77 - The Accident

Rafael Lazuardi

Kami baru tiba di hotel di mana acara resepsi pernikahan Yuda akan dilaksanakan. Aku dan Zara memasuki gedung beriringan. Ini kali pertama aku pergi ke kondangan dengan membawa pasangan. Dulu Daria tidak pernah suka kuajak pergi ke acara seperti itu.

Zara cantik sekali hari ini. Aku meliriknya hampir satu menit sekali. Kami mengenakan baju yang sepasang dari kain sasirangan berwarna hijau muda. Awalnya Zara sempat menolak untuk memakai baju yang sama denganku, tetapi aku mengakalinya dengan mengajak Zara pergi ke tukang jahit untuk mengukur badan. Dengan begitu, Zara tidak lagi bisa menolak.

Aku meraih tangan Zara, menautkan jari-jariku di antara miliknya, ingin menegaskan pada orang-orang yang mencuri-curi pandang itu bahwa Zara adalah milikku. Zara sempat kaget dan melihat tautan tangan kami. Kupikir Zara akan menarik tangannya, tetapi ia justru tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa. Aku menyimpulkan bahwa itu berarti Zara sudah tidak merasa keberatan dengan skinship kami.

"Kenapa, El?" Zara bersuara ketika aku mengeratkan genggaman tanganku.

Di sana aku melihatnya, duduk di sebuah meja bundar yang dekat dengan panggung pelaminan bersama seorang pria. Aku ingat pria itu, ia adalah orang yang kutemui tengah membuntuti Zara di kali pertama kami  makan siang bersama. Tidak mengherankan bagaimana mereka ada di sini, Yuda teman sekampus kami, tetapi juga rekan kerja Zara dan mereka. Yang jadi pertanyaanku adalah, bagaimana mereka bisa datang bersama dan tampak sangat akrab.

Ah, bagus kalau mereka bersama. Artinya ia tidak akan menggangguku lagi, tidak lagi membuat Zara merasa tidak nyaman karena kehadirannya di sekitar kami. Walau kejadian minggu lalu membuatku kesal luar biasa—Felix memberitahuku tentang kehadiran Daria di tengah-tengah kebersamaan Zara dan Mama. Ia belum benar-benar pergi, dan Mama masih membiarkannya menempel seperti benalu.

"Bukan apa-apa, Ra. Kita ke bufet dulu?"

Zara memicing padaku, seperti tahu bahwa aku tidak mengatakan yang sejujurnya. Namun, setelah aku tersenyum untuk meyakinkannya kalau benar tidak terjadi apa-apa, barulah ia mengalihkan pandangan dariku.

"Kamu udah sarapan, El?" tanyanya ketika kami tiba di depan bufet.

"Aku berangkat dari jam delapan ke rumahmu, jadi sekarang aku lapar." Dan itu dua jam lebih awal dari waktu yang tertera di undangan Yuda.

Zara memutar kedua bola mata sebelum meraih dua piring untuk kami berdua. "Salah siapa datang sepagi itu?"

"Kamu nggak bisa menyalahkan pria yang ingin cepat-cepat bertemu denganmu. Apalagi aku, calon suamimu."

Aku menerima piring yang disodorkannya padaku. Awalnya cuma satu, tetapi aku meraih keduanya dan kubawa di masing-masing tanganku. Jadi, ia yang bertugas menyendok hidangan ke piring kami.

"Kamu yakin kita akan menikah?" tantangnya, dan berhasil mengobarkan antusiasku untuk membicarakan rencana pernikahan dengannya.

"Kita sudah bertunangan, Ra." Aku mengingatkannya meski tidak perlu. Mungkin ucapanku membuatnya kesal, jadi Zara menuangkan nasi ke piring kami dengan kuat, hingga aku harus bersusah payah menahan keseimbangan piring yang kupegang agar tidak terjatuh.

"Jangan buat aku muak mendengarnya, El." Ia memperingatkan dengan muka kesal, tetapi itu justru membuatku merasa gemas.

"Aku nggak akan bosan mengucapkannya, dan kamu harus terbiasa."

Namun, Zara mengabaikanku, padahal aku sudah tersenyum sangat lebar untuknya.

