanya nggak lucu, El." Aku memutar kedua bola mataku selagi ia tertawa di seberang sana. Entah perasaanku saja, atau aku memang sudah tidak secanggung itu mengobrol dengan El. Well, terima kasih atas waktu berjam-jam yang sering kami habiskan hanya untuk mengobrol di telepon.
"Ya udah. Kumatiin telponnya, Ra."
"Iya." Lalu sambungan telepon terputus. Menyisakan aku dengan berbagai pertanyaan di kepalanya. Persis seperti remaja yang baru terjun dalam kehidupan asmara. Walau kenyataannya memang begitu.
"Kencan itu ... kayak gimana?"
Aku berbalik ingin kembali ke ruanganku. Saat itu pula aku dikejutkan oleh kehadiran Dimas. Terlebih setelah ia bertanya, "Jadi, yang kemarin itu beneran calon suami kamu?"
Jika dia masih bertanya begitu, lalu bagaimana dengan rumor yang tersebar?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top