"Kamu mau ini, nggak?" tawarnya seraya mengangkat sendok dari hidangan masakan udang.

Aku memandang hidangan yang sangat menggugah selera itu dan menelan ludah. "Nyicip punyamu aja gimana?"

Zara tahu hidangan itu biasanya menggugah seleraku, sayangnya dimasak dengan bahan utama udang. Udang yang bukan dimasak sendiri biasanya akan menimbulkan alergi di tubuhku. Tidak kusangka Zara masih mengingat itu.

"Kan, udah kecampur udang walau kamu nyicip bumbunya aja. Mending nggak usah. Kalau kamu gatal-gatal di sini, kan, repot." Ia sangat perhatian meski caranya kali ini agak kurang menyenangkan.

"Kamu bisa masak itu, Ra?" tanyaku ketika kami bergeser untuk menghampiri hidangan selanjutnya. Mataku mengerling pada masakan udang tadi untuk memberitahunya masakan apa yang kumaksud.

"Udang asam manis." Zara membaca tulisan di bawah mangkuk besar hidangan. "Mudah. Tinggal cari resepnya di internet, tapi kamu yakin nggak akan gatal-gatal?"

"Nanti udangnya aku bersihkan sendiri," balasku tanpa bisa menahan senyum. Rencana itu membuatku berdebar dan tidak sabar lagi rasanya ingin berumah tangga dengan Zara.

"Ide bagus," balasnya.

Kami sudah selesai mengisi piring kami dengan hidangan yang kami inginkan. Selanjutnya, kami mencari meja kosong untuk ditempati. Sambil berharap tidak hanya di meja yang ditempati Daria yang masih terdapat bangku kosong. Aku tidak ingin berdekatan dengannya, sungguh.

Hingga akhirnya, aku lebih dulu menemukan meja kosong di pojok kanan barisan paling depan. Posisinya pun lumayan jauh dari yang ditempati Daria. Aku cepat-cepat melangkah ke sana bersama Zara sebelum ditempati orang lain. Rasanya benar-benar seperti bermain kucing-kucingan.

Kami tidak mengobrol lagi dan fokus menikmati makanan kami. Karena lapar, aku menghabiskan milikku jauh lebih cepat dari Zara—makanannya bahkan masih tersisa setengah.

"Tema pernikahan ini sama sekali bukan gayanya Yuda." Aku membuka topik obrolan seraya menatap panggung pelaminan dengan tatapan takjub.

"Kenapa?" Zara membalas di sela-sela kunyahan.

"Yuda nggak akan membuang-buang uang buat dekorasi yang semewah ini."

"Momen sekali seumur hidup, 'kan? Mungkin mereka mau sesuatu yang sangat berkesan."

Aku beralih menatap Zara, yang baru saja menghabiskan makanannya dan sedang minum air putih. Aku menunggunya sampai selesai sebelum bertanya, "Pernikahan kita nanti ... kamu maunya kayak gimana?"

Zara tampak berpikir. Kami pernah membicarakan tentang tanggal dengan ibunya. Itu sebabnya Zara tak tampak menghindari topik rencana pernikahan kami. Kala Zara memberitahuku bahwa ia tidak jadi menunggu sampai Daffa lulus dulu baru menikah, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluknya. Aku sampai tidak lagi menghitung berapa kali menciumi pipinya. Zara masih merasa risi dengan itu, sampai setelahnya menyapukan tisu basah di bekas ciumanku.

Ternyata menggelikan sekali yang kulakukan waktu itu.

"Aku ingin sesuatu yang sederhana. Halaman rumahmu bisa kita pakai," sahutnya setelah beberapa saat.

Itu sangat Zara sekali. "Outdoor?" Aku memastikan.

"Hanya kalau harinya nggak hujan."

"Aku akan memasang kanopi lebih dulu." Untuk Zara, apa yang tidak?

"Kamu nggak perlu serepot itu."

Kapan Zara akan merasa tersanjung ketika aku melakukan sesuatu untuknya?

"Untuk jangka panjang juga, Ra, jadi anak-anak bisa main di luar meski harinya hujan." Wajahku sungguh memanas hanya dengan memikirkannya. "Empat anak cukup, 'kan?"

"Kamu mikirnya jauh banget."

Ekspresi Zara benar-benar aneh saat ini, seperti ketakutan bercampur kaget. Entah karena jumlah itu terlalu banyak untuknya, atau memang ia masih belum siap memikirkannya. Reaksi yang tidak mengherankan dari Zara itu membuatku lantas tertawa.

"Bukannya kita harus merencanakan masa depan? Anak adalah salah satunya, Ra."

"Nikah aja belum."

"Ayo kita bahas rencana menikah." Aku bertopang dagu di atas meja.

"Menurutmu ini tempat yang tepat?" Zara mengedarkan pandangan ke sekitar, dan itu menyadarkanku bahwa kami masih di sini; acara resepsi Yuda. Para tamu masih mengantre untuk menyalami pasangan. Jadi, kupikir tidak masalah duduk di sini dan mengobrol sambil menunggu para tamu mulai pulang.

Sayangnya, itu hanyalah rencana yang tak bisa terealisasi. Sebab teman-teman kuliah kami mulai berdatangan dan menempati kursi kosong di meja yang kami tempati. Semua orang akan setuju kalau acara pernikahan adalah salah satu momen yang sering kali dimanfaatkan sebagai ajang reuni.

Karena tidak mungkin menyia-nyiakan momen itu, akhirnya aku mendekat pada Zara dan berbisik, "Kamu benar. Ini bukan tempat yang tepat."

***

Sekitar pukul satu siang kami pulang. Selain karena menunggu tamu sepi, kami juga mengobrol lebih lama. Selagi banyak teman-teman yang datang, sekalian saja kami manfaatkan. Namun, karena masih ada yang belum puas mengobrol, sebagian dari mereka pergi bersama-sama ke tempat lain. Aku dan Zara sempat diajak, tetapi aku tolak karena tidak ada perempuan lain yang ikut selain Zara jika kubawa. Itu jelas akan membuatnya merasa tidak nyaman. Selain itu, aku juga ingin mengajak Zara pergi ke suatu tempat.

"Kita ke mana? Ini bukan jalan ke rumahku."

Dan sengaja aku tidak memberitahunya.

"Memang bukan ke rumahmu."

"Lho, terus ke mana?"

"Tunggu, ya, sebentar lagi sampai." Aku tersenyum dan mengedipkan sebelah mata padanya. Jangan tanya seperti apa reaksi Zara, ia sudah memalingkan muka saat ini.

Aku belok kiri di sebuah perempatan, dan itu jadi belokan terakhir sebelum tiba di destinasi kami. Aku keluar lebih dulu dari mobil sebelum disusul Zara. Perutku bergejolak saat menunggu reaksinya setelah mengetahui gedung apa yang ada di hadapan kami saat ini.

Aku menatap Zara sambil menahan senyum. Ia sedang membaca tulisan besar yang ada di atas pintu gedung dengan kedua alis terangkat. Kemudian memalingkan muka menatapku dengan gerakan lambat, mirip video slow motion. Zara benar-benar tidak bisa menyembunyikan wajah kagetnya. Aku berjalan mendekat dan merangkulnya.

"Can't make our parents wait any longer," bisikku dan tersenyum puas.

"Kita ngapain ke sini?"

Itu pertanyaan yang tak terduga, tetapi aku tidak heran kalau Zara akan menanyakannya.

"Menurutmu apa? Kita, kan, udah punya tanggal, persiapannya bisa dimulai dari sekarang."

Zara masih belum bisa sepenuhnya menghapus ekspresi kaget itu dari wajahnya. Aku sampai terkekeh geli karenanya.

"Kita masuk?"

Zara tidak menjawab, tetapi dia mengikuti ketika aku mulai melangkah memasuki gedung. Instrumen piano dari musik yang baru kami dengar di acara resepsi Yuda tadi langsung menyambut pendengaran dengan lembut. Di sisi kiri dan kanan ruangan panjang itu terdapat etalase kaca yang diisi dengan miniatur wedding hall. Ada banyak foto-foto pernikahan orang lain yang menghiasi dinding.

Ketika sibuk melihat-lihat, atensiku teralihkan pada suara sol sepatu yang mendekat ke arah kami. Seorang wanita dengan seragam berwarna cokelat menghampiri kami dengan beberapa katalog mirip majalah di tangannya.

"Selamat datang di Les Noces Wedding Organization. Ada yang bisa kami bantu?" Wanita itu mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum hangat.

"Kami berencana ingin menikah, mau tahu paket-paket pernikahan yang ditawarkan di sini," balasku tak kalah sopan.

"Mari ikut saya," ujar wanita itu dan berjalan mendahului kami.

"Kamu yakin?" tanya Zara, ia menahan tanganku ketika aku akan menyusul si pegawai tadi.

"Kita, kan, baru mau liat-liat, kalau cocok, baru kita booking."

Zara merapat padaku dan berbisik, "Apa aneh kalau aku gugup?"

"Yang ada malah lucu, Ra," balasku seraya mengusap bahunya. "Ayo ke sana."

Kami berjalan beriringan menyusul wanita tadi dan tiba di sudut ruangan di mana terdapat sofa dan setumpuk katalog di atas meja. Wanita itu mempersilakan kami duduk lebih dulu dan menginstruksikan agar kami melihat katalog di sana.

"WO kami tidak hanya menyediakan dekorasi, tetapi juga katering, pengambilan foto saat acara ataupun prewedding, musik, busana, MUA, sekaligus desain undangan. Semuanya bisa dipesan dalam satu paket platinum."

"Boleh kami melihat-lihat katalognya dulu, Mbak?" tanyaku, sengaja mencuri kesempatan ketika ada jeda di antara ucapannya. Jika tidak seperti itu, mungkin ia tidak akan berhenti bicara.

Wanita itu pun mempersilakan, dan hanya bicara ketika kami bertanya.

Zara berkata bahwa dia gugup, tetapi saat ini ia justru yang paling bersemangat melihat-lihat katalog. Sudah ada empat katalog yang disisihkannya, dan semuanya memiliki konsep yang sama; outdoor. Kupikir ia tidak main-main dengan memakai halaman rumahku untuk acara resepsi kami.

Setelah cukup lama, akhirnya Zara menemukan dekorasi yang cocok dengan seleranya. Dan aku memang menyerahkan sepenuhnya pada Zara untuk memilih. Kami mulai mendiskusikan luas halaman, dan mencocokkannya dengan dekorasi yang diperlukan. Aku dan Zara sepakat memakai jasa WO itu.

Namun, sebelum kami membahas lebih jauh, ponsel di saku kemejaku bergetar. Aku memeriksanya dan menemukan nomor asing di sana.

"Halo."

Aku mendengarkan orang di seberang bicara sebelum panik menyerbuku. Kutatap Zara dengan rasa bersalah sebelum sambungan telepon terputus.

"Kenapa, El?"

Aku tidak merespons, tetapi beralih menatap wanita yang sejak tadi melayani kami. "Untuk selanjutnya boleh dibahas di lain waktu? Kami akan ke sini lagi."

"Oh, iya, tidak masalah. Saya sudah menyimpan nomor telepon Mbak-nya ini," sahutnya dan menunjuk Zara dengan tangan.

"Makasih, Mbak. Ayo, Ra."

Zara tampak kebingungan, tetapi tidak menanyakan apa pun dan tetap mengikutiku keluar dari gedung.

"Kita mau ke mana? Kamu kenapa tiba-tiba panik, El? Siapa yang menelepon?" Zara melontarkan beberapa pertanyaan sekaligus. Aku yakin ia pasti juga cemas karena sikapku.

"Ke rumah sakit, Daria kecelakaan, Ra, kondisinya kritis saat ini."

Zara menghentikan langkah, yang otomatis membuat tautan tangan kami terlepas. Aku berbalik dan menemukan Zara melayangkan tatapan kecewa padaku. Maaf, Ra, tetapi aku tidak punya pilihan selain pergi ke sana. Aku akan menjelaskan semuanya padamu nanti. Aku berjanji.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